Busan, 2013

Angin berhembus kencang seperti berusaha menerbangkan segala ketakutan dan keraguan yang menumpuk di penak pemuda itu. Upacara kelulusan baru saja selesai diselenggarakan di YG Senior High School. Para murid bersenda gurau sambil memain-mainkan ijazah yang tergulung apik dengan pita berwarna cerah. Semua bergembira, mengucapkan salam perpisahan, berjanji akan ketemu lagi bila liburan dan saling bertukar informasi mengenai universitas dimana mereka akan menimba ilmu sebentar lagi.

Berbeda dengan yang lainnya, Hanbin dan Bobby yang jauh dari keramaian siswa lain kini sedang berada di atap gedung sekolah mereka. Hanbin lah yang pertama berinisiatif mengajak Bobby terlebih dahulu menuju atap gedung, tempat mereka biasanya menjauh dari hiruk-pikuk teman-teman yang terlalu berisik atau perempuan di kelas yang selalu saja membuntuti.

"Ada yang perlu aku bicarakan padamu, Jiwon." Ucap Hanbin belasan menit yang lalu.

Bobby yakin, apabila Hanbin sudah menyebut nama aslinya berarti apa yang akan mereka bicarakan merupakan hal yang serius. Namun setelah kata itu terucap, Hanbin hanya terdiam seakan lupa dengan apa yang hendak diucapkannya pada Bobby. Tidak biasanya Hanbin bersikap seperti ini.

"Kau baik-baik saja?" tanya Bobby sedikit khawatir. Tidak biasanya Hanbin bersikap canggung seperti ini. Ada apa gerangan?

"Aku gay." Ucap Hanbin, sekonyong-konyong tanpa menjawab pertanyaan Bobby sebelumnya.

"!"

Bobby bohong apabila harus mengatakan bahawa dirinya tidak terkejut.

"Kau serius?" ujarnya tidak percaya.

Hanbin hanya mengangguk, matanya menatap lantai seakan takut melihat Bobby yang akan menatapnya dengan pandangan aneh atau jijik. Bibirnya terkatup rapat, menunggu lawan bicaranya memberikan respon kembali. Hanya saja, setelah keheningan canggung, tidak ada yang berani mengucapkan apapun. Bobby merasa bukan tempatnya untuk berbicara sekarang, meski dirinya heran, terkejut, dan penasaran.

"Apa kau tidak merasa takut atau jijik?" tanya Hanbin pelan. Wajahnya bersemu merah, salah satu tangannya menggosok lehernya dengan gerakan cepat karena salah tingkah.

Bobby menggeleng enteng, "Kenapa aku harus begitu? Bukankah kita teman?"

Mata Hanbin terbelalak, "Ah-ha ha... Kau benar." Ucapnya buru-buru. Senyum berat tersungging di bibir tipisnya, Bobby tau bahwa itu bukan senyum Hanbin yang biasa ditatapnya setiap hari.

"Kau benar..." Ucap Hanbin dengan canggung. "Kenapa harus kau merasa risih? Kita kan cuma teman."

Tunggu

"Maaf sudah membuatmu kaget, Jiwon." Hanbin melebarkan senyumnya.

Tidak! Tunggu!

"Aku akan mengakui hal ini pada orangtuaku. Kita tetap berteman apa pun yang terjadi kan?" Hanbin menatap mata Bobby dalam-dalam.

Ketika kata 'Berteman' diucapkan oleh bibir Hanbin dengan bergetar menahan sedih. Bobby tau dirinya melakukan kesalahan besar. Sebuah hantaman keras merancau dan bergulat di dalam otaknya. Apa Hanbin... Memendam perasaan terhadapnya?

"Tentu. Tidak akan ada yang berubah." Ucap Bobby.

Hanbin tertawa pelan. Hanya sebuah ungkapan perasaan lega seperti sebagian beban terlepas dari pundaknya.

Tiupan angin berhembus lembut, menggerakan dasi dan blazer keduanya pelan. Rambut hitam hitam Hanbin bergerak perlahan. Sosoknya terlihat tenang, menghanyutkan, dan rapuh. Mungkin karena aura Hanbin seperti ini yang selalu membuat Bobby ingin melindunginya.

Namun Bobby memilih untuk diam.

Seolah-olah tidak tau perasaan Hanbin sebenarnya terhadap dirinya.

Semoga pemikirannya salah.

Hanbin berjalan menjauh, hingga sosoknya tidak terlihat lagi oleh Bobby dibalik pintu. Bobby tidak memanggilnya atau menyusulnya. Hanya berdiri terdiam di titik yang sama. Tidak bergerak karena terlalu penakut untuk mengambil keputusan.

.

.

L

.

Marshmallow95 Prasent

.

Disclaimer: Semua yang terdapat pada cerita hanya fiksional belaka.

.

Rate: T for this chapter

.

Pairing: Double B – Bobby/BI

Side Seungyoon/BI

.

Warning: Don't like? Don't read! Don't bash the cast. Don't bash author.

.

Summary: Bobby tidak sengaja menolak Hanbin. Teman sejak kecilnya ketika upacara kelulusan. Namun, perasaan kesal macam apa ini, ketika Bobby mengetahui Hanbin kini menjalin hubungan dengan Seungyoon?

.

Enjoy Yourself~

.

Seoul, 2016 – 3 Years Later

Bobby melambaikan tangannya menyapa Hayi yang sedang duduk santai di kantin falkultas. Bobby tersenyum lebar memperlihatkan gigi kelincinya yang tidak seberapa mencolok. Ramainya segerombolan mahasiswa di meja-meja lain seperti lebah yang tidak henti-hentinya berdengung. Namun Bobby dan Hayi sudah terbiasa, namanya juga sedang jam makan siang.

Hayi tersenyum membalas sapaan temannya dengan ramah. Wanita satu ini adalah teman sejurusan Bobby di bidang komunikasi bisnis AOMG University. Hayi atau bernama lengkap Lee HI berebeda dengan wanita-wanita lain di kampusnya yang ribut dan suka mengurusi penampilan. Gadis itu lebih suka merdandan kasual seadanya, berbicara dengan lantang, dan terkadang judes pada orang-orang di sekitarnya. Namun Bobby tahu betul bahwa Hayi adalah teman yang baik. Tidak seperti wanita-wanita lainnya yang suka cari-cari perhatian.

Hanbin yang berada di jurusan management bisnis terkadang mampir ke gedung tempat Bobby dan Hayi yang berbeda jurusan. Hayi dan Hanbin bertemu ketika beberapa minggu yang lalu ketika wanita itu mengeluh dan berwajah suram. Bobby bertanya mengapa Hayi tidak bersikap seperti biasanya, ternyata adik laki-laki Hayi baru saja mengaku pada noonanya bahwa dirinya gay.

Hayi pusing tujuh keliling saat itu, kemudian Bobby memperkenalkan Hanbin pada Hayi mungkin saja dengan begitu temannya bisa memberikan saran. Dari situ lah ketiganya menjadi seperti teman lama. Di sisi lain Bobby terkadang berbagi masalahnya pada Hayi hanya ketika Hanbin sedang sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan kerja paruh waktu nya.

"Hanbin sibuk? Kau akhir-akhir nggak pernah kelihatan sama dia." Ujar Hayi sambil sibuk melahap sandwich isi ham dengan lahap.

Bobby menggerakan bahunya sedikit jengkel. Hanbin akhir-akhir ini memang jarang bertemu dengannya. Dirinya tidak heran dengan hal itu, mengingat Hanbin sendiri disibukan dengan beberapa kerja paruh waktu nya.

Sahabatnya itu keluar dari rumah dengan menanggung beban sendirian. Orangtuanya marah besar ketika tahu Hanbin gay dan menolak untuk menanggung kebutuhan hidup Hanbin kuliah di Seoul. Sahabatnya itu sendiri merasa tahu diri untuk tidak memohon-mohon dan menanggung kesalahannya seorang diri.

Hidup tanpa sokongan dana dari orangtua memang cukup berat. Namun Hanbin menolak bergantung diri pada Bobby. Biasanya Hanbin berbagi tempat dengan teman-teman satu jurusannya. Hanya saja setelah sahabatnya itu sudah hampir setahun menjalin hubungan dengan Kang Seungyoon, dirinya memutuskan untuk tinggal di apartement kekasihnya untuk lebih berhemat.

Bobby menggerutu kesal. Hemat? Bullshit.

Pasti pria itu memohon-mohon pada Hanbin untuk tinggal bersamanya. Padahal sahabatnya itu bisa saja tinggal di apartementnya yang cukup luas. Semenjak Hanbin tinggal bersama kekasihnya, Bobby mulai jarang menerima balasan pesan dan telpon dari Hanbin.

'Menyebalkan.'Pikir Bobby.

"Heee~ Kenapa wajahmu menyeramkan begitu, eh?" Ujar Hayi mencemooh. Ucapannya menyadarkan Bobby seketika dari pikirannya sendiri yang melayang kemana-mana. "Ada masalah sama Hanbin, ya~?" Gurau Hayi sambil menunjuk-nunjuk wajah Bobby dengan batangan Pocky di tangannya.

"Berisik!" Bobby mengibaskan tangan seakan mengisyaratkan lawan bicaranya untuk pergi. Hayi hanya tertawa riang membalas wajah Bobby yang masih melihat dirinya dengan kesal. Kalu cewek lain, pasti sudah menangis melihat wajah marah Bobby yang garang.

Bobby sebenarnya populer di kalangan wanita. Hanya saja, dirinya tidak pernah bertahan pada satu hubungan dalam jangka waktu lama. Biasanya hubungan percintaannya hanya akan bertahan paling lama selama dua bulan setelah itu Bobby pasti mengakhirinya. Entah mengapa, dirinya merasa selalu ada yang kurang dari tiap hubungan percintaannya. Lagipula dirinya juga disibukan dengan tugas dan kerja paruh waktu. Jadi tidak ada alasan untuk membuang-buang waktu hanya untuk wanita yang selalu menuntut perhatiannya.

Hari itu berakhir dengan cepat ketika sore hari seluruh kelas kuliahnya sudah selesai dan berlanjut dengan kerja sambilannya di toko peralatan olah raga. Toko yang dijaganya hari ini tidak begitu ramai, sehingga tidak banyak pekerjaan yang perlu ditangani oleh Bobby. Jadi ketika managernya mempersilahkan dirinya untuk pulang, Bobby tidak berpikir dua kali untuk melakukannya.

Bobby mampir ke arah supermarket untuk membeli makanan instan. Saat itu masih pukul delapan malam. Tidak ada salahnya makan kudapan dan mie instan sebagai teman menonton acara gag di televisi. Bobby juga memasukkan beberapa kaleng bir ke dalam keranjang belanjaannya sebelum menuju ke arah kasir.

Setelah keluar dari mini market Bobby kembali melanjutkan perjalanan pulang. Jarak apartemen dengan tempat kerjanya cukup dekat. Bobby hanya perlu berpindah satu setasiun dengan menggunakan kereta, ditambah dengan jalan kaki selama sepuluh menit dari setasiun menuju kompleks apartement nya. Total perjalanan yang dirinya tempuh dari tempat kerja hingga rumah hanya sekiar dua puluh menit.

Apartemannya hanya sebuah gedung bertingkat dengan penampilan sederhana dan fasilitas standar. Tidak begitu istimewa. Terkadang loker suratnya cukup susah dibuka karena lubang kuncinya macet, terkadang lampu lift berkedip karena belum diganti oleh pegawai pekerja apartement.

Apartemen Bobby terletak di lantai tujuh. Apartementnya dilengkapi balkon mungil, dua kamar tidur ukuran minim, satu kamar mandi, satu dapur ukuran lumayan, dan ruang tamu yang cukup hanya untuk dua sofa ukuran sedang dan satu meja teh. Bobby cukup nyaman dengan apartemen tipe standar ini, mudah dibersihkan dan tidak terlalu banyak tempat kosong yang terbuang karena dirinya tinggal sendirian.

TING!

Pintu lift terbuka, Bobby berjalan santai menuju ruang apartemennya dengan tangan kanan membawa pelastik berisi kudapan dan bir, sedangkan tangan kirinya masuk ke dalam saku celana. Bibirnya menyenandungkan musik dengan riang dengan kepala mengangguk-angguk mengikuti beat musik yang terbayang secara otomatis di dalam pikiran.

?

Langkah Bobby terhenti ketika melihat sosok yang tidak asing di depan pintu apartement nya. Sosok itu berjongkok dan menyembunyikan wajahnya dengan menunduk hingga hidungnya menyentuh lutut. Meski begitu, Bobby tahu betul siapa yang ada di hadapannya.

"Hanbin?"

Pemuda yang namanya disebut itu mendongakkan dagunya. Wajah Hanbin tampak memerah. Sepertinya Hanbin mabuk.

"Aku menginap di apartemenmu malam ini oke?" ucap Hanbin terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan untuk meminta izin. Mata bulat nya menatap lantai, tidak memandang Bobby sama sekali.

Bobby menghela napas. Sepertinya Hanbin sedang dilanda masalah, tapi dirinya yakin Hanbin tidak akan pernah bercerita mengenai masalahnya apabila dirinya memaksa. Jadi jalan satu-satunya adalah dengan membiarkan hingga perasaan sahabatnya itu tenang, sebelum menunggu Hanbin bercerita dengan sendirinya.

Bobby buru-buru segera merogoh saku jeansnya untuk mengambil kunci. Jemarinya bergerak cepat membuka pintu dan menyalakan lampu voyer depan. Meletakkan sneaker nike nya dengan rapi di dalam rak sepatu. Bobby menendengar sekilas Hanbin mengikuti langkahnya masuk ke dalam apartement.

"Seungyoon tidak suka melihatku mabuk begini. Lebih baik aku menginap di tempatmu kan?" ujar Hanbin tiba-tiba, seakan mengerti jika Bobby membutuhkan penjelasannya.

"Mandi lah. Jangan lupa gosok gigimu. Napasmu bau alkohol." Balas Bobby sama sekali tidak nyambung dengan ucapan Hanbin. Lebih baik memang Hanbin menyegarkan diri dengan mandi air hangat terlebih dahulu sebelum menanyainya lebih jauh mengenai alasan Hanbin sebenarnya tiba-tiba datang ke apartement nya dalam keadaan mabuk.

Bobby melangkahkan kakinya ke arah dapur, meletakan bir yang dibelinya di minimart beberapa saat yang lalu ke dalam lemari es. Sepertinya dirinya harus menunda rencana santainya hari ini. Hanbin jauh lebih penting daripada melihat reality show mengenai komedian yang saling bertindak bodoh di depan layar televisi. Bobby memasak air untuk menyiapkan segelas teh hangat untuk Hanbin, mungkin bisa membuat pikiran sahabatnya itu lebih jernih.

Samar-samar suara guyuran air shower dapat terdengar dari tempat Bobby berdiri saat ini. Dirinya menghela napas lega, semoga Hanbin tidak sedang mengalami masalah serius. Namun tentu saja jika sahabatnya itu kali ini tersandung masalah, apa pun itu dirinya akan dengan senang hati membantu.

Hm?

Bobby menepuk dahinya. Dirinya lupa meletakan handuk bersih di dalam kamar mandi. Dengan terburu-buru, Bobby berlari kecil menuju kamarnya, mengambil handuk bersih di dalam lemarinya. Kemudian berjalan menuju kamar mandi. Dirinya tahu benar jika kebiasaan Hanbin semenjak dahulu adalah tidak pernah mengunci pintu kamar mandi. Jadi Bobby tanpa pikir panjang membuka pintu kamar mandi. Benar saja, pintu kamar mandi tidak terkunci.

"Hanbin, handuk-" ucapan Bobby tersendat begitu melihat Hanbin yang telanjang bulat yang hanya berjarak tidak lebih dari dua meter di depannya. Tidak, bukannya Bobby tidak pernah melihat Hanbin dalam keadaan naked. Hanya saja, tubuh putih Hanbin kini dipenuhi dengan memar-memar. Terutama pada bagian perut, pinggang, dan paha nya.

Hanbin buru-buru membalikkan badannya, berusaha menutupi luka-luka yang bekasnya cukup banyak di tubuhnya.

GREP!

Bobby mencengkram pergelangan tangan Hanbin dengan erat. Menarik pergelangan tangan itu sehingga pemiliknya membalikkan badan secara terpaksa, hingga luka-luka memar itu kini terlihat makin jelas dalam jarak yang kali ini lebih dekat.

"Siapa yang melakukan ini?!" tanya Bobby dengan suara keras hingga berdengung nyaring di dalam kamar mandi. Napas Bobby memburu, wajahnya mengeras seperti banteng yang sedang disulut oleh kain merah di depan matanya. Kemarahannya meluap-luap hingga ke ubun-ubun seperti meledak. Siapapun yang berani menyakiti Hanbin akan dibuatnya menyesal! Namun, hingga beberapa saat tidak satu pun kata terdengar keluar dari belah bibir sahabatnya itu. Wajah Hanbin tampak pucat, ragu-ragu dan tubuhnya bergetar hebat seperti sedang menggigil kedinginan, matanya sama sekali tidak memandang Bobby.

"Hanbin." Ujar Bobby lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut. "Siapa yang melakukan ini?" ulangnya untuk yang kedua kali.

Hanbin mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan cengkraman paksa Bobby dari pergelangan tangannya. "Kau tidak usah ikut campur." Ucap Hanbin dingin.

Bobby menggeleng dengan tatapan tidak percaya, "Kau anggap aku sebenarnya apa?! Aku teman sahabatmu kan?!"

Hanbin membuang muka, tidak ingin bertemu dengan tatapan mata Bobby yang masih penuh kemarahan di dalamnya. Di sisi lain, Bobby menatap tubuh sahabatnya itu. Sungguh pemandangan yang memilukan, banyak memar yang bisa dibilang masih baru saja muncul di tubuh Hanbin, tapi ada beberapa memar yang terlihat sudah hampir menghilang. Memar-memar yang sembuh berarti menandakan bahwa tindak kekerasan terhadap Hanbin bukan hanya sekali. Luka-luka itu kebanyakan terdapat di bagian-bagian yang mencapai area intim Hanbim.

"Apakah ini Seungyoon?"

Hanbin mendongak, menatap Bobby dengan tatapan terkejut. Matanya melebar dan bibirnya terbuka, tapi beberapa detik kemudian dirinya kembali memalingkan wajah. Hanbin yang memilih untuk diam sepertinya merupakan sinyal positif bahwa pelaku kekerasan benar adalah kekasih Hanbin sendiri.

"SIAL!" Bobby mengumpat sambil menendang dinding keramik dengan keras. Tidak dipedulikan telapak kakinya yang berdenyut sakit akibat pelampiasan emosinya. Hanbin sudah mengalami kejadian yang lebih menyakitkan dari ini dan lebih dari sekali.

Mata Hanbin berkaca-kaca, bulir air mata mengalir dengan cepat menetes ke lantai kamar mandi yang basah. Yang dilihat di depannya membuat hati Bobby menjadi pilu. Menyadari jika Hanbin masih basah kuyup karena belum sempat mengeringkan diri, Bobby menyambar handuk yang diletakannya kemudian menggosok tubuh Hanbin menggunakan handuk dengan lembut, takut membuat luka-luka Hanbin menjadi semakin parah.

Setelah tubuh Hanbin cukup kering, Bobby menyiapkan pakaian ganti untuk segera Hanbin kenakan. Sementara sahabatnya itu mengenakan pakaian, Bobby menuju dapur untuk membuat teh menggunakan air panas yang sebenarnya sudah matang sedari tadi tapi tertunda karena perbincangannya barusan di kamar mandi.

Tidak sampai lima menit, teh hangat sudah disiapkan bersama dengan cemilan pocky di atas meja. Hanbin tidak lama kemudian muncul sudah mengenakan pakaian Bobby yang nampak longgar di tubuhnya dengan nyaman. Wajah Hanbin nampak tenang, meski Bobby tau jika keadaan perasaan sahabatnya itu pasti masih kacau. Hanbin menarik kursi dan duduk bersilangan dengan Bobby sehingga keduanya bisa saling beradu pandang. Bobby menyodorkan teh hangat buatannya kepada Hanbin, dan langsung diseduh begitu cangkir dipersilahkan untuknya.

"Putuslah dengan Seungyoon." Ucap Bobby pendek, lebih merupakan sebuah perintah pada Hanbin daripada saran. Hanbin menggeleng, menjelaskan bahwa masalahnya tidak semudah apa yang Bobby ucapkan. "Kenapa? Apa kau takut tidak memiliki tempat tinggal? Tinggal lah di apartemen ku." Lanjut Bobby memaksa.

"Kau sama sekali tidak paham, Jiwon." Balas Hanbin pelan, tangannya menggenggam mug yang berisi teh hangat itu erat-erat seakan meluapkan segala emosinya. Bobby memang tidak paham. Hell! Apa yang bisa dipertahankan pada pria yang suka melakukan kekerasan?

"Kau adalah pria normal. Mudah bagimu untuk menemukan pasangan. Berbeda denganku yang gay. Sulit menemukan pria gay dan lebih sulit lagi menemukan pria yang mau menerimaku, Jiwon." Ucap Hanbin sedih.

Jantung Bobby seakan tertusuk tombak. Dirinya tidak bisa membayangkan keadaan Hanbin yang tiap malam dipukuli oleh kekasihnya, berusaha mempertahankan diri di dalam suatu hubungan yang hanya akan menyakiti Hanbin sendiri demi sebuah cinta dan perhatian yang tulus. Hanbin pasti merasa kesepian, sahabatnya itu susah bergaul meski ramah pada siapa saja, ditambah lagi menjauh dari orangtua dan saudara perempuannya di Busan.

Bobby ingin merengkuh Hanbin, menghapus air mata dan mencium dahinya. Berusaha menenangkannya karena ada dirinya di sini. Namun, hal itu bukanlah yang dilakukan oleh seorang sahabat.

"Aku akan tidur di sofa. Tidurlah di kamarku, aku tau kau membutuhkan istirahat." Ucap Bobby, beranjak pergi mengambil selimut dan bantal cadangan dari lemari kamarnya. Hanbin tersenyum sedih, tapi lebih memilih untuk menurut, karena dirinya tahu betul bahwa Bobby akan mengamuk jika Hanbin menolak kebaikannya.

Bobby menyandarkan kepalanya di salah satu sisi sofa, membalikan badan hingga punggungnya tepat bersandar pada sandaran sofa yang empuk. Meski ingin tidur, matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Pikirannya melayang, mengingat betapa indahnya saat dulu Hanbin dan dirinya ada di SMA.

'Seandainya semua tidak berubah...' pikir Bobby sambil memejamkan mata.

.

.

.

Summer, Busan 2012

"Anyeonghaseyo, ahjumma~" Sapa Bobby riang di depan pintu depan rumah Hanbin ketika umma sahabatnya itu menyambutnya dengan ramah. Mrs Kim mempersilahkan Bobby masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak merasa canggung ketika berada di rumah Hanbin, mengingat keduanya sudah menjadi teman sepermainan sejak duduk di sekolah dasar.

Rumah Hanbin sebenarnya rumah yang sederhana, hanya saja segala sesuatu yang berada di rumah itu tertata dengan rapi dan teratur hingga membuat siapa saja yang bertamu di sana merasa nyaman. Terdapat taman kecil berisi bunga-bunga hias di pekarangan depan rumah, umma Hanbin gemar berkebun dan sering terlihat sedang menyirami bonsai ketika Bobby berkunjung untuk mengajak Hanbin keluar rumah atau hanya sekedar mampir bermain game di kamar sahabatnya itu.

Umma Hanbin adalah seorang ibu rumah tangga, tiap harinya sibuk mengurus rumah dan adik perempuan Hanbin – Kim Hanbyul yang masih berumur 4 tahun. Ayah Hanbin, Mr Kim berkerja di sebuah perusahaan swasta dan memiliki karir yang stabil.

"Wah... Jiwon, tumben kau datang kemari pagi-pagi begini." Sapa Mr. Kim ayah Hanbin yang sedang membaca koran di ruang makan. Umma Kim selalu mengomel kepada ayah Hanbin karena selalu membaca koran sambil makan.

"Dia datang pagi-pagi karena menagih bekal yang aku buatkan untuknya, appa." Ucap Hanbin dengan nada sewot tapi senyuman tidak menghilang dari bibirnya. Mr Kim dan Bobby tertawa mendengar Hanbin yang perotes dan mengeluh karena harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan bekal lebih banyak dari pada biasanya. Umma Hanbin ikut meledek anak sulungnya itu dengan membeberkan ke Bobby bahwa Hanbin lebih bersemangat dari pada biasanya kerena menyiapkan bekal lebih.

Hanbin melepaskan apron-nya dan mengambil tas, kemudian bergabung di meja makan untuk sarapan. Bobby tentu saja ikut sarapan bersama keluarga Hanbin. Siapa yang akan menolak masakan enak dari Mrs Kim? Usai menghabiskan makanannya hingga bersih tidak bersisa, Bobby dan Hanbin pamit untuk berangkat ke sekolah. Adik perempuan Hanbin melambaikan tangan dengan bersemangat.

Hanbin dan Bobby terbiasa menggunakan bis atau subway ketika hendak berangkat atau pulang sekolah. Apabila keduanya tidak sedang terburu-buru dan ingin mampir membeli sesuatu saat perjalanan pulang, mereka akan menggunakan bus. Sedangkan apabila sedang terburu-buru, maka menggunakan subway merupakan pilihan yang lebih tepat.

Kali ini Bobby dan Hanbin memilih berangkat menggunakan transportasi bus. Saat itu bus sedang dalam keadaan masih cukup sepi karena pagi hari. Hanya ada beberapa pemuda yang duduk di bangku depan sambil menggunakan earphone dan seorang ahjumma yang duduk di bangku belakang nomor dua.

"Kenapa kau selalu memintaku membuatkanmu bekal kalau kau ekstra kulikuler?" tanya Hanbin ketika keduanya sudah duduk di dalam bus dengan nyaman. Pasalnya Bobby memang sering meminta Hanbin membuatkan bekal untuknya, apalagi kalau ada kegiatan club yang diikutinya yaitu basket.

Awalnya dari sebuah ketidaksengajaan, Bobby sering memakan sebagian bekal Hanbin apabila si pemilik bekal sudah merasa kenyang dan masih tersisa banyak makanan di bekalnya. Bobby mengira bekal itu buatan umma Hanbin, ternyata sahabatnya itu membuat bekalnya sendiri. Hal ini karena umma Hanbin tiap pagi selalu sibuk mengurusi Hanbyul menuju taman kanak-kanak.

"Hm..." Bobby nampak menggosok dagunya dengan wajah jenaka. Membuat Hanbin harus menyikutnya keras agar serius menjawab pertanyaan. Setelah bergumam 'aduh' pelan (karena Hanbin benar-benar menyikut rusuknya), Bobby baru melanjutkan jawabannya.

"Kalau aku membawa bekal buatanmu. Sekumpulan yeoja yang berusaha memberiku bekal buatan mereka pasti akan mundur." Ujar Bobby sambil tersenyum lebar.

Hanbin membuang muka, "Ah.. sudah kuduga kau hanya memanfaatkan aku untuk mengusir para fansmu." Ucapnya dengan jengkel.

"Ah~ Hanbin-ah jangan marah, dong~" ucap Bobby dengan tambahan aegyeo dan mata yang dibulat-bulatkan agar Hanbin tidak tega dengannya. "Bekalmu kan yang terbaik, aku hanya ingin makan masakanmu aja kok." Lanjutnya sambil menusuk-nusuk pipi Hanbin dengan ujung jarinya.

Hanbin melirik Bobby. Berusaha terlihat tidak perduli. Namun tingkah lucu sahabatnya itu mau tidak-mau membuat pertahanan Hanbin goyah dan ikut tersenyum juga. Sebelum akhirnya Hanbin tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa.

"Sudah, hentikan aegyeo mu. Kau sudah tidak cocok lagi menggunakan aegyeo tau." Ucap Hanbin masih terdapat tawa kecil di sela ucapannya. Wajah Hanbin memerah, matanya membentuk eye-smile yang unik, sedangkan lesung pipinya terlihat. Bobby terkadang takjub dengan ekspresi sahabatnya itu.

Bobby tersenyum, merangkul pundak Hanbin dan menyandarkan kepalanya di salah satu sisi pundak yang lain. "Kau harus sering-sering tersenyum dan tertawa, Hanbin. Senyummu bagus." Ujar Bobby pelan, tapi cukup untuk didengar oleh lawan bicaranya. Hanbin berhenti tertawa, kemudian memalingkan wajahnya agar menghindari tatapan dari Bobby.

Bobby tahu betul kalau Hanbin sedang bersemu malu saat ini.

.

.

.

Pip!

Pip!

Pip!

Pip!

Mata Bobby masih berat karena mengantuk, tangannya liar meraba meja kecil di sebelah sofa untuk mematikan alarm handphone miliknya. Ketika alarm tersebut sudah dimatikan (meski dengan susah payah), Bobby membalik-balikkan tubuhnya sebentar sebelum memaksakan diri untuk duduk dan mengumpulkan kesadarannya.

Sinar matahari merambat dan menyelinap masuk melalui sela tirai jendela yang tipis. Bobby melihat jam dinding yang menunjukan pukul tujuh pagi. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat menuju kampus. Bobby berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

Namun, saat melihat meja makan, terdapat sarapan yang masih cukup hangat sudah tersedia dengan rapi. Bahkan ada segelas susu yang terdapat di sebelah piring yang berisi sandwich telur dan ham. Bobby menemukan secarik kertas yang diletakkan di bawah gelas susu. Menggeser gelas tersebut pelan kemudian membaca gores tangan yang rapi milik Hanbin.

Gomawo, sudah membolehkan aku menginap, Jiwon. Jangan lupa memakan sarapanmu. Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir. Semoga harimu menyenangkan.

Bobby melipat kertas tersebut, kemudian mulai melahap sandwich yang sudah disiapkan oleh Hanbin dalam diam. Apakah Hanbin benar-benar akan baik-baik saja? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam dirinya tanpa ada jawaban.

.

.

To Be Continued

.

.

A/N:

Terimakasih sudah mau membaca fic iKON pertama buatanku. Hanbin memang agak OOC di cerita ini. (ampunnnn~)

Untuk yang jadi pasangan Hanbin-Kang Seungyoon, mereka kadang keliatan lucu banget waktu jadi mc bareng di Win-Win Game. /)/ Jadi dari situlah Seungyoon dipilih jadi pacar Hanbin. (gak ada alasan lain lagi kok. Lol)

Sampai ketemu di chapter berikutnya! :D

.

.

Review, Support, and Your Opinion, Please~