HATSUKOI

(FIRST LOVE)

.

JAEYONG COUPLE

A ROMANCE STORY

.

.

.

E

N

J

O

Y

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Oi! Jung Yoon Oh!"

Yang dipanggil sontak terkejut. Ia mengelus dadanya pelan.

"Sial. Bisa biasa saja tidak? Tidak perlu sampai teriak seperti itu, bodoh."

Pria tersebut—Doyoung menatapnya datar. "Hah. Dari tadi juga aku sudah biasa saja memanggilmu, Jung! Kau saja yang seperti orang tuli tidak mendengarku jadi aku terpaksa bersikap tidak-biasa-saja."

Jung Yoon Oh—Jaehyun tidak mengindahkan penjelasan Doyoung. Kepalanya mulai celingak-celinguk mencari eksistensi sumber ketuliannya. Doyoung menatapnya penuh tanya. Ia pun ikut celingak-celinguk kemudian bertanya, "Kenapa kau celingak-celinguk? Mencari sesuatu?"

Jaehyun lantas menghentikan aktivitasnya. Ia menatap sebal ke arah Doyoung.

"Ah. Benar-benar. Gara-gara kau, aku kehilangan eksistensi makhluk Tuhan paling indah. Terima kasih banyak, Kim Doyoung." Doyoung menaikkan sebelah alisnya bingung karena ucapan sarkasme Jaehyun. Ia sama sekali tidak mengerti.

"Kau bicara apa sebenarnya?"

Jaehyun memutar bola matanya malas. Ia pun bangkit dan menepuk singkat bahu Doyoung.

"Aku ingin mencarinya dahulu." Ucapnya kemudian meninggalkan Doyoung yang masih kebingungan di bangku koridor.

"Apa dia stress gara-gara nilai fisikanya anjlok? Apa-apaan coba manusia itu."

.

.

.

"Ke mana ya dia?"

Jaehyun terus bergumam sembari celingak-celinguk. Ia sudah menyusuri koridor lantai satu dan dua serta mengintip sekilas setiap kelas yang ia lewati.

"He. Kalau begitu aku akan ke lantai tiga." Gumamnya. Ia pun berjalan sesekali berlari kecil menuju lantai tiga. Namun saat menaiki tangga, ia ditabrak seseorang.

Bruk

"Auh!"

Baru saja ingin mengomel, Jaehyun tersadar. Oh Tuhan! Inilah makhluk Tuhan paling indahnya! Jaehyun melihat ia yang sedang meringis sembari memegangi hidungnya. Ia terduduk dengan buku-buku yang berserakan. Jaehyun pun berjongkok sembari memegang bahu kirinya. Wajahnya menyiratkan raut khawatir.

"H-hei. Apa kau kesakitan? Maaf, aku tidak sengaja." Tulusnya. Pria tersebut pun berhenti memegangi hidungnya dan menatap Jaehyun. Jaehyun yang mendapat tatapan darinya pun serasa ingin meleleh. Ia kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Tidak. Bukan salahmu. Aku yang tidak melihat karena pandanganku tertutup oleh tumpukan buku ini. Maaf." Ucapnya. Jaehyun menelan ludahnya gugup.

"A-anu. Hidungmu merah..."

Pria itu—Taeyong tersenyum kikuk. "E-eh, iya. Pasti gara-gara tertimpa buku jadinya merah." Kemudian ia menunduk. Jaehyun gemas sekali melihat tingkah Taeyong. Dengan segala keberanian, Jaehyun perlahan mengulurkan tangan yang semula berada di bahu Taeyong menuju hidung bangirnya. Kemudian ia mengelus pelan pucuk hidung Taeyong menggunakan ibu jari.

"Pasti sakit. Sekali lagi, maaf." Ucap Jaehyun lembut. Taeyong pun salah tingkah dibuatnya. Ia pun dengan cepat menyingkirkan tangan Jaehyun karena ia tak mau menanggung risiko jika jantungnya sungguhan lompat ke luar.

"Ah. Tidak apa-apa." Balasnya. Taeyong pun berjongkok dan mulai membereskan buku-buku tersebut. Jaehyun yang melihatnya pun ikut membantu.

"Aku saja yang membereskan." Ucap Jaehyun dengan cekatan kembali menumpuk buku-buku tersebut.

"Aku bawa setengah, kau bawa setengah. Dengan begitu, penglihatanmu tidak akan terhalang, bukan?"

Taeyong seketika terpaku melihat senyuman pria itu. Lesung pipinya sangat memesona.

.

.

.

"Terima kasih karena sudah membantu."

"Tidak masalah. Senang bisa membantu siswa manis sepertimu." Balas Jaehyun yang disusul oleh kedipan sebelah matanya. Dasar perayu.

Taeyong menggaruk tengkuknya canggung. Ia pun berdeham kemudian menatap Jaehyun dari bawah sampai atas.

"Sepertinya kau anak kelas satu. Siapa namamu?"

Kini giliran Jaehyun yang menatap Taeyong. "He. Jangan bilang kau itu seniorku?"

Taeyong terkekeh mendengar pertanyaan Jaehyun. Ia pun bersedekap. "Kau tidak mengenalku?"

Jaehyun mengernyitkan dahinya. Lantas ia menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak."

"Kenalkan, aku Lee Taeyong. Ketua OSIS dan dua tingkat di atasmu."

Jaehyun mendelik. Ia kemudian memandangi uluran tangan Taeyong.

"He?! Jadi kau Ketua Osis itu? Yang Doyoung bilang Kakak-OSIS-dengan-wajah-tak-santai?!"

Taeyong pun tertawa mendengar penuturan Jaehyun. Ia meletakkan tangannya pada saku celana. "Tak santai yang bagaimana memangnya? Hei, pasti kau tidak mengikuti Masa Orientasi Siswa."

Jaehyun mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian membatin; 'kau benar, Kim-Do. Wajahnya memang tak santai.' Ia pun menarik tangan kanan Taeyong kemudian bersalaman.

"Namaku Jung Yoon Oh. Kau bisa memanggilku Jaehyun. Dan, ya. Kau benar. Aku tidak mengikuti MOS makanya aku baru mengenalmu. Dan wajah Senior Taeyong memang tidak santai. Bagaimana bisa wajahmu tampan sekaligus manis? Seperti karakter ikemen yang keluar dari anime. Makanya ketika pertama kali melihatmu, aku langsung menyimpulkan bahwa kau adalah makhluk Tuhan paling indah."

Taeyong tertawa rikuh mendengar penuturan Jaehyun. Wajahnya pun memerah mengingat saat ini ia sedang bersalaman dengan adik kelasnya itu.

"Omong-omong, apa Senior sudah makan?"

Taeyong menggeleng. Jaehyun tersenyum lebar hingga matanya berbentuk bulan sabit. Ia pun tidak lagi bersalaman dengan Taeyong melainkan mengisi sela-sela jari Taeyong. Ia menggenggamnya erat.

"Aku juga. Ayo ke kantin, Senior. Aku yang traktir. Sekaligus merayakan hari pertama kita berkenalan." Ucap Jaehyun penuh semangat. Taeyong menatap Jaehyun bingung.

"T-tapi—"

"Sstt. Ikut saja."

Taeyong pun mau tak mau mengikuti langkah Jaehyun. Mereka berjalan beriringan menuju kantin dengan tangan yang masih tertaut erat. Taeyong seharusnya merasa risi karena bocah kelas satu yang bahkan baru mengenalnya ini dengan seenak jidat main menggenggam tangannya. Namun entah mengapa ia justru malah merasa nyaman digenggam oleh Jaehyun.

.

.

.

"Hoi."

"Apa?"

"Tch. Kaupikir aku tidak tahu? Apa-apaan tadi di kantin. Bagaimana bisa kau makan bersama Senior Taeyong?" bisik Doyoung. Jaehyun menghentikan acara menghitungnya. Ia menoleh dan menyunggingkan seringai.

"Tentu saja bisa. Dan asal kau tahu, selama perjalanan menuju kantin, aku menggenggam tangannya. Setelah makan juga aku menggenggamnya kemudian mengantarkan ia menuju kelas dengan selamat."

Doyoung menyipitkan matanya mendengar ucapan arogan temannya. "Modusmu itu. Sungguh terlalu."

.

.

.

"Senior Taeyong!"

Yang dipanggil menoleh. Ia mendapati Jaehyun yang tengah berlari ke arahnya. Ia pun menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Ada apa, Jaehyun?"

Jaehyun tersenyum lebar hingga lesung pipinya terpampang jelas. Ingin rasanya Taeyong menyentuhnya menggunakan telunjuknya untuk bisa mengukur kira-kira sedalam apa lesung pipi bocah tersebut. Ia pun segera sadar akan imajinasinya. Jaehyun berdeham kemudian meraih tangan kanan Taeyong.

"Senior pulang bersamaku, ya? Aku antar."

Taeyong membatu. Digenggam seperti itu oleh Jaehyun. Seakan tidak ingin melepasnya. Seketika ia merasa bahwa semua mata tertuju padanya dan Jaehyun. Dan memang kenyataannya seperti itu. Taeyong pun merasa pipinya panas karena diperhatikan dan digenggam. Ia pun melepas tautan tangannya kemudian membuang muka.

"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri." Datarnya. Ia baru akan melangkah namun Jaehyun dengan cepat langsung menarik lengannya dan memeluknya erat. Taeyong bergeming. Terlalu kaget dan mendadak.

"Biarkan aku mengantarmu pulang, Senior. Aku ingin dekat denganmu. Apa tidak boleh?"

Taeyong merasa ingin mati. Kakinya lemas karena didekap sedemikian erat oleh Jaehyun dan ditambah ia dapat menghirup aroma tubuh Jaehyun yang sialnya memabukkan. Mint yang memikat. Dan wajahnya kini berada di dada bidang Jaehyun. Taeyong tidak mau mengakui ini tapi ia berpikir bahwa Jaehyun sangat—seksi.

"Diam berarti iya. Yeah. Betapa senangnya."

Jaehyun melepas dekapannya dan langsung menautkan jarinya pada sela-sela jari Taeyong. Dituntunnya Taeyong menuju parkiran.

"Senior Taeyong."

"Apa?"

"Kau tidak marah kan?"

"Tidak."

"Kenapa kau diam saja? Apa kau terpaksa?"

Taeyong menatap Jaehyun lalu menghela napas. "Kau memelukku di depan banyak orang. Itu sangat memalukan, kau tahu."

Jaehyun merasa bersalah seketika. Ia menggaruk tengkuknya dengan tangan kiri.

"Ugh. Maaf kalau Senior merasa tidak nyaman, tapi—hei, Senior tadi terima-terima saja ah aku peluk." Ujarnya. Taeyong membelalakkan matanya kemudian meninju lengan Jaehyun dengan tangan satunya.

"Ck. Dasar bocah. Di mana mobilmu?"

.

.

.

"Heee. Senior tinggal di apartemen juga, ya?"

Taeyong mengangguk kemudian menoleh. "Apa kau mau mampir dulu?"

Jaehyun tersenyum lebar sembari menganggukkan kepalanya antusias. Ia pun memarkirkan mobilnya di depan apartemen Taeyong.

Mereka sudah berada di apartemen Taeyong. Taeyong mempersilakan Jaehyun duduk di sofa sembari menunggunya membuatkan minum dan beberapa camilan.

"Woah. Senior Taeyong suka warna monokrom rupanya. Apartemennya terkesan elegan sekali dengan nuansa hitam putih." Gumamnya sambil melihat sekeliling.

"Apa kau juga suka monokrom?"

Jaehyun sedikit terkejut akan kedatangan Taeyong. Taeyong tersenyum kecil lalu meletakkan jus jeruk dan beberapa camilan di atas meja. Ia duduk di sebelah Jaehyun dengan almamater yang sudah ditanggalkan.

"Kalau aku lebih suka warna yang lelaki, Senior. Biru dan merah." Balasnya. Taeyong menatapnya datar.

"Jadi menurutmu warna hitam dan putih tidak lelaki, begitu?" Jaehyun tertawa canggung kemudian ia mengambil jus jeruk lalu meminumnya.

"Oh iya."

"Kenapa, Senior?"

"Kau tidak perlu bicara formal kepadaku. Jangan memanggilku dengan sebutan 'senior'. Cukup panggil aku dengan namaku." Ucapnya. Jaehyun menatapnya ragu-ragu.

"Tapi kan kita beda dua tahun, Senior."

Taeyong menatapnya sebentar kemudian mencubit gemas hidung Jaehyun. "Tidak perlu pakai 'senior'. Kau ingin dekat denganku, bukan? Itu syarat utamanya." Ujarnya kemudian melepas cubitannya.

Jaehyun tergeming. Ia tahu hidungnya merah namun—Ya Tuhan—Taeyong baru saja mencubit hidungnya! Jaehyun hampir menjerit karena hal itu. Kemudian ia meletakkan gelasnya di atas meja.

"B-baiklah, T-Taeyong..."

"Astaga. Kenapa kau jadi salah tingkah seperti itu? Kau lucu sekali, Jaehyun." Ucapnya disusul dengan tawa renyah. Jaehyun kembali dalam mode jantan. Ia pun meraih kedua tangan Taeyong. Digenggamnya tangan tersebut dengan erat. Matanya menatap dalam manik Taeyong.

"Jangan seperti itu, Tae."

Taeyong menaikkan sebelah alisnya bingung. "Maksudmu?"

Jaehyun menghela napas berat. "Jangan menyentuhku sembarangan seperti itu. Aku itu sangat sensitif. Disentuh seperti itu olehmu...aku jadi—tambah berdebar."

Taeyong menelan ludahnya gugup. Apa-apaan penuturan Jaehyun itu? Mengapa ia sangat jujur?

"Ugh. Pokoknya, hanya aku yang boleh menyentuhmu. Kau bertindak pasif saja. Oke?"

Taeyong menampakkan mimik tak suka. Jaehyun melepaskan tautan mereka kemudian meminum jus jeruknya dengan mata yang masih menatap Taeyong.

"Heee. Jangan mentang-mentang kita sudah selangkah lebih dekat kau bisa seenaknya memperlakukanku, Jaehyun."

Jaehyun menaruh gelasnya lalu bertopang dagu. Menatap Taeyong geli.

"Selangkah lebih dekat. Aku suka kalimat itu. Apa kau tak sadar? Kau itu terlalu manis. Aku kan jadi gemas."

Jaehyun...

Taeyong membatin digombali Jaehyun seperti itu. Ia tak mau bawa perasaan. Dan ia tak boleh bawa perasaan.

.

.

.

"Dari apa yang kulihat, kau makin dekat saja dengan Senior Taeyong."

Jaehyun menoleh dan menaikkan sebelah alisnya lalu menyeringai. "Ah, benarkah?"

Doyoung memutar bola matanya malas. "Jangan sok tidak tahu. Kau dan Senior Taeyong itu akhir-akhir ini sering menjadi bahan omongan. Kalian menjadi topik hangat di sekolah. Kedekatan kalian menuai pro dan kontra."

Jaehyun menutup komiknya dan menatap Doyoung serius.

"Pro dan kontra yang bagaimana?" tanyanya bingung. Doyoung terlihat berpikir kemudian menjawab, "Seperti ada yang setuju dan tidak. Kebanyakan yang setuju adalah seorang fujoshi dan yang tidak adalah orang yang menganggap Senior Taeyong adalah miliknya."

Jaehyun mengerutkan dahinya. "Apa itu fujoshi?"

Doyoung menghela napas penuh beban namun ia tetap menjawab, "Fujoshi itu perempuan yang menyukai hubungan sesama pria. Seperti kalian. Bahkan dari yang kudengar, mereka membuat komunitas dengan nama 'JaeYong Shipper' di mading dan memajang beberapa foto kebersamaan kalian yang mereka ambil diam-diam. Kau tahu? Seketika namamu melejit menyamai Senior Taeyong. Aku takjub."

"Heee? Apa-apaan itu..."

Doyoung mengibaskan tangannya malas. "Bilang saja kau senang. Reaksimu penuh dusta."

Jaehyun antara ingin tertawa dan meninju Doyoung. "Tapi serius, aku—duh, masa sampai ramai seperti itu?"

Doyoung menopang dagunya kemudian menjawab, "Karena Senior Taeyong, sang Ketua OSIS dengan wajah tak santainya itu yang membuatnya ramai."

"Aku jadi merasa seperti artis." Respons Jaehyun terkekeh lalu Doyoung menatapnya serius.

"Jaehyun."

"Ya?"

"Apa kau benar-benar menyukai Senior Taeyong?"

Jaehyun sontak tersenyum kecil kemudian mengangguk, "Benar-benar suka."

Doyoung melihat ada semburat merah yang menghiasi pipi Jaehyun. Mendengarnya pun membuat Doyoung ikut tersenyum.

"Kalau kau benar-benar suka dengan Senior Taeyong, buat ia menyukaimu juga."

Jaehyun mengangguk pelan, "Makanya ini sedang aku lakukan. Pendekatan dengan Taeyong. Karena ia cinta pertamaku, aku jadi sedikit kacau. Takut-takut Taeyong tidak memedulikan diriku. Tapi setelah seminggu ini mengenalnya, aku jadi tidak terlalu kacau. Ia hangat dan baik. Aku—tambah mencintainya." Tutur Jaehyun dengan rikuh. Ia benar-benar jujur saat mengatakannya.

Doyoung tersenyum lebar sambil menepuk bahu teman semasa sekolah menengah pertamanya itu.

"Kau terlihat sangat murni, Jae. Cinta pertama memang begitu membingungkan dan menyenangkan di saat bersamaan. Karena kau temanku, mungkin kau membutuhkanku untuk mendapatkan hati Senior Taeyong? Mungkin aku bisa membantu." Tawarnya. Jaehyun berpikir sebentar lalu menyeringai tampan.

"Boleh saja."

.

.

.

"Ke mana ia?"

Jaehyun celingak-celinguk mencari Taeyong di dalam kelasnya namun tidak ada eksistensinya sama sekali. Jaehyun pun memberanikan diri bertanya pada teman sekelas Taeyong.

"Eum, permisi. Apakah Senior tahu di mana Senior—"

"Taeyong ada di perpustakaan."

Jaehyun terkejut. Ia menggaruk tengkuknya canggung. Bagaimana bisa senior ini mengetahui bahwa aku sedang mencari Taeyong?

"Karena kalian tengah populer menjadi topik pembicaraan."

Jaehyun mengerutkan dahinya. Mungkin ia titisan cenayang, pikirnya. Senior itu pun menutup majalah yang tengah dibacanya lalu menatap Jaehyun geli.

"Kau Jung Jaehyun, bocah kelas satu yang berhasil mendekati teman esku. Hebat sekali." Ucapnya santai. Jaehyun tambah canggung. Kemudian ia menepuk kursi di sebelahnya memberi isyarat agar Jaehyun duduk di sana.

"Aku tidak menggigit. Tenang saja."

Jaehyun ingin tertawa tapi ia memilih untuk menahannya. Jangan receh di saat seperti ini, Jae.

"Perkenalkan, aku Yuta. Kau bisa menganggapku teman, kalau kau mau." Ucapnya ramah. Jaehyun pun sedikit membungkukkan badannya.

"Terima kasih, Senior Yuta. Aku permisi dulu." Pamitnya namun Yuta memanggilnya sebelum meninggalkan kelas.

"Oi, Jaehyun. Kalau kau butuh bantuan layaknya 'kiat-kiat-mendekati-orang-es-seperti-Taeyong-yang-baik-dan-benar' kau bisa meminta bantuanku. Tak perlu sungkan. Aku ini jagonya mak comblang." Tuturnya. Jaehyun merasa Yuta mempromosikan dirinya seperti sales pro yang sedang mempromosikan popok bayi kepada ibu-ibu muda.

Tapi tak bisa dimungkiri bahwa ia sangat senang dapat sambutan hangat dari Yuta. Ia pun merekahkan senyuman lebar sambil membungkuk dalam.

"Terima kasih, Senior. Kau luar biasa."

.

.

.

"Hooo. Sedang membaca buku kumpulan puisi rupanya."

Taeyong tersentak. Sontak ia menoleh ke sumber suara. Dan sialnya, pipi kanannya malah menubruk sebuah benda kenyal nan lembap.

Taeyong membeku.

Ia hapal sekali ini aroma tubuh siapa namun ia hanya tergeming.

Ini bibir Jaehyun...

Astaga, mati saja aku.

Taeyong merasa jantungnya seperti akan melompat keluar dalam hitungan lima detik.

Lima

Empat

Tiga

Dua

Satu

Nihil. Dua detik kemudian ia malah merasakan pipinya dicium dalam dan disertai suara khas dikecup.

Sial sial sial!

"Satu ciuman manis untuk kakak kelas termanis."

Taeyong masih membeku. Ia bergeming menatap tak percaya pada Jaehyun yang saat ini sudah duduk di sebelahnya sambil bertopang dagu dan menatapnya dengan dalam yang disertai dengan senyuman manis.

Lesung pipimu itu, Jae.

Taeyong membatin. Ingin rasanya ia memaki Jaehyun karena telah membuat jantungnya terpompa dengan gila dan membuat aliran darah di sekujur tubuhnya berdesir lebih cepat. Dan salahkan Jaehyun yang berkali-kali lipat lebih memesona ketika lesung pipinya terlihat.

"Tae? Hey?"

Hening

Taeyong masih setia bergeming.

"Jadi ini modusmu untuk dapat ciuman kedua dariku, ya? Oke, akan segera kuwujud—"

"Apa-apaan kau ini."

"—kan. Ah. Harusnya aku tidak bilang-bilang ya kalau ingin menciummu."

Jaehyun cengengesan sambil menggaruk tengkuknya asal. Taeyong mengembuskan napas lalu berdecak. Ia pun menunjuk wajah Jaehyun dengan telunjuknya dengan wajah yang sok-di-garang-garangkan-yang-padahal-menggemaskan itu.

"Kau itu yang modus, bodoh. Akhir-akhir ini, kulihat-lihat kau makin berbuat seenaknya saja padaku. Kita itu beda dua tahun, bodoh. Jangan seenaknya melakukan hal-hal yang membuat jantungku berdebar keras, bodoh. Kau itu ya, tidak tahu apa rasanya kalau jantung berdebar seperti ingin lompat ke luar? Dasar Jung-Sialan-Jaehyun! Kau itu hanya bisa membuatku kacau. Kau ini sudah membuatku terpesona hanya dengan kau memperlihatkan lesung pipimu! Jangan ditambah dengan melakukan hal-hal seperti mencium—sial, aku hampir gila karenamu!"

Jaehyun membeku

Taeyong membeku

Penjaga perpustakaan membeku

Taeyong menutup mulutnya dengan tangannya penuh dramatis. Ia meringis dalam hati meratapi dirinya yang dengan begitu naifnya mengeluarkan segala hal yang ia rasakan karena Jaehyun.

Aduh, mampus. Bodohnya aku!

"T-Taeyong...kau..."

Drama tatap-tatapan pun dimulai. Jaehyun menatap Taeyong setengah terkejut setengah bahagia. Wajahnya seakan diselimuti oleh—sebut saja—cahaya cinta. Taeyong pun setengah terkejut setengah ingin-mati-saja.

Taeyong merasa tatapan Jaehyun makin dalam saja. Ditatap seperti itu oleh Jaehyun, bisa-bisa Taeyong tambah tak karuan. Tak lama kemudian Jaehyun pun menyunggingkan senyuman yang menurut Taeyong super duper manis kuadrat.

"Apakah benar-benar berdebar?"

Taeyong masih betah bergeming. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Huh?"

Jaehyun terkekeh melihat reaksi Taeyong dengan wajah polosnya kemudian ia pun mengacak gemas rambut Taeyong.

"Aku bertanya padamu. Apakah benar-benar berdebar?"

Taeyong menelan ludah gugup kemudian memalingkan wajahnya. Ia tidak sanggup bertatapan seperti itu oleh Jaehyun, terus terang saja.

"Kau ini bicara apa." Balasnya datar. Taeyong kembali pada mode dingin. Jaehyun mendengarnya malah tambah tersenyum manis kemudian ia mengulurkan tangannya guna membelai pipi Taeyong. Dibelainya pipi merona Taeyong dengan penuh perasaan.

"Jangan dingin padaku. Aku suka Taeyong yang hangat, bukan yang dingin." Ucapnya lembut. Ia pun memindahkan tangannya ke dagu Taeyong lalu membuat Taeyong kembali bertatapan dengannya.

"Pipimu merah."

"Di sini panas."

Jawaban yang tidak masuk akal namun Jaehyun memaklumi karena tahu Taeyong sedang salah tingkah.

"Jika benar kau berdebar, berarti aku tidak sendirian merasakannya." Ucap Jaehyun sambil terus tersenyum manis. Sesekali ibu jari Jaehyun membelai lembut dagu Taeyong.

"Taeyong."

"Apa?"

"Aku itu men—"

"Taeyong!"

cintaimu. Sial.

Jaehyun mengumpat dalam hati. Ia pun segera melepaskan tangannya dari dagu Taeyong kemudian matanya tertuju pada biang pengacau acara ungkapan cintanya yang tinggal sedikit lagi.

"Johnny!" Refleks Taeyong sambil mengelus dadanya karena terkejut. Ia pun menatap Johnny penuh intimidasi. Johnny yang merasa diberi tatapan tak mengenakkan dari dua manusia di hadapannya pun berdeham kikuk.

"Aku dari tadi menghubungimu namun tak ada jawaban dan kata Yuta kau berada di perpustakaan."

Taeyong mengangkat sebelah alisnya kemudian bersedekap. "Aku mematikan ponselku. Ada apa memangnya?"

"Ada rapat OSIS, Tae. Festival sekolah kan diselenggarakan dua hari lagi. Pengurus OSIS yang lain sudah menunggu loh." Balasnya. Taeyong sebenarnya antara ingin mengumpat dan berterima kasih kepada Johnny. Mengumpat karena ia tidak bisa mendengar tuntas ucapan Jaehyun dan berterima kasih karena ia bisa lepas dari situasi canggung nan mendebarkan tadi.

Taeyong melirik Jaehyun yang kentara sekali memasang wajah jengkel. Ia pun mengulurkan tangannya guna membelai kepala belakang Jaehyun. Jaehyun pun menatapnya setengah kesal setengah merajuk. Taeyong mendekatkan dirinya ke arah Jaehyun kemudian berbisik, "Nanti aku ke kelasmu seusai rapat."

Taeyong pun menjauh lalu bangkit sambil melempar senyuman tipis ke arah Jaehyun. Jaehyun sedikit luluh karena melihat senyuman manis Taeyong kemudian ia mengangguk dan ikut bangkit. Ia memegang bahu Taeyong kemudian dengan cepat memberi kecupan yang disertai suara pada pipi kiri Taeyong.

"Aku menunggumu." Ujarnya kemudian dengan cepat langsung melesat meninggalkan perpustakaan. Taeyong tergeming. Sungguh. Johnny antara percaya tidak percaya karena ia baru saja menyaksikan adegan romansa antara bocah kelas satu dan sang Ketua OSIS. Sebenarnya Johnny ingin menggoda Taeyong karena wajahnya sungguh merah namun Taeyong tengah menatapnya tajam.

"Ayo pergi."

Taeyong benar-benar ingin menendang Jaehyun karena perbuatan gilanya itu.

Benar-benar Jaehyun itu.

.

.

.

"Terima kasih karena telah mengantarku pulang."

Jaehyun mencubit gemas pipi kanan Taeyong sembari terkekeh. "Sudah berapa kali kubilang? Bidadari Taeyong tidak perlu sungkan karena Pangeran Jaehyun akan selalu siap mengawal Bidadari Taeyong." Ucapnya penuh keyakinan. Taeyong melepas cubitan Jaehyun lalu menyentil sayang dahinya.

"Perumpamaan yang menjijikkan." Balasnya. Jaehyun tertawa kemudian mengacak gemas rambut Taeyong.

"Menjijikkan di mulut tapi kalau di hati suka tuh." Goda Jaehyun sambil mencolek-colek dagu Jaehyun. Taeyong mencubit kedua pipi Jaehyun dengan gemas.

"Jangan narsis, Jaehyun!"

"Auh. Iya, iya. Cubitanmu lumayan juga. Sakit ini—hey, lepaskan." Ringisnya manja. Taeyong pun tertawa lalu segera melepaskan cubitannya. Ia pun membenarkan tatanan rambutnya yang tadi diacak oleh Jaehyun.

"Ya sudah, aku masuk dulu."

Saat Taeyong akan membuka pintu, Jaehyun menarik lengannya kemudian berbisik, "Istirahat, Tae. Kau lelah. Jangan sampai saat festival sekolah dilaksanakan kau sakit."

Taeyong menatap Jaehyun yang kini sedang menatapnya penuh khawatir. Taeyong pun tersenyum lembut. "Iya, adikku."

Mendengar balasan dari Taeyong membuat Jaehyun merasa dunianya seketika pahit.

Adik, ya.

Taeyong menyadari perubahan mimik Jaehyun namun ia hanya tergeming. Ia pun menggaruk tengkuknya sebentar lalu dengan cepat mengelus kepala belakang Jaehyun.

"Aku masuk dulu. Sampai jumpa." Pamitnya kemudian meninggalkan Jaehyun yang masih tergeming. Ia pun tersenyum pahit.

"Apakah ini yang dinamakan sakit tapi tidak berdarah?" monolognya. Ia memegangi dada kirinya dramatis.

"Aku harus segera membuang status kakak-adik zone ini." Ujarnya penuh tekad. Ia pun kembali menstater mobilnya.

Taeyong...peka sedikit, kumohon.

.

.

.

To: Taeyong-ku [09.45 PM]

Selamat tidur, Tae. Tolong masukkan aku ke dalam mimpimu~ (shy)

Send!

Jaehyun terkekeh setelah membaca ulang pesannya. Tak lama kemudian ponselnya bergetar.

From: Taeyong-ku [09.45 PM]

Siap, Komandan. Tidak ah, nanti yang ada aku mimpi buruk :p

Jaehyun mengerucutkan bibirnya sedikit ketika membaca pesan dari Taeyong. Ia pun membalas.

To: Taeyong-ku [09.46 PM]

Kalau tidak dalam mimpi, dalam hatimu saja. Bagaimana?

Send!

Jaehyun harap-harap cemas apa balasan Taeyong nanti. Ia sudah kode keras. Jika balasan Taeyong nanti tidak sesuai harapan, Jaehyun bersumpah akan menobatkan Taeyong sebagai 'Manusia Ter-tidak-peka'.

Di sisi lain, Taeyong membatin membaca balasan Jaehyun. Siapa yang tidak terbawa perasaan jika jadi Taeyong? Taeyong menghela napasnya berat sambil berusaha menetralkan degup jantungnya.

To: JungJae-ku [09.48 PM]

Dasar perayu. Aku mengantuk (yawn). Aku tidur dulu, ya. Selamat malam.

Send!

Ya, itulah Taeyong. Malu-malu kucing. Terima kasih kepada Jaehyun yang malah membuatnya senyum-senyum tak jelas setelahnya. Ia pun menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut karena merasa jengah sekaligus khawatir kalau Jaehyun menjulukinya manusia tidak peka.

Jaehyun yang melihat balasan dari Taeyong pun menghela napas panjang. Ia hanya membacanya kemudian mengacak rambutnya frustrasi.

"Memang dasar manusia tidak peka." Desahnya. Jaehyun pun meletakkan ponselnya ke atas nakas kemudian bermimik serius sembari mengepalkan tangannya penuh tekad.

"Pokoknya, aku harus segera mengenyahkan status kakak-adik ini. Taeyong harus tahu kalau aku menyayanginya lebih dari itu."

.

.

.

Musim gugur menemani festival sekolah SMA Heaven kali ini. Sudah banyak stand makanan dan hiburan lainnya yang memenuhi lapangan. Setiap kelas pun sudah mempersiapkan tema, kostum, dan dekorasi terbaik untuk acara ini. Ini masih pukul setengah tujuh pagi namun sudah banyak siswa yang datang guna mempercantik suasana kelas masing-masing. Beberapa dari mereka juga mendirikan stand makanan sendiri di depan kelas.

Di sinilah Taeyong, selaku Ketua OSIS bertugas untuk berkeliling guna mengecek sudah berapa persen kesiapan masing-masing kelas. Ditemani oleh sang wakil, Yuta. Mereka menyusuri gedung untuk kelas satu terlebih dahulu.

"Menurutmu, adakah tema, dekorasi, dan kostum dari kelas satu yang mengalahkan kelas kita?"

Taeyong menoleh ke arah Yuta kemudian mengedikkan bahunya, "Bisa ada bisa tidak."

Yuta bersedekap dan tersenyum penuh percaya diri. "Kujamin tidak ada. Kelas 3-A itu yang paling keren."

Taeyong memutar bola matanya. "Ya, semoga mereka biasa saja."

Taeyong dan Yuta pun sampai di kelas 1-A. Beberapa murid sedang menghias kelasnya. Di depan kelasnya pun terpasang spanduk yang bertuliskan 'Mari Rasakan Petualangan Menjelajahi Hutan yang Sesungguhnya'. Kelas ini bertemakan hutan. Ada yang sibuk memasang pohon-pohonan dan sebagainya. Taeyong dan Yuta pun masuk kemudian Taeyong membuka suara, "Kalian harus cepat. Acara dimulai pukul delapan. Dekorasi kelas kalian seindah mungkin."

Para siswa pun mengangguk kemudian menjawab, "Siap, Senior."

Taeyong mengangguk kemudian mereka keluar kelas. Yuta merangkulnya lalu berbisik, "Tema hutan setiap tahun pasti ada. Aku yakin kelas kita akan menang tahun ini."

Taeyong melepas rangkulan Yuta kemudian berdecak, "Kau berisik, Yuta. Kita kan tidak tahu tema kelas lain seperti apa. Belum kelas duanya." Balasnya malas. Yuta cengengesan lalu membalas, "Iya juga."

Mereka terus menyambangi setiap kelas satu. Ada yang bertemakan musim dingin, pedesaan, pegununan, dan lain sebagainya. Angkatan kelas satu cukup kreatif karena dekorasinya menarik walaupun beberapa temanya pasaran. Terakhir mereka menyambangi kelas 1-F namun seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tampilan luar kelas ini sudah berubah total dengan pintu masuk tirai dan spanduk bertuliskan 'Apakah Kalian Sanggup Tidak Berteriak Lebih dari Tiga Kali? Uji Nyali Kalian Di sini!'

"Kelas Jaehyun bertema rumah hantu." Ucap Yuta. Taeyong meneguk ludahnya kemudian mengangguk. Ia melihat ada dua pasang tengkorak di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Taeyong menggelengkan kepalanya sambil berkomat-kamit dalam hati,'Ini bohongan, Taeyong. Ini bohongan.' Yuta mengernyitkan dahinya kemudian menepuk bahu Taeyong.

"Taeyong?"

"Ah! Iya?"

Yuta bersedekap kemudian menatap Taeyong datar. "Dasar penakut. Jangan berpikiran aneh-aneh. Ini hanya bohongan. Lebih baik kita masuk dan melihat sudah berapa persen kesiapan kelas Jaehyun."

Taeyong tertohok juga mendengar ucapan Yuta tapi ia mengangguk. "Ayo masuk, Yuta."

"Aku di belakangmu." Balas Yuta. Taeyong mengatur napasnya agar biasa saja walau sebenarnya ia ketakutan. Ia pun melangkahkan kaki, menyibak tirai masuk dan ternyata di dalam gelap sekali.

"Y-Yuta! Nyalakan lampunya." Perintah Taeyong. Yuta pun mencoba meraba di mana letak saklar lampunya sampai kemudian Taeyong teriak dan membuatnya teriak juga karena terkejut.

"Aku menabrak apa—"

Bruk

"—Yuta! Argh!"

Tiba-tiba semuanya terang.

"Aigoo. Anak kucing sedang menindihku rupanya."

Taeyong membuka matanya dan alangkah terkejutnya ia ketika dirinya sedang menindih tubuh seorang Jung Jaehyun. Posisi mereka terbilang intim karena wajah Taeyong berada di tulang selangka Jaehyun sedangkan Jaehyun tengah memeluk Taeyong erat. Taeyong mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian ia menatap Jaehyun yang tengah menatapnya dalam. Melihat wajah tampan Jaehyun dari jarak sedekat ini membuat Jaehyun terlihat beribu kali lipat lebih memesona nan—seksi.

Sial, Taeyong mengumpat dalam hati. Keduanya masih betah bertatapan sampai suara Yuta menginterupsi.

"Ehem. Sampai kapan kalian akan terus bertatapan seperti itu?"

Keduanya pun buru-buru menjauhkan diri kemudian berdiri dengan canggung. Taeyong yang canggung, Jaehyun sih senang-senang saja atas musibah yang menimpanya tadi.

Terima kasih atas anugerahmu barusan, Ya Tuhan.

"Sumpah. Aku ingin marah saja." Gumam Taeyong. Yuta yang mendengarnya pun menyenggol pelan lengannya. "Kau bicara apa?"

Taeyong tidak mengindahkannya kemudian ia melangkah mendekati Jaehyun lalu mencubit keras-keras kedua pipinya.

"Jaehyun bodoh! Jangan senyum-senyum tak jelas seperti itu! Kau pikir tadi itu lucu? Kau bahagia di atas penderitaanku. Hah. Siapa suruh lampunya mati? Aku itu takut!"

Jaehyun meringis pilu karena Taeyong mencubitnya kelewat sadis. Taeyong pun melepas cubitannya setelah puas melampiaskan kekesalannya. Jaehyun masih meringis karena ia merasa pipinya panas setelah dicubit Taeyong dan pipinya memang merah sekali.

"Auh. Tega sekali dirimu, Taeyong. Pipiku sakit." Rajuknya sambil menatap Taeyong. Taeyong berkacak pinggang. Ia menundukkan kepalanya dan ternyata ia tersandung tengkorak-tengkorakan tadi. Ia berjalan menjauhi Jaehyun yang sedang kesakitan dan Yuta yang sedang terbahak karena aksi liar Taeyong barusan.

"Masih lima persen. Apa saja yang kalian lakukan kemarin-kemarin? Baru dipasangi latar hitam saja. Kacau sekali kelasmu, Jaehyun. Mengapa juga tadi kelas kalian gelap, huh?" Taeyong bersedekap menatap bocah yang berada di dekatnya.

"A-anu, Senior—anak kelas kami susah disuruh jadi yang paling banyak bekerja hanya kami. Dan perihal kenapa tadi gelap karena kami sedang menguji seberapa gelap kelas kami, apakah masih ada cahaya yang harus ditutupi dengan kain lagi atau tidak." Jawab bocah tersebut—Doyoung.

Taeyong mengangguk kemudian membalas, "Suruh teman-teman kalian ikut andil dalam mendekorasi kelas kalian, kalau tidak akan aku lapor kepada guru kesiswaan. Acara dimulai pukul delapan. Bergegaslah." Doyoung mengangguk mendengar penuturan Taeyong.

"Oi, Jaehyun. Mimpi apa kau semalam hingga bisa mendapat rezeki ditindih oleh Taeyong?" bisik Yuta yang ternyata sudah mendekati Jaehyun dari tadi. Jaehyun yang masih mengelus pipinya pun membalas bisik dengan nada sedikit jutek, "Rezeki yang diikuti dengan musibah sungguhan. Taeyong sadis juga ternyata."

Yuta ingin tertawa tapi tak tega kemudian ia membalas, "Ia memang seperti itu kalau sedang ketakutan, Jaehyun. Kau masih mending Taeyong hanya mencubit pipimu. Aku lebih tragis, bokongku ditendang oleh Taeyong saat ia kukerjai karena aku mematikan lampu kamar saat kami sedang belajar bersama, kau tahu."

Jaehyun ingin tertawa tapi tak tega. Taeyong yang melihat interaksi dua manusia itu menatapnya datar.

"Wahai Wakil Ketua, Nakamoto Yuta. Ayo pergi dari sini. Biarkan mereka bekerja. Kita belum mengecek kelas dua dan tiga, bodoh!"

Mendengar Taeyong mengomel membuat Doyoung ingin tertawa namun ia tahan. Jaehyun dan Yuta pun saling menjauhkan diri. Taeyong berjalan menghampiri mereka.

"Jadi lelaki itu jangan lembek, Jaehyun. Baru aku cubit saja kau meringis berulang kali. Payah." Ucapnya santai. Jaehyun mengerucutkan bibirnya.

"Tapi ini benar-benar sakit tahu." Balasnya sebal. Taeyong mengibaskan tangannya tak acuh kemudian mulai berjalan keluar kelas yang diikuti Yuta namun sebelum itu Jaehyun menarik lengannya.

"Apa nanti kau akan tampil di panggung aula?"

Taeyong menatapnya kemudian mengedikkan bahu. "Bisa iya bisa tidak. Apa kau akan tampil?"

Jaehyun mengangguk kemudian tersenyum. "Aku akan tampil. Kau harus menontonku di barisan paling depan, ya." Ucapnya. Taeyong menaikkan sebelah alisnya.

"Bukannya kau tidak punya ekstrakurikuler?"

Jaehyun melepas pegangannya pada lengan Taeyong kemudian bersedekap. "Pokoknya kau harus lihat dan duduk di barisan paling depan saat aku tampil nanti."

Taeyong memutar bola matanya mendengar jawaban tak nyambung dari Jaehyun. Ia pun mengangguk, "Iya iya."

"Ya sudah aku tinggal dulu. Kalian cepat hubungi teman kelas kalian. Ingat, acara dimulai pukul delapan." Ucap Taeyong kemudian berjalan meninggalkan kelas. Saat di depan kelas, Yuta berbisik, "Pokoknya buat rumah hantunya seseram mungkin, ya."

Jaehyun dan Doyoung terkekeh kemudian mengangguk sembari mengacungkan ibu jari mereka.

"Siap."

.

.

.

Festival sekolah SMA Heaven pun resmi dimulai. Sudah banyak stand makanan yang buka dan pengunjung dari sekolah lain maupun alumni pun sudah mulai berdatangan. Seluruh kelas sudah siap dengan temanya masing-masing dan beberapa murid kelas mulai mempromosikan kelas dekorasi mereka setiap ada yang lewat. Begitu pula dengan Jaehyun dan Doyoung yang sibuk mempromosikan rumah hantu mereka. Mereka kebagian tugas mengurus masalah tiket masuk. Pengunjung sudah lumayan ramai jadi mau tidak mau mereka harus melayani lebih cepat.

"Jaehyun."

"Hm?"

"Apa kau sudah melihat tema kelas Senior Taeyong?" Tanya Doyoung di sela-sela kegiatan mereka. Jaehyun melirik Doyoung sebentar kemudian mengangguk. "Sudah. Kelasnya bertemakan luar angkasa. Aku melihat Taeyong mengenakan kostum astronot tadi."

"Wow. Aku jadi ingin melihat dekorasinya. Bagaimana kalau nanti kita mengunjungi kelasnya?"

Jaehyun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi setelah selesai memberi tiket masuk. "Kita akan mengunjungi kelasnya setelah Taeyong mengunjungi rumah hantu kita." Balasnya. Doyoung memutar bola matanya malas.

"Mana mungkin Senior Taeyong akan mengunjungi rumah hantu kita. Kau lihat sendiri saat tadi pagi ia berteriak ketakutan hanya karena gelap. Dan kau masih berharap ia akan mengunjungi rumah hantu kita? Mustahil."

Jaehyun mengedikkan bahunya santai. "Kita lihat saja nanti."

.

.

.

"Ini konyol sekali. Ugh. Ingin rasanya aku membakar dirimu, Yuta."

Yuta tergelak mendengar umpatan Taeyong. Ia merangkul Taeyong dan berkata, "Dewi Fortuna memang selalu memihakku ketika bermain suit. Kau terima dan nikmati saja kekalahanmu, Taeyong."

Taeyong berdecak kemudian melepas rangkulan Yuta. Mereka pun sudah tiba di rumah hantu kemudian mengantre pada barisan pembelian tiket.

"Oh. Senior? Kalian datang rupanya." Ucap Doyoung sumringah saat melihat Yuta dan Taeyong berbaris di hadapannya. Yuta mengangguk kemudian mengernyit, "Kau sendiri? Di mana Jaehyun?"

"Jaehyun sedang ke toilet, Senior." Balasnya. Yuta mengangguk kemudian mengambil tiketnya. Giliran Taeyong yang membeli tiket.

"Semoga kau menikmati wisata rumah hantu kami, Senior." Ucap Doyoung gembira. Taeyong mengangguk malas kemudian mengambil tiketnya dan menghampiri Yuta yang berada di ujung pintu masuk.

"Ayo, Yuta."

"Heee. Sudah tak sabar rupanya. Sabar, Kakak OSIS yang terhormat. Kita harus menunggu satu orang lagi." Balasnya. Taeyong mengernyitkan dahinya, "Sia—"

"Kalian sudah datang rupanya."

"—pa? Jaehyun?"

Taeyong membulatkan matanya. Ia melirik Yuta dan Jaehyun bergantian kemudian menyipitkan matanya menatap dua orang di hadapannya penuh curiga.

"Aku mencium bau konspirasi di sini. Hah. Harusnya dari awal aku sudah tahu kalau kalian memang ingin membuatku mati berdiri."

Yuta dan Jaehyun ingin tertawa tapi tak tega. Yuta pun bersedekap dan menatap Taeyong. "Lee Taeyong yang terhormat, kau itu sudah tujuh belas tahun dan otomatis kau semakin dewasa. Apa kau ingin menjadi seorang penakut seumur hidupmu?"

Taeyong menatap Yuta datar kemudian berdecak. "Lagi pula, ada Jaehyun di sini. Aku sengaja memintanya agar ikut menemanimu takut-takut kau pingsan saat melihat hantunya. Aku tidak kuat menggotongmu sendirian tahu."

Taeyong menoyor pelan kepala Yuta kemudian bersedekap. "Kalian menyebalkan sekali."

Jaehyun yang melihatnya pun menghela napas sabar kemudian ia menggenggam tangan kanan Taeyong. "Tidak apa-apa. Di dalam itu semuanya bohongan. Kau tidak perlu takut selama ada aku yang berada di sisimu." Ucapnya kemudian melengkungkan kurva tipis. Taeyong menatap Jaehyun. Jantungnya yang awalnya berdebar karena takut menjadi tambah berdebar karena digenggam dan ditatap hangat oleh Jaehyun. Ia pun membalas dengan senyuman kecil. Yuta memutar bola matanya melihat romansa keduanya.

"Kalau dengan Jaehyun saja tidak galak giliran denganku galaknya keterlaluan. Dasar." Ujarnya sarkastis. Taeyong beralih menatap Yuta kemudian menyipitkan matanya.

"Kau ini komentar saja. Kaupikir kau netizen? Lagi pula," Taeyong menatap Yuta dari bawah sampai atas dan bergantian. "di saat seperti ini, bisa disimpulkan bahwa kau merupakan orang ketiga di antara kami. Dan biasanya orang ketiga itu adalah se—"

"—tan. Ya Tuhan. Sialan kau. Untung aku orangnya penyabar." Yuta mengelus dadanya dramatis. Taeyong dan Jaehyun menahan tawa. Jaehyun pun menuntun Taeyong menuju depan pintu masuk rumah hantu.

"Jangan memedulikan slogan spanduk rumah hantu ini. Teriak saja jika kau ingin. Dan jangan sampai genggaman tanganmu terlepas ya." Bisik Jaehyun yang masih dapat didengar oleh Yuta. Taeyong mengangguk. Jujur ia lumayan gemetar sekarang.

"Dasar Jung modus Jaehyun." Gumamnya datar.

Mereka pun mulai memasuki pintu masuk.

"Selamat bersenang-senang!" seru Doyoung dari luar. Ia harus siap-siap menahan tawa karena yakin akan banyak teriakan yang didengarnya nanti.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


Lanjut atau tidak?

Terima kasih sudah membaca~ silakan tinggalkan jejak di kolom review ya! :D