"Kau dengar kan? Jangan masuki ruang mana pun di gedung sekolah ini sendirian! Terlebih jika kau mendengar dentingan piano di dalamnya. Jangan masuki tuangan itu!"
"Ha'i, Kaa-san. Tenang saja, aku hanya ingin mengambil tugasku yang tertinggal di ruang 14. Aku janji hanya sebentar. Aku berani sendiri kok. Sudahlah, Kaa-san tenang saja."
"Bagaimana jika Kaa-san menemanimu? Kita tak boleh memasuki ruang mana pun sendirian!"
"Tidak, Kaa-san. Tak perlu. Aku kan sudah 17 tahun, bukan anak kecil lagi. Sudahlah Kaa-san, aku benar-benar berjanji hanya sebentar."
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruang 14. Lama-lama ia merasa menyesal menyuruh ibunya hanya menunggu saja, karena ia mulai merasa merinding saat ini.
Ia membuka ruang 14 dan langsung mengambil tugas-tugasnya. "Yokatta. Selesai! Semoga setelah ini, tak ada kejadian aneh padaku. Amin."
.
Kau bodoh jika kau berdoa …
.
"Eh? Ah, hanya perasaanku saja."
Lalu dengan terburu, gadis tersebut keluar dari ruangan itu.
Ting ting ting …
"Suara ini? Piano? Darimana, eh? Setahuku tak ada piano di dalam sekolah ini."
Ia mencoba mengikuti sumber suara. Suara tersebut berasal dari ruang … 9? Dengan memberanikan diri, ia mengintip dari celah jendela tersebut. Dan alangkah terkejutnya ia. Di depan kelas tersebut terdapat sebuah piano yang dimainkan seorang ––bertudung hitam? Hei, siapa dia? Darimana pula piano itu?
Gadis itu menarik nafas. Oh tidak nafasnya tercekat ketika ia bersitatap dengan sang pianis. Tanpa komandonya, ia memasuki ruangan tersebut … sendirian.
.
Kau gadis yang terlalu pintar untuk memasuki ruangan ini sendirian …
.
BRAAAK!
"A –APA INI?"
Pintu dan jendela-jendela ruangan itu menutup dengan sendirinya. Seketika itu juga ruangan menjadi runyam. Aura kegelapan seakan hadir menyelimuti ruangan tersebut. Tubuh si gadis membeku. Bibirnya kelu. Sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia ketakutan setengah mati.
"Ka ––kau si ––siapa?" tanya si gadis pada sang pianis.
Pianis bertudung hitam itu tersenyum. Suara bak malaikatnya mengalun dalam telinga si gadis,
"The Invitor."
"Me –mengundang apa kau memangnya?"
Pianis itu tersenyum kembali. Suaranya yang pelan dan sepi terdengar dengan keji,
.
"The Invitor of … death!"
"A ––AAAAAAAAAAAAAAA!"
.
Naruto © Masashi Kishimoto
The Invitor © FiiFii Swe-Cho
.
"Kau ingat? Jangan masuki ruangan mana pun di sekolah ini sendirian! Terlebih jika kau mendengar dentingan piano di dalamnya."
.
"TEME, SAKURA-CHAN! Hosh, hosh, hosh. Tunggu! Hosh, hosh, hosh," panggil seorang pemuda berambut kuning cerah pada dua sahabatnya yang sudah berada jauh di depan.
"Apa sih, Dobe?" tanya seorang pemuda berambut hitam itu setengah kesal sambil membalik tubuhnya, tentu.
"Hei, jangan marah-marah dulu Sasu-teme. Eh iya, kalian sudah dengar berita baru di sekolah kita belum?"
"Berita yang mana, Naruto?" kini giliran gadis berambut merah muda itu yang bertanya.
"Ada yang terbunuh ituloooh Saku-chan. Sudah dengar belum?"
Gadis yang dipanggil Sakura itu menggeleng perlahan mendengar pertanyaan sahabatnya, Naruto.
"Siapa yang terbunuh?"
"Senpai kita yang cantik itu, Yakumo-senpai."
"HAAAAH? Siapa yang bunuh dia?" Sakura tak percaya.
"Iya, yang bunuh itu The Invitor. Kalian pernah dengar legendanya kan?"
"Legenda di sekolah kita itu?"
"Benar Teme. Dia dibunuh di ruang 9 sekolah kita oleh si Invitor itu!"
"Kau kok yakin sekali?" Sasuke memandang Naruto sinis.
"Yakin saja padaku, Teme! Aku sungguhan kok! Kalau tidak percaya, ayo cepat kita ke sekolah! Pasti mereka sedang membicarakan kasus pembunuhan Yakumo-senpai ini!" seru Naruto dengan semangat membara.
Sakura dan Sasuke bepandangan dan kemudian melihat ke arah Naruto dengan tatapan heran.
"Baiklah, ayo cepat kita ke sekolah!" ujar Sakura.
Mereka bertiga berlari secepatnya ke sekolah mereka, Konoha Senior High School.
.
.
"Kau dengar? Kemarin ada yang meninggal di ruangan 9!"
"Ya, makanya ruangan itu untuk sementara waktu ditutup. Polisi pula yang menutupnya."
"Ini mengerikan. Legenda sekolah itu benar-benar terjadi ya?"
"Tak salah lagi. Sang legenda bangkit kembali."
.
.
"Benar apa katamu Naruto."
"Betul kan apa yang kukatakan? Kalian dengar sendiri."
"Ya, percaya deh."
Naruto sumringah.
"Aku belum percaya. Bagaimana jika kita melihat ruang 9 dulu?" nada Sasuke sarkatis, seperti biasa.
"Baiklah! Ayo kita kesana."
Dengan segera, ketiga sahabat itu melesat menuju ruang 9, tempat kejadian berlangsung. Dan benar saja, begitu sampai disana, mereka melihat sudah ada garis polisi di depan ruangan 9. Sasuke yang amat sangat penasaran, mengintip ruangan tersebut melalui celah-celah jendela ruangan.
"Kau lihat apa Sas?" tanya Sakura, yang juga serupa, penasaran.
Dengan suara pelan, Sasuke menjawab, "Darah."
"Serius? Jangan bercanda Teme. Ini tidak lucu," ujar Naruto.
"Apa aku terlihat berbohong Dobe?" tanya Sasuke tajam sambil menatap Naruto. "Lihat saja sendiri."
Naruto ikut mengintip lewat cela jendela ruangan tersebut. Dan benar saja. Ruangan tersebut penuh dengan darah dimana-mana. Dan jika indra penciuman kita kuat, bau anyir akan tercium sampai keluar dari ruangan itu. Dan dinding belakang ruangan tersebut penuh dengan warna merah darah, seakan dinding itu baru saja di cat ulang. Terbayangkan oleh Naruto jika korban kehabisan sangat banyak darah. Ruangan tersebut benar-benar penuh oleh darah.
"Ka ––kau benar Teme. Ini mengerikan."
"Ya. Seperti lautan saja. Tidak terbayang olehku tragisnya pembunuhan ini."
Mereka bertiga terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Hei, bagaimana kalau kita selidiki si Invitor itu saja?" usul Naruto membuyarkan keheningan di antara mereka bertiga.
"Hn? Apa maksudmu Naruto?"
"Yaaah, bagaimana jika kita bongkar rahasia siapakah The Invitor yang sesungguhnya? Bagaimana? Kalian mau tidak?"
Naruto memandang Sasuke dan Sakura dengan penuh harap.
"Baiklah. Lagipula aku juga ingin tahu siapa sebenarnya pembunuh itu. Hei, kau ingat bagaimana cerita tentangnya dalam buku yang kau baca Naruto?"
"Hmm yang kutahu hanya rupanya. Ia selalu mengenakan baju hitam panjang yang bertudung. Lalu dia mengundang korbannya dengan cara memainkan piano dengan lagu Requim karya Mozart. Hanya itu," jawab Naruto.
"Menurut legenda, dia seorang lelaki atau perempuan?" Sasuke masih berusaha mengorek informasi. Naruto berpikir kembali.
"Err menurut buku yang kubaca, selama berabad-abad, ia tidak pernah diketahui apakah seorang lelaki ataukah perempuan. Tak ada yang pernah tahu."
"Oh. Aku ikut menyelidikinya," sahut Sasuke sambil tersenyum tipis.
"Eh? Kau ikut?"
"Hn. Aku akan membongkar identitasnya."
"Bagus!" seru Naruto gembira.
.
.
.
Kalian akan menyesal membongkar identitasku …
.
- To Be Continued –
.
Author's note:
Hyaaah, Fii kembali publish cerita baru dengan genre yang baru. Yeaaaay~ hahaha.
FiiFii ingin menghadirkan genre yang berbeda untuk cerita yang kali ini. Dan kali ini Fii milih genre misteri. Eh ya, kalo genre-nya salah, kasih tahu Fii ya? Soalnya Fii suka asal aja milih genre, hehehe.
Dan pemberitahuan sedikit. Romance akan ditambahkan Fii di chapter depan. Ada yang mau request?
.
Terus cerita yang ini gimana? Abal? Pendek? Atau gimana?
Jawabannya Fii tunggu di review, okeh?
.
Thanks for reading, minna!
