Disclaimer : I do not own anything. Fans obsession, not for commercial. Anyhow, copyright always Masashi Kishimoto's
Warning : Alternative Universal, fem!Naru, possible!OOC, confusing-EYD, and other standard warnings
Enjoy, Please~!
.
.
.
Kegiatan sehari-hari?
Sama, kok! Naruto juga setiap hari dibangunkan oleh alarm, bangun langsung mandi dan gosok gigi. Pakai baju, sarapan, lalu pergi ke sekolah. Sampai di sekolah duduk manis, berusaha menelan bulat-bulat semua teori yang disampaikan guru—dengan hati terus menggerutu. Bel pulang terdengar, bagai nyanyian bidadari-bidadara khayangan yang selalu berhasil menaikkan mood, semangat, bahkan tenaga gadis itu, dalam hitungan kurang dari satu detik.
Ah...bel pulang sekolah. Siapa yang tidak mengagumi cicitan surga itu?
Kalau beruntung, Naruto akan sampai di rumah dengan selamat sentosa tanpa harus mengalami desak-desakkan di kereta. Buka sepatu asal lempar, masuk kamar langsung tepar. Tanpa omelan ibunya, mungkin ia akan terlelap dengan baju seragamnya.
Tiap malam tersangkut dengan canda tawa di meja makan, terkadang sampai tidak sadar piring sudah tak bersisa. Selesai makan pamit, bukan untuk selamanya. Hanya pamit ke kamar dan segera tidur. Itu pun kalau tidak ada tugas dari sekolah.
Semua itu terus dilakukannya, bagaikan lingkaran—dari satu titik kembali ke titik itu lagi.
Yeah, selebihnya seperti itu. Yang membedakan, kehadiran keluarga tercintanya membuat semua itu lebih berwarna.
Ibunya—iya, wanita berambut merah bernama Kushina itu, yang digosipkan merupakan titisan sang dewi karena rupa jelita-nya yang bahkan dibilang pantas sebagai seorang Kakak bagi Naruto. Wanita itu sama dengan ibu lainnya. Kalau di rumah, markas utamanya adalah dapur. Senyum wanita itu membuat Naruto merasa ialah anak paling beruntung di dunia. Setiap ia berangkat, kecupan pelan di pipi tak pernah ibunya lupakan. Tiap langkahnya selalu disertai bisikkan do'a sang ibunda, tambah lagi teguran gosok gigi-cuci muka-cuci kaki setiap ia hendak tidur, Naruto tidak tahu harus berkata apa. Tapi Naruto tahu, pro-kontra dunia takkan pernah reda.
Di balik senyum malaikat ibunya, tersembunyi tombol mode iblis.
Sekali saja Naruto sengaja-tidak-sengaja berbuat kesalahan kecil, amukan ibunya benar-benar membahana. Bahkan sang Ayah—yang ngakunya keren tiada tara, berani, dan pantang menyerah—saja berhasil dibuat bungkam oleh amukan Kushina. Apalagi wanita itu menekankan peraturan mutlak bagi dua anaknya. Peraturan #1 : Perkataan ibu adalah perintah absolut dan selalu benar. Peraturan #2 : Jika ibu salah, kembali ke peraturan #1. Jadi, setiap ibunya mengatakan sesuatu, Naruto harus tunduk.
Itupun kalau dirinya masih mau hidup.
Ayahnya—iya, itu lho, mantan model majalah Fashion ternama semasa muda, Namikaze Minato. Ciri-cirinya tinggal sandingkan dengan Naruto. Jangan salah tapi, rambut mereka memang sama-sama pirang, namun milik Minato dipotong jabrik. Naruto tak bisa membayangkan, jika rambut ayahnya jadi dikuncir dua sepertinya—itu terlalu memalukan. Dan...oh! Naruto mohon, jangan bayangkan ayahnya memiliki proporsi badan yang sama dengan Naruto. Mereka memang mirip, tapi tidak pada badan. Sekali lagi, Naruto tidak bisa membayangkan jika ayahnya berbadan wanita-beranjak-dewasa sepertinya, itu terlalu menggelikan. Senyum ayahnya—yang dengan sangat terpaksa Naruto akui—benar-benar manis. Tak jarang Naruto dapati, beragam foto meme(hell, ayahnya terlalu terkenal) mengubah porsi tubuh pria itu menjadi seorang wanita. Setidaknya Naruto bisa menghela nafas lega, ketika sang ayah sedang serius—atau sebut saja tebar pesona, senyumnya mampu membuat berjuta wanita tepar dengan hidung mimisan dan mulut berbusa.
Tapi...Dia hanya pria sederhana dengan segudang kemampuan.
Saat ayah orang lain heboh mencari tangga untuk naik membetulkan atap, ayah Naruto tinggal naik pohon tinggi halaman mereka, lalu menunggu Kak Kurama untuk melempar genteng. Naruto curiga, jangan-jangan ayahnya adalah Spider-Man yang sedang menyamar. Kepala beliau pernah terhantam genteng lemparan luar biasa dari Kak Kurama, tapi tidak merasakan sakit sedikitpun(jangan-jangan dia anak Hulk juga?). Naruto sempat mengira pula, ayahnya itu adalah pemeran utama film "King Kong"(ya, kera hitam raksasa itu, bukan wanitanya). Karena saat ia dan Kurama nekad main layangan di Pulau Liberty sampai menyangkut di puncak patungnya, ayah mereka dengan mudahnya memanjat dan menarik kembali layangan itu. Ini serius.
Ayah Naruto adalah dokter, anaknya dokter yang merupakan anaknya dokter yang ayahnya juga seorang dokter dengan kakek seorang dokter pula. Intinya, ayah datang dari keluarga dokter. Dia? Dokter? Tentu saja. Pria hangat nan penyayang—yang sering gagal liburan karena jadwal operasi mendadak—ini paling semangat menceritakan kejadian yang dialaminya selama di rumah sakit ketika Kurama dan Naruto memintanya. Jujur saja, membiarkan Kushina mengintrogasi kegiatan mereka di sekolah dan kampus bukanlah hal yang cukup menarik. Apalagi bagi biang onar macam Kurama, obrolan santai setelah makan tidak akan ia biarkan berisi tentang kegiatannya di kampus. Tapi tetap saja, lepas dari sang ibu, Kurama dan Naruto tidak terlalu bersyukur juga dengan pilihan mereka untuk mendengar Minato bercerita. Cerita panjangxlebarxtinggi=volumebalok itu akan merangkak pada beragam teori yang mengingatkan Naruto pada guru biologi di sekolahnya. Mending kalau Cuma membicarakan seputar diagnosa, virus, mal-fungsi organ, atau luka-luka yang penuh dengan bahasa latin. Ini kalau sudah menceritakan detail anatomi pembedahan, Naruto heran ibunya tidak mual sama sekali.
Satu rahasia. Ayahnya punya cara aneh untuk mengundi keputusan. Jika Kurama dan Naruto menginginkan sesuatu, Minato akan setuju jika dan hanya jika keduanya bisa mengalahkan ayah mereka dalam duel main PS. Mending kalau hanya bermain biasa, keberuntungan masih bisa menuntun mereka pada bangku kemenangan.
Sialnya, ayah mereka ternyata seorang hacker spektakuler. Konon kata ibu mereka, pria itu pernah dapat blackmail dari beragam perusahaan IT, karena sering mengumbar banyak kode-kode rahasia, terutama cheat games. Tahu 'kan bagaimana hasil dari duel mereka?
Ayah yang benar-benar hebat!
Terakhir...kakak. Kurama—ya, pemuda tanggung yang sudah terjebak dalam dunia penelitian sejak sekolah dasar, yang tersesat di jurusan Psikologi itu—, dialah kakak dari Naruto. Like father like son, otak Kurama ini sama tajamnya dengan otak Minato. Sebenarnya dia sangat memungkinkan untuk mengikuti kelas akselerasi. Entah kepalanya terbentur apa, setiap diajukan masuk kelas akselerasi, dia tak pernah mau mengisi soal dengan benar. Memanipulasi nilainya sendiri adalah hobinya—biar tidak menarik perhatian teman-teman, dia bilang.
Malang sekali nasib guru yang pernah berurusan dengan Kurama. Mereka akan sering menghadiri sidang dengan kepala sekolah, perihal mengapa nilai Akademik(berdasarkan tes ujian) Kurama bisa jeblok, sedangkan tes lisan bisa meraih skor A, pakai plus pula. Mereka pasti berdo'a agar bocah itu cepat lulus, karena sebanyak apapun Kurama membuat ulah, pihak sekolah tak ada yang berani mengusik ketentraman keluarga terpandang macam Namikaze-Uzumaki. Terang saja, dua keluarga itu tidak semenakjubkan keluarga Uchiha, yang bisa meruntuhkan satu anak perusahaan dan menyebabkan ribuan pekerja menjadi pengangguran dalam satu perintah, tapi keduanya memiliki nilai moral tinggi di mata negara. Sekali ternoda, bersiaplah menerima blackmail dari seluruh penduduk yang menghormati dua keluarga itu.
Kembali pada Kurama.
Bagi Naruto, Kurama adalah raja dari segala raja. Let's count... Raja sinting, raja gila, raja tega, raja onar, raja sadis, dan berbagai raja-raja lainnya. Dia adalah alarm ke-3 Naruto di pagi hari. Yang pertama, alarm ponselnya yang tidak pernah berhasil membangunkannya. Yang kedua, 'alarm' dari sang ibu. Hanya berupa ketukan dan panggilan lembut. Kushina memang tak pernah tega mengganggu tidur seseorang. Yang ketiga...ya kakaknya ini. Jika Kushina sudah menyerah untuk membuat Naruto bangun, wanita itu tinggal membentuk senyum iblis, Kurama akan bergerak tanpa isyarat lanjutan.
Kalau Kurama sedang normal, kakaknya itu akan menggendongnya ke kamar mandi, langsung menenggelamkan Naruto dalam bathub. Jika tidak, uhh Naruto tidak mau membayangkan ulah apa saja yang akan Kurama lakukan untuk membangunkannya. Terakhir kali Naruto dibangunkan Kurama, pemuda itu menali badan Naruto, lalu menggantungnya terbalik pada kusen jendela.
Sial sekali, Naruto begitu menyayanginya.
Kalau mereka sekeluarga liburan, tak pernah pada jadwal liburan. Entah memang takdir atau nasib, Minato selalu sibuk di RS keluarga mereka. Jika libur sekolah tiba, Naruto akan menghabiskan hari-harinya bersama Kurama atau Ibunya. Untuk suatu alasan yang tidak ia mengerti, dua orang itu susah muncul bersamaan ketika liburan. Kalau yang satu ada, yang satunya tidak. Naruto tak terlalu mempermasalahkannya bahkan jika mereka tidak ada sekalipun.
Karena jujur saja, peraturan rumah ketika liburan akan berganti secara otomatis. Dari hak dan kewajiban setiap anggota keluarga bisa diperhitungkan, berubah menjadi setiap hak dan kewajiban setiap anggota keluarga, harus ditaati oleh Naruto. Baik Kurama maupun Kushina, dua-duanya benar-benar melaksanakan peraturan itu dengan baik. Teramat baik, hingga Naruto mulai meragukan kedudukannya sebagai anak kedua di keluarga, menjadi pengganti Paman Iruka, supir mereka.
Menjadi pengganti paman Iruka bukan berarti Naruto menggantikan tugasnya menjadi supir. Tapi, menggantikan pria itu dari kedudukan mutlak terima perintah. Pria itu bebas pulang kampung ketika liburan tiba. Tidak seperti Naruto, yang harus rela diseret-seret oleh Ibu ataupun Kakaknya, mengikuti apapun yang mereka ingin lakukan.
Kalau Naruto beruntung bersama Kurama... Kakaknya itu pasti mengajaknya berjelajah, atau minimalnya hangout ke tempat-tempat rekreasi. Bisa pula mengunjungi berbagai festival yang banyak merujuk pada ilmu pengetahuan. Jika dia sedang sial, kakaknya itu akan menahannya di Lab pribadi Kurama, lalu menjadikannya kelinci percobaan. Naruto tak akan lupa, saat di mana kulitnya berubah biru semua gara-gara vaksin-gila-yang-kakaknya-ciptakan itu. Motif Kurama hanya satu : menjadikan Naruto sebagai model cosplay yang ingin ditunjukkannya di festival animanga tahunan. Demi miripnya Naruto dengan seonggok Karakter berkulit biru dengan gigi runcing macam hiu.
Lain lagi dengan liburan a la ibunya. Jika beruntung, Naruto akan diajak berkeliling dunia demi refisi naskah baru, atau terdampar pada pesta Meet&Greet, mengingat bagaimana terkenalnya sang ibu sebagai penulis internasional. Walau beberapa kali ia harus rela menggantikan sang ibu mengetik, tapi semua itu masih mending, jika dibandingkan dengan kesialannya. Jika ia tidak beruntung, sifat gila belanja ibunya akan kambuh. Dan pada akhirnya Naruto harus rela kaki dan badannya pegal karena diseret ke sana-ke mari oleh sang ibu. Jangan lupakan berbagai macam pakaian dari yang normal sampai kostum bajak laut sekarat harus ia coba satu per satu.
Bagus kalau semua itu dibeli. Lha ini?
Ugh... Naruto benar-benar benci belanja. Apalagi kalau ibunya sudah mencebloskannya ke dalam salon yang penuh dengan abang-abang melambai-tapi-garangnya-minta-ampun itu.
Yeah... Dengan semua itu, Naruto agak bersyukur kehidupan sekolah lamanya cukup untuk bisa dibilang normal. Teman-temannya—sejauh ini—tak ada yang bisa mengalahkan keabsurdan keluarga Naruto. Mereka menyenangkan, memang. Jadwal sekolah yang padat tidak mengganggu Naruto. Hanya jaraknya yang jauh saja, yang membuatnya terkadang ingin meneror pemerintah dan menempel bom di sepanjang gerbong kereta—yang biasa ia pakai untuk transportasi ke sekolah—saking kesalnya dengan jadwal meluncur yang membuatnya sampai di rumah hampir melewatkan makan malam. Sekedar informasi, Naruto takut gelap, terutama pada makhluk tidak jelas asal-usulnya yang kerap kali dibicarakan di media horror.
Singkat kata, takut hantu.
Banyaknya rumah tak bertuan di komplek tempat tinggal Naruto, tak membantu sama sekali.
Tunggu, apa Naruto baru saja menyebutnya 'sekolah lama'? Uh-oh... Hampir saja Naruto lupa ceritakan. Dia sudah dipindahkan oleh ibunya. "Terlalu jauh,"—itu alasan yang diungkapkan oleh Kushina ketika ia bertanya. Namun, lain di lidah lain di hati, kan? Sang ibu rupa-rupanya kecewa, ketika tahu Naruto kembali menyeret tim basket sekolahnya meraih kejuaraan, padahal ia sudah berulangkali diminta untuk keluar. Bukan, ibu Naruto tidak sekejam itu untuk menghalangi impian Naruto. Kecelakaan yang Naruto alami di masa kecil memang tidak membolehkannya melakukan olahraga yang membuat kakinya lelah.
Ayahnya? Tentu saja beliau pada awalnya membela Naruto. Dia berpendapat dengan jauhnya jarak Naruto ke sekolah, akan meningkatkan kesadaran dan kemandirian putrinya itu. Namun dengan satu surat teguran Naruto yang Kushina sodorkan, Minato seketika menyetujui keputusan Kushina. Tanpa duel PS, Minato mengetuk palu. Cukup membaca keterangan jarang hadirnya Naruto dalam kegiatan klub Biologi, Minato tak perlu berpikir dua kali untuk menendang Naruto keluar dari sekolah lamanya.
Sekolah baru memang dekat. Berjalan kaki 40 menit pun Naruto bisa sampai. Hanya satu, yang Naruto harapkan.
Semoga sekolahnya tidak membuat Naruto banyak melakukan facepalm.
.
.
.
"Yang Benar Saja"
Chic Proudly Present
"Perkenalkan, Namikaze Naruto. Mohon bantuannya!"
Hari pertama, Naruto berdiri di depan kelas dengan kaki kesemutan—sehabis menunggu di luar ruang rapat guru dua jam lalu. Gadis itu benar-benar dongkol, karena walikelas—yang sempat ia kira teroris karena masker hitam yang dipakai—nya itu meninggalkannya begitu saja, kembali ke ruang rapat. Meninggalkan dirinya yang dirajam beribu pertanyaan gila dari teman sekelas barunya.
Bagaimana bisa ia tidak mencap mereka gila, ketika yang mereka tanyakan sampai ke merk bra yang Naruto pakai?
Sialnya, gertakan yang berhasil membuatnya dicap galak oleh teman cowok di sekolah lamanya sama sekali tidak berpengaruh pada kelas XI IPA 3 ini. Ternyata benar apa kata Kurama. Minato dan Kushina bersekongkol memasukkannya pada kelas pertengahan.
"Sekedar info, Namikaze. Di kelas ini ada satu peraturan khusus yang harus kau tepati!" Satu yang paling tambun menggebrak meja dengan menggebu-gebu. Serpihan keripik kentang dari mulutnya bertebar ke mana-mana. Namun tak ada yang jijik—sudah terbiasa rupanya. Pemuda di belakangnya menepukkan tangan dua kali—sebuah intruksi yang berhasil mendiamkan seantero kelas. Naruto lihat, pandangan semua teman sekelas barunya itu tertuju pada satu titik di pojokkan kelas.
Seorang pemuda dengan kepala mengangguk-angguk. Mendengarkan lagu—dibuktikan dengan dua earphone yang menempel di daun telinganya. Kulitnya putih pucat, tanpa cacat macam porselen. Naruto agak il-feel, melihat gaya rambut tidak jelas dari pemuda itu. Merancung tak karuan, pertengahan antara pantat bebek dan ayam.
"Oi, Sasuke!" dengan satu teguran, pemuda itu menampakkan mata hitamnya yang kelam. Naruto gelagapan sendiri, ketika mata kelam penuh perhitungan itu menusuk langsung pada mata birunya. Begitu tajam, mengintimidasi.
"Ehem!" Berdeham, pemuda itu melepas menyimpan I-Pod dan earphone-nya. Ia bangkit dan berjalan mendekati Naruto. Langkahnya begitu penuh percaya diri—angkuh, lebih tepatnya. "Kau, anak baru?"
Naruto memicingkan matanya—menantang, ketika pemuda itu—Sasuke—berdiri tepat 0,5 meter di hadapannya. Beberapa siswa di kelas mulai bersiul, takjub dengan keberanian yang Naruto miliki.
"Perkataanku benar, karena aku selalu benar. Kalau aku salah, tetap aku selalu benar," Sasuke memulai dengan nada arogan. Naruto membatin, mulai curiga. Pemuda ini mengingatkannya pada sang ibu. "Kuperkenalkan, Namikaze Naruto, budak seluruh XI IPA 3 tanpa terkecuali,"sambungnya, sukses membuat Naruto melotot tidak percaya.
"Hoi...! Apa maksudmu?"Naruto melongo.
Sasuke hanya menyeringai, lalu berkata,"Tugas pertama budak baru : Jilat sepatuku sampai bersih mengkilap," Pemuda itu bersidekap angkuh, sukses membuat Naruto emosi mendadak.
Apa tadi katanya? Jilat sepatu? Sialan!
"Kenapa aku harus mengikuti perintahmu, teme?"Naruto mencengkram kerah Sasuke—memberontak. Gadis itu melirik tajam pada beberapa anak yang kembali bersiul takjub.
Sasuke melepaskan diri dari Naruto, lalu mendorong gadis itu sampai jatuh terduduk. Di wajahnya kini terpasang seringai paling menyebalkan yang pernah Naruto lihat.
"Kenapa kau harus mengikuti perintahku? Hmm..."Sasuke menopang dagu-nya, pura-pura berpikir. Lalu ia menjentikkan jari dan tersenyum main-main. "...Karena kau j*ng*s-ku?"sambung pemuda itu dengan ringannya—menginjak harga diri Naruto.
'Bagus sekali!'Naruto membatin nelangsa.
Hari pertama, dan ia sudah punya kompetitor.
.
.
.
Hari kedua, Naruto mendapat informasi jackpot.
Orang yang pertama kali mendeklarasikan perang pada Namikaze Naruto alias Sasuke sang kompetitor, adalah provokator sekolah mereka. Dia memang tidak banyak bicara pada sosok lain di luar kelasnya. Namun gerak-geriknya bermakna emas. Ketika kau disukai olehnya, maka satu sekolah tak akan mengusikmu—mereka berusaha menyukaimu juga. Tapi ketika kau membencinya, maka satu sekolah akan membencimu.
Hanya dengan satu bogem mentah yang melayang di pipi kanan pemuda angkuh itu pada hari pertamanya di sekolah, loker Naruto yang masih harum-semerbak-seperti alumunium pada umumnya saat kemarin... Hari ini dipenuhi, oleh tumpukkan kertas berwarna merah, dengan berbagai jenis hujatan yang tertulis di atasnya. Jangan lupakan bau semerbak tong sampah yang ikut tercium.
Selain merupakan provokator, ternyata si Sasuke ini adalah Uchiha Sasuke yang itu.
Iya, dia. Pewaris saham Uchiha Group yang kekayaannya tak akan habis 100 turunan itu, mengingat kakaknya tidak tertarik dengan dunia bisnis dan lebih memilih masuk jurusan Otomotif.
Iya, Uchiha itu—yang bisa menjatuhkan 100 perusahaan kecil dalam satu jentikkan jari itu. Uchiha yang bisa membuat seluruh dunia bertekuk lutut padanya. Yang hartanya tak akan cukup disimpan pada satu bank, sehingga mereka mendirikan bank milik sendiri. Berlebihan, memang. Tapi mau bagaimana lagi? Pandangan dunia pada Uchiha memang tak perlu diragukan lagi. Kalau kata Naruto "absolut" adalah Ibunya, maka menurut dunia(terutama dunia eksekutif), "absolut" adalah Uchiha.
Naruto, berurusan dengan seorang Uchiha?
Sambil menyelam ditenggelamkan.
Hari kedua, dan Naruto sudah ingin keluar dari sekolah?
Benar-benar jackpot.
.
.
.
Naruto tidak bercanda soal ia ingin keluar sekolah. Sepulang sekolah di hari kedua yang benar-benar menakjubkan itu, Naruto meminta Kurama menelpon ke sekolah dan mengabarkan rencana kepindahannya. Pihak sekolah sempat bingung, namun tidak berani berkomplain ketika mengingat Namikaze yang sedang mereka hadapi.
Alhasil di hari ketiga, Naruto berangkat ke sekolah membawa map penuh surat kepindahan. Berterimakasihlah pada kemampuan Kurama memanipulasi sesuatu, sehingga seluruh surat itu seolah dibuat oleh kedua orangtuanya.
Begitu masuk ke ruang kepala sekolah, Naruto benar-benar membeku.
"Hai, Namikaze?"Sasuke duduk di sana, di kursi kepala sekolah, dengan kedua kaki yang diangkat ke atas meja. Di sebelahnya Pak Kepala hanya tersenyum masam—menyampaikan permintaan maaf yang tersembunyi untuk Naruto. "Izuki-sensei bilang kau mau keluar, Namikaze? Kenapa?" Sasuke bertanya dengan intonasi yang terdengar penasaran. Berbanding terbalik dengan seringai di wajahnya itu.
Harakawa Izuki—kepala sekolah, menunjuk-nunjuk ke belakang. Tepat, pada sebuah spanduk besar yang menempel pada tembok, yang baru Naruto sadari keberadaannya. Map di tangan Naruto jatuh, bersamaan dengan melebarnya safir biru itu.
"Namikaze Naruto, XI IPA 3, sandera Uchiha. Jika ingin membebaskannya, tebus dengan surat Ijazah SMU Izanami.
Tertanda,
Uchiha Sasuke-sama"—begitulah spanduk itu berbicara.
'Absolutely great!'Naruto mewek dalam batinnya.
Hari ketiga sekolah, Naruto baru sadar SMU Izanami adalah milik Uchiha.
Sesuatu yang absolut seperti ibunya tak akan pernah bisa ia gertak secara telak.
Dan di hari ketiga pula ia menulis sebesar mungkin di atas buku catatannya.
Uchiha Sasuke = Absolut
.
.
.
Hari keempat Sasuke datang menemuinya, dengan formulir ekskul. Dia bilang dia KM, makanya ia harus memantau temannya agar tetap mengikuti prosedur sekolah dengan sebaik mungkin. Wajah serius Sasuke saat menjelaskan bagian-bagian ekskul yang tersedia membuat Naruto mafhum. Semenyebalkan apapun pemuda itu, dia tetap punya tanggung jawab.
Bukan sosok anak kaya manja-sombong harta yang selalu menghantui kepalanya ketika ia kesal 3 hari berturut-turut.
"Kau bagus di basket. Mau bergabung dengan pasukan kami?" Sasuke menawarkan. Tidak ada tatapan angkuh-suka-mempermainkan di mata hitamnya itu. Yang Naruto lihat hanyalah sesosok KM idaman. Benar-benar keren.
"Aku ragu kakiku masih kuat. Bulan kemarin rasa sakitnya menjadi,"Naruto meringis kecil. Enggan membayangkan amukan ibunya jika tahu ia nekat masuk klub basket lagi. "Ada saran lain?"
"Biologi?" Sasuke kembali mengingat data pindah Naruto.
Naruto mendelik, tidak setuju dengan saran yang Sasuke berikan. Sungguh, ia sudah kenyang diberi asupan biologi setiap makan malam bersama Ayahnya. Jangan tambah lagi.
Menghela nafas, Sasuke menarik kursinya ke sebelah Naruto. Pemuda itu langsung bersidekap dan memejamkan mata, berpikir. Naruto menatap datar pada kertas formulir di hadapannya, bahkan ketika Sasuke modus menyender di bahunya.
"Adakah ekskul yang minim anggota? Aku tak terlalu suka keramaian," Naruto menggerutu. Tidak, itu bohong. Naruto ingin masuk ekskul minim anggota bukan karena ia tak suka keramaian. Hanya modus, siapa tahu ketika ia jarang kumpul nantinya, ia bisa menggunakan perihal minim anggota sebagai bahan blackmail.
"Kau harus coba klub Jurnalis, kalau begitu. Anggotanya hanya ada 6 orang,"Sasuke kembali memberi usulan.
Naruto mengisi formulir dengan semangat. Boleh dicoba juga, usulan Sasuke. Selain anggotanya benar-benar sedikit, ibunya tak akan sulit Naruto tangani setelah ini. Ibunya seorang penulis, dan memiliki ambisi yang besar untuk mendorong Naruto menjadi penerusnya. Jika tahu ia bergabung dengan klub Jurnalis, ibunya pasti akan sangat senang.
Ibu senang, Ayah tak perlu dipikirkan.
Hari keempat, Naruto mengisi kolom pilihan dengan 'Klub Jurnalis'.
Di hari keempat pula ia sadar, Sasuke tak seburuk yang ia kira.
Ia terlalu cepat merasa senang tanpa menyadari, Sasuke yang masih menyender padanya itu sedang memasang seringai mencurigakan.
.
.
.
Hari kelima, pertama kalinya Naruto masuk ke ruang broadcast sepulang sekolah. Sasuke bilang padanya—sebelum berpisah—tadi, ruang broadcast ini digunakan sebagai markas bagi anggota klub. Dan yeah, di sana sudah ada lima orang penghuni klub Jurnalis.
Karin, seorang gadis berkacamata dengan iris unik berwarna kemerahan. Gadis itu tak habis-habisnya beradu mulut dengan pemuda berambut putih dengan gigi bergerigi. Gadis itu punya tugas sebagai direktor IT. Penghuni utama website sekolah yang terkenal bahkan hingga murid dari sekolah lain.
Suigetsu, yang terus bertengkar dengan Karin. Pemuda itu benar-benar usil, tampak sangat puas membuat Karin marah. Dia memperkenalkan diri pada Naruto sebagai direktor mading. Pemuda itu yang bagian mengatur tata letak mading. Pekerjaannya apik, sampai-sampai mading terus digerubungi para murid ketika sebelum dan sesudah waktu KBM.
Juugo, pemuda berambut oranye spike yang tak banyak bicara. Dia hanya diam memperhatikan Karin dan Suigetsu. Siapa tahu mereka mulai saling menjambak, katanya. Juugo bertindak sebagai pelerai. Yang mengejutkan bagi Naruto, pemuda ini direktor broadcast. Walau baru lima hari mendengar BBT a.k.a Broadcast Break-Time tiap istirahat, Naruto ingat jelas bagaimana banyak bicara-nya si broadcaster. Naruto tidak tahu, ternyata Juugo pendiam pada jam-jam biasa.
Shikamaru, pemuda berambut kuncir nanas yang terus menguap tanpa henti. Terlihat benar-benar pemalas. Mengejutkan sekali jika ia adalah pemegang peringkat 2 se-sekolah. Dia otak utama dari klub Jurnalis. Kerjaannya hanya diam-menguap-tidur. Tapi ketika ditagih oleh ketua, inovasi baru darinya benar-benar menakjubkan. Desas-desusnya, ia bercita-cita menjadi seorang EO.
Sakura, gadis berambut nyentrik yang menemani Naruto mengobrol. Orangnya asyik, terbuka. Ratu gossip nomor dua di Izanami, sehingga ia dipilih menjadi direktor majalah sekolah. Informan terpercayanya untuk memperkaya I-magazine adalah ratu gossip nomor satu, Yamanaka Ino dari kelas Bahasa. Bercita-cita jadi dokter, bahkan mengidolakan ayah Naruto.
Ugh... Andai saja Sakura tahu, Minato tidak sekeren yang dibayangkan gadis itu...
"Ngomong-ngomong, mana ketua?"Naruto bertanya. Kelima anggota klub Jurnalis itu menatap Naruto bingung.
"Bukannya kalian sekelas?" tanya Shikamaru, diekori uapan lebar khasnya.
"Memang, siapa ketuanya?"Naruto kembali bertanya.
Jawaban yang Naruto dapatkan, adalah terbukanya ruang broadcast dan masuknya Uchiha Sasuke di tengah-tengah lingkaran mereka.
"Tumben kau telat, ketua?" Suigetsu menyindir Sasuke.
Cukup, untuk membuat Naruto cengo dan Sasuke menyeringai lebar.
Hari kelima, Naruto sadar Sasuke tidak benar-benar melepasnya.
Dan ia, masih menyebalkan.
.
.
.
Hari keenam, Naruto berdiri di atas podium upacara. Tangannya terangkat—hormat pada matahari. Badannya tidak lagi dibalut oleh seragam, melainkan diganti dengan baju mencolok warna-warni yang terlihat norak. Dua kunciran rambutnya diganti jadi dua kepangangan ala gadis lugu di desa. Wajahnya penuh dengan riasan—pakai spidol warna-warni. Tak jauh darinya, berdirilah sosok Orochimaru—guru biologi yang killer-nya gak ketulungan, sembari berkacak pinggang.
"Bagus! Dua jam lagi kau berdiri di sana, Namikaze!"
Naruto mengumpat dalam hati, ketika tawa mengejek terdengar di sekitar lapangan.
Beginilah ia, dihukum akibat ulahnya mengedit foto Orochimaru dengan sedemikian rupa, lalu memajangnya di tiap sudut mading dengan artikel yang mengungkap bahwa beliau mangkal di taman lawang.
Tadi pagi,
Satu sekolah menganga, satu kepala sekolah menepuk jidat, satu Naruto berlari dikejar satu Orochimaru. Dan yang terakhir...
Satu Uchiha Sasuke, tertawa laknat di sepanjang koridor.
Hari keenam, Naruto menyelesaikan ujian masuk klub dari ketua gila macam Uchiha Sasuke.
Hari keenam, Naruto dihukum selama lima jam hormat-matahari nonstop, ditertawakan satu sekolah.
Hari keenam, Naruto menarik perkataannya. Sasuke bukan hanya 'masih' menyebalkan.
Dia lebih menyebalkan dari yang Naruto kira.
.
.
.
Hari ketujuh, ulah Naruto sampai di telinga orangtuanya.
Naruto bersumpah sudah menyogok Izuki-sensei dan rombongan guru konseling. Bahkan ia tak segan menantang Orochimaru—berbuah hukuman lanjutan menyiapkan slide presentasi kompetensi umum Biologi. Namun, orangtuanya tetap mendapat berita tentang ulahnya.
Satu e-mail yang nyasar ke ponselnya, membuat Naruto mengutuk Uchiha sembilan ratus sembilan puluh sembilan koma sembilan sembilan turunan, kalau mereka berumur sepanjang itu.
From : Unknown
Subject : Congrats!
Apa orangtuamu memberikan selamat juga?
Sincerely, yang terganteng dan paling ganteng,
Uchiha Sasuke
'Hebat, Uchiha Sasuke! Kau benar-benar hebat!'jerit batin Naruto.
"Wow... Apa semua ini ada hubungannya dengan Uchiha? Kau benar-benar berani, adik!" Kurama tidak membantu sama sekali. Pemuda itu tertawa kesetanan, ketika Naruto terpojok di kursi perpustakaan, dengan dua orangtuanya yang berkacak pinggang.
"Kurama, kuingatkan agar kau tidak membela adikmu!" Kushina menegaskan. Kurama bersiul dan bertepuk tangan. Pemuda itu menepuk kepala Naruto dengan lembut—sok perhatian.
"Tenang, Bu! Kau bebas memarahinya sesuka hatimu!" deklarasi Kurama, benar-benar raja tega.
Naruto tak diberi kesempatan untuk menghajar kakaknya, saat sang ibu menggebrak meja—memanas-manasi atmosfir. "Lihat, anata! Apa yang putrimu lakukan dengan guru biologinya!" ucap wanita itu pada pria di sebelahnya.
Naruto mewek dalam hati. Dalam posisi seperti ini, biasanya ayahnya yang Naruto andalkan sebagai kartu joker penyelamat. Namun sayang sekali, ayahnya sangat sensitif jika skandalnya berhubungan dengan biologi. Terlihat, dari tatapan tajam pria itu yang Naruto dapatkan.
"Kenapa kau melakukan itu pada gurumu?"suara Minato terdengar benar-benar berat, penuh penekanan.
Berbeda dengan Kurama yang sudah biasa berulah dengan guru sejak TK, Kushina dan Minato belum pernah mendengar ulah Naruto pada gurunya. Ini benar-benar mengejutkan untuk mereka!
"T-tidak sengaja, Yah..."Naruto menciut.
"Tidak sengaja?" Kushina membeo. Wanita jelita itu memasang senyum andalannya, sukses membuat hidung Naruto kembang-kempis. "Tidak mungkin di setiap sudut mading seperti itu,"
Aku masih mau hidup, tuhan!—mohon Naruto dalam hati.
"Apa yang kau lakukan? Apa gurumu membuatmu kesal?" Minato bertanya. Dia tidak melotot, tapi masih terlihat marah.
"T-tidak!"
"Lalu kenapa kau melakukannya?"
Naruto mewek, mulai menjelaskan kronologis kejadian.
Kurama, di belakang Naruto, tersenyum miring. Ia menyimpan alamat e-mail Sasuke di ponselnya, lalu berjalan keluar sambil bersiul.
Hari ketujuh, Naruto tertangkap basah.
Sudah sial kena semprot orangtuanya, ia terancam dikhianati Kurama yang mulai mengetik e-mail untuk Sasuke.
To : Uchiha Sasuke
Subject : Wanna join?
Kurasa kita punya satu ambisi yang sama, Uchiha. Bagaimana kalau kita rawat rubah ini bersama?
All Proud to myself,
Namikaze Kurama
Hari ketujuh, Naruto terancam dikepung dua raja tega.
.
.
.
Hari kedelapan, Kurama bolos kuliah dan menyelusup ke kelas Naruto. Lagi-lagi karena nama keluarga, tak ada guru yang berani melarang pemuda itu masuk. Apalagi ketika Kurama mengambil alih tugas guru—yang kebetulan mengajar mata pelajaran Tata Krama.
Tidak heran mengapa kelas benar-benar berisik. Yang mengajar saja sama gilanya dengan kelas IPA 3.
Ketika bel istirahat berkumandang, Naruto langsung bangkit dari bangku dan menarik kakaknya keluar kelas.
"Apa yang kau lakukan di sekolahku? Aku tak perlu pantauanmu!" Naruto mendesis.
Kurama, mengangkat sebelah alis matanya. "Siapa yang mau bertemu denganmu?"ucap pemuda itu, tertawa laknat. "Aku punya janji dengan Uchiha Sasuke di ruang broadcast, Bye~ adik!" setelah itu, Kurama meninggalkan Naruto yang mati gaya di luar kelas.
.
.
.
Jam terakhir pelajaran, Sasuke belum juga kembali. Naruto benar-benar curiga dengan apa yang dilakukan Kurama dan Sasuke. Berdalih ke toilet, Naruto memacu langkah ke ruang broadcast.
Begitu masuk ke dalam ruangan itu, hanya Sasuke yang ada di sana. Naruto bersyukur, setidaknya Kurama tidak akan berbuat onar.
Namun belum juga selangkah berbalik keluar, Sasuke menariknya masuk, langsung mengunci ruang broadcast. Pemuda itu mendudukkan Naruto di kursi yang biasa diduduki Juugo.
Naruto hanya menganga, ketika Uchiha Sasuke menyalakan speaker, lalu berucap tanpa ragu.
"Hey yo guys, Uchiha Sasuke di sini. Aku mau bertanya pada gadis jelita di depanku, nih! Namanya Namikaze Naruto, iya, dia anak baru kelas XI IPA 3 sekaligus anggota klub Jurnalis yang baru."
"O-oi, Uchiha...?"
"Ne, Namikaze Naruto. Wanna be my girlfriend?"
Hari kedelapan, Naruto tidak mengerti jalan pikiran Uchiha Sasuke.
Teori absolut seorang Uchiha Sasuke, membuat Naruto meneguk ludahnya gugup.
Dia benar-benar dalam bahaya.
.
.
.
From : Jangan Dijawab
Subject : Babe~
Hai, sayang? Bagaimana lari maraton-mu? Semoga tips diet dari Kurama ini berhasil, ya!
Hari kesembilan, Naruto ingin sekali melempar ponselnya sampai hancur berkeping-keping. Gadis itu terus memacu langkahnya, menghindari segerombol fans Uchiha Sasuke yang sedang mengamuk, mengacungkan berbagai jenis garpu milik Ibu Kantin.
Naruto tersenyum kering. Ia senang Kurama menemukan soulmate yang bisa ia ajak berbagi kegilaan.
Ya, Naruto akan senang, jika saja orang itu bukan Uchiha Sasuke.
From : Kakak
Subject : Congrats!
Kau mendapat persetujuanku, adik. Aku suka calon iparku! Dia tampan, walau masih tampanan kakakmu ini. Dia pintar, walau masih pintaran kakakmu ini.
Dia cocok denganmu, adik!
Apalagi dia pewaris Uchiha Group. Dia bisa memberiku modal untuk menciptakan berbagai penemuan hebat! Khukhu~
I'm happy for you
'Sasuke cocok denganku? Uchiha gila sepertinya?'Naruto membatin stress.
Yang benar saja!
To : Kakak
Subject : re:Congrats!
GO TO HELL!
.
.
.
Hari kesembilan, Naruto mulai meragukan kewarasannya di masa depan.
.
.
.
End?
