.

Dalam diri Ciel, Lizzy menemukan impian dan kebebasan. Sementara pada Lizzy, Ciel menemukan muara bagi pencariannya.

.

Our Ciel: 24 y.o

Elizabeth: 21 y.o

.

Modern AU - Traveling AU - Romance

.

(mode surat-menyurat)

Disclaimer: Kuroshitsuji milik Yana Toboso. Saya hanya meminjam karakter, dan tidak beroleh keuntungan materi dari penulisan fanfiksi ini.

.


Dear, Ciel ... Semoga perjalananmu lancar, dan kau baik-baik saja.

Aku membayangkan suratku dibaca dalam ruangan kafe yang diterangi sinar lembut matahari, dekat jendela kaca menghadap jalan raya. Aku ingin tahu jenis kopi yang sedang kauminum. Atau bagaimana rasa croissant yang tersaji ... Aku jadi teringat kala kita menikmati santap sore di taman belakang rumah. Sepertinya saat-saat menyenangkan seperti itu tidak akan kembali lagi.

Akan tetapi, Ciel, kita punya kata-kata sebagai perantara.

Hampir genap satu bulan semenjak kau meninggalkan Midford-House. Namun, rasanya kepergianmu sudah berbulan-bulan lamanya.

Aku melanjutkan hari-hariku sebagaimana biasa. Bersekolah dan mengajar di kelas minggu, bersama Suster Sullivan. Taman bacaan kami berkembang. Semakin banyak anak-anak yang tertarik membaca. Ini semua berkat dirimu, Ciel! Bantuanmu sangat berharga.

Ayah kembali sibuk mengurus dokumen di kantor. Beliau membicarakan perusahaan konstruksi baru yang akan masuk desa dalam waktu dekat. Ada rencana pembangunan terowongan kereta─pertama─yang akan menghubungkan desa kami dengan sekitar.

Kau tahu? Penduduk sangat antusias menyambut pembangunan. Tidak buruk seperti yang dikira. Keputusan Ayah tepat. Ratusan tahun setelah desa kami mengisolasi diri dari dunia luar. Kami harus lebih giat mengejar ketertinggalan dengan desa-desa tetangga. Kupikir, setiap sisi Pegunungan ini layak kita lestarikan bersama. Tidak ada yang berhak memonopoli, entah itu penduduk desa, atau yang lain, iya kan?

Ciel, ingat pertemuan pertama kita?

Dua belas desember. Aku dan Paula pergi ke pasar untuk belanja. Saat itu tergoda untuk berbelok menuju menara jam. Biasanya banyak merpati hinggap di pelataran alun-alun.

Aku senang mengkhayal. Sembari menikmati bunyi ketukan langkah sepatu di atas jalanan berbatu, khayalanku pagi itu berwujud seorang pangeran─sebut aku masih kuno dan terbelakang.

Lalu aku menemukanmu, duduk di bawah menara, sedang menggambar dalam buku sketsa. Terlihat menarik dengan jaket polo biru dan celana pantalon hitam. Tidak masalah walaupun satu matamu tertutup. Angin menyibak rambutmu yang biru. Kau seperti malaikat.

Lama aku mengamati dari tepi jalan itu, pura-pura sibuk memberi makan merpati, padahal perhatianku tertuju hanya padamu.

Kau mengalihkan pandangan dari buku, menyadari kehadiranku. Aku terpana melihatmu. Biru matamu tampak berkilau, seindah langit malam penuh taburan bintang.

Aku bertindak impulsif. Berharap menemukan hal menarik dengan cara mendekatimu.

Basa-basi pertama kita singkat, tetapi itu adalah momen yang sangat berkesan.

Kau berbicara tentang dunia luar, dunia yang hanya hidup dalam imajinasiku. Dan cerita yang terlipat dalam buku sketsamu, lebih banyak dari jumlah kunjunganmu ke berbagai kota dan desa.

Kau memperlihatkan isi buku gambarmu. Digambar dengan bolpoin tebal dan dilengkapi pewarnaan yang sempurna adalah rekam jejak petualanganmu. Luar biasa!

Aku takjub melihat gambar Pegunungan Himalaya, dengan tebing-tebing bersalju yang tampak nyata─lebih besar dan tinggi dari yang di sini. Kau menaruh jiwamu dalam danau-danau biru nan luas. Gambar Istana Potala di Dalai Lama itu seperti di negeri awan! Namun, favoritku adalah gambar Benteng Kremlin dengan menara kubah bawang-nya yang indah. Aku ingin ke sana! Ketika kau menunjukkan gambar Kastil Burung Layang-Layang di tepi Laut Hitam, anganku ikut melayang menuju negeri seberang.

Aku mencermati penampilanmu dari ujung kaki hingga kepala.

Sepatumu hitam kusam. Ada goresan dan tambalan di sana-sini, tetapi itu keistimewaannya. Dalam hati, aku bertanya-tanya tanah mana saja yang (beruntung) menyapa sepatu itu. Tiba-tiba kau menjawab─seolah membaca isi pikiranku─bahwa Blackie (begitu kausebut sepatumu) adalah kawan setia. Blackie menemani pengembaraanmu melewati batas-batas bangsa dan negara.

Masih banyak cerita yang ingin kudengar darimu, seandainya Paula tidak datang dengan wajah khawatir dan tergopoh-gopoh.

Berat rasanya meninggalkanmu. Agak ganjil, sebab ini pertemuan pertama kita. Di atas mobil pick up, aku mengintip melalui jendela. Kau tersenyum, melambaikan tangan. Melihatmu duduk sendirian di bawah menara jam itu, sekali lagi. Ada yang terasa salah.

Bisakah kita bertemu kembali? Mengapa kau tampak kesepian─ musafir tanpa teman dan keluarga? Sementara aku putri kepala desa, dikelilingi kasih sayang orang tua, saudara dan pembantu. Ternyata ada lebih banyak hal menyenangkan yang patut disyukuri ketimbang mengeluhkan masalah sepele.

Akan tetapi, Ciel, harapan itu ada jika kau mau berharap. Itu pertemuan pembuka, bagi puluhan bahkan ratusan perjumpaan kita selanjutnya. Kisah kita baru akan dimulai di jalan ini.

Maaf, Ciel. Lonceng jam makan malam sudah berbunyi. Akan kulanjut menulis surat nanti.

Sampai ketemu di dunia kata selanjutnya, Ciel!

salam hangat

Elizabeth Midford

#


#

A/N: Multichap yang (secara serius) menjadi garapan pertama saya. Semoga saja berhasil diselesaikan, dan dukungan pembaca akan sangat berarti :") Semula draft bagi tulisan ini sudah mencapai separuh jalan, namun karena satu dan lain hal pengerjaannya terhenti, dan yang awalnya berniat diunggah sebagai hadiah ulang tahun Ciel, pun jadi gagal.

Oh ya, fik ini terdiri dari banyak sudut pandang. Sebagian berupa surat-menyurat antara Ciel dan Lizzy (font italic), dan sebagian bab berisi kisah pertemuan dan apa yang terjadi di antara mereka.

Terima kasih!