Summary: Hati-hati dengan apa yang kau minta… (Be careful of what you're wishing for…)

Warning: AU.

Disclaimer (for this and upcoming chapters): I do not own.

WISH

.

.

'Dan mereka hidup bahagia sela'

Tok-tok-tok.

Sebentuk mata safir mengerling sekilas ke pintu oak besar yang melengkapi ambang ruangan tersebut. Jemari ramping tertahan di udara, diikuti desahan pelan. "Ya, aku turun sekarang," katanya akhirnya. Ia menatap monitor komputernya sekali lagi, dan mendesah lagi, sebelum menekan tombol backspace berturut-turut.

"Sudah kuduga, akhir bahagia tidak cocok untuk mereka."

Ia bangkit dari kursinya dan memutar gagang pintu keemasan, keluar dari ruang kerja tersebut.

XXX

PTARR!

"Selamat ulang tahun, Cieeeeel~!"

"Selamat ulang tahun, Bocchan!"

Ruang makan itu berubah drastis seakan disulap, didekorasi pita-pita dan balon dan kertas-kertas kecil dari petasan pesta yang tadi meledak. Sebuah kue tiga tingkat bertengger manis di tengah meja makan panjang. Ciel mengerjapkan matanya, sekali, dua kali, lalu senyum perlahan terbentuk di bibirnya. Orang-orang yang hadir yang sudah tersenyum lebar sejak awal, tersenyum makin lebar melihat pemandangan langka ini.

"Terimakasih semuanya," ucapnya, membuat tamu pesta ulang tahunnya kembali bertepuk tangan riuh. Ciel menatap wajah-wajah yang hadir. Hanya ada para pelayannya dan Lizzie, sepupunya. Paling tidak mereka menghormati keinginannya untuk tidak membesar-besarkan hari ulang tahunnya. Akan lebih baik kalau mereka tidak membuat pesta sama sekali, rutuknya dalam hati. Mungkin aku harus memotong gaji mereka untuk semua keributan tak perlu ini. Tetapi di luar ia tetap tersenyum. Hanya untuk hari ini saja.

"Ayo tiup lilinnya dan buat permintaan Ciel!" cetus Lizzie nyaring dari seberang ruangan. Ciel menahan diri dari memutar bola matanya, dan memasrahkan diri untuk bersabar melewati kegiatan ini sampai akhir. Ia mendekatkan wajahnya ke kue ulang tahun yang telah dihiasi lilin menyala lalu meniupnya sambil menutup mata. Tepuk tangan dan jeritan senang terdengar membahana di ruangan tersebut, mereka berpikir Ciel sedang membuat permintaan dalam hati.

Kalau saja mereka tahu, Ciel sebenarnya sedang menggerutu. Bodoh sekali, membuat permintaan dalam hati sambil tiup lilin, seakan itu bisa membuatnya jadi kenyataan. Aku tidak menginginkan apa-apa, aku sudah punya semuanya. Yah, kalau aku punya keinginan, andai saja ada orang yang bisa berdebat dan bertukar pikiran denganku. Tapi melihat bagaimana intelektual orang-orang kebanyakan saat-saat ini, dan imajinasi mereka yang minim, itu seperti minta bintang jatuh tepat di air mancur depan mansion ini. Mustahil. Hal yang mungkin bisa kuharapkan terjadi adalah mereka tidak menggangguku selama seminggu setelah ini. Yah, kurasa itu sudah cukup.

Ciel membuka matanya setelah tepuk tangan terakhir mereda. Wajah-wajah tersenyum kembali ke lapang pandangnya. Ia ingin memerintahkan mereka untuk berhenti tersenyum, tapi mulutnya tak mau bergerak. Hari ini memang bukan harinya, ironis sekali. Membuat orang lain senang ternyata membutuhkan banyak pengorbanan dari pihaknya.

"Ciel, Cieeel, saatnya buka hadiah!" Lizzie kembali menyahut, ditimpali anggukan para pelayannya di sana sini, topi jerami Finnian bahkan lepas dari belakang kepalanya saking bersemangatnya ia mengangguk. Jadi Lizzie yang meyakinkan semua orang untuk membuat pesta. Harusnya aku sudah bisa menebak. Mungkin aku tak perlu memotong gaji mereka.

"Buka punyaku dulu!" Entah bagaimana Lizzie sudah ada di depannya padahal sedetik yang lalu dia masih ada di sisi lain ruangan. Ciel menerima kotak pipih berhias banyak pita dari tangan Lizzie. Ciel sebenarnya sudah bisa menebak apa isinya, tapi ia pura-pura tertarik dan membuka kertas pembungkus kado itu dengan antusias. "Bagaimana Ciel, kau suka? Aku sudah memilihkan baju-baju paling imut untukmuu, kau pasti akan terlihat seperti bangsawan dengan setelan biru itu, kalau yang hijau akan lebih bagus untuk ke—"

"Terimakasih Elizabeth," gumam Ciel, membiarkan saja sepupunya terus berceloteh riang mendeskripsikan hadiahnya dan poin-poin keimutan tiap setelan meskipun tak ada yang mendengarkan. Matanya bergerak ke satu kotak pipih lebar yang dipegang Meyrin. Ah, jadi mereka juga mempersiapkan hadiah. Sungguh tidak perlu… "I-ini Bocchan!" Meyrin berkata gugup. Ciel mengambil kotak itu dengan hati-hati, sementara otaknya mencoba menebak apa kira-kira isinya. Pigura? Album foto?

Suara kertas kado dirobek kembali terdengar selama beberapa detik, lalu serpihannya jatuh ke lantai. Yang tersisa di tangannya adalah sebuah buku bersampul kulit yang mulus. Namun sepertinya sudah tua melihat kertasnya yang tebal dan seperti perkamen. Sepertinya tidak baru, ujung-ujung kertasnya agak menguning. Tapi kondisinya sangat rapi dan terawat. Ciel menaikkan satu alis ke arah Meyrin. Yang dipandangi bersemu merah, "Umm, umm… Kami membeli itu di toko barang antik yang kami temukan di pusat perbelanjaan di London. Harganya lumayan mahal tapi karena kami berempat patungan—"

"Ahaha, bagaimana Bocchan, bagus kan? Kau bisa menulis macam-macam di buku itu, misalnya jadwal harian, atau menggambar-gambar, ahahaha…" sela Bardroy yang membungkam mulut Meyrin sehingga ucapannya tadi terpotong.

Finni menimpali, "Iya betul Bocchan, kalau tiba-tiba ingin menulis malam-malam jadinya tidak perlu ke ruang kerja. Kalau Bocchan sering keluar kamar malam-malam nanti bisa sakit!"

Ciel mengangguk pelan. Sepertinya sudah saatnya aku memberi mereka kenaikan gaji…

"Saatnya potong kue, Cieeell~!"

Nah, ini baru saat yang aku bisa tolerir. Ciel meletakkan buku barunya hati hati di atas lemari hias dan mengambil pisau untuk memotong kue ulang tahun yang akan dihabiskannya.

Tbc…

A/N. Jadi saya mau coba menulis lagi setelah bertahun-tahun lamanya :P.