Disclaimer : Haikyuu! adalah mahakarya milik Furudate Haruichi-sensei [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai kesenangan semata dan terapi menulis]
Warning : au, miss typo(s), plot rush, and other stuffs.
Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!
.
vibes
a Haikyuu! fanfiction, written by Em
.
Kiyoko Shimizu melangkah gontai memasuki apartemen sedetik usai bantingan pintu berbunyi di balik punggungnya. Melempar tas tangan, blazer kantor, hingga meletakkan kacamata sembarang tempat adalah yang ia lakukan sementara satu tangannya memijit pangkal hidung dan tubuhnya ambruk di atas futon, terlentang.
Ukai Keishin membiarkan asap di ujung rokoknya menyebar bebas selagi ia melirik lewat ekor mata dengan dahi yang berkerut, "Sudah pulang?" katanya. "Tidak kedengaran suara apa-apa."
Shimizu menghela napas dan mengangkat sebelah tangan tanpa keinginan untuk menoleh. "Buka jendelanya saat kau merokok, Senior. Aku bisa mati kehabisan napas."
Keishin mendengus pendek, melontar protes halus, namun tetap beranjak dari kursi untuk menyibak jendela. Polusi malam lolos menerpa wajahnya. "Kau sudah makan? Mau kubuatkan ramen, Shimizu?"
Shimizu lelah, sangat lelah. Saking lelahnya, ia hampir bisa melihat tumpukan pekerjaannya berpindah ke atas nakas di samping ranjang. Tuhan, harusnya Shimizu mendengar nasihat Keishin untuk tidak mengambil jam kerja di hari minggu. Menghela napas keras, ia menggeleng, cepat-cepat, meski tahu Keishin tak bisa melihatnya. "Aku hanya butuh tidur, Senior."
"Bersama?" Keishin mengucapkan dengan nada setengah bergurau tanpa sungguh-sungguh menatap lawan bicaranya. Meski begitu, ia tahu, perempuan di balik punggungnya cukup mudah dibuat tersenyum.
"Aku sedang capek, lho. Sungguh."
"Aku tidak sedang bercanda juga, sih."
"Senior—"
"Ya, ya. Aku tahu."
"Tahu apa?"
"Kau sedang tidak berselera kuajak tidur bersama, begitu?"
Shimizu tahu ia terlampau mengenal dirinya sendiri. Hingga hampir tak pernah keliru ketika segudang pekerjaan dan tekanan lembur membuatnya frustrasi, dan menjebaknya membuat keputusan untuk pulang. Ia pikir tak ada rumah paling nyaman selain Keishin. Jadi, ia tidak bisa mencegah kedua sudut bibirnya yang melengkung ketika merasakan futon yang menahan beban tubuhnya berderit linu usai Keishin merangkak ikut bergabung.
Shimizu sudah bisa menebak ketika lelaki itu membuang napas ke wajahnya adalah sebuah kesengajaan. "Jadi…, bagaimana?" suara Keishin terdengar begitu berat dan dalam di telinga.
Perempuan itu mengepal lapisan futon, menahan senyum sekaligus tinjuan tak berarti. "Apanya?"
"Tidur bersama dulu atau mandi bersama?"
Tawanya naik satu tingkat lebih jelas dan Shimizu membiarkannya. "Bahumu, aku hanya butuh bahumu, Senior."
Tapi Keishin tetaplah Keishin. Orang yang mengenalnya lebih baik dari siapapun. Memahaminya meski tanpa rengekan. Dan lelaki itu memilih untuk tidak berhenti di sana. "Kau bukan cuma harus dipeluk, Shimizu, tapi juga di cium, di sini, di sini, di sini, juga di sini."
Shimizu tak bisa mencegah tawanya yang lolos. Ajaib. Obat yang lelaki itu tempelkan di kening, pipi, hidung dan bibirnya, membuat kedua bahunya terasa ringan. Dan pelan-pelan ia mulai mengantuk. Sekarang Shimizu bingung, bagaimana harus melepaskan diri dari semua ini sementara ia pikir tubuhnya terlalu berat untuk bertemu air.
"Senior?"
"Hm?"
Shimizu semakin menenggelamkan wajah di ceruk leher Keishin sebelum tersenyum dan sungguh-sungguh berkata, "Sebaiknya mandi sekarang saja karena akan sangat buruk kalau tengah malam nanti."
Tawa Keishin menggema di kepalanya, di dadanya. "Baiklah, Istriku."
Kemudian Shimizu tahu—mereka tahu. Kepulangannya yang lebih awal ini tidak pernah salah.
(fin)
