a/n: Hai semua, perkenalkan saya Author baru yang mencoba membuat sebuah cerita. Tolong di nikmati meskipun cerita saya jelek dan sama sekali tidak ada bagus-bagusnya.

.

.

Disclaim: Semua karakter yang ada dalam cerita ini bukan milik saya, saya hanya sedikit meminjamnya untuk hobi menulis saya yang masih abal-abal.

Warning: penuh typo, banyak kata yang tidak baku, perubahan karakter, dan lain-lain.

Summary: Ucapan kasar dari Sakura membuat Naruto berubah, berubah menjadi sosok yang lebih baik untuk kedepanya.

Baiklah, silahkan menikmati.


Chapter 1: Sadar!

"Kau lemah, Naruto!"

Tak dapat kusadari kalau gadis yang selama ini kusukai akan berkata begitu kejam atas usahaku yang memang gagal membawa Sasuke kembali ke desa. Apakah tak ada sedikitpun rasa terima kasihnya padaku? Rasa terima kasih atas pengorbanan yang kulakukan dengan timku yang jiwanya sudah berada diujung tanduk?

"Aku akan membawa pulang Sasuke-kun sendiri ke desa ini, dengan tanganku sendiri."

"Sakura-chan tungg –" Arrgh! Kepalaku sakit, tapi aku harus mengejarnya! Dia terlalu nekat untuk pergi sendiri ke markas Orochimaru, "Sa-ku –"

"Tidak usah dikejar, Gaki. Kondisimu masihlah parah, kau harus banyak istirahat sekarang."

Aku merasakan sebuat tangan besar sedang menggenggam bahu kananku, dan dari suaranya aku menyadari kalau yang menahanku saat ini adalah Ero-sennin. Meskipun dengan kondisi kepala yang masih terasa berdenyut, aku berusaha menoleh untuk melihat pria yang sudah mengajariku jurus Rasengan.

"Kenapa, kau, menghentikanku?" Arrgh! Bicara saja sudah sangat sulit, mungkin aku memang harus istirahat.

"Sebenarnya, kau sudah menyadari sifat egois yang dimiliki gadis yang kau sukai itu 'kan? Kau tidak akan menjadi lebih kuat jika kau mengejarnya, saatnya kau membuang kenaifanmu dan berubah menjadi orang yang lebih baik lagi."

Ya, aku tahu kalau Sakura memang hanya akan terus memandang Sasuke. Aku tidak pernah dianggap dari dulu, bahkan oleh anggota timku sendiri kecuali Kakashi-sensei. Aku ingin mereka berdua melihatku, aku ingin mereka berdua mengakui keberadaanku, dan inilah hasil akhirnya. Karena aku lemah, aku gagal membawa Sasuke kembali. Karena aku lemah, Sakura kini membenciku. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk bisa menjadi kuat?

"Kau hanya perlu berubah!"

Kulihat kembali Ero-sennin yang kini tersenyum padaku. Aku terkejut, karena dia dengan mudah mengetahui apa yang sedang kupikirkan.

"Tapi, bagaimana caranya? Kau ingin melatihku kembali, Ero-sennin?"

"Aku tidak bisa melakukan itu, Gaki. Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan desa ini, tak lama hanya sebentar. Jadi, kau harus berubah dengan caramu sendiri. Temukan kelemahanmu, dan kalahkan itu!"

Setelah berkata sedimikian rupa, Ero-sennin pergi begitu saja meninggalkanku diruangan ini sendiri. Aku akan tidur, lebih baik aku beristirahat saat ini supaya besok aku dapat menemukan apa kelemahanku.

.

.

Dua hari terlewati sudah, dan akhirnya Naruto sudah di ijinkan untuk keluar dari rumah sakit setelah divonis kalau kondisi tubuhnya memang sudah membaik. Dia kini masih berada di rumah sakit, Naruto berniat untuk menjenguk keadaan Neji dan Chouji sekalian sebelum dirinya benar-benar pergi dari rumah sakit.

Tatapan dari kedua mata safirnya, kini tak terlihat seceria dulu. Namun, kedua safir itu masih terlihat bersinar, dan tak sedikitpun memiliki niatan yang tersembunyi. Dalam dua hari terakhir setelah perbincangannya dengan Ero-sennin sore itu selesai, Naruto mulai berpikir tentang apa kelemahan yang dimilikinya.

Dia mengingat pada setiap pertarungan yang telah dialaminya, dan kemudian dia menyadari kalau dirinya begitu ceroboh, berisik, terlalu banyak omong, dan naif. Benar apa yang dikatakan Ero-sennin kala itu, dirinya masih begitu naif, dan hal itu yang membuatnya lemah. Dia sadar bahwa dirinya terlalu terobsesi dengan jalan kebenaran, padahal dunia ninja adalah dunia gelap dimana setiap shinobi akan ditakdirkan untuk saling membunuh jika mereka bertemu. Naruto ingat bahwa itu adalah peringatan dasar yang diberikan oleh Iruka-sensei saat dirinya masih berada di akademi.

Tersenyum miris mengingat betapa bodohnya dirinya saat tidak pernah mendengar apa yang diajarkan oleh Iruka-sensei saat dirinya masih berada di akademi. Tapi, sekarang Naruto sadar akan kelemahan yang dimilikinya. Dia akan berniat untuk berubah, merubah sikap yang menurutnya tidaklah penting jika dimiliki oleh seorang shinobi.

"Yo, Naruto!"

Menghentikan lamunannya, Naruto kembali fokus untuk melihat kedepan. Kedua safir yang dimilikinya melihat Shikamaru yang sedang duduk didepan ruangan Chouji dirawat berada, "Shikamaru? Apa yang kau lakukan disini?"

Shikamaru menatap bosan pemuda yang menghampirinya, "Aku kesini setiap hari untuk melihat bagaimana keadaan Neji serta Chouji, dasar merepotkan."

Naruto menggaruk belakang kepalanya, kemudian duduk disamping pemuda Nara itu berada. "Tidak perlu marah begitu, aku cuma bercanda." Setelah menghentikan cengengesannya, Naruto menatap pintu ruangan dimana Chouji dirawat, "Bagaimana keadaan Chouji dua hari terakhir ini? Aku juga belum tahu bagaimana keadaannya yang sebenarnya."

Shikamaru menghela nafas, dirinya kemudian juga terfokus untuk menatap pintu didepannya. "Bisa dibilang kalau Chouji hampir mati karena mengkonsumsi pil merah buatan klannya itu, aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya bisa bertahan setelah memakan pil yang membuatnya organ dan aliran chakra miliknya menjadi abnormal."

Naruto menoleh kearah Shikamaru, "Abnormal? Maksudmu?"

Shikamaru kembali menghela nafas, "Tekanan kekuatan yang diperoleh setelah memakan pil merah itu memang sangat besar. Namun, pil itu juga mengandung resiko kematian karena reaksi yang ditimbulkan oleh pil itu berpacu langsung pada organ dalam dan aliran chakra, dan organ dalam yang paling besar dipicu oleh pil itu adalah jantung."

"Bahkan keadaan Chouji lebih mengenaskan daripada keadaanku, bahkan aku sendiri mungkin tidak akan sanggup bertahan jika berada dalam keadaan seperti itu." Tatapan Naruto menjadi sendu secara tiba-tiba, dan itu membuat Shikamaru terkejut karena tidak biasanya Naruto menjadi seperti ini.

"Aku pergi ke tempat Neji dulu, Shikamaru."

Shikamaru menatap kepergian Naruto dengan tatapan datar, 'Mungkin dia sudah berubah.'

.

.

Saat hampir sampai diruangan Neji berada, Naruto bertemu Hinata yang sepertinya sedang menjaga Neji. Tentu saja menjaga didepan ruangan seperti yang Shikamaru lakukan tadi, karena keadaan Neji yang Naruto dengar tak lebih parah dari Chouji.

Melangkah pelan untuk menghampiri Hinata yang kelihatan sibuk merajut, Naruto mempunyai ide iseng untuk mengagetkan Hinata yang terlihat terlalu serius. Hinata sendiri juga tidak menyadari keberadaan Naruto yang kini sudah duduk disampingnya, gadis itu terlihat senang akan apa yang kini sedang dilakukannya.

"Sepertinya sedang sibuk, Hinata?"

Mendengar suara maskulin yang sebenarnya sedikit cempreng namun sangat Hinata kenali siapa pemilik suara yang memanggilnya, membuat gadis itu tersentak. Hinata dengan cepat menoleh kesamping kiri dimana disana terlihat Naruto sedang tersenyum kepadanya, Hinata ternganga, wajahnya mulai memerah dan semakin memerah seperti kepiting rebus.

"Na-na-naruto-kun?"

Naruto sedikit terkikik saat melihat bagaimana merahnya wajah Hinata saat ini. Pemuda itu merasa gemas setelah baru sadar bagaimana lucunya wajah Hinata saat sedang memerah seperti ini, hatinya tergerak untuk tidak menahan bagaimana perasaan sebenarnya.

"Apakah aku mengganggumu? Karena sepertinya kau sedang sibuk untuk melakukan itu, Hinata?" Naruto menatap rajutan yang sepertinya ingin Hinata buat menjadi sebuah syal. Namun disisi lain, Hinata sedang menahan diri agar kali ini dirinya tidak pingsan saat posisinya sangat dekat dengan orang sangat ia kagumi sedari kecil.

"Ti-tidak kok, Na-naruto-kun. Kau sa-sama sekali, ti-tidak mengganggu."

"Oh, bagaimana keadaan Neji? Kudengar kalau keadaannya tak lebih buruk dari Chouji?"

Hinata menundukkan kepalanya, "Kak Neji memiliki cedera yang hampir membuatnya mati, dia juga hampir kehabisan chakra."

"Ternyata keadaan Neji memang lebih parah daripada keadaanku, aku bersyukur kalau dirinya masih bisa bertahan untuk terus hidup." Setelah mengatakan itu dengan nada bicara yang terdengar penuh akan sesal, Naruto bangkit dan berjalan meninggalkan Hinata yang kini memandang punggungnya dengan khawatir.

'Naruto-kun?'

-Change-

Naruto membuka pintu masuk apartemen miliknya yang sudah ia buka kuncinya. Tatapannya terus saja sendu, karena sedari saat dirinya dalam perjalanan pulang, dia merutuki dirinya sendiri dalam hati karena dirinya lemah.

Namun, meskipun dirinya kini berada dalam masa keterpurukan, dia masih dapat bertekad untuk melakukan satu hal, dia harus berubah. Berubah untuk menghilangkan semua kelemahannya, berubah untuk menghilangkan semua kesalahannya di masa lalu, berubah untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dari sekarang.

Dalam karirnya didunia shinobi ini, Naruto menyadari kalau dirinya harus mengubah sikapnya terlebih dahulu. Mengingat bagaimana gambaran-gambaran pertarungan yang telah ia lalui selama ini, Naruto menyadari kalau mulutnya terlalu besar omong, sifatnya cenderung ceroboh, emosional, dan bodoh. Sebuah keajaiban memang kalau sifatnya yang seperti itu masih belum membuatnya masuk keliang kubur, bahkan shinobi sekaliber Kakashi-sensei yang selalu membuat keputusan dengan kepala dingin, masih bisa disudutkan oleh ninja buronan seperti Zabuza. Namun, semua itu dikarenakan dirinya yang lemah yang terus saja dilindungi oleh Kakashi-sensei.

Memalukan! Memang sangat memalukan bagi seorang shinobi yang terus meneriakkan impiannya menjadi Hokage didepan banyak orang tapi masih perlu dilindungi oleh orang lain, betapa menyedihkannya merasakan kalau omongannya hanya menghasilkan bualan. Dan jangankan menjadi seorang Hokage, pemimpin desa yang sudah diakui kekuatannya, bahkan untuk menyelamatkan teman satu timnya saja dirinya masih gagal.

Pembual, Naruto akui kalau sebutan itu memang cocok untuknya.

Memutar knop pintu kamarnya, dan sedikit menyalurkan tenaga pada tangannya untuk mendorong pintu tersebut. Mata indah berwarna biru miliknya langsung disuguhi sebuah panorama casablanca yang sangat terlihat menjijikkan dalam pandangannya sekarang, bahkan sebelumnya ia merasa nyaman-nyaman saja meniduri kamarnya yang seperti baru saja disapu oleh topan. Piyama yang tergeletak diatas kasur, selimut yang sudah menjadi sebuah kain lusuh, beberapa bekas cup ramen yang masih terlihat sisa kuahnya, buku-buku cerita yang berserakan dilantai, dan masih banyak lagi.

Sambil menghela nafas pasrah, Naruto melemaskan kedua bahunya, "Aku merasa kalau aku adalah satu-satunya shinobi didunia yang mempunyai kebiasaan yang sangat menjijikkan, mungkin ini adalah langkah awalku untuk berubah, dimulai dari membersihkan kamar pribadiku."

[To be Continued]

a/n: Tolong berikan kritikan untuk cerita saya yang sangat jelek ini. Saya usahakan chapter depan jumlah katanya akan lebih panjang lagi, dan mungkin butuh beberapa minggu.

Oh, iya. Alur di cerita ini saya buat lamban selamban-lambannya, dan Naruto disini tidak akan saya buat menggunakan cara instan dimana kebanyakan Naruto akan menggunakan kagebunshin untuk pergi ke sebuah perpustakaan dan kemudian menggali informasi darisana. Karena Naruto dicerita ini, sifatnya akan berangsur-angsur berubah karena sebuah pengalaman.

Untuk chapter 1 ini, adegan pertama saya ambil dimana saat Naruto sudah kembali dan tengah babak belur dirumah sakit karena gagal membawa Sasuke, saya hanya mengingatkan bagi yang bingung.

Baiklah, sampai jumpa di chapter berikutnya.