Your Black Wings

Disclaimer : Bleach bukan milik saya melainkan punya Tite Kubo sensei, saya hanya meminjam karakter-karakternya untuk kepentingan pembuatan fic ini. Setelah itu saya kembalikan ke pemilik asalnya.

------------------------------------------------###FGHHGF###--------------------------------------

Toushirou's POV

Apa kau tahu? Pencabut Nyawa ada 3 macam. Ada yang bersayap putih, ada yang bersayap abu-abu, dan ada juga yang bersayap hitam. Tentu saja pembagian ini bukannya tanpa alasan. Mereka yang bersayap hitam, bertugas mencabut nyawa orang-orang yang meninggal dengan cara yang….bisa dibilang tidak wajar atau dapat mengakibatkan rohnya tidak tenang dan histeris. Sedangkan yang bersayap putih, bertugas menjemput roh yang meninggal dengan tenang, yang tidak akan histeris dan panik begitu tahu mereka mati.

Bagaimana dengan yang bersayap abu-abu? Kau tak perlu khawatir, karena mereka biasanya mencabut nyawa hewan dan jarang sekali mencabut nyawa manusia. Itulah kehidupan kami sebagai Pencabut Nyawa. Dan sebelum kau bertanya pun aku akan menjawab kalau aku juga seorang Pencabut Nyawa.

Namaku Toushirou. Sayangnya tidak seperti namaku yang artinya 'musim salju yang putih', aku adalah Pencabut Nyawa yang bersayap hitam—yang membuatku tidak menyukai hal ini—dan agak iri dengan teman-temanku yang lain yang hampir semuanya adalah Pencabut Nyawa bersayap putih.

Suatu hari, aku sedang terbang menuju ke arah Jepang. Negara yang indah dan terkenal akan bunga sakuranya. Dan sekarang sudah memasuki bulan April, pasti bunga sakura sedang bermekaran saat ini. Tiba-tiba ada sesosok bayangan hitam besar yang berada di atasku. Aku menengadah dan mendapati seorang pria berambut jeruk dengan wajah penuh senyum terarah padaku.

"Yo, Toushirou!" sapa pria itu. "Sedang bertugas nih? Kok sendirian saja? Yang lainnya kemana?" sindirnya halus dibarengi senyumnya yang makin melebar.

"Diam kau, Ichigo!" seruku kesal. Wajahku pun merenggut saking marahnya. "Kau sendiri kan tahu teman-temanku seperti apa, dan kau masih bertanya kenapa aku tidak bersama mereka? Kau hendak menghinaku ya?" aku menambahkan dengan nada meninggi.

"Wah, wah, jangan marah-marah begitu dong, Toushirou," ujar pria berambut jeruk itu, Ichigo, mencoba menenangkanku yang sedang marah besar. "Aku nggak bermaksud menghinamu kok! Tapi aku hanya ingin tahu kenapa kau bertugas sendiri saja? Kau tidak ingin bersama seseorang? Kalau kau tidak mau bersama teman-temanmu, aku mau kok menemanimu."

Aku mengernyitkan alis. "Kau? Menemaniku? Yang benar saja! Pekerjaan kita berdua kan berbeda satu sama lain! Setahuku Pencabut Nyawa bersayap putih sepertimu jarang bekerja sama dengan kami yang bersayap hitam!" kataku penuh sarkasme.

"Lalu memangnya kenapa?" tanyanya, matanya menatap lurus ke mata hijau emeraldku. Seolah bisa membaca keseluruhan pikiranku.

"Eh?"

"Kau pikir hanya karena perbedaan sayap, aku tak boleh bekerja sama denganmu? Ya ampun, Toushirou! Picik amat sih pikiranmu! Kita berdua kan sama saja! Sama-sama Pencabut Nyawa! Masa' hanya gara-gara perbedaan sepele macam itu kau tidak mau bergaul dengan kami? Atau hanya sekedar bekerja sama begitu? Capek deeh~!" ucap Ichigo yang terdengar seperti keluhan. "Kalau begitu maumu, begini saja ... kita berdua menetap di suatu kota di negara Jepang ini. Lalu kita jalani tugas kita masing-masing, setelah itu kita saling bertukar kabar, bagaimana? Rasanya cukup adil kan? Aku tak mengganggu pekerjaanmu dan kamu pun tak akan merasa mengganggu pekerjaanku," ia mengajukan penawaran yang menurutku sangat menarik.

Kulihat ia mengulurkan tangannya padaku. Dengan agak malas kusambut uluran tangannya dan menjabatnya dengan erat. "Aku setuju dengan penawaranmu. Jadi di kota mana kita akan tinggal?" tanyaku setelah menerima tawarannya.

"Tokyo, ibukota Jepang. Bagaimana? Deal?"

"DEAL!" sahutku mantap.

Dan kami berdua melesat cepat menuju Tokyo dan memutuskan untuk mencari tempat untuk kami tinggal.

---DDM&MDD---

Angin bertiup kencang saat kutengadahkan kepalaku menghadap langit. Hari ini langit cerah, agak berawan, yang berarti menguntungkan tiap manusia yang berjalan dibawahnya. Kunikmati tiap desir angin yang berhembus membelai telingaku. Terkadang aku dapat mencium aroma teh hijau yang khas. Rasanya nyaman, nyaman sekali. Aku sampai tak sadar senyuman tersungging di wajahku.

Kubuka mataku perlahan dan senyumku memudar. Kubangkitkan tubuhku dengan sedikit paksaan lalu kutepuk pinggir baju hitamku agar debu-debu menghilang dari kedua sisinya. Aku menatap pemandangan kota Tokyo sekali lagi. Tertidur di atas atap bangunan mungkin bukan ide yang baik ( ibumu akan mengatakan bahwa kau bisa masuk angin, dan tempat itu berbahaya, dan banyak orang bunuh diri dari situ, dan hal lainnya yang membuatmu ingin segera menutup telinga dan pergi menjauhinya selama beberapa waktu ) tapi bukan juga ide yang buruk. Tidak setiap hari kau bisa melihat kota Tokyo dari atas bukan? Jangan andalkan Menara Tokyo, turis – turis itu akan memadatinya sepanjang hari. Sepanjang hari . Kau tak akan sempat menikmati pemandangannya. Percaya padaku.

Kulangkahkan kakiku dengan enggan menuju pintu keluar. Aku menuruni beberapa tingkat tangga dengan cepat dan segera mencapai basement, tempat orang-orang memarkir kendaraan mereka. Aku mengembangkan sayap hitamku agar tak seorangpun ada yang melihat keberadaanku. Aku baru memasukkan sayapku kembali saat aku sudah keluar dari bangunan tempatku singgah tiga hari yang lalu. Dan kembali melanjutkan perjalanan.

Kakiku melangkah menuju jalanan kota Tokyo. Manusia sudah berjejalan di sana-sini. Segerombolan gadis dengan pakaian yang lebih pantas dikenakan ke pantai, menoleh dan cekikikan setelah melihatku. Seorang bapak-bapak yang terlihat sibuk, berjalan sambil membaca koran dan menabrakku. Dia melihatku kesal dan berlalu pergi.

Aku melirik jam sakuku. 09.45. Masih ada 4 menit lagi sebelum waktu janjianku. Aku berdiri di depan Tokyo Station, salah satu stasiun metro yang besar di Tokyo. Aku menyandarkan punggungku di salah satu tiang lampu di dekat gerbang masuk. 3 menit lagi. Kuhela napas dan memandang sekitarku.

Mobil berlalu-lalang dengan cepat. Anak muda Tokyo zaman sekarang senang sekali memamerkan kecepatan mobil mereka. Orang–orang yang mau menyebrang nampak tidak sabar menunggu lampu hijau. Mereka bisa saja terlambat naik metro berikutnya, yang akan berangkat 5 menit lagi.

09.47. 2 menit lagi. Lampu untuk pejalan kaki menyala hijau. Mereka semua langsung menyebrang dengan terburu-buru. Beberapa bahkan saling mendorong. Beberapa yang cukup beruntung berada di depan, berhasil masuk duluan ke stasiun. Jalanan menjadi lenggang, tak ada mobil yang menunggu lampu hijau, dan tak ada orang yang menyebrang lagi.

09.48. Aku kembali melihat jam tanganku dan mulai menghitung detik – detik sisanya, sebelum waktu yang dijanjikan. 50,49,48,47…. Dari kejauhan nampak seorang gadis yang berlari tergesa-gesa sambil mendekap buku-buku dan tumpukan kertas tebal di dadanya. Dia tidak peduli dengan orang–orang disekitarnya yang memperhatikannya dan nyaris ditabraknya. Gadis itulah yang kutunggu.

15,14,13,12…. Gadis itu kini hampir mencapai pinggiran jalan. Dia berhenti mendadak dan menunduk sebentar mengambil napas. Keringat bercucuran di tengkuknya. Dia menarik napas panjang dan mulai berlari untuk menyebrangi jalan.

3..2..1..

BRUAKKK !!!!

Sebuah Ferarri merah melaju kencang dan tak sempat berhenti. Tubuh gadis itu terpelanting beberapa meter dan tergeletak tak berdaya di pinggir trotoar. Orang – orang menjerit panik. Beberapa pemuda yang duduk di bangku dekat situ, sontak berlari dan menghampiri tubuh yang tak lagi bernyawa itu.

Sayap hitamku kubentangkan lagi dan membuat orang-orang tak lagi dapat melihatku. Kuhampiri tubuh si gadis. Dan hanya akulah yang dapat melihat sosok lain gadis itu yang terlihat pucat, menatap tubuhnya sendiri. Sepotong rantai keluar dari dadanya dan tersambung dengan tubuhnya.

"Koyuki Shiranuma. Kau sudah mati, dan aku akan membimbing arwahmu menuju tempat yang seharusnya." seruku sambil menatapnya tajam.

Koyuki mendongak dan terkejut melihatku. Tapi histerianya lebih besar daripada keterkejutannya.

"K..Kau..Malaikat maut?" tanyanya terbata-bata.

"Kau bisa menyebutku begitu. Tugasku adalah memotong rantai karma-mu dan membawa arwahmu pergi dari sini." jawabku.

Dia meletakkan kedua tanganya ke kepala dan menjerit histeris.

"AKU TAK MUNGKIN MATI!! AKU HARUS BERTEMU MAKOTO! DAN…DAN….INI HARI ULANG TAHUN MAKOTO! AKU SUDAH BERJANJI AKAN MEMAINKAN LAGU UNTUKNYA! AKU BELUM BOLEH MATI!"

"Tidak. Kau sudah ditakdirkan mati hari ini. Tepat pada hari Selasa, 29 Mei 2008, pukul 09.49. Umurmu tepat berakhir di usia 20 tahun 8 bulan 2 hari. Tidak meleset sedikit pun. Tenangkan dirimu. Setiap manusia pasti harus menemui ajalnya." sahutku sambil mengeluarkan sabit panjang dari udara.

Gadis itu masih menangis, tetapi tidak sehisteris tadi. "A…aku..masih bisa bertemu Makoto?"

"Hanya kalau dia lebih banyak berbuat baik. Pejamkan matamu. Ini tak akan sakit. Aku berjanji."

Aku mengayunkan sabitku dan memotong rantai karmanya. Rantainya putus dan arwah Koyuki berubah menjadi serpihan cahaya kecil lalu menghilang perlahan di udara. Aku berbalik dan memasukkan sayapku kembali. Kulihat seorang pemuda menangis sambil memeluk jasad Koyuki. Aku berpaling dan kembali berjalan menjauhi kerumunan.

---DDM&MDD---

Normal POV

Tokyo pagi hari, seorang gadis berambut hitam bercepol tengah berlari-lari menuju halte bis. Ia hampir ketinggalan menaiki bis yang sehari-hari mengantarkannya ke tempatnya kuliah. Dan bernafas lega setelah berhasil menaiki bis itu dan duduk di salah satu kursinya.

Nama gadis itu Momo Hinamori, ia adalah salah satu mahasiswi Universitas Tokyo yang bisa dibilang paling bergengsi di semua universitas di Tokyo. Ia selalu menganggap hari-harinya biasa dan tak ada yang istimewa. Kegiatan sehari-hari yang paling disukainya adalah menatap keluar jendela saat sedang menaiki kendaraan seperti sekarang ini. Ia berharap akan ada sesuatu yang istimewa setiap harinya, walaupun ia tahu tak ada perubahan dari apa yang dilihatnya sehari-hari.

Namun perhatiannya tertuju pada seorang pria mungil berbaju hitam yang menerobos kerumunan orang-orang yang ada di seberang jalan. Sekilas pria itu nampak biasa saja, namun ada sesuatu yang tidak biasa. Pria itu memiliki rambut berwarna seputih salju dan sayap hitam yang membentang lebar di belakang punggungnya. Momo menggosok-gosokkan matanya untuk meyakinkan apakah yang dilihatnya kenyataan ataukah hanya ilusi saja.

Tapi yang kini dilihatnya adalah pria itu mengacungkan tinggi-tinggi sebuah sabit panjang berwarna hitam ke udara dan menebas ke arah .... Momo mencoba meyakinkan pandangannya—seorang wanita yang di dadanya keluar sepotong rantai yang berhubungan dengan tubuhnya! Rantai di tubuh wanita itu terputus bersamaan dengan lenyapnya si tubuh wanita yang tengah menangis tersedu-sedu itu menjadi kepingan-kepingan cahaya yang menuju ke langit.

Sementara itu jasad si wanita yang berlumuran darah itu kini diangkut oleh ambulance yang tiba di tempat itu bersamaan dengan tibanya kekasih si wanita yang menghambur jasad wanita itu dan menangisinya. Momo masih menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.

Apakah tadi aku salah lihat? Yang tadi itu, apakah dia Malaikat maut? tanya Momo dalam hati.

"Sepertinya ada kecelakaan lalu lintas," komentar seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelah Momo. "Kasihan sekali wanita itu," bisiknya penuh prihatin.

Jadi wanita itu korban kecelakaan? Tapi, pemuda malaikat maut tadi ....? Momo membatin. Raut wajah keheranan tampak di wajahnya.

Ia tahu bahwa sejak kecil ia memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat oleh manusia dan ia cukup bersyukur karena ia tak terganggu dengan kemampuan itu. Namun apa yang dilihatnya barusan sungguh mengganggu pikirannya. Terutama dengan sosok malaikat maut kecil yang segera meninggalkan tempat itu setelah ia menyelesaikan tugasnya. Momo nampak amat tertarik dengan pemuda kecil itu.

Setibanya di kampus, Momo tak bisa berkonsentrasi terhadap mata kuliahnya. Pikirannya masih terganggu bayangan kejadian tadi pagi saat di jalan. Bahkan saat waktu istirahat tiba, ia tetap termangu di bangkunya sampai ...

"Hinamori! Kenapa kamu masih ada di sini? Bukankah teman-temanmu sudah keluar untuk istirahat?" sebuah suara halus membuyarkan lamunan Momo.

Momo mendongakkan kepala dan mendapati wajah serius teman sejak kecilnya, Soujiro Kusaka, tengah menatapnya dengan amat-sangat keheranan.

"Maaf, Kusaka. Aku sedang banyak pikiran," jawab Momo.

"Ada masalah apa? Ceritakan saja padaku, mungkin aku bisa bantu?" tanya Kusaka lembut. Tangannya membelai lembut kepala Momo.

"Ngg, anu, Kusaka apakah kau akan percaya dengan apa yang kukatakan ini?" Momo berbalik tanya.

"Aku akan dengarkan, memangnya cerita apa sih kalau aku boleh tahu?" Kusaka semakin penasaran dibuatnya.

"Begini, tadi pagi aku melihat seorang wanita korban tabrak lari. Lalu ada seseorang yang menghampirinya, awalnya kupikir ia adalah kekasih si korban. Namun, yang kulihat selanjutnya tak bisa kupercaya. Aku melihat seorang pria mungil berambut putih mengluarkan sayap hitam yang lebar dari punggungnya! Ia juga mengeluarkan sabit hitam yang panjang dan menebas— err, semacam rantai yang keluar dari dada si gadis. Tapi anehnya tak ad yang melihat kejadian itu, seolah si gadis langsung mati setelah kejadian tabrak lari itu. Apa maksudnya ya, Kusaka?!" cerita Momo dengan menggebu-gebu.

Kusaka mengerjap-ngerjapkan mata violetnya perlahan. "Yang benar, Hinamori?" tanyanya tak percaya.

"Sungguh!" ujar Momo mencoba meyakinkan.

Kusaka mendesah dalam-dalam. "Kurasa itu Pencabut Nyawa, Hinamori," kata Kusaka perlahan, nyaris tak terdengar.

"Eh?! Pencabut nyawa?!" ulang Momo dengan penuh keterkejutan.

"Iya, kau bisa menyebutnya malaikat maut atau shinigami. Mereka biasanya berkelompok. Tapi yang kau lihat ini sendiri, ya? Mungkin sedang tugas individual. Yang kutahu sih seperti itu," jelas Kusaka panjang lebar. "Aku hanya tahu kalau Pencabut nyawa itu ada tiga macam. Ada yang bersayap putih, abu-abu dan hitam. Nah, yang kau lihat ini warna sayapnya apa?" tanya Kusaka di akhir penjelasannya.

"Tadi kan sudah kubilang warnanya hitam! Kau tak menyimak ceritaku, ya?" sahut Momo kesal. Ia menggembungkan pipinya.

Melihat itu, tawa Kusaka pecah. "Ya ampun, Hinamori! Aku hanya bercanda kok! Jangan dianggap serius, lah!" ujarnya di sela-sela tawanya. "Maaf, tapi aku memang agak kurang kalau menjelaskanyang satu itu. Datanya terlalu sedikit. Kau mau mencarinya sendiri?" tanya Kusaka setelah tawanya berhenti.

Momo menggeleng. "Entahlah, aku berharap aku bisa bertemu dengan pemuda itu lagi. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Aku merasa ia sangat menarik."

"Hei, hei, kau serius? Kau ingin bertemu dengan Pencabut Nyawa? Yang benar saja?!" Kusaka tampak shock.

"Aku serius, Kusaka! Kau jangan menghalangi aku, ya!" jawab Momo tegas. Satu jarinya teracung ke arah Kusaka dengan penuh ancaman.

"Ok, ok, aku nggak akan menghalangi kemauanmu," Kusaka mengalah. "Tapi, kalau ada apa-apa hubungi aku ya? Aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu. Janji?"

"Baiklah! Terima kasih ya, Kusaka!" ujar Momo riang.

Mereka berdua tidak menyadari bahwa ada sepasang mata tengah mengawasi mereka berdua. Mata yang berkilat licik dan juga memancarkan nafsu membunuh.

---DDM&MDD---

Momo's POV

Hari ini aku pulang buru-buru karena aku punya firasat buruk dengan orang-orang rumahku. Entah kenapa sejak berbicara dengan Kusaka di kampus tadi, aku merasa ada seseorang yang terus memperhatikan kami dan juga nafsu membunuh yang begitu besar. Rasa cemasku semakin besar ketika aku melihat sesosok pria mungil berambut putih berada di dekat jalan menuju rumahku.

Mau apa dia? Belum puaskah ia mencabut nyawa wanita yang ada di jalan tadi pagi? pikirku menduga-duga.

Aku berlari mendekatinya dan membalikkan tubuhnya agar aku bisa melihat dari dekat seperti apa orang yang akan membuat ulah di rumahku. Mendadak aku terkesiap melihat ketampanan wajahnya. Kulitnya yang terang—meski tidak terlalu putih—nampak serasi dengan rambut putihnya yang jigrak. Bola matanya yang bulat berwarna hijau emerald itu juga sangat cocok dengan wajahnya yang polos seperti anak-anak. Rasanya sulit dipercaya jika orang yang ada di hadapanku saat ini adalah seorang malaikat maut.

"Ka, kamu?" kataku terbata.

"Apa-apaan kau?! Kenapa kau menyergapku seperti ini?!" hardik si pria mungil kasar padaku. Astaga! Perilakunya ternyata tidak selembut wajah polosnya!

"Ma, maaf," ujarku gugup. "Kukira kau mau berbuat jahat pada keluargaku. Makanya ..."

"Hei, aku hanya mengawasi rumahmu. Bukan berarti aku bermaksud membuat onar di rumahmu! Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi saat aku sedang bertugas," jawab si pria mungil berambut putih itu agak gusar.

"Tugas apa? Kau ... hendak mencabut nyawa salah satu anggota keluargaku?" tanyaku takut-takut.

Pria itu nampak sangat terkejut. "Dari mana kau tahu?!"

"Tadi pagi aku melihatmu sedang mencabut nyawa seorang wanita, makanya aku yakin kalau kamu juga hendak mencabut nyawa seseorang di sekitar rumahku, eh, tidak! Maksudku salah satu dari orang-orang di rumahku. Benar kan?" jawabku tenang.

"Yah, baiklah aku mengakui kalau aku ini seorang Pencabut Nyawa, Momo Hinamori," kata pria itu pasrah. "Tapi, aku tak akan memberitahumu siapa yang akan mati. Manusia tidak boleh ikut campur dalam urusan hidup dan mati. Kau paham?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Baguslah!" desah si pria mungil puas. Aku pun ikut lega karenanya.

Eh? Tunggu dulu! Tadi dia ... menyebut namaku? Kurang ajar sekali! Dia tidak menyebut namanya, tapi dengan seenaknya menyebut namaku dengan lengkap! Apa-apaan itu?!

"Kalau begitu perkenalkan dirimu, hei Pencabut Nyawa! Rasanya tidak adil jika kau tahu namaku, sementara aku tidak tahu namamu. Ayo, katakan padaku siapa namamu?" pintaku pada Pencabut Nyawa bertubuh mini itu dengan setengah memaksa.

"Iya, iya, tapi jangan maksa begitu dong!" tukasnya halus. Wajahnya kembali polos seperti anak-anak. "Namaku Toushirou."

"Toushirou?" ulangku setengah tidak percaya.

"Iya! Toushirou! Memangnya kenapa? Ada yang aneh ya?" tanyanya heran.

"Namamu ... hanya Toushirou saja? Kau tidak punya nama keluarga?" aku malah berbalik bertanya.

Kulihat Toushirou mendengus kesal. "Mana mungkin Pencabut Nyawa seperti kami punya nama keluarga! Keluarga saja bahkan kami tidak punya! Bahkan namaku yang sekarang ini juga merupakan pemberian dari orang lain yang pernah kujemput! Kau harusnya tahu itu!" sergahnya marah.

Aku menatap heran Toushirou, kenapa dia ini bawaannya selalu marah-marah terus? Apakah dia tidak pernah belajar bersikap lembut? Apa karena dia malaikat maut? Ya, ampun! Kenapa aku malah tenggelam dalam fantasiku sendiri? Semanis apapun pria di hadapanku ini, dia tetap saja seorang Pencabut Nyawa. Dan seharusnya aku tak boleh sedikitpun meremehkan mereka. Karena lengah adalah titik suatu kesalahan yang fatal.

Tapi, kuputuskan untuk bersikap lunak pada anak kecil berambut putih itu. Percuma terus-terusan panas dengannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah.

"Kalau begitu, biar aku yang memberimu nama keluarga. Bagaimana?" tawarku pada Toushirou. Bibirku menyunggingkan senyum tulus yang manis.

Kulihat Toushirou terperangah mendengar tawaranku, namun ia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Aku sangat senang sekali melihatnya.

"Ngg, apa ya kira-kira nama yang cocok denganmu?" aku berusaha berpikir keras. Setelah beberapa lama. "Aha! Aku tahu! Bagaimana kalau nama keluargamu Hitsugaya saja! Jadi nama lengkapmu Toushirou Hitsugaya. Bagaimana?"

"Toushirou Hitsugaya? Kedengarannya tidak buruk," ucapnya pelan. Senyum manis tersungging di bibir mungilnya. Dan itu adalah senyum pertama yang kulihat sejak bertemu dengannya hari ini. "Aku senang sekali berkawan denganmu, Momo Hinamori."

"Aku juga!" sahutku riang. "Selamat datang di keluargaku, Toushirou Hitsugaya!"

---DDM&MDD---

Toushirou's POV

"Iya, aku tahu, Momo Hinamori," kataku pelan. Lalu aku masuk ke dalam rumah keluarga Hinamori. Aku merasa seperti mendapatkan kehangatan baru dari Momo dan juga keluarganya. Kehangatan yang tidak pernah kurasakan selama ini.

Aku merasa beruntung bertemu dengannya. Dan aku berharap aku bisa seperti ini selamanya. Aku sadar betapa naifnya keinginanku itu, aku hampir saja melupakan kalau aku ini seorang Pencabut Nyawa. Aku tahu kalau kebahagiaan yang kunikmati saat ini tidak akan kekal. Karena aku tahu, suatu hari semua itu akan lenyap tanpa sisa.

Seperti kejadian malam ini, dua minggu setelah aku tinggal di rumah Momo. Rumah Momo disatroni perampok dan hampir seluruh keluarganya dibantai oleh para perampok itu. Dan sialnya ... aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah semuanya menjadi lebih buruk.

"Momo, cepat lari!" teriakku pada Momo yang masih meringkuk ketakutan di belakangku. Aku tengah memapah tubuh tua seorang nenek keluar dari rumah itu.

"Tou, Toushirou, aku tak mau pergi," bisiknya lemah.

"Hah?! Kau mengigau ya? Cepat pergi! Nanti kau bisa terbunuh!" tukasku mulai kesal.

"Tapi ..."

"Sudah tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Bawa serta Nenek!" seruku memerintahkan Momo untuk membawa neneknya itu untuk segera menjauh dari tempat ini.

Momo akhirnya menurut dan memapah neneknya untuk keluar dari rumah. Namun tiba-tiba, sepasang permata hazelnya itu melotot horror ke arahku dan berseru.

"Shirou-chan! Di belakangmu!" serunya panik.

Aku menoleh ke belakang dan ....

ZRAAAAASSSSHHH!!!

Tetesan darah segar pun langsung memenuhi lantai ruangan itu.

**To Be Continued**

Marianne vessalius : Yatta! Yatta! Fic HitsuHina pertamaku! Sorry kalau agak gaje! Lagi agak stress sih!

Ichigo : Dasar author sinting! Nih cerita berseri lagi ya?

Marianne vessalius : (garuk-garuk kepala) Habis ga ada ide lagi sih. Buntu gue. Lagian kan sayang nih fic kalau mendekam lama di komputer gue. Bisa jamuran ntar.

Momo : (panik luar biasa) Gimana nasib Shirou-chan? Dia baik-baik saja kan?

Marianne vessalius : Yaaah, liat aja di chapter depan nanti kalau penasaran sama nasib tokoh yang satu itu. Gue juga nggak mau Shirou-chan kenapa-napa, secara dia kan sodara gue! (dihajar Hitsugaya FC)

Ichigo : Kapan lo sodaraan sama Toushirou? Lo nyogok dia pake semangka se-truk ya?

Marianne vessalius : Salah! Tapi sekebun semangka! Kampung gue kan banyak banget semangka! Makanya dia gue ajak ke sono. Dan dia langsung teriak-teriak kegirangan, trus ngakuin kalo dia sodaraan sama gue. Ehehe!

Ichigo : (mendengus) Cih, dasar author sinting! (masang muka ceria seolah nggak terjadi apa-apa) Ok readers! Mohon kerjasamanya untuk membantu Author kita menyelesaikan fic yang gaje ini. Harap beri masukan lewat Review sebanyak-banyaknya, kalau ada yang salah dalam penulisan juga tolong dimaafkan dan tolong beri saran. Karena katanya, tanpa review, tanpa lanjutan cerita. Ya, ampun kejem banget sih lu, Thor!

Marianne vessalius : Berisik! Gue lagi buntu tauk!

Momo : Umm, para readers, seperti biasa .... PLEASE REVIEW! DAN TEKAN TOMBOL HIJAU DI BAWAH DENGAN SEMANGAT! (ngos-ngosan sendiri gara-gara teriak pake TOA)