Naruto © Masashi Kishimoto

Exterminate Time © liaprimadonna

Pairing: Narusasu

.

.

Menjalin cinta selama hampir dua tahun dengan sang kekasih, membuat hidup Uchiha Sasuke makin sempurna. Kekasihnya memang bukan seorang wanita cantik dengan gincu tebal di bibirnya, bukan wanita berdada besar dengan pakaian yang sexy, dan bukan pula wanita dengan sifat anggun yang akan terus menempelinya seperti lintah.

Tidak, bukan yang seperti itu. Tidak karena kekasihnya bukan seorang wanita, tidak karena kekasihnya bukan berdada besar dan berpakaian sexy. Namun kekasihnya hanya seorang pria bergaya santai yang sanggup memukau seorang Uchiha Sasuke.

Ya—seorang pria.

Sasuke berpacaran dengan seseorang yang sejenis dengannya, karena ia adalah seorang... gay.

"Uchiha Sasuke dan apron bunga-bunganya."

Komentar bernada bosan itu membuat Sasuke menoleh. Ia sekarang tengah disibukkan dengan satu spatula yang mengaduk-aduk isi wajan yang panas di atas kompor. Sajian berbau gurih dari omurice yang sudah setengah matang itu masuk ke indera penciuman.

"Kau aneh!"

"Hm?"

Sasuke mengambil satu piring dan memindahkan omurice itu di sana. Begitu ia berbalik ke meja makan, ia melihat wajah masam sepupunya.

"Kenapa?" tanya Sasuke, ia sebenarnya sudah tahu apa yang membuat sepupunya itu bertampang masam sepagi ini.

"Kenapa kau membuatkan kopi untukku?!" seru sepupunya itu, namanya Suigetsu. Ia menatap cup kopi dengan ekspresi jijik, seolah-olah iracun.

Sasuke meliriknya. "Kopi ini bukan untukmu. Kalau kau mau minum, kau bisa mengambil sesuatu di kulkas."

"Aku ini tamu, dan tamu adalah raja."

"Ya, tamu yang menerobos rumah orang tanpa menekan bel."

Suigetsu meringis, sindiran itu menusuk dadanya. "Tadi pintunya tidak dikunci jadi aku masuk saja," kilahnya.

Sasuke mengangguk-anggukkan kepalanya tak peduli. Ia menunggu beberapa saat sampai asap kopinya sedikit menghilang. Dua sajian di depannya masih sama-sama panas, ia berinisiatif mengipasinya dengan tangan.

"Di mana laki-laki itu?" tanya Suigetsu kemudian.

"Kenapa kau tidak mengurusi kekasihmu sendiri?"

Sudut bibir Sasuke melengkung ketika melihat wajah Suigetsu tertekuk lebih dalam karena ucapannya barusan. Sepupunya memang mudah sekali terpancing emosi, dan ia lebih suka menampilkan wajah masamnya kepada Sasuke jika hal itu terjadi.

Mereka adalah sepupu dari keluarga ayahnya. Kebetulan sang ayah, Fugaku, memiliki sepupu wanita yang seumuran dengannya dan melahirkan putera bernama Suigetsu. Dengan kata lain hubungan mereka cukup rumit jika dijelaskan dengan kata-kata. Mereka adalah sepupu jauh.

Suigetsu menghela napas. "Juugo bukan kekasihku. Aku masih menyukai dada wanita tahu."

"Maksudmu Karin?"

Wajah Suigetsu mendadak merah, mulutnya segera mencebik. "Karin berdada rata. Dia bukan tipeku."

"Katakan itu pada wajahmu yang memerah."

"Aku kepanasan!"

"Di hari sepagi ini? Alasan yang masuk akal."

Suigetsu tidak peduli dengan sindiran itu.

"Naa, Suke. Aku lapar." Ia bertopang dagu di meja sembari menatap Sasuke yang sibuk mengipasi omuricenya. Lalu sepupu manisnya itu hanya menanggapi ucapannya dengan alis terangkat tinggi. "Buatkan aku sesuatu juga, ya."

"Kau datang hanya untuk itu?"

"Menurutmu, alasan apa lagi yang membuatku datang ke sini pagi-pagi sekali kalau bukan itu?" Suigetsu mengangkat bahu tak acuh.

"Sudah kuduga." Sasuke mendesah.

Sepupunya memang sudah terbiasa datang ke rumahnya tiba-tiba hanya untuk meminta sarapan. Katanya Suigetsu melakukan hal itu untuk menghindari Juugo yang sering sekali datang ke rumah untuk menginap. Semenjak ia tahu kalau gay itu nyata, ia memang menganggap semua pertemanan pria dengan pria merupakan hal yang tabu juga.

"Bisakah kau menunggu sebentar? Aku akan membuatkannya nanti, kebetulan aku juga lapar."

Suigetsu mengangguk semangat. Ia tahu bahwa Sasuke paling tidak tega melihat dirinya kelaparan. Kalau semua orang itu sebaik Sasuke, mungkin tidak akan ada yang kelaparan lagi di dunia ini, pikirnya.

"Jadi," suara Suigetsu mengembalikan kesadaran Sasuke akan keberadaan sepupunya itu, "di mana kekasihmu?"

Cup kopi yang terangkat lebih dulu mendapat perhatian Suigetsu sebelum Sasuke menjawab. Begitu pinggiran cangkir itu nyaris menyentuh bibir pria itu, sebuah teriakan keras disusul bunyi kaki yang melangkah kasar, mengalihkan keduanya, dan itu cukup menjawab pertanyaan Suigetsu.

Pandangan mereka teralih. Di sana mereka melihat pria yang menjadi topik mereka barusan, berjalan dengan langkah kaki yang lebar menuju ke meja makan.

Kemudian Suigetsu dipaksa mengernyit. Ia memindai penampilan pria itu; berantakan dan kacau. Bahkan proa itu juga tak segan-segan merampas kopi milik Sasuke sebelum si empunya sempat menyesapnya.

"Naruto," sapa Sasuke.

Ya, namanya Naruto.

"Uh, pahit seperti biasa," komentar Naruto dengan ekspresi aneh, lalu meletakkan cangkir dengan isi nyaris kosong. "Lain kali tambahkan gula, Sasuke."

"Hm," Sasuke bangkit dari kursinya dan menaruh cangkir itu ke wastafel.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?" Naruto bertanya sambil menyesap susu kotak dingin dari dalam kulkas. Sasuke sedikit mengernyit, apakah kopi satu gelas tadi tak cukup membuat kekasihnya kenyang?

Sasuke kembali ke meja makan dan duduk di sana. "Aku sudah membangunkanmu puluhan kali, dan kau selalu bilang 'lima menit lagi', dan aku mengulangnya setiap lima menit sekali hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama."

"Ingat apa yang kukatakan soal satu cara lain untuk membangunkanku?"

Sasuke mengerutkan dahi. "Apa? Menggelitikimu?"

Tidak ada yang memerhatikan Suigetsu bahkan ketika pria dengan mata ungu itu membuka lebar mulutnya dengan terkejut. Percakapan sepasang kekasih itu memang aneh, tetapi entah mengapa Suigetsu selalu merasa terkejut akan tingkah mereka.

Suigetsu mencatat; tinggal satu atap bersama memang tindakan yang salah, kedua orang itu terlihat nyaris gila. Suigetsu mengingat-ingat untuk memisahkan mereka berdua nanti. Sikap Sasuke sudah sangat out of character dan ini tidak bisa dibiarkan.

Suara Naruto kembali terdengar, "Lalu kenapa tidak kau lakukan?"

"Pernahkah ada yang memberitahumu kalau tidurmu itu benar-benar kacau? Kau bisa menendang apa pun yang mengganggu tidurmu."

Tak ada balasan apapun dari bibir Naruto. Ia memerhatikan ekspresi Sasuke yang tampak tenang dan tidak terusik. Ia mencoba mengingat bagaimana terakhir kali ia hampir saja menendang Sasuke jatuh dari tempat tidur jika saja ia tidak langsung sadar. Hal itu terjadi karena Sasuke memaksanya untuk bangun padahal Naruto baru saja tidur selama tiga jam lamanya.

Naruto kembali melihat arlojinya, ia harus segera bergegas. Hari ini, ia sudah berjanji akan pulang ke Konoha dan naik kereta dengan tiket yang sudah dibelinya kemarin. Seharusnya ia bisa bangun lebih pagi supaya tidak ketinggalan kereta itu. Ia bahkan tidak peduli lagi bagaimana mata Sasuke terus mengawasi gerakan tubuhnya ketika ia bergerak ke lemari kaca dan mengeluarkan sesuatu dari sana, lalu kembali ke meja makan.

"Ini." Naruto meletakkan kotak bekal ke meja dan membiarkan Sasuke memindahkan omurice hangat itu ke dalamnya. "Aku akan pulang sekitar jam satu, kita akan makan siang bersama."

Naruto sudah tak membutuhkan jawaban apa pun dari Sasuke.

Tepat ketika ia akan pergi dari sana, Sasuke menahan tangannya. Tekanan halus di telapak tangan membuat Naruto berbalik. Dari tatapan kedua pasang mata itu, Suigetsu tidak tahu pasti apa yang tersirat, tetapi ia melihat ekspresi wajah Naruto yang berubah menjadi lembut.

"Oh, aku lupa." Naruto tersenyum kecil lalu mendaratkan sebuah ciuman kilat di pelipis kanan Sasuke. Dan itu membuat Suigetsu membuka mulutnya lebar-lebar.

"Ow, sialan."

"Aku berangkat."

Tak lama kemudian Naruto sudah menghilang dari pandangan keduanya, Suigetsu langsung menatap sepupunya itu dengan tatapan serius.

"Kau harus jujur padaku, kopi itu bukan kau buat untuk Naruto 'kan? Aku tahu benar bagaimana selera kopimu." Suigetsu hanya mendapatkan kedikkan bahu atas pertanyaannya. Ia mendesah.

"Ya, tapi omurice itu memang untuknya," jawab Sasuke dengan tenang.

Suigetsu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, apa yang terjadi di hadapannya sudah cukup menguatkan bukti selama ini. Ia sudah mengira bahwa Sasuke berubah, paling tidak, ia bukan orang yang akan diam saja ketika miliknya diambil orang lain—entah itu kopi sekalipun. Sasuke tidak sudi memasak untuk orang lain—ia terlalu apatis. Sasuke juga orang yang tidak pernah menunjukkan mata memohon untuk mendapatkan sesuatu, dalam kasus ini adalah soal ciuman di pelipis.

Sekali lagi Sasuke itu apatisme terhadap hal-hal semacam itu.

Sasuke menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri. Ini tidak benar. Sasuke telah berubah menjadi remaja tigabelas tahun yang sedang jatuh cinta.

"Kau sudah mau pulang?" tanya Sasuke ketika mendapati Suigetsu membenahi pakaiannya di depan cermin. "Kau tidak jadi sarapan di sini?"

Suigetsu mengangkat bahu, ia tidak tahan berada di sini, "Ya, aku tak mau terkontaminasi jika—sekali lagi—melihat lovey dovey kalian berdua," katanya. Ini serius.

"Kau bahkan sudah melihatnya ratusan kali—sejak kita kuliah."

Pandangan mata Suigetsu berubah serius ketika menatap Sasuke yang terduduk di tangan sofa. "Sedikit banyak aku mendengar, bahwa gay itu bisa menularkan orang terdekat. Bagaimana kalau aku terjangkit?"

Sasuke mengerutkan dahi. Tidak suka dengan penuturan itu.

Suigetsu mencibir. "Kau tidak sadar betapa idiotnya dirimu, ya? Aku merasa Uchiha yang tampan, angkuh dan beku ini sekarang sudah meleleh akibat semangat api yang menguar pada diri seorang Namikaze Naruto."

"Apakah salah jika aku mencintainya?" Dahi Sasuke kembali berkerut.

Suigetsu menepuk dahinya kuat. "Oh, dammit, Sasuke! Ini bukan soal kau mencintainya atau tidak! Kau tidak merasa kalau kau sudah banyak berubah ketika kalian menjadi sepasang kekasih?"

Mata Sasuke menerawang pada helaian tirai yang melambai tersapu desau angin. Tak ada kesimpulan yang bisa ia tarik dari perkataan Suigetsu mengenai perubahan.

Apa Suigetsu berpikir bahwa dirinya berubah menjadi semacam monster begitu? Dalam kasus ini Naruto disalahkan—dan bukan tak mungkin jika Suigetsu sudah menuduh bahwa Naruto adalah seorang penyihir jahat.

"Ouch!" Sasuke mengaduh ketika sebuah bunga plastik mengenai pipinya.

Di sana Suigetsu—tersangka utama—menyeringai sadis. "Kau pasti berpikir bahwa aku menghasutmu."

"Kau tidak mungkin melakukannya." Sasuke mengambil satu tangkai bunga plastik itu dan menaruhnya di vas.

Suigetsu mengangkat bahu. "Memang tidak mungkin," kemudian kembali mematut diri di cermin, "tapi aku berpotensi untuk melakukan itu."

Napas Sasuke tercekat. "Kau—" ia menjeda, "kau menyukaiku?"

Selanjutnya, beberapa tangkai bunga plastik kembali menghantam wajahnya, Sasuke terkekeh. Tangannya terlipat di dada dan menatap Suigetsu dengan pandangan tak terbaca.

"Aku tidak suka kau menatapku seperti itu?"

Salah satu alis Sasuke naik. "Kenapa? Kau takut jatuh cinta padaku?"

Suigetsu berusaha mati-matian agar tidak meninju sepupunya ini.

"See? Kau berubah 'kan? Kau tidak pernah mengatakan hal-hal mengerikan semacam itu padaku. Laki-laki itu benar-benar hebat, racun apa yang dia berikan padamu hingga kau berubah menjadi orang yang terlalu bersahaja seperti ini?"

"Naruto mengajarkan banyak hal padaku. Tidak selamanya aku harus menutup diri—setidaknya itu yang dia katakan padaku."

"Sudah kuduga. Jadi, hal mengejutkan apa lagi yang tidak aku ketahui dari dirimu?"

"Kau berkata seolah-olah aku ini bukan Sasuke."

"Kau memang bukan Sasuke—maksudku, kau tidak terlihat seperti Sasuke; yang angkuh, tenang, bahkan tidak peduli dengan hal apa pun. Kau berubah, Sasuke, kau bahkan tidak pernah menghabiskan waktu bersama kami lagi. Apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan padamu?"

"Dia bukan 'laki-laki itu', Sui, dia punya nama."

Suigetsu memutar bola mata. "Yeah, maksudku Naruto." Keheningan sampai lima detik menyapa, sampai ia berujar, "Kurasa kalian tidak harus tinggal bersama."

Sasuke tidak menjawab.

"Dia membawa pengaruh buruk untukmu."


Sudah pukul tiga lebih duapuluh empat menit Sasuke menunggu. Bahkan ia tidak begitu peduli ketika di mana jarum detik bisa terdengar begitu keras seolah mengetuk pintu hatinya.

Ia mengabaikan, menganggap ucapan Suigetsu hanya angin lalu. Walaupun semakin ia melakukannya, semakin ia menyadari bahwa apa yang dikatakan sepupunya memang benar.

Sejak lahir ia ditakdirkan gay. Seluruh keluarganya mengetahui fakta itu.

Sasuke tidak malu, justru ia bangga ketika bisa mendapatkan Naruto.

Semenjak bersama pria itu, Sasuke menjadi pribadi yang lebih sering tersenyum. Ia tidak menyembunyikan kemarahannya jika ia memang tidak suka. Ia tidak pernah mengelak, tak pernah mengeluh, selalu melakukan apa pun yang Naruto inginkan.

Apalagi? Ini sudah sempurna.

Pernah sekali ia bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Kenapa ia terlalu mencintai Naruto?

Tapi, apa cinta butuh alasan?

"Teme, maaf, aku terlambat." Suara hentak kaki yang keras disusul teriakan masuk ke indera pendengaran Sasuke. Ia berusaha untuk tersenyum ketika melihat Naruto langsung menghambur di dekatnya. "Kau menungguku, ya?"

Sasuke hanya menatapnya.

"Jam berapa ini?" Naruto melirik jam dinding, lalu memekik, "Ya Tuhan, kau sudah makan?"

Sasuke menggeleng.

Naruto berdecak. "Seharusnya kau tidak usah menungguku, kau bisa makan duluan." Ia tampak mengeluarkan isi satu paperbag dengan label sebuah resto di depannya. "Tapi sayang sekali, aku hanya membawa waffle, tadi aku sudah makan siang karena aku lapar sekali."

"Kau—"

"Hm?"

Tiba-tiba semuanya terasa mengambang.

Selama beberapa detik lamanya mereka saling menatap satu sama lain. Tidak ada getaran, tidak ada debaran. Sasuke yang pertama kali merasa bahwa ada titik jenuh di mana ia menatap Naruto tanpa minat. Sementara Naruto menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun; mengingkari janji makan siang bersama bahkan membawa makanan dengan rasa yang tidak disukai Sasuke.

Ini aneh, rasanya sedikit banyak dirinya terpengaruh ucapan Suigetsu.

"Ah, benar juga, kau tidak suka manis." Naruto bergumam, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia berdiri dari duduknya setelah menaruh waffle vanilla itu di meja yang ada di hadapan mereka. "Mau kubuatkan sesuatu?"

Dahi Sasuke berkerut. "Kau tidak memaksaku memakan ini?" tanyanya polos.

Naruto terdiam. Heran. "Kau tidak mungkin makan ini 'kan? Aku tidak mau kau memaksakan diri lalu mati setelahnya."

Ceplas-ceplos memang tabiat Naruto, tanpa sadar Sasuke tersenyum.

Lihatlah, ini adalah fakta bahwa Naruto tidak sepenuhnya memaksakan kehendaknya di sini, Sasuke-lah yang acap kali memaksakan dirinya untuk mengimbangi Naruto. Ia sama sekali tidak diubah, tetapi ia yang memilih berubah. Sasuke harus memberi Suigetsu kabar baik ini secepatnya.

"... me, Teme?!"

Sasuke terkesiap. "Ya?"

"Kau melamun." Entah sejak kapan Naruto memakai apronnya. "Kau mau aku buatkan apa?"

Sasuke menggeleng sambil tersenyum, memang apa yang bisa dibuatkan Naruto untuknya? Kemungkinan terburuk adalah telur goreng gosong, kemungkinan terbaik—tetap yang terburuk—adalah ramen instan.

"Waffle saja sudah cukup," katanya.

"Heee, kau bisa mati nanti."

"Tidak mungkin. Karena kau akan membuatku tetap hidup 'kan?"

Tawa Naruto meledak bahkan sampai-sampai ia mengalami kram perut kronis. Ia kembali duduk di sebelah Sasuke dan menatap kekasihnya yang menampilkan ekspresi heran yang menggemaskan. Setelah yakin air mata yang menggenang di pelupuk mata sudah diusap, Naruto lalu menatap Sasuke dengan pandangan geli.

"Memang bagaimana caranya membuatmu hidup lagi setelah mati?" Ia mengusap pipi Sasuke dengan lembut.

Sasuke melipat tangannya di dada, berpikir. "Mungkin memberi napas buatan?"

"Aku melakukannya setiap hari, membosankan tahu!"

Tangan Sasuke meremas dadanya kuat. Pura-pura sakit. "Kau menyakiti hatiku. Padahal itu yang selalu kutunggu setiap hari."

Naruto terkikik. "Mau melakukannya sekarang?"

Selanjutnya tidak ada jawaban dari Sasuke, ia terlalu larut dengan basah yang tiba-tiba terasa di leher kirinya. Sudah cukup bagi Sasuke untuk mendapatkan apa yang diinginkan Naruto selanjutnya.


Usaha Suigetsu untuk membuat pilar-pilar kepercayaan Sasuke terhadap Naruto mengikis belum berakhir.

Di dalam rumahnya, ia sudah memasang tampang yang masam membuat Juugo yang malam itu datang ke sana menjadi bingung. Bahkan ia sempat disembur beberapa menit yang lalu setelah mencoba bertanya pada pria kurus itu.

Ponsel sebesar telapak tangan itu habis diremat Suigetsu, ekspresi wajahnya bahkan terlihat seperti tengah buang air besar—di mata Juugo. Setelah mengetahui apa penyebab sahabatnya kesal, Juugo mendesah. Lelah.

"Sampai kapan kau akan mengganggu hubungan mereka?" tanya Juugo pada akhirnya, walau secepat kilat ia mendapatkan deathglare mematikan dari Suigetsu—yang tidak mempan tentu saja.

"Lihat," Suigetsu mengutak-atik ponselnya, "lihat apa yang dia katakan padaku!"

From: Sasuke

Aku sudah meyakinkan diriku, bahwa aku semakin mencintainya. Senangnyaaa... :v

Urat-urat kemarahan Suigetsu hampir putus dibuatnya. Ini pertama kalinya ia mendapatkan pesan menjijikkan seperti itu dari Sasuke, bahkan terlintas di pikirannya kalau mungkin saja bukan Sasuke yang mengiriminya pesan, tapi orang lain.

Juugo menghela napas. "Berhentilah menyudutkan Naruto, dia pria yang baik."

"Astaga! Apakah dia juga meracunimu?" Suigetsu menggelengkan kepalanya dramatis. "Pria itu memang malapetaka."

Juugo segera meraih kedua bahu Suigetsu, membuat sahabatnya itu menatapnya. "Dengar, mereka sudah pacaran selama lebih dari satu tahun. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?"

"Tapi, dia itu bermulut besar, berandal, urakan, bodoh dan—"

"Apa cinta memandang semua itu?" potong Juugo. "Yang menjalankan hubungan itu Sasuke, bukan kau."

"Tapi—"

"Aku sangsi dengan semua ketakutanmu itu," potong Juugo lagi. "Kau mengintimidasi Naruto terus menerus, tapi lihat, dia bahkan tidak pernah gentar sedikit pun. Kau pasti salah dengan prasangkamu terhadapnya selama ini."

"Itu karena dia bodoh."

"Atau karena cinta?" Juugo kemudian menjatuhkan kepalanya di sandaran sofa. "Kalau Naruto tidak mencintai Sasuke, dia tidak akan bertahan 'kan?"

Suigetsu menunduk, menepis tangan Juugo yang kini berada di bahunya. "Kau memang tidak peduli pada Sasuke," gumamnya.

Tak ada yang bisa diutarakan Juugo sebagai pembelaan. Hal-hal seperti ini sering terjadi bahkan membuat Juugo tak mengerti lagi kenapa Suigetsu sangat paranoid.

Ini adalah bahasan yang sangat sensitif untuk sahabatnya itu. Kalau sudah begini, ia akan membahas semua alasan-alasan kenapa ia begitu protektif terhadap Sasuke.

"Aku tidak mau kejadian terdahulu terulang."

Melirik sekilas, Juugo melihat tangan Suigetsu mengepal. Mungkin ini memang topik yang seharusnya tidak pernah mereka bahas.

Terus terang saja, Juugo selalu merasa bersalah jika Suigetsu menjadi orang yang begitu rapuh karena membahas hal ini. Ia sudah tahu betul bagaimana hubungan antara Suigetsu dan Sasuke, mereka sangat dekat bahkan ketika keduanya masih sangat kecil. Suigetsu menyayangi Sasuke sebagai sepupu dan begitu juga sebaliknya. Ikatan mereka terlalu kuat.

Juugo merangkul bahu Suigetsu dengan sebelah tangan.

"Maafkan aku."

Setidaknya itu yang bisa ia katakan untuk sekarang.


Uchiha Sasuke adalah orang yang mencintai kesehatan.

Itu sebabnya ia selalu membersihkan debu dan kotoran apa pun yang hinggap di setiap inci perabotan rumahnya. Alasan lain, tentu saja karena Naruto adalah orang yang mudah sakit. Pekerjaan Naruto yang mengharuskan lembur tengah malam terkadang membuat staminanya turun, mau tak mau membuat Sasuke mengawasi kebersihan rumah agar tak memperburuk keadaan.

Setelah mereka sepakat tinggal bersama setengah tahun lalu, banyak kebiasaan buruk Naruto yang akhirnya teruangkap. Mulai dari sering minum alkohol, merokok dan makan-makanan instan.

Sasuke berulang kali memperingatkan kekasihnya. Namun, Naruto memang pria yang bebal.

Suara derit pintu terdengar, Sasuke mengalihkan matanya melihat sosok Naruto keluar dari kamar. Langkah terseret, mata setengah terpejam menuju dapur. Sasuke menggeleng, pasti Naruto semalaman sulit tidur karena mereka menonton film horor sampai dini hari.

Sasuke kembali melanjutkan kegiatannya mengepel lantai, sampai suara Naruto terdengar, "Suke, kau belum membuat sarapan?" Belum sempat Sasuke menjawab, sosok Naruto muncul dari arah dapur. "Apa perlu aku yang membuatnya?"

Sasuke tahu apa yang dimaksud membuat versi Naruto, yaitu membuka cup ramen instan dan menuang air panas di dalamnya. "Tidak usah, aku akan menyelesaikan ini ... sepuluh menit."

Naruto mengerang. "Ah, itu terlalu lama, aku sudah lapar."

Gelagapan, Sasuke mulai menggosok-gosok lantai dengan kasar. "Tidak, tidak, aku janji lima menit lagi selesai," katanya.

Naruto mengibaskan tangannya sebelum berbalik. "Jangan khawatir, aku bisa membuat sarapan sendiri."

"Tidak, Dobe, tiga menit selesai!"

"Lama!"

"Satu menit! Ah, tidak, ini sudah selesai."

Sasuke akhirnya membuang alat pel itu asal dan berlari ke arah dapur menyusul Naruto. Belum terlambat untuk mencegahnya memakan makanan instan.

Sepuluh menit kemudian...

"Kau lupa belanja bulanan—Hoaamm." Asap yang mengepul dari ramen cup tidak membuat Naruto berhenti menguap. Ia mengantuk tapi juga lapar.

"Aku lupa," sesal Sasuke.

Naruto menepuk-nepuk bahunya. "Tidak apa-apa, aku juga lupa kemarin." Lalu tangannya mulai mengambil sumpit dan langsung mendapat pukulan dari Sasuke. "Aw, kenapa kau memukulku?"

"Kau belum cuci muka dan gosok gigi, bodoh!"

"Aish."

Naruto tetap melanjutkan aksinya. Kali ini Sasuke bangkit dari duduknya dan menyeret Naruto yang malas-malasan menuju ke kamar mandi.

"Kau tidak kerja?" tanya Naruto sambil mengulum sikat giginya.

"Hari ini monthly meeting, jadi hanya makan-makan di luar bersama pegawai lain sambil membahas permasalahan kantor. Mungkin sekitar tiga jam." Naruto mengangguk-angguk. Kemudian Sasuke bertanya, "Kau masuk jam lima?"

"Ya, seperti biasa."

"Aku pulang jam dua, kita bisa belanja bersama nanti."

"Baiklah, birku juga sudah habis."

"Tidak ada bir, Dobe—"

"Bukan bir, tapi minuman kaleng beralkohol." Setelahnya Naruto tertawa melihat ekspresi masam di wajah Sasuke. "Ya sudah, pergi sana, kenapa kau menungguiku di kamar mandi? Mau mengintip?"

"Dasar mesum!"


Deru mesin mobil mengiringi percakapan singkat antara Naruto dan Sasuke. Keduanya berdiri di samping bagasi dan sebuah Audy hitam tampak bergetar karena mesin mobil menyala.

Naruto mengusap matanya yang masih mengantuk. "Lain kali aku tidak akan mau nonton film horor."

"Kau pasti ketakutan." Sasuke mencibir

"Bukan takut, Teme, tapi kita tidur terlalu pagi sampai aku tidak bisa tidur lagi," bohongnya.

Sasuke mengangguk sembari melipat kemejanya sampai siku. "Ya, ya, tidak takut. Lalu siapa ya, yang memelukku erat-erat semalam? Hantu?"

"Bukankah aku selalu melakukan itu?"

"Tidak juga," jawab Sasuke enteng.

Rangkulan di bahu adalah yang diterima Sasuke setelahnya. Disusul kekehan Naruto.

"Shika, Kiba dan Shino akan kemari, boleh 'kan?" tanya Naruto kemudian. "Mereka mengambil libur di hari Senin, jadi aku ajak kemari."

"Temanmu juga temanku, ajak saja asal mereka tidak mengacau."

Naruto mengibaskan tangannya. "Ayolah, mereka hidup untuk mengacau, jangan hiraukan mereka. Aku akan membereskan kekacauan mereka tentu saja."

Sasuke memandang Naruto, skeptis. "Kau tidak pernah membereskan kekacauan apapun." Ia langsung bergegas ke samping pintu mobilnya. "Aku jalan dulu."

Naruto mendekat dan mencium bibir Sasuke sekilas.

"Ya, hati-hati."

Sasuke melambaikan tangan sesaat sebelum mencapai gerbang. Senyum Naruto mengembang lebar. Balas melambai.

Akan tetapi, ketika mobil menghilang dari padangan, senyumnya meluntur. Diusap bibir dimana ia mencium Sasuke. Rasanya masih aneh.

Setelah sekian lama, sikap lembut Sasuke sama sekali belum meluluhkan hatinya.

Ia tidak tahu untuk apa dirinya bertahan dengan hubungan ini. Ia hanya tidak tahu.


Sehari-harinya Naruto bekerja sebagai editor di sebuah kantor surat kabar. Baginya pekerjaan ini tidak sulit dan ia sangat menyukainya. Ia hanya harus mengedit beberapa berita yang masuk dari beberapa wartawan kantor dan menyusunnya menjadi paragraf apik.

Yang menyebalkan hanya jam kerjanya; setiap hari Naruto dituntut kerja seperti kelelawar. Siang tidur, malam bekerja.

Berbeda dengan Sasuke, saat berada di universitas, ia dan Sasuke berada di jurusan yang berbeda.

Saat itu Sasuke mengambil kuliah bisnis dan sekarang telah menjadi seorang manager di salah satu hotel di Tokyo. Bahkan untuk urusan keuangan, kekasihnya mendapatkan gaji yang lebih besar darinya setiap bulan.

Kampung halaman mereka ada sama-sama berada di Konoha, sedangkan di Tokyo mereka membeli sebuah rumah kecil yang cukup untuk hidup berdua.

Sampai detik ini Naruto tidak habis pikir kenapa ia bisa bertahan dengan Sasuke. Segala kepura-puraan ini membuatnya muak. Mereka resmi berpacaran karena terjebak permainan bodoh. Bukannya ia tidak tahu bahwa Sasuke sangat mencintainya, tapi ia hanya berusaha menulikan telinganya dari realita itu.

Dulu pernah satu kali ia mencoba menjauhi Sasuke dan mengatakan ingin putus, tetapi pada akhirnya ia bisa luluh pada penderitaan Sasuke setelah ditinggalkan olehnya.

"Naruto!"

"Eh, ya?"

"Sudah kuduga kau melamun."

"Maaf, maaf ..." Naruto mengerling pada Sakura, salah satu wartawan bagian olahraga di kantornya, yang juga merupakan teman satu universitasnya dulu. Gadis itu tampak bersiap dengan tas jinjing merah di tangan. "Kau mu pergi?" tanya Naruto.

Sakura mengangguk. "Semua data laporan beritaku hari ini sudah masuk, sisanya tolong kau edit. Minggu depan kategori berita di surat kabar kita akan ditambah, kau sudah tahu 'kan?"

Naruto mengiyakan.

"Nah, karena pekerjaan akan semakin banyak karena itu, bos sudah mendapatkan satu orang untuk menemanimu di sini mulai besok."

"Pegawai baru? Heee, malas." Naruto memutar bola matanya. "Jangan bilang aku harus mengajarinya dari awal. Menyebalkan."

Mendecih, gadis itu menjawab sembari menghadiahkan satu toyoran di kepala pirang itu. "Dia itu lebih senior darimu, sebelumnya dia bekerja di cabang kantor kita di Konoha. Kabar burung mengatakan dia menyogok bos untuk masuk ke sini dan mendapat posisi ini. Padahal dia sebelumnya juga di posisi yang sama di kantornya."

Naruto memeluk lengan tangan secara dramatis. "Jangan-jangan dia pengagum rahasiaku, bagaimana ini?" Satu cubitan mampir di pipinya, hingga sebelah wajahnya di tarik ke atas. "Aw, aw, aw ..."

"Siapa yang menyukai orang berandalan sepertimu?!"

Setelah cubitannya lepas, Naruto mengusapnya kesal. "Kau menyukaiku 'kan?"

Langsung saja wajah lawan bicaranya sedikit merona.

"Itu dulu ... bodoh!" Sakura membuang wajah. "Sekarang aku tidak menyukaimu lagi!"

Tawa Naruto meledak. Fakta mengenai Sakura yang menyukainya memang benar. Bahkan gadis itu pernah terang-terangan menyatakan cinta padanya, yang langsung ditolak karena Naruto mengaku sudah pacaran dengan Sasuke.

Lagipula Sakura bukan tipenya, meski gadis itu cantik, tapi postur tubuhnya belum menyokong sebagaimana tipe gadis idamannya.

Mungkin saja sekarang rasa suka Sakura terhadapnya memang sudah tidak ada lagi.

"Lagipula dia laki-laki." Suara Sakura kembali terdengar, melupakan fakta bahwa kekasih Naruto juga laki-laki. "Kalau aku lihat biodatanya—"

"Oi, oi, bagaimana kau bisa tahu biodatanya? Kau menguntit ruang kerja bos?"

"Pelankan suaramu, bodoh!" Sakura memukul bahu Naruto dengan tas. "Aku melihat datanya dari sekretaris bos, tadi dia menggosipkan ini denganku."

"Cih, dasar wanita."

"Usianya lebih tua darimu, dan dia lebih tampan," lanjut gadis itu dengan nada genit. "Namanya Shimura Sai."

"Oh, ya, ya. Semoga hubunganmu lancar dengannya," ejek Naruto yang langsung mendapat delikan kesal dari gadis cantik itu.


Handle pintu terbuka dengan sosok Naruto yang melangkah masuk ke dalam rumah. Seharusnya ia bisa pulang lebih cepat hari ini, tetapi ia malah terjebak di kantor dengan tugas menumpuk.

"Jam setengah satu, bagus sekali," gumamnya saat melihat jam di tangan.

Tatapannya terarah pada ruang tengah yang lampunya masih menyala, sayup-sayup terdengar suara televisi.

"Sasuke?" panggilnya ketika menemukan kekasihnya duduk di sofa memeluk bantal. Begitu melihat Sasuke tengah tertidur, ia bergegas menghampiri. "Suke, bangun."

Tak perlu waktu lama untuk membuat mata Sasuke terbuka.

"Hng... Dobe?"

"Kau belum tidur?"

Sasuke menggeleng sembari mengusap matanya yang lengket. "Aku menunggumu."

"Kau sudah makan?"

"Sudah."

Naruto mengangguk. Ia beralih melepas sepatu dan jam tangan yang melingkar di tangannya, disusul melepas jaket dan melipat lengan kemeja sampai ke siku. Malam ini agak gerah.

"Kau belum makan?" tanya Sasuke saat Naruto sudah selesai dengan kegiatannya.

"Belum." Naruto menjawab saat sudah bangkit dari tempat duduknya. "Aku akan makan ramen instan, masih ada 'kan?"

Sasuke buru-buru menegakkan tubuhnya.

"Tadi pagi kau sudah makan itu. Aku sudah masak tumis daging, kau hanya harus menghangatkannya di microwave." Saat tak ada jawaban dari Naruto, ia berdiri sambil berujar, "Kalau kau tidak mau biar aku yang melakukannya."

Sasuke melangkah ke dapur dan menarik tangan Naruto hingga membuatnya berhenti.

"Aku mau makan mie," kata Naruto.

"Jangan, Dobe! Jangan sia-siakan masakanku lagi kali ini."

Akhirnya Naruto mengalah dan beringsut duduk di sofa dengan nyaman. Sasuke mulai mengambil tumisan daging yang ada di lemari kaca dan mulai menghangatkannya.

Ia termenung, kalau sudah larut seperti ini ia tidak berani bertanya macam-macam pada Naruto. Kekasihnya itu pasti lelah karena pekerjaan. Padahal Sasuke sudah sering kali melarang untuk mengambil kerja tengah malam seperti itu. Tapi Naruto selalu bersikeras.

Beberapa menit kemudian tumis daging itu sudah hangat kembali. Sasuke mengambilkan nasi dalam mangkuk kecil, sumpit dan juga air putih. Begitu ia kembali ke ruang tengah, Naruto sudah terlelap dengan indahnya di atas sofa. Satu tangannya menjuntai ke bawah menyentuh lantai.

Akhirnya Sasuke terpaksa menaruh lagi baki itu di meja dapur dan menghampiri Naruto.

"Padahal kau belum makan," katanya dengan sangat pelan, mengusap pipi Naruto dengan lembut. Ia bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil selimut. Dibenahinya posisi tidur Naruto sepelan mungkin sembari membentangkan selimut. Wajah pria blonde itu terlihat sangat lucu ketika sedang tidur. Mulutnya sedikit terbuka. "Oyasumi, Dobe."


Pagi ini Sasuke tergesa-gesa membuat sarapan.

Salahkan dirinya yang bangun kesiangan dan lupa menyetel alarm. Padahal malam ini terasa begitu dingin tanpa Naruto di sampingnya. Pria itu seharusnya tidak ketiduran di sofa semalam.

Empat lembar roti tawar panggang dengan beberapa selai sudah tersaji di meja. Ia juga membuat satu gelas susu cokelat untuk Naruto dan satu kopi untuk dirinya.

Saat ia melihat jam di ruang tengah, saat itu pula ia melihat Naruto berjalan masih dengan mata terpejam. Ia tersenyum kecil. Dulu saat awal mereka tinggal bersama, Sasuke pikir Naruto punya kebiasaan sleepwalking.

Tetapi nyatanya tidak, pria itu sudah bangun dan ... hanya mengantuk.

Bruk.

"Awwuhh!" Naruto mengaduh, Sasuke bergegas melihat apa yang terjadi.

Di sana, Naruto duduk di depan tembok dekat kamar mandi. Sasuke langsung menghampirinya.

"Aduh! Mataku ... mataku buta, hidungku penyok, kepalaku terbentur! Aku amnesia! Aku di mana? Aku siapa?"

"Kau hanya memar, Dobe." Sasuke mendengus. "Lain kali hati-hati."

Naruto membalasnya dengan mengaduh sambil mengusap-usap dahinya. Lalu ia terkejut sendiri saat melihat pakaiannya masih sama dengan yang kemarin dipakainya saat bekerja. "Kenapa aku tidak ganti baju?" gumamnya.

Ternyata Sasuke mendengar walau kini ia tengah berada di dekat bufet untuk mengambil salep memar. "Kau tidak ingat?" tanyanya, "Kau ketiduran di sofa saat aku menghangatkan makanan. Dan aku tak cukup berani untuk mengganggumu tidur."

"Oh," Naruto menjawab singkat. Tangan Sasuke meraba dahinya untuk mengoleskan salep di sana. Rasanya sedikit nyeri, mungkin dahinya memerah. Lalu pandangannya beralih pada tubuh Sasuke yang sudah berpakaian rapi. "Kau sudah mau berangkat? Jam berapa ini?"

"Jam delapan," sahut Sasuke dengan asal. "Hari ini aku pulang malam jadi jangan menungguku."

"Baiklah." Tiba-tiba saja ponsel Naruto berdering di saku celana. "Heee, bahkan kau tidak mengeluarkan ponselku."

Sasuke membalasnya dengan kekeh ringan, lalu kembali ke bufet meletakkan salep obat itu di sana. Saat kembali ke dapur, ia membawa roti panggang dan susu coklat hangat ke meja ruang tengah. Di sana, ia melihat Naruto terkekeh sembali mengetik sesuatu di ponsel.

"Pesan dari siapa?"

Naruto mendongak, tapi hanya sebentar. "Dari temanku," tangannya menerima roti bakar dari Sasuke dan memakannya. "Ah, aku lupa sikat gigi."

Sepertinya Sasuke tidak mendengar, pria itu justru memberi pertanyaan lain, "Kenapa temanmu mengirim pesan sepagi ini?" tanyanya bingung.

Sasuke sudah hafal bagaimana Naruto di pagi hari, dan ia yakin bahwa teman-teman Naruto juga tahu bahwa kekasihnya itu bukan morning person. Percaya diri sekali mengirim pesan sepagi ini.

"Hm?"

"Urusan kantor?" Ada nada menyelidik dari ucapannya, Naruto bukannya tidak tahu.

Ia tertawa kering, perhatiannya lepas dari ponsel. Ia menatap Sasuke dengan mulut penuh roti. "Kalau bukan urusan kerja, bagaimana?" Naruto tersenyum misterius.

Tak ada jawaban dari Sasuke, pandangannya teralih dari wajah Naruto. Sementara Naruto sendiri memilih untuk mengabaikannya. Ia bukannya tidak tahu bahwa Sasuke adalah tipe pencemburu, namun pria itu sering kali bersikap denial untuk mengungkapkan kecemburuannya.

Pada akhirnya sisa sarapan pagi itu mereka habiskan dalam diam. Menurut mereka, itu cara ideal untuk menikmati sisa waktu mereka yang sangat sedikit.

"Aku pulang malam hari ini, jadi jangan—"

"Kau sudah mengatakannya tadi, ingat?" potong Naruto saat Sasuke tiba-tiba menginterupsi kegiatan mereka. Naruto nyaris tertawa melihat Sasuke menampilkan ekspresi terkekeh karena malu. Pria berkulit pucat itu memang sangat menggemasan ketika terkekeh. Tapi ia benar-benar tertawa ketika menyadari sesuatu. "Mukamu—Pfft—"

"Ada apa?" tanya Sasuke polos.

Naruto mengusapkan ibu jarinya ke sudut bibir Sasuke. Ada selai stroberi yang menempel di sudut bibirnya. "Padahal aku sudah menahan diri untuk tidak menyentuh bibirmu."

Suara erangan kesal adalah yang didengar Naruto selanjutnya. Ia melihat Sasuke langsung berdiri dan hendak membereskan peralatan makan mereka, tapi Naruto segera melarangnya dan menyuruhnya cepat-cepat.

"Aku pergi."

Naruto memegang pipi kiri Sasuke, tersenyum. "Hati-hatilah."


"Naruto bilang hari ini Sasuke pulang malam."

Sakura mengeluarkan suara pada akhirnya setelah menerima pesan terakhir dari Naruto. Ia menatap seorang pria di sebelahnya dengan pandangan curiga.

"Begitukah?" tanya si pria.

"Kenapa kau tidak bertanya padanya sendiri? Kau bilang Naruto adalah teman lamamu."

Pria itu tersenyum sangat lebar dan manis, membuat wajah Sakura merona. "Aku ingin memberi kejutan pada Naruto," katanya.

"Apa aku boleh membantumu?"

"Membantu apa?"

"Membantu memberi kejutan."

Pria itu menyodorkan satu botol kecil berisi beberapa butir obat. "Tentu saja, kau pasti akan sangat membantu."

"Apa ini?" tanya Sakura, kebingungan.

Senyum menyeringai menghiasi wajah pria itu. "Hanya obat tidur."

Si pria berdiri sambil mengusap kepala Sakura dengan gerakan lambat. Lalu meninggalkan gadis itu dengan segudang tanya mengenai kejutan apa yang sebenarnya direncanakan.

Tbc.