NARUTO by Masashi Kishimoto

and

'Applesauce' story is mine

Semilir angin memasuki sebuah kamar melalui pintu balkon yang terbuka. Menerpa rambut si pemilik kamar yang tengah sibuk dengan urusannya.

Si pemilik kamar yang berjuluk hime Hyuuga usia 18 tahun dengan Hyuuga Hinata sebagai nama lengkapnya, kini berkutat menata beberapa benda terdekat.

Ia sedang tak sendiri di kamarnya yang bernuansa ungu itu. Disana ada adik kecilnya yang sedang duduk manis mengamati apa yang dilakukan kakaknya saat ini.

Kedua orang itu berada di tengah kamar yang hampir kosong. Hampir semua barang telah dikeluarkan kecuali beberapa kardus di pojok kamar yang sebentar lagi akan dipindahkan.

"Hanabi-chan, bisa kau ambilkan perekat untukku? Aku membutuhkannya untuk kardus ini." pintanya tanpa melepaskan pandangan dari kardus yang sedang ditekuninya.

"Tentu saja, Onee-chan. Dimana terakhir kali kau melihatnya?" jawab gadis mungil berambut hitam bernama Hanabi sambil berdiri, siap untuk melangkah menuruti pinta kakaknya.

"Ada di dapur kalau tidak salah." jawab kakaknya sederhana sambil menerawang. Tidak lama, ia pun tertawa kecil karena tidak yakin atas jawabannya.

Hanabi hanya bisa mendengus mendengar tawa kakaknya. Ia pun berlari meninggalkan kakaknya seorang diri di kamar itu. Ia ingin memastikan kepada seseorang yang lebih tau di bawah sana,(read:lantai bawah)

"Maafkan aku, Hanabi-chan! Hihi."katanya keras. Sang kakak yang bernama Hyuuga Hinata tertawa di sela permintaan maafnya.

Ya, benar. Hari ini adalah hari packaging bagi Hinata dan keluarganya karena mereka akan pindah ke Konoha.

Mereka pindah bukan karena Suna tidak menyenangkan. Suna sudah menjadi tempat Hinata dan Hanabi tumbuh bersama.

Hyuuga Hiashi, Ayah mereka, memutuskan untuk pindah ke Konoha karena pekerjaannya. Lebih tepatnya untuk meningkatkan profit perusahaan. Karena tampaknya investasi di Konoha saat ini akan semakin memperkuat perusahaannya.

Meski mereka ingin tinggal lebih lama di Suna, Hinata dan Hanabi tidak bisa menolak keputusan sang Ayah. Banyak kenangan bersama Ibunya yang akan mereka tinggalkan.

Itulah mengapa barang-barang Ibu yang tersisa kini telah tertata rapi di dalam kardus dihadapan Hinata. Ia tidak ingin kenangan-kenangan itu hilang sepenuhnya.

Setidaknya masih ada foto, dan buku berisi tulisan tangan Ibu yang masih bisa diselamatkan Hinata. Dipandangnya foto itu lekat-lekat.

Memaksanya mengingat kembali wajah Ibu dengan senyum merekah, yang selalu mempesona siapapun yang melihatnya.

Ditengah angan Hinata, datanglah Hanabi dengan membawa perekat.

"Ini." Hanabi meletakkan perekat itu di tangan Hinata.

"Terima kasih banyak, Hanabi-chan" Hinata tersenyum kepada Hanabi yang kemudian dibalas dengan anggukan. Hinata lalu memasukkan kembali foto yang tadi dipandangnya.

"Sampai jumpa di rumah baru, Ibu." itulah barang terakhir di kamarnya untuk dikemas.

.

.

.

.

.

Sebuah mobil Mercedez kesayangan Hiashi dan keluarga, kini telah memasuki wilayah mansion.

Tertera nama keluarga Hyuuga di depan mansion besar itu yang mana memiliki luas yang sangat besar. Tentu saja terdapat taman yang indah dan luas, serta kolam besar di dalamnya.

"Whoaaa…" ucap dua bersaudara Hinata-Hanabi itu nyaris bersamaan saat mereka melihat air mancur lengkap dengan ikannya.

Setelah mereka turun dari mobil, Hinata dan Hanabi langsung bergerak masuk ke bangunan dengan design ethnic Jepang-modern tersebut.

Ayah mereka? Entahlah. Sibuk bekerja mungkin?

Terlepas dari ketidakhadiran Ayah Hinata dan Hanabi, sudah berderet para pelayan mansion yang menyambut mereka dengan senyuman.

"Selamat datang, Hinata-sama, Hanabi-sama." beberapa pria berjas hitam, dan juga para pelayan berseragam maid tersebut menyambut Hinata dan Hanabi bersamaan dengan bungkukan yang dalam.

"Sambutan yang meriah, ya?"Hanabi mengungkapkan pendapatnya sambil tersenyum sumringah.

Pendapat Hanabi ini memancing banyak tawa kecil oleh para pelayan dan petugas mansion. Hanabi dan Hinata rupanya cukup dekat dengan para pelayan mansionnya. Tak heran para pelayan terlihat cukup akrab dengan mereka.

"Makasih atas sambutannya, Minna. Aku dan Hanabi ingin melihat-lihat terlebih dahulu." senyum Hinata terhias di wajahnya seraya memasuki rumah barunya.

"Tentu saja, Hinata-sama" sahut mereka bersamaan.

"Ya, kalian bisa melanjutkan tugas kalian." kali ini yang berbicara ialah Hatake Kakashi, asisten dari Hiashi yang sedari tadi telah bersama Hanabi dan Hinata.

Ia juga berlaku sebagai ketua dari para pengawal dan pelayan.

Hanabi dan Hinata memutuskan untuk langsung melihat kamar mereka masing-masing. Hinata lalu berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai 2.

Dipercepat langkahnya yang kecil-kecil itu ketika melihat pintu kamarnya.

Pintu itu pun akhirnya dibuka, dan tanpa ia duga ternyata sudah berdiri seorang-

"A-Ayah..?" Hinata cukup terkejut melihat Ayahnya disini. Seorang Hyuuga Hiashi yang sibuk sangat jarang memiliki waktu untuk sekedar berada di kamar anaknya.

"Ah ya, Hinata." Hiashi tengah berada di tengah ruangan sambil melihat-lihat.

"A-apa yang Ayah lakukan disini?" tanya Hinata mencicit takut Ayahnya akan terusik dengan pertanyaannya.

"Tidak boleh, ya?" Hiashi malah balik bertanya dengan nada datar khas miliknya.

"B-bukan itu maksudku, Ayah."ternyata cicitan mematikan Hinata didengar oleh Ayahnya.

"Sebentar lagi Ayah juga akan segera pergi. Hanya ingin kau tahu, Ayah akan kembali ke Suna besok pagi untuk mengurus berkas-berkas yang belum terselesaikan."

"Bukankah Ayah baru saja kembali?" Hinata kemudian menghembuskan nafasnya yang berat-lagi tanda cukup kecewa atas apa yang baru disampaikan Ayahnya.

Tentu saja, ia kecewa. Bagaimana tidak? Hinata baru melihat Ayahnya hari ini setelah tidak melihat Ayahnya sejak seminggu yang lalu karena tengah berangkat ke Kanada untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Melihat raut wajah anaknya yang kecewa, Hiashi lalu berjalan keluar kamar.

"Ayah telah menyiapkan apapun untukmu dan Adikmu. Semua yang harus kau lakukan hanyalah menikmatinya. Masih belum cukup juga?" dengan tanpa perasaan Hiashi mengungkapkan pernyataan dan pertanyaan yang menyakitkan hati Hinata.

Apa semua bisa dibeli dengan uang?

Hinata hanya diam dan termenung mendengar hal terakhir yang diucapkan Ayahnya itu yang kemudian berlalu dari kamarnya.

"Ayah.."

Ia memutuskan melupakan yang baru saja ia alami. Ia pun tertarik pada sesuatu di luar kamarnya. Ia berjalan mendekati balkon dengan lesu.

Ketika sampai di balkonnya, ia mengamati sekeliling. Dengan jelas, ia dapat melihat lingkungan mansion-nya yang masih begitu asri. Tidak ada gangguan seperti suara bising kemacetan jalan raya. Semua hal yang ia dengar hanyalah suara angin yang berhembus disela-sela rambut panjang miliknya.

Panasnya matahari saat itu tidak mengurangi pemandangan yang dilihatnya.

Hinata begitu dimanjakan dengan pemandangan taman itu hingga akhirnya ia benar-benar tak lagi menghiraukan perkataan Ayahnya tadi.

Baru saja ia merasa begitu tenang dan damai namun tiba-tiba saja ponsel Hinata berdering.

Kring..kring

Kaget, ia berbalik kearah kamarnya lalu berlari menuju ponselnya yang ia letakkan diatas kasur.

"Halo?" Hinata menyapa duluan orang di seberang sana.

"Hai Hinata, ini aku. Kau sudah sampai di Konoha kan?" mendengar suara yang ia kenal, Hinata dengan cepat melihat kearah ponselnya. Setelah itu, ia lalu mengarahkan kembali ke telinganya. Ternyata, ia berniat melihat kembali nomer yang menghubunginya.

"Ah, ternyata Sakura-chan, kupikir siapa. Soalnya nomermu baru di ponselku. Iya, aku sudah sampai kok." Hinata lalu berjalan kembali ke arah balkon untuk mencari kenyamanan dalam berkendara. Eh, berbicara maksudnya.

"Hehe, ini nomer Ibuku. Nomerku kehabisan pulsa soalnya. Tehe. Mm syukurlah kalo sudah sampai." gadis bernama Sakura itu sedang mengalami krisis, dimana banyak orang juga yang bernasib sama dengannya.

"Oh begitu rupanya.."

"Mau kuantar jalan-jalan?"

"Mungkin lain kali, Sakura-chan. Aku rasa aku ingin istirahat hari ini."

"Ah, kau lelah ya? Baiklah kalau begitu...eh Aku tidak ingin pulsa Ibuku bernasib sama dengan punyaku. Sampai jumpa Hinata..."

Hubungan telponnya sudah terputus sebelum Hinata sempat membalas sapaan pamit Sakura.

"Dasar, Sakura-chan benar-benar krisis pulsa. Hihi." tawa kecil Hinata mengakhiri kalimatnya.

Sakura adalah teman masa kecil Hinata. Hinata sudah pernah tinggal di Konoha sejak ia lahir disana. Ia lalu menghabiskan masa SD nya di Konoha bersama Sakura sebelum akhirnya pindah ke Suna mengikuti keinginan Ibunya.

Karena jodoh dan beberapa hal lain, akhirnya Hinata kembali juga ke Konoha. Tehe.

Tok tok tok

Pintu kamar Hinata diketuk oleh seseorang.

"Siapa?" Hinata bertanya sambil berjalan ke arah pintunya.

Krieett.. Dughh

"Aw ittai yo " rintih Hinata kesakitan memegangi dahinya. Rupanya Hanabi mampir dan tanpa izin kakaknya membuka pintu kamar itu dengan gerakan cepat, yang akhirnya berujung menabrak dahi putih Hinata yang sekarang berubah merah.

"Hahaha. Gomen. Aku tidak bermaksud melakukannya. Hahaha" ujar Hanabi terpingkal-pingkal melihat dahi Hinata yang sekarang tak lagi merah melainkan membengkak.

"Awas kau, Hanabi-chan!" Hinata berteriak lemah. Ia masih memegangi dahinya berlari mengejar Hanabi yang terbirit-birit menjauh.

"Aku minta maaf…pft hahaha" Hinata semakin mempercepat larinya mendengar tawa Hanabi.

"Kalau minta maaf kenapa malah menertawaiku? Tunggu Hanabi-chan!" Hanabi juga semakin cepat dengan keahliannya menuruni tangga yang dilakukannya saat ini.

"Soalnya dahimu lucu sekali, Hahaha." Sebaliknya dengan Hanabi, Hinata semakin melambat karena harus menuruni tangga.

"H-hey!" Hanabi baru saja memasuki tikungan dan Hinata yang terus mengejarnya sampai ke tikungan tiba-tiba-

Bughhh

"Aw!" Hinata merasa kesakitan untuk kedua kalinya hingga membuatnya terjatuh. Ia baru saja menabrak sepupunya, Hyuuga Neji yang kebetulan melintas di sirkuit balap Hinata dan Hanabi.

"Hinata! Kau tak apa?" Neji lalu membantu Hinata berdiri.

"A-aku tak apa. Neji-nii lain kali jangan berjalan disana. Itu berbahaya!" Neji heran mendengar ucapan Hinata.

"Tak ada rambu untuk tak boleh lewat sini, kan? Hey, dahimu kenapa?" tanya Neji sambil mendekatkan tangannya ke arah dahi Hinata.

Hinata langsung menghalang tangan Neji untuk sampai ke dahinya. Bagaimanapun ia masih canggung dengan kondisi seperti ini dengan sepupunya. Alhasil mukanya memerah.

"T-tidak apa. Jangan dipikirkan. Sudah melihat kamarmu?" Hinata menyembunyikan kemerahan di pipinya serta kegugupan yang ia rasakan dibalik rambut panjang indigo miliknya.

"Ya, diujung lorong ini." tunjuk Neji ke sudut lorong tak jauh dari tempat Hanabi menikung (eh?). Ya, Neji yang yatim piatu ini akhirnya berada di bawah tanggung jawab Hiashi setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.

"O-okay, aku ingin mengejar Hanabi dulu." Hinata langsung berlari meninggalkan Neji. Ia langsung mencari-cari Hanabi yang sudah lama meninggalkan dirinya.

Ruang tamu, ruang makan, toilet, dan dapur sudah ia jelajahi sebelum akhirnya menyerah. Ia bahkan telah menanyai para pelayan yang ada tapi jawabannya nihil.

"Rin-san melihat Hanabi-chan tidak?" tanyanya kepada salah satu pelayan di dapur.

"Terakhir kali kulihat, Ia pergi ke kamar Hinata-sama." jawabnya sambil mengingat-ingat.

"Ah, baiklah." baru saja Hinata akan berlalu.

"Hinata-sama, kami telah menyiapkan makan siang. Hinata-sama bisa menikmatinya sekarang." ucap Rin-san sambil mempersilahkan Hinata ke ruang makan.

"Ah ya, terimakasih" berhubung rasa lapar akibat lelah telah menjalar di perutnya, ia pun memutuskan untuk menyambut baik tawaran pelayan bernama Rin-san itu.

Ia berjalan perlahan memasuki ruang makan yang tidak terpisah dengan dapur.

Ditariknya salah satu kursi untuk dirinya sendiri. Ia pun duduk dengan apik disana. Dilihatnya satu-persatu makanan yang tersaji di atas meja.

"Whoaaa.." Hinata sekian kali telah bergumam takjub untuk kehidupannya hari ini.

Didepannya sudah ada tempura, steak, soup, dan berbagai makanan lain hingga Hinata ngiler dibuatnya. Maksudku bukan ngiler sesungguhnya.

Ia menunduk lalu mengatupkan kedua tangannya, bersyukur untuk makanan dihadapannya hari ini.

"Itadakimasu.." perlahan-lahan Hinata memakan hidangan yang tersedia, ia makan dengan lahap hingga seseorang yang melihatnya tak mampu berkutik disana.

Ya, Hanabi ikutan ngiler melihat makanan serta cara makan Hinata yang sangat lahap.

Alhasil, ia memutuskan menyerah dalam permainan kejar-tangkap dengan Hinata dan memilih untuk menghampiri Hinata di meja itu.

Sesegera mungkin ia duduk di salah satu kursi yang tersedia. Tentu saja ia memilih kursi yang berseberangan dengan Hinata, takut Hinata melakukan sesuatu atas keusialannya hari ini.

"Hinata-nee, maaf ya? Aku datang kesini dengan damai…" Hanabi membuat suaranya seperti sosok-sosok alien yang sering dilihatnya di film.

"Hahaha" keduanya tertawa bersama dalam sesi makan itu. Bagi Hinata, Hanabi-lah pelipur lara selama Ayahnya tidak disana bersamanya untuk merajut kasih dan sayang.

Hal inilah yang memancing pemikiran di dalam hatinya. 'Tidak apa, ada Hanabi-chan disini'

.

.

.

.

.

.

Seusai makan, Hinata kembali naik ke lantai dua untuk kembali ke kamarnya. Banyak yang harus ia siapkan untuk kehidupan barunya di Konoha.

Hinata tepat berjalan ke arah pintunya hingga ia menyadari satu hal. Ada sesuatu di gagang pintunya.

Sebuah kantung kecil menggantung disana, yang mana langsung diraih oleh kedua tangan mungil Hinata.

Kantung berwarna maroon itu dibukanya perlahan, bersama dengan dibukanya pintu kamar Hinata oleh pemiliknya.

'Kantung ini familiar bagiku?Rasanya pernah kulihat beberapa saat lalu' Hinata mencoba mengingatnya.

Setelah gagal mengingat mengapa kantung ini terlihat familiar, langsung saja ia lihat apa isinya.

Sebuah flashdisk berbentuk angsa mungil miliknya ia temukan di dalam kantung itu, bersama dengan secarik kertas.

'Sudah kumasukkan file yang kau butuhkan. Tadi aku lupa memberikannya padamu karena kau terlalu terburu-buru mengejar Hanabi'

'Kukira apa, ternyata dari Neji-nii ya?' Hinata membatin disela kegiatan meneliti secarik kertas yang Neji tinggalkan.

Hinata segera mengambil laptop-nya. Tanda ia sungguh tertarik dengan isi di dalam flashdisk itu. Apa yang sebenarnya membuat Hinata begitu tertarik dengan file kiriman Neji?

Kita akan segera tahu, karena kini Hinata telah berhadapan langsung dengan layar laptop yang menampilkan sebuah file didalam flashdisk angsa tersebut.

File berformat .mp3 itu ternyata bukanlah musik classic kesukaan Hinata, melainkan sebuah rekaman yang berdurasi sekitar 2 menit.

Sebelum benar-benar mendengarkan rekaman itu, ia kembali mengingat dialog yang pernah terjadi antara ia dan Neji, sepupunya.

Flashback

Petang sudah terbit ketika tiba-tiba Neji mengajak Hinata untuk bertemu. Hinata yang tidak mampu menebak apa yang akan dikatakan Neji padanya, hanya ikut-ikut saja ajakan Neji untuk bertemu. Mereka pun bertemu di belakang mansion sesuai apa permintaan Neji.

"Hinata, kau pasti bertanya-tanya apa yang membuatku membawamu kesini." ini pertama kalinya bagi Hinata, saat Neji menatapnya dengan serius.

"Y-ya, soalnya ini terasa aneh bagiku." Hinata mengungkapkan kejujuran dalam benaknya agar Neji dapat cepat-cepat menyelesaikan keadaan yang menurut Hinata aneh yang meliputi keduanya saat ini.

Setelah menghela nafas cukup panjang, Neji pun mengungkapkan maksud pertemuannya.

"Hari itu aku tak sengaja mendengarkan pembicaraan itu. Pembicaraan yang mencurigakan antara Hiashi-jiisan dan seseorang di telpon. Hiashi-jiisan nampaknya terancam.." Neji memberi jeda pada kalimatnya sendiri, membiarkan Hinata mengernyit tak mengerti.

"Aku langsung mengambil ponsel dan merekam. Dari yang kudengar, orang itu akan melakukan hal yang tidak-tidak terhadap Ojii-san karena sesuatu soal perusahaan." Hinata terlihat kaget. Nampaknya ia telah menangkap apa yang dibicarakan sepupunya itu.

"J-jadi…" Hinata bersuara.

"Aku memintamu untuk berhati-hati." Neji menyela kalimat Hinata, lalu melanjutkan kalimatnya sendiri. "Mungkin saja mereka akan menyakitimu."

Hinata kini tahu alasan dipanggil Neji kesini. Rupanya karena Hinata berada di dalam kemungkinan untuk menerima ancaman dari seseorang yang tidak menyukai Ayahnya.

"Tolong berikan aku rekaman itu, Neji-nii."

.

.

.

.

.

Saat ini earphone telah dipakai Hinata, agar yang akan ia dengarkan bisa ia tangkap sejelas mungkin. Setelah semua persiapan selesai, ia memutar rekaman itu yang hanya suara Ayahnya lah yang bisa ia dengarkan.

"Maaf saja karena perusahaanku telah membuat perusahaanmu mengalami masa sulit." Hiashiberkata meremehkan.

"..." seseorang ditelpon berbicara tak dapat Hinata dengar jelas.

"Jangan menyalahkanku. Jelas-jelas ini semua terjadi karena kau yang tidak bisa mengantisipasi tindakanku untuk menjatuhkanmu." Hiashi lagi-lagi berkata meremehkan, yang mana hal itu dapat memancing emosi lawan bicaranya.

"..."

"Mungkin dulu kau meremehkanku. Sekarang sudahkah kau tau kekuatanku?"

"..."

"Apa kau mencoba mengancamku?" Hiashi diam sejenak mendengarkan suara di telpon genggamnya.

"..."

"Kau tentu sudah tahu ancaman apapun tidak akan berpengaruh padaku."

Hinata sejenak dapat mendengar tawa yang keras dari lawan bicara Ayahnya.

"..."

"Kau mencari mati jika kudapati kau melibatkan keluargaku, Uchiha!" intonasi Hiashi meninggi tanda Hiashi naik pitam. Tersirat kekhawatiran dalam kalimatnya.

"..."

"Sialan!" Hiashi menyudahi panggilannya.

Hinata tertegun mendengarkan rekaman yang baru saja ia putar di laptopnya. Dari ekspresi wajahnya, nampaknya Hinata sudah mengerti sepenuhnya akan apa yang Neji khawatirkan.

Hinata memijit pelan kepalanya tanda ia sedang pusing memikirkan semua ini. Tapi ia mencoba menguatkan diri sendiri.

'Itukan hanya ancaman. Tidak akan terjadi apa apa padaku, iya kan?' Hinata membatin mencoba berpikir optimis agar terlepas dari pikirannya saat ini.

'Lagipula ada Neji-nii. Ia tidak akan membiarkan suatu kejahatan terjadi padaku'

Hinata lalu menutup laptopnya, menyimpan ditempatnya semula, lalu membiarkan rasa kantuk menyerangnya hingga akhirnya ia jatuh tertidur.

Ia hanya ingin hal gila itu hilang dengan sendirinya, bersamaan ketika ia terbangun nanti.

.

.

.

.

.

Dilain sisi, seseorang bersurai raven tampak tengah berkutat dengan tugas kuliahnya. Pria dengan jurusan bisnis itu terlihat tidak ambil pusing ketika banyak wanita disekitarnya melirik ke arah meja yang ia tempati.

Pria yang dikenal dengan nama Uchiha Sasuke itu tengah berada di sebuah cafe yang sudah sering ia kunjungi. Bedanya, hari ini ia bersama temannya yang berkulit tan dan beriris sapphire bernama Uzumaki Naruto yang tampak berbicara sendiri ketika Sasuke tidak membalas satupun obrolan Naruto untuk memecah suasana keheningan diantara mereka.

"Teme, kau mau tambah french fries tidak?" satu kalimat keluar lagi dari mulut Naruto yang hanya bisa menatap pria didepannya.

"..."

Kalimat Naruto terasa sia-sia karena tidak satupun balasan keluar dari Sasuke yang sibuk mengetik cepat di keyboard laptopnya. Naruto yang dicuekin memilih menghabiskan orange juice yang tersisa di gelasnya. Tidak ada kerjaan lain, Naruto terus memperhatikan Sasuke dan terus berbicara.

"Sasuke, rambutmu ada kotoran tuh." ditunjuknya kepala Sasuke. Sungguh, Naruto tidak berbohong. Benar-benar ada sesuatu di kepala Sasuke mungkin semacam kelopak sakura kecil.

"..." tapi lagi-lagi Sasuke tidak menggubris kejujuran Naruto yang berniat baik akan penampilannya.

"Sasuke! Kini aku tahu mengapa para gadis itu melirikmu terus. Itu karena kotoran di rambutmu. Benarkan, teme?!" dengan suara membludak-budak ia membeberkan apa yang dipikirkan kepala kuningnya.

"Berisik!" suara Sasuke yang sedari tadi Naruto tunggu muncul juga. Sasuke pada akhirnya tidak kuat dengan semua ocehan Naruto sehingga Sasuke memutuskan berhenti bekerja untuk sementara.

"Kau bodoh atau apa? Mereka itu melihatku karena bagi mereka aku ini tampan, baka" Sasuke memberi penekanan di setiap katanya, berharap Naruto mengerti dan menutup mulut berisiknya.

"Baru kali ini kudengar pria yang mengatai dirinya tampan. Kau terlalu percaya diri!" Naruto menyipitkan matanya dan menunjuk-nunjuk Sasuke dengan telunjuknya membuat orang-orang disekitar lagi-lagi memperhatikan meja mereka.

Sasuke hanya bisa pasrah dengan kelakuan temannya yang satu ini. Mau bagaimana lagi? Sasuke meletakkan tangan kirinya menopang dagu. Ia pun lalu melihat Naruto dengan tatapan yang mampu membuat wanita tergila-gila.

"Walau ada sesuatu apapun itu di kepalaku, itu tidak akan mengubah apapun." menggunakan tangannya ia sisir rambut-rambut yang turun di dahinya ke belakang, menjatuhkan kotoran yang dimaksud Naruto, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Aaa.. Aaa !" gadis-gadis di dekat meja Sasuke dan Naruto, histeris di meja masing-masing melihat apa yang baru saja Sasuke lakukan terhadap rambutnya yang menurut mereka terlalu sayang untuk dilewatkan.

Naruto hanya bisa mengedarkan pandangan pada gadis-gadis disekitar mejanya dengan pandangan menyelidik. Ia heran. Sasuke berbuat begitu saja mereka sudah histeris. Bagaimana kalau Sasuke mencium atau memeluk mereka? Pasti mereka akan mati kegirangan.

"Teme! Lihat yang sudah kau perbuat" Naruto menunjuk gadis-gadis itu dengan dagunya meminta penjelasan atas keheranannya itu.

Sasuke mengangkat bahu dan juga salah satu sudut bibirnya. Ia tidak perlu repot-repot menggubris ocehan Naruto. Sehingga ia pun kembali menyentuh laptopnya, lagi-lagi berkutat dengan pekerjaan yang seharusnya ia kumpulkan ke dosen beberapa saat lalu. Tapi menurutnya, buat apa mengerjakan terburu-buru? Santai saja. Lagi pula menyelesaikan terburu-buru tidak menjamin nilai yang sempurna, kan?

Tanggapan anehnya itu, kini menjadi mottonya dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Lambat tapi tepat.

Naruto tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapi sifat Sasuke yang satu ini. Terpaksa Naruto hanya diam dan men-death glare Sasuke dengan sapphirenya dalam diam.

.

.

.

.

.

Hinata terbangun di pagi hari setelah menghabiskan malam dengan tidur yang amat panjang dan lelap. Sesungguhnya itu merupakan persiapan menuju pertempuran, karena hari ini ia akan memasuki dunia kuliah yang kejam dan kelam yang mana akan menghabiskan sebagian dari total energinya hari ini.

Ia merasa persiapan menuju pertempuran belum dilakukannya dengan sempurna. Oleh karena itu saat ini sedang duduk ditepi tempat tidurnya dengan mata yang masih terpejam.

Jam masih menunjukkan pukul 5. Sedikit demi sedikit matahari mulai terbit dari timur menandakan ia tidak perlu buru-buru untuk pergi kuliah.

Kuliah yang dimaksud dan akan menjadi jalan pendidikan Hinata selanjutnya ialah Kohoha University. Sekolah yang terbilang elite untuk orang-orang sekelas Hinata.

Setelah berhasil lulus dalam tes, akhirnya Hinata bisa mengejar impiannya dengan memasuki jurusan Kedokteran. Di dalam hatinya, ia ingin menyembuhkan orang yang sakit. Meski keinginan Hinata yang sebenarnya ialah menyembuhkan Ibunya yang menderita suatu penyakit, tapi sudah terlambat. Ibunya sudah tiada.

Ngomong-ngomong soal Hinata, saat ini Hinata masih malas meninggalkan tempat tidurnya. Semula, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Tapi sekarang ia kembali terbaring dan terpejam dengan kaki masih menggantung di tepi tempat tidur.

Meski ia sudah tidur dengan waktu yang terbilang lama, tapi bagi Hinata itu masih belum cukup.

Hinata kembali terlelap dengan mata lentiknya yang masih terasa berat.

Hingga tak terasa-

Drttt...drrrtttt...drrrttt

Hinata sontak terbangun. Alarm yang sengaja ia setel di ponsel pintarnya mendadak berbunyi dan bergetar.

Hinata ingin memastikan jam berapa saat ini. Hinata lalu mengecek melalui ponselnya dan alangkah terkejutnya ia saat menemukan bahwa sekarang sudah jam 8!

"A-apa? Aku akan terlambat untuk upacara pembukaan hari ini!" Hinata menutup mulut tepat setelah ia kelepasan berteriak. Ya, sudah sangat terlambat untuknya mengikuti upacara pembukaan yang seharusnya dimulai jam 8.30 pagi ini.

Buru-buru ia berlari dengan langkah khasnya yang selalu pendek menuju kamar mandi.

Mungkin hari ini ialah hari dimana Hinata mencetak rekor mandi tercepatnya selama hidup 18 tahun. Baginya ini bukan saat yang tepat untuk bersantai dan menikmati waktu mandi seperti yang biasa ia lakukan.

Mandi telah ia laksanakan kebut-kebutan, begitu pula saat dengan cepat ia mengenakan kemeja putih dan rok biru bercorak bunga di depan cermin, tak lupa ia membawa serta jas kuliah miliknya.

Hinata lalu menyisir rambut seadanya membiarkan rambut panjang birunya terurai dengan poni rata didahi.

Hinata lalu berlari menyusuri tangga mengabaikan mata para pelayan yang menatapnya heran.

"Hinata-sama? Apa Anda tidak akan sarapan?" tanya salah satu pelayan yang bertugas di dapur saat Hinata menginjak anak tangga terakhir.

"A-aku buru-buru hari ini. Aku akan makan disana." jawab Hinata dengan susah payah karena nafasnya yang terengah-engah akibat berlari.

Hinata lalu memanggil supir pribadi bermaksud minta diantar ke universitas.

"Tanabe-san, tolong antarkan aku. Cepat, ya? Aku terlambat." Hinata buru-buru memasuki mobil.

"Baiklah, Nona." Pelayan yang dipanggil Tanabe dengan cepat pula memasuki mobil dan duduk di kursi pengemudi.

Mobil mercedez merah itu meninggalkan mansion dan membawa Hinata pergi.

Mobil berjalan dengan lancar, hingga akhirnya mulai melambat saat sudah memasuki pusat kota.

"Nona, macet ini sepertinya akan lama." kata Tanabe melihat Hinata melalui cermin kecil diatas kepalanya.

Hinata mengecek arlojinya yang sekarang sudah menunjukkan pukul 8.35. Pupus sudah harapan Hinata menjadi siswi teladan di hari pertama kuliah.

"Apa tidak ada jalan lain selain lewat sini?" Hinata bertanya untuk mendapat sebuah solusi.

"Tidak, Nona. Apa mau kupanggilkan seseorang untuk mengantarmu dengan motor?" tanpa di iyakan Tanabe mengeluarkan ponsel dari saku celana, tapi tiba-tiba saja Hinata menahan Tanabe dengan mengarahkan kepadanya salah satu telapak tangan Hinata yang terbuka.

"Aku akan memanggil seseorang yang mungkin saja disekitar sini." Hinata kemudian mengobrak-abrik isi didalam tas sebelum akhirnya mendapat ponsel miliknya.

Ia mengutak-atik sejenak ponsel di tangannya lalu meletakkannya ditelinga hingga akhirnya terdengar nada sambung.

"Neji-nii, kau dimana sekarang?"

"Aku sudah di kampus dan aku tidak melihatmu sedaritadi."

"A-aku lagi dijalan sekarang. Macet sekali, aku tak bisa bergerak."

"Aku akan menjemputmu. Kau dimana sekarang?"

"Akan aku send location. Terimakasih, Neji-nii."

Hinata lalu menutup sambungan panggilan dengan Neji, lalu menunggu didalam mobil.

Beberapa saat menunggu akhirnya datang sebuah motor sport yang Hinata tahu pasti milik Neji berhenti di sebelah mobilnya.

"Hai, Neji-nii terimakasih telah menjemput—" Hinata menyambut pemuda yang baru saja datang setelah keluar dari mobil. Namun Hinata tercekat. Itu bukan Neji yang ia kenal. Hinata menghentikan kalimatnya karena kaget dan bingung. Bukannya ini motor Neji? Tapi kenapa orang ini yang membawanya?

"Hai, Hinata-chan, lama tidak bertemu." pemuda yang terlihat samar-samar familiar. Tidak asing bagi Hinata. Ia buka helm-nya perlahan lalu menyapa Hinata seolah pernah bertemu di masa lalu.

Hinata kaget untuk yang kedua kalinya melihat siapa yang memakai helm yang tadinya menutupi hampir keseluruhan mukanya itu. Hinata bersuara dan bertanya berharap ia benar-benar tidak salah orang–

"N-naruto-kun?"

TO BE CONTINUED

Author's Note

Hi, minna. Zuha kembali dengan fanfict terbaru setelah sebelumnya merasa gagal atas fanfict yang pertama kali Zuha buat (read: gagal selesai) :'D. Zuha harap fanfict ini dapat selesai dengan aman dan terkendali ya. Zuha butuh saran dan komentar minna atas karya Zuha ini, karena Zuha juga tak terlepas dari salah dan khilaf. Uhuk.

Happy Reading

Feel free to review