Disclaimer : Prince of Tennis, maupun karakter di dalamnya merupakan milik Konomi Takeshi-sensei, kecuali OC yang murni milik saya.
Rating : T untuk remaja.
Enjoy~
Suara kecil yang terdengar seperti hisapan ringan keluar dari mulut seorang pemuda berambut merah pendek. Dengan khidmat ia menghisap, mengulum dan mengigit ujung dari benda berbentuk bulat panjang itu. Ini masih terlalu pagi, bahkan ia baru saja sarapan beberapa belas menit yang lalu. Namun si rambut merah tidak bisa menahan keinginannya untuk memakan makanan kesukaannya yang bernama popsicle itu. Apalagi saat ada tontonan seru di depannya.
Pagi itu ia sedang asyik menyaksikan pertandingan shuffle antara Yagyuu Hiroshi dan seorang anggota U-17 yang lain. Bola matanya menari mengikuti arah gerak pemuda berambut ungu yang berlari kesana kemari mengejar bola karet berwarna hijau itu. Sebagai orang yang berada satu sekolah, terutama teman satu tim di Rikkaidai Fuzoku, ia hapal betul dengan kemampuan Yagyuu. Beberapa kali ia melakukan rally dengannya, dan meskipun ia selalu menang, namun ia mengakui bahwa pemuda itu semakin kuat setiap harinya.
"Laser ini akan mengakhiri semuanya! Adieu!" Yagyuu kemudian melancarkan serangan akhirnya, menyebabkan bola meluncur dengan cepat melewati lawannya. Saking cepatnya, lawannya bahkan tidak sempat bereaksi.
"Game and Match! Yagyuu Hiroshi! 6-2!"
"Naisu..." si rambut merah menggumam sambil mengigit popsicle rasa anggur yang di ambil dari lemari pendingin yang ada di dapur asrama. Ia terus mengamati sang rambut ungu yang menyalami lawannya, bahkan ia tidak berkedip saat Yagyuu menyadari keberadaannya dan melangkahkan kaki mendekat ke arahnya.
"Tidak ada pertandingan shuffle?" tanya Yagyuu sopan saat ia sudah berjarak cukup dekat dengan si rambut merah.
"Besok pagi, mungkin. Lawanku katanya adalah seorang spesialis serve and volley."
"Oh iya? Berarti gaya bermainnya sama sepertimu?" Yagyuu mengkonfirmasi.
"Kau juga sama, Yagyuu-san." celetuknya santai, lalu menyodorkan es krim yang sudah tergigit setengahnya, "Kau mau?"
"Tidak, terima kasih." Yagyuu menggeleng lalu duduk di sebelah pemuda itu, meletakkan raket tenis di pangkuannya. Sementara si rambut merah menarik kembali tangannya dan kembali memasukkan es krim itu ke dalam mulutnya, mengigit benda itu dan mengunyahnya, mengabaikan rasa dingin yang membuat giginya ngilu.
Iris silver Yagyuu memperhatikan si rambut merah yang asik dengan es krimnya. Dari rambut yang dipotong pendek dan dimodel acak-acakan, plester yang menempel di pipi kanannya, sampai beberapa tindik yang terpasang di telinganya. Ia hapal benar dengan kebiasaan si rambut merah yang sepertinya memiliki obsesi berlebih dengan popsicle, es krim, atau makanan sejenisnya. Tak jauh beda dengan Marui Bunta, yang notabene adalah sepupu jauhnya, yang selalu mengunyah permen karet rasa apel meskipun di dalam pertandingan.
Dan sekarang, Marui bersama sebagian rekan tim yang lain sedang bertanding di Australia, mengikuti pertandingan World Cup sebagai wakil Jepang. Sebenarnya si rambut merah termasuk salah satu di antaranya, dan seharusnya ia ada di sana. Namun karena suatu alasan, ia menolak.
Tak sampai semenit, es krim berwarna ungu itu telah habis di tangannya. Si rambut merah tidak membuang stiknya, melainkan menggigit benda itu di dalam mulutnya, memainkannya dengan penuh khidmat.
"Katsuyuki-sa—uhm, Katsuyuki-kun."
Si rambut merah mengalihkan pandangan dari lapangan yang kosong. Iris magenta itu sekarang terarah kepadanya, menatapnya dengan tatapan polos, namun sulit di artikan. Untuk kesekian kalinya Yagyuu merasa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya saat tatapan mereka bertemu.
"Jangan menggunakan honorific." Bukannya menyahut pemuda itu malah memarahinya, "Terlepas dari apa genderku, kalau kau bingung lebih baik tidak usah menggunakannya sama sekali."
Ya, Katsuyuki Runa adalah seorang gadis yang menyamar. Ia menyembunyikan identitasnya sebagai perempuan, lalu mendaftarkan diri di SMP Rikaidai Fuzoku sebagai laki-laki. Kalau saja mereka tidak memergokinya berganti baju di ruang klub, mungkin sampai sekarang ia masih menganggap Katsuyuki sebagai laki-laki.
Itulah kenapa Yagyuu selalu salah memanggilnya. Sebagai seorang gentleman, ia selalu memanggil orang lain dengan tambahan honorific sebagai rasa respect nya kepada orang itu. Ia melakukan itu pada semua orang. Tak terkecuali Sanada dan Yukimura, bahkan orang lain yang berasal dari sekolah lain.
Namun Katsuyuki adalah satu-satunya orang yang membuatnya bingung. Baik dari sifatnya, sikapnya terhadap segala hal, gerak-geriknya, bahkan untuk hal sesimpel penggunaan honorific.
"Maaf, tapi aku ingin menggunakannya untuk menghormatimu." Ujar Yagyuu dengan nada sopannya yang biasa.
Alis Katsuyuki terangkat sebelah, seakan-akan Yagyuu telah mengatakan hal yang aneh. Tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi lain di wajah gadis ber-jersey hitam itu, membuat Yagyuu mau tidak mau berpikir kalau gadis itu menertawakannya. Sudah sekian kali mereka berdebat soal ini. Namun meskipun Yagyuu mencoba untuk memanggilnya tanpa tambahan honorific, ia selalu gagal dan pada akhirnya ia kembali ke awal.
Suara dalam namun halus tiba-tiba menyapa indera pendengarannya. Kali ini dengan jawaban yang tidak terduga.
"Kalau begitu sekalian saja kau memanggil nama kecilku."
Sang pengguna Laser Beam itu balik menatapnya, seakan-akan Katsuyuki telah melemparkan surat tantangan untuknya.
"Mau coba?" kali ini ia bisa melihat segurat seringai tipis di bibir gadis itu. Sangat tipis malah. Katsuyuki sangat jarang tersenyum, atau bisa dibilang ia tidak pernah tersenyum dari awal mereka bertemu. Jadi melihat gadis itu menyeringai adalah hal yang baru untuknya.
Seketika ia merasakan aura dingin menjalari bagian leher belakang sampai ke bawah punggungnya saat ia melihat kilatan di mata gadis itu. Yagyuu membeku. Apa ia akan menerima tantangan Katsuyuki?
Yagyuu berdehem, berusaha menghilangkan perasaan aneh yang memenuhi dadanya. Ini bukan tantangan yang biasa diberikan Niou kepadanya. Ini tantangan yang mudah, tentu saja. Hanya saja ini...berbeda, dan mempengaruhi isi dalam kepalanya.
Sang pengguna telekinesis masih menatapnya, dan tatapannya semakin intens setiap detiknya. Gadis itu masih menunggu.
"Baiklah." Yagyuu mengalihkan pandangannya sejenak. Ia memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit turun dari hidungnya. "Runa—"
"Oke, itu sudah cukup bagus." Katsuyuki memotongnya sebelum Yagyuu sempat menambahkan honorific di belakang nama kecilnya. Ia lalu menarik nafas panjang, entah bersiap untuk apa.
"Kukira, sekarang ini giliranku, Yagyuu-san." Katsuyuki diam sebentar, raut wajahnya terlihat sedang berfikir. "Ah tidak, maksudku Hiroshi-san."
Seketika Yagyuu merasa sesuatu di dadanya meledak, menimbulkan sensasi aneh, namun entah kenapa ia menyukainya. Sesuatu seperti rasa senang yang berlebihan, dan membuat adrenalinnya berpacu. Hal yang tidak ia dapatkan saat ia bermain golf ataupun tennis.
Ia hampir bangkit dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya kalau saja Katsuyuki tidak segera mengalihkan pandangannya dan berdiri, sedikit menjauhi Yagyuu. Dengan cepat ia memakai hoodie jaket putih yang ia kenakan di dalam jersey-nya, menutupi sebagian wajahnya.
"Tunggu, Runa! Kau mau kemana?" tanya Yagyuu saat Katsuyuki beringsut, bersiap pergi dari sana dengan raket tenis di tangan.
"Berlatih, tentu saja." Jawab Katsuyuki. Suaranya terdengar tenang, namun Yagyuu menyadari bahwa ada sedikit getaran di dalamnya. Tanpa menoleh ke arahnya, ia berjalan menjauh.
"Memanggil dengan nama kecil sepertinya bukan ide bagus. Ayo kita sepakat untuk melupakan kalau percakapan ini pernah terjadi." Bersamaan dengan itu, bayangan Katsuyuki semakin menjauh sebelum kemudian menghilang di tikungan, yang mengarah ke lapangan tenis yang lain. Yagyuu terdiam di tempatnya, berusaha mengambil kesimpulan sejenak dari apa yang terjadi barusan.
Katsuyuki lagi-lagi menutup kesempatan untuknya, untuk setidaknya mengenal gadis itu lebih jauh. Namun kenyataan bahwa gadis itu memanggil nama kecilnya, setidaknya untuk sekali, membuatnya mau tidak mau merasa sedikit senang.
Dengan senyum tipis terukir di wajah, Yagyuu melangkah menjauh dari tempat itu, menuju ke arah berlawanan dari yang dituju Katsuyuki.
Hari itu tanpa Yagyuu tahu, Katsuyuki sama sekali tidak bisa berkonsentrasi untuk memukul bola ke arah yang benar. Ia lalu menangkap bola yang lepas dari raketnya, lalu menatap bola itu dengan campuran ekspresi kesal dan malu.
Kurasa, Tezuka-san benar. Aku tidak seharusnya menurunkan pertahananku meskipun hanya sedetik.
End?
Well, sedikit teaser untuk fanfiksi yang kubuat dalam bahasa Inggris (namun bahasanya masih acak-acakan *hiks)
Mungkin kapan-kapan aku akan tulis versi Indo, kalau ada yang mau sih—tapi kayanya ga ada jadi sepertinya... nanti saja *ditimpuk bata*
Review dibutuhkan di sini. Feel free to comment about EBI, atau everything else.
With love, Lyre
