"Hei... lihat! Kudengar seluruh keluarganya terbunuh dan cuman dia yang selamat."
"Udah gitu yang membunuh seluruh keluarganya itu adalah kakaknya sendiri yang sekarang tidak diketahui keberadaannya."
"Ih... jangan-jangan dia juga pembunuh seperti kakaknya."
"Hush... jangan terlalu kencang, nanti terdengar oleh orangnya."
Mereka semua bodoh. Tentu saja aku dapat mendengarkan omongan mereka, aku juga punya telinga 'kan.
Aku berusaha menahan rasa ingin menghajar mereka. Kenapa mereka berbicara seperti itu? itu semakin memperburuk diriku. Mereka tidak mengerti rasanya berada diposisiku saat ini. Melihat orang tuaku terbunuh oleh Aniki. Aniki yang sangat kukagumi itu bahkan hendak membunuhku juga. Mereka tidak tahu bagaimana perasaanku ini. Perasaan kehilangan sebuah ikatan.
Sayonara, Sasuke
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Rate : T
Pairing : SasuNaru
Warning : AU, Abal, Gaje, Alur luar biasa roket, Typo, OOC, dll.
"OHAYOU!" teriak seorang pemuda pirang ketika memasuki kelas.
Lihat dirinya, masih bisa tersenyum dengan lebar. Padahal tatapan anak lain menatapnya dengan tatapan benci dan menganggapnya seorang pengganggu.
Aku tidak tahu darimana asal keceriaannya itu. paling palling karena ia dibesarkan oleh keluarga yang ceria dan hangat. Orang seperti dia tidak mungkin bisa memahami perasaanku.
"Hai, Teme! Ajarin aku matematika dong!" pintanya yang entah sejak kapan sudah berada tepat didepanku. Dan wajahnya sangatlah dekat.
'Biru...' pikirku ketika melihat iris matanya itu. Biru yang sangatlah indah. Tapi perasaan apa ini? Kenapa diiris seindah itu aku melihat kesepian yang sangat dalam. Setahuku ia anak yang kelewat ceria. Tapi kenapa...
"Naruto! Jangan dekat-dekat Sasuke-kun!" teriak seorang gadis pink dengan mendorong tubuh bocah berisik didepanku ini.
Chuupp...
'Lembut... aarrgghhh... bodoh! Kenapa aku berpikir seperti itu? tapi... memang benar lembut. Aku tidak tahu kalau bibir si Dobe ini begitu nyaman,' pikirku sedangkan Naruto dengan cepat menjauhkan wajahnya.
"TEME!" dan ia pergi dengan kecepatan penuh.
Setelahnya ia tidak muncul lagi hari ini.
Pelajaran pun berakhir dan hari sudah sore. Kumasukkan buku-bukuku ke dalam tas dan beranjak pergi keluar kelas tak mempedulikan teriakan para gadis dibelakang sana. Mereka memperebutkan mengenai siapa yang akan pulang bersamaku. Mereka bodoh. Mana mau aku pulang bersama mereka.
Tidak perlu waktu lama bagiku untuk sampai ke apartemen lamaku. Didepan pintu itu terdapat larangan untuk masuk. Aku tak peduli dan melangkahkan kakiku ke sana.
Sepi. Tak ada lagi suara hangat yang menyambut kepulanganku. Tidak ada lagi perkataan pedas yang menasehatiku. Tidak ada lagi senyuman hangat dari mereka untukku.
Mereka semua menghilang. Mereka semua pergi meninggalkanku. Mereka semua tidak akan pernah kembali lagi. Mereka semua pergi dan tidak membawaku bersama.
Aku tidak suka. Aku tidak suka seperti ini. Lebih baik kalian membawaku. Bukan meninggalkanku seperti ini.
Kesepian. Aniki, kenapa kau tidak membunuhku juga? Kenapa Aniki tidak membuatku pergi bersama mereka? Apakah ingin menyiksaku secara perlahan seperti ini? Sebenci itukah Aniki terhadapku?
Tanpa terasa, kakiku sudah membawaku ke sebuah pintu. Ingin kubuka pintu itu. Takut. Aku takut pemandangan malam itu akan terlihat lagi bila aku membuka pintu ini. Pemandangan orang tuaku terbunuh dengan Aniki yang berlumuran darah berdiri ditengah ruangan di balik pintu ini. Dia... membunuhnya.
Krriiieett...
Suara pintu yang kubuka perlahan menggema. Diruangan itu masih terlihat jelas darah orang tuaku. Kenapa...
~Skip Time~
Hari ini cerah seperti biasanya. Aku pun seperti biasa pula duduk di dekat jendela tak mempedulikan pertengkaran gadis-gadis berisik itu.
"OHAYOU, SEMUANYA!"
Suara itu... pasti Naruto.
Hari ini dia terlihat lebih ceria dari biasanya. Jika aku pikir-pikir lagi, sepertinya aku tahu apa alasannya. Tapi anak yang lainnya tetap saja tak peduli dan menatapnya dengan tatapan itu. tidak sadarkah ia ditatap seperti itu? sebodoh itukah dia?
"Dobe," ucapku yang sepertinya terdengar olehnya.
"Apa, Teme? Aku ini bukan Dobe!" teriaknya yang langsung duduk disampingku dan menarik kerah bajuku.
"Omedetou"
"Hah?" tanyanya dengan bingung.
"Otanjoubi Omedetou, Dobe!" ucapku.
Bukan karena keinginanku mengingat ulang tahunnya. Salahkan daya ingat seorang Uchiha yang sangat bagus ini.
Perlahan ia lepas cengkramannya padaku. Kutatap iris birunya yang sekarang terpantul kekejutan. Namun hal itu perlahan menghilang.
"A-arigatou..." ucapnya dengan tersenyum.
Tersenyum. Baru kali ini kulihat dia tersenyum tulus seperti ini. Bukan senyuman dengan kesedihan didalamnya. Dia... tulus.
Dengan cepat ia bangun dan menarikku pergi.
"A, apaan kau?" tanyaku risih karena ditarik-tarik olehnya.
"Hehehe aku akan mentraktirmu sebagai ucapan terima kasih sudah menjadi satu-satunya yang memberiku ucapan selamat," ucapnya ceria yang tetap terus menarikku.
Pada akhirnya, aku bolos sekolah dan sekarang duduk di sebuah cafe bersamanya. Tentu saja aku yang menentukan tempatnya. Aku tidak akan membiarkan dia yang memilih tempat. Karena pasti yang dipilihnya adalah warung ramen.
Kami pun sudah memesan makanan.
"Baiklah, sekarang apa minuman pesanan tuan-tuan?" tanya si pelayan.
"Segelas jus jeruk dan jus tomat," jawab Naruto tida lupa senyum miliknya.
"Baiklah, mohon tunggu sebentar sampai pesanan tuan tiba," ucapnya yang kemudian pergi meninggalkan kami.
Aku pun menatap lekat Naruto.
"Ne,Teme, kenapa menatapku seperti itu?"
"Darimana kau tahu aku ingin jus tomat?" tanyaku langsung.
"Hehe aku suka memperhatikanmu makan tomat. Jadi aku menyimpulkan kalau kau suka tomat. Kesimpulanku benar 'kan?" tanyanya dengan tersenyum lebar.
"Tidak kusangka kau bisa menggunakan otakmu juga, Dobe,"
"Hei... aku sudah mentraktirmu dan kau masih mengataiku Dobe, Teme!"
"Aku tidak minta ditraktir,"
"Arghh... Teme!"
"Pesanan anda datang," ucap seorang pelayan yang segera meletakan pesanan kami diatas meja.
Kami pun mulai menyantap hidangan kami. Dan si Dobe itu langsung memusatkan fokusnya kemanakan. Benar-benar Dobe.
Kami pun selesi makan.
"Ah... kenyang," ucapnya dengan wajah lega.
"Hn"
"Ne, Teme, kenapa kau suka sekali mengucapkan dua huruf menyebalkan itu ketika berbincang dengan orang lain?" tanyanya yang menatap lekat ke arahku.
"Sering?"
"Iya, aku sering memperhatikan kalau kau berbicara terhadap orang lain pasti tanggapanmu hanya 'Hn' yah... walaupun kau baru menggunakan dua huruf itu padaku tadi," jelasnya.
"Kau sering memperhatikanku Dobe? Kenapa?" tanyaku.
Kulihat dia terkejut dengan pertanyaanku dan sedikit semburat merah muncul dipipinya.
"I-iya... aku sering memperhatikanmu,"
"Kenapa?"
"Aku selalu memperhatikanmu. Kau selalu saja duduk sendiri, kau selalu bertingkah keren dan aku benci melihatnya. Kau selalu hebat dalam melakukan segala hal, kau juga sangat tampan, digemari banyak gadis, dan kau selalu mendapatkan perhatian,"
"Hn"
"Berbeda denganku. Aku ini selalu bertindak bodoh dan tidak disukai para gadis. Aku melakukan hal-hal bodoh itu untuk mendapatkan perhatian mereka. Hahaha aku ini memang bodoh, sebenarnya aku menyadari cara pandang orang lain terhadapku. Tatapan itu... Kau tahu, aku sangat iri denganmu, aku ingin bisa sepertimu. Setiap hari aku terus berusaha sebaik mungkin walaupun hasilnya tak sebaikmu. Dan entah sejak kapan hal itu berubah, pikiranku berubah. Aku berpikir... aku jadi ingin diakui dan dianggap olehmu,"
Kemudian kami pun terdiam.
"Kalau kau tahu pandangan itu? kenapa semua orang memandangmu seperti itu?" tanyaku yang disambut keheningannya. Ia terdiam. Pandangan itu. lagi-lagi iris birunya menampakkan kesedihan. Perlahan ia pun mulai membuka suara,
"Aku... membunuh orang tuaku."
Tbc
Fiuh... cerita ini... wuaahh... kenapa aku gak bisa bikin fic yang bagus DX
Ini baru 1/3 nya... hehehe...
Apa cerita ini buruk? Gaje? Abal? Bagus#pplaakkk Aishh... kencang sekali mukulnya
Please, review^^
Terima kasih juga bagi yang sudah mau membaca ^0^
