That Pain

A Story From HyuugaDevil

Warning! Typo, melow.

Seluruh karakter adalah milik Masashi Kishimoto

Jadilah pembaca yang pintar, jika tidak suka dengan pair, ide cerita atau bahkan authornya:p ya jangan dibaca.

Happy reading!

.

.

.

Hinata tahu, bahwa pagi itu ia bangun dengan sangat terlambat. Begitu terlambat. Padahal ia sudah menyalakan alarm di handphonennya, tapi sialnya benda itu tidak berbunyi. Salahkan pada kecerobohannya dalam mensetting jam pm dan am.

Wanita berumur 24 tahun itu turun dari taksi biru dengan tergesa-gesa. Membayar dengan cepat lalu pergi, padahal uang yang ia berikan terlalu besar untuk perjalanan 15 menit. Tapi mana mungkin dia peduli, ia hanya tahu bahwa jika ia terlambat ke kantor tempat ia bekerja padahal hari ini adalah hari pertama ia bekerja, habislah sudah. Kesan pertama sangatlah penting bukan?

Dengan sepatu hak 7 centinya ia sedikit berlari berharap atasannya atau siapapun yang nanti memberikan arahan awal, belum datang. Jam sudah menunjukan pukul 7.55, walaupun masih ada 5 menit lagi, bukankah untuk ukuran perusahaan besar seperti ini, ketepatan adalah hal yang wajib? Hinata merutuki dirinya sendiri.

Dan ketika ia memasuki ruang kerja gedung perusahaan tersebut, nafasnya terhembus lega. Para kariawan baru yang ia kenal masih menunggu di sofa untuk diberi arahan. Ia belum terlambat. Lalu ia berjalan ringan ke arah sofa untuk duduk dekat salah satu kenalannya, Naruto.

"Kau yakin ini penampilanmu dihari pertama kerja?" Tanyanya saat Hinata duduk lega disampingnya.

"Hm, kenapa?"

"Wajahmu berantakan,"

"Benarkah?!" Hinata berujar dengan sedikit kaget. Karena tentu saja, ia ingin tampil sebaik mungkin untuk memberikan kesan terbaik di hari pertamanya bekerja.

"Pft, canda." Naruto menutup mulutnya.

Sedang Hinata hanya meliriknya kesal. Ini adalah pertemuan ketiga mereka setelah tak sengaja berkenalan saat wawancara diperusahaan tempat ia bekerja sekarang, dan tak menyangka bahwa mereka berdua ternyata lolos dan menjadi rekan kerja. Kebetulan yang menyenangkan.

Tidak sampai 5 menit kemudian, seorang senior mulai memberi arahan kepada para pegawai baru saat sebelumnya berucap maaf karena pak direktur tak bisa turun langsung untuk memberi arahan kepada anak baru. Senior tersebut menjelaskan sedikit soal pekerjaan kami, memperlihatkan berbagai ruangan dan ruangan mana saja yang boleh pegawai baru gunakan, juga menunjukan meja kerja masing-masing dari para pegawai baru.

Meja Hinata berada diujung ruangan dengan jendela disampingnya. Ia merasa puas karena meja itu tidak begitu mencolok, jendelanya yang memperlihatkan suasana kota juga membuat Hinata merasa ada pencuci mata ketika suatu saat ia kelelahan dengan pekerjaannya. Ia tersenyum.

"Meskipun perusahaan ini terlihat sebagai perusahaan besar, sebenarnya saingan perusahaan ini lebih banyak dan kebanyakan adalah perusahaan internasional yang sudah sangat besar," jelas senior itu sambil menjelaskan beberapa detail mengenai pekerjaan.

Dan ketika selesai, sebelum para pegawai baru dipersilahkan untuk mulai bekerja dimeja masing-masing, senior itu menatap satu-satu para pegawai baru.

"Untuk memberi kesan baik pada pegawai disini, siapa diantara kalian yang mau membeli kopi untuk kami?" Tanya senior itu sambil tersenyum dan mengamati para pegawai baru.

Tentu saja, Hinata yang sangat mementingkan kesan pertama tanpa fikir panjang lagi langsung mengangkat lengan kenannya tinggi-tinggi.

"A-aku,"

Semua orang menatapnya.

"Ma-maksudku, aku akan melakukannya. Aku akan membeli kopinya,"

Senior itu tersenyum, "Oke, 4 kopi hitam dan 4 kopi susu ya?" Sambil memberikan kartu yang dapat Hinata pastikan bahwa kartu itu adalah kartu belanja perusahaan. Ah, ternyata bisa juga digunakan untuk ini ya? Tanyanya dalam hati.

Segera ia mengambil kartu tersebut dan mengangguk. Langkahnya perlahan meninggalkan kantor perusahaan tersebut untuk mencari cafe terdekat.

.

.

.

Aku sudah meninggalkan kesan baik bukan? Kepada senior tersebut juga sudah kan? Aku menarik nafas dan menghembuskannya. Benar, tentu saja aku sudah. Aku terbata-bata hanya karena gugup, tidak biasanya aku seperti ini. Dengan fikiran seperti itu, aku kembali fokus untuk mencari cafe terdekat.

Saat ini hari sudah mulai panas, ku pacu heelsku untuk terus bergerak mencari cafe terdekat. Bodoh, harusnya aku bertanya dimana cafenya sehingga tidak susah-susah kesana kemari dengan heels yang tak nyaman untuk sebuah kopi. Dalam hati aku kesal sendiri.

Dan aku menemukannya, cafe coklat yang berada tidak jauh dari kantor. Dari luarpun dapat kulihat bahwa kafe itu ramai oleh pengunjung. Hal ini menunjukan bahwa mungkin saja, dalam jarak yang lumayan jauh hanya cafe ini yang berdiri di daerah sini. Dari pada aku berjalan jauh untuk menemukan cafe lain lebih baik aku bersabar menunggu antrian yang terlihat ramai. Tidak akan terlalu lama kan?

Begitu aku masuk dan memesan 4 kopi hitam dan 4 kopi susu, pelayan disana menyuruhku untuk duduk dikursi kosong untuk menunggu pesananku, karena diperkirakan akan sedikit lama jika aku menunggu sambil berdiri. Aku hanya mengiyakan saja.

Dan ketika pesananku datang, aku berdiri untuk menerima pesanan. Tapi sialnya, pelayan yang memberikan kopi tersebut terjatuh. Tepat dihadapanku. Sontak mataku membulat. Aku tidak peduli karna apa ia terjatuh, aku hanya peduli pada akibat yang dilakukan pegawai yang tidak hati-hati itu. Akibatnya? Salah satu kopi dingin membasahi baju kerjaku. Terlebih sial karena aku memakai setelan kerja putih hitam, sehingga bagian baju putihku ternodai warna kopi.

Aku marah, tentu saja. Ini hari pertamaku bekerja, mana mungkin aku kembali dengan pakaian seperti ini?

"Apa yang kau lakukan?!" Kataku sedikit menjerit.

"Ah, ma-maafkan saya. Ada yang menyenggol saya dari belakang. Maafkan saya nona, saya akan mengambil kembali pesanan anda," pelayan tersebut terlihat terbata.

"Lupakan tentang kopinya! Bagaimana dengan baju saya?!" Kataku dengan nada yang sedikit tinggi.

"No-nona ingin saya mengganti baju nona?" Pelayan itu terlihat takut.

Tanpa kusadari kami telah menjadi tontonan dicafe tersebut. Aku dapat mendengar beberapa pelayan berkata bahwa mereka akan memanggil pemilik cafe untuk meminta maaf. Tapi aku sudah tidak peduli, hanya minta maaf saja tidak akan membuat bajuku kembali bersih. Terlebih aku tidak dapat mengabaikan bahwa wajah pegawai tersebut sudah terlihat ketakutan. Dengan kesal aku memandang pelayan yang terlihat takut tersebut.

"Sudahlah, siapkan saja pesananku yang tadi," kataku menghela nafas.

Setelah itu, aku mendengar suara yang tak asing.

"Hinata?"

Dan aku melihatnya.

Ia yang pernah menemani masa-masa remajaku.

Ia yang pernah berbagi rasa dalam hari-hariku.

Sasuke.

Mata kami saling berpandangan, walau sebentar tiba-tiba seluruh kenangan memenuhi otakku. Tentang bagaimana kami bersama, tentang bagaimana hari-hari senang dan sedih terlewati, dan bagaimana rasa sakit itu saling tertoreh dihati masing-masing. Aku membatu sebentar sebelum akhirnya sadar.

"Apa pegawaiku menyebabkan kekacauan ini?" Tanyanya dengan nada penasaran.

"Pe-pegawaimu?"

"Ini cafe milikku," katanya segera menghampiriku.

Matanya tertuju pada bajuku.

"Aku punya kemeja putih diatas, sepertinya kemeja itu bisa digunakan, kau mau aku pinjamkan?" Katanya kembali menatapku.

Aku menatap matanya agak lama kemudian menggeleng. "Siapkan saja pesananku," dan menunduk.

Tahun berganti tahun, ternyata kau masih pribadi yang begitu baik pada orang sekitarmu ya? Fikirku dalam hati. Lalu Sasuke diam sebentar dan pergi berlalu. Aku tergegun.

Pertemuan yang tak ku sangka. Yang sama sekali tak ku harapkan. Bahkan aku sendiri tahu bahwa aku begitu gugup saat melihat kembali wajahnya. Hingga saat ia berjalan menjauh, aku tak sanggup menatap punggungnya barang sebentar.

Pelayan menuntunku untuk duduk dimeja kosong yang mereka siapkan, mereka terlihat merasa bersalah namun aku paksakan diriku untuk tersenyum memberi tanda bahwa aku tidak apa-apa. Aku hanya tinggal menjelaskan mengapa bajuku seperti ini, para senior pasti tidak akan memarahiku. Walau dengan ini, aku pasti dicap sebagai orang yang ceroboh.

Tapi bukan itu yang mengangguku. Sasuke. Mengapa aku bertemu dengannya kembali? Dari sekian banyak hal yang telah kami lalui, aku paling tidak ingin menemuinya. Cinta pertamaku. Cinta pertama ketika aku masih menginjakan kakiku di bangku SMA. Lagi-lagi kenangan itu memenuhi kepalaku. Terbuai oleh kenangan, aku dikagetkan dengan kedatangan Sasuke yang duduk didepanku sambil menyodorkan kemeja putih. Aku menatapnya terkejut.

"Pakai saja, kau sedang kerja kan? Aku bisa lihat dari pakaianmu yang serba formal." Ucapnya santai.

"A-aku tidak perlu,"

"Kau tidak perlu mengembalikannya." Ucapnya lagi.

"Jika sesulit itu kembali bertemu denganku, kau tidak perlu mengembalikannya. Anggap saja itu ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi dicafeku," Sasuke memalingkan pandangannya.

Seketika aku merasa bersalah, apa aku terlihat seperti itu? Aku tahu bahwa ia hanya ingin bersikap baik dan bertanggung jawab, seperti yang biasa ia lakukan dulu. Ketika aku mengingat kembali, dulu aku juga selalu menolak kebaikannya. Aku tersenyum kecil dan mengambil kemeja putih tersebut.

"Aku tidak menyangka kau sekarang mengelola cafe," kataku memecahkan keheningan.

"Ini milik orang tuaku, ingat? Rasanya dulu aku pernah cerita. Aku hanya penerus bisnis keluarga."

Mendengarnya mengingat percakapan kami yang lalu membuatku sedikit terkejut. Dan memalingkan muka, takut terlena dengan pertemuan tak sengaja ini. Ini hanya pertemuan, benar, pertemuan kecil yang tidak berarti apa-apa. Kami bertemu sebagai penjual dan pembeli, kami bukan bertemu untuk membicarakan masa lalu.

Kami..

Sudah lama selesai..

Aku menghela nafas, "Walau agak terlambat, tapi kau terlihat baik-baik saja. Sudah lama ya? Aku senang kau baik-baik saja," kataku berusaha tersenyum.

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat.

"Kau kerja didaerah sini?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan. Tidak tahu mengapa ia bertanya tiba-tiba.

"Jangan bilang kantor diseberang itu?"

Aku hanya tersenyum kecil dan kembali mengangguk. Dan Sasuke tertawa menanggapi.

"Kebetulan apa ini haha," katanya dengan tertawa lembut.

Melihatnya tertawa seperti itu sungguh membuatku merindu. Seakan tawa itu kembali menjadi penyemangat hariku. Padahal seharusnya aku tahu diri, bahwa aku dulu pernah merenggut tawa dan senyumnya. Bahwa aku dulu pernah membuatnya meneteskan air mata untuk diriku yang tiada artinya. Bahwa aku pernah begitu menyakitinya. Aku tidak tahu diri kan? Menatapnya yang sedang tertawa begitu memalukan bukan?

Lalu dia berhenti tertawa dan menatapku lembut.

"Saat berhadapan denganmu begini, aku bertanya-tanya jika saja kau penasaran tentangku."

Sasuke diam sebentar.

"Kupikir, aku sudah bahagia. Aku memiliki seorang kekasih, dan kupikir yah, aku bahagia," lanjutnya sambil memandangku lembut.

Dan kalimat itu sukses menghantam tubuhku. Seakan ia berkata bahwa ia telah sembuh dari luka yang pernah kutorehkan, bahwa ia telah melupakan seluruh kenangan kita. Bahwa kini, aku hanyalah masa lalu yang tidak sengaja bertemu. Seperti yang kukatakan, kita telah lama berakhir bukan?

Lalu mengapa?

Mengapa perkataannya begitu menyakitkan?

"Ah, A-aku juga," jawabku dengan suara kecil.

Saat itu pula pesananku datang. Hal ini begitu ku syukuri karena keadaan mulai sedikit canggung dan terasa tidak nyaman untukku. Aku berdiri dan pamit pada Sasuke, cepat-cepat ingin segera meninggalkan tempat ini. Walau lebih tepatnya meninggalkan Sasuke. Tidak sanggup jika harus terus-terusan berada dihadapannya.

Setelah pamit aku buru-buru beranjak keluar. Tanpa menoleh lagi kebelakang.

Memangnya apa yang ku harapkan? Bodoh.

.

.

.

Sasuke menatap punggung Hinata yang semakin menjauh, lalu pandangannya berpaling pada meja tempat ia dan Hinata berbincang singkat tadi. Hinata meninggalkan kemeja pemberiannya. Hal ini membuat dirinya menghela nafas panjang dan kembali menatap punggung Hinata.

Mengapa kita bertemu lagi? Fikirnya.

Memangnya apa yang ku harapkan? Lagi-lagi Sasuke berujar dalam hati sambil memutuskan pandangannya, mengambil kemejanya dan pergi keruangannya.

Ia tampak kesal.

.

TBC

.

Lanjut?

Wajib review:)