Orpheus-Eurydice

Title: Orpheus-Eurydice

Scriptwriter: Rizuki

Cast(s):

Liza

Lay

Other casts: Kris

Genre: Romance, Angst, Fantasy

Duration: Chaptered

Rating: Teenager

Disclaimer: This story is belong to me. Lay is belong to himself.

Author's note: Fict yang ini inspirasinya dateng dari sebuah Teenlit judulnya Summer Triangle. Di dalam teenlit itu, ada sedikit cerita tentang mitos Yunani: Orpheus dan Eurydice. Setelah, aku coba investigasi(?) ternyata kisah cinta Orpheus dan Eurydice lebih tragis dan romantis dari pada Romeo dan Juliet. Wkwk

Semoga feelnya dapet.. ^^

Summary: Di saat mitos itu kembali terulang dan takdir memilih kita sebagai tokoh utama..

oOo

Tertangkap jelas oleh kedua mataku tetesan air suci dari langit sudah mulai turun. Beberapa titik-titik air itu, juga menempel di kaca perpustakaan tempatku mendudukkan diriku saat ini. Telingaku sesekali juga menangkap bunyi jatuhnya air dari langit itu. Sejenak aku melangkahkan kaki menuju ke arah jendela kaca di samping kanan tempat dudukku.

Langit semakin pekat. Desiran angin bahkan mampu menembus kaca jendela yang kini tengah tertutup. Bahkan membuat beberapa lembaran buku yang tadi tengah ku baca, terbalik olehnya. Aku heran. Dari manakah datangnya angin itu? mungkinkah bisa menembus kaca jendela ini?

Langkahku kembali ke tempatku duduk tadi. Pergelangan tanganku mencoba mengeratkan hoodie yang tengah ku pakai.

Aku menoleh ke jendela lagi.

BUK.

Jantungku berdetak kencang. Terkejut tentu saja. Ku lihat sebuah buku cukup tebal terjatuh dari sebuah rak di dekat tempat dudukku. Aku menghela nafas sembari berjalan mendekati buku itu.

Bagaimana mungkin buku sebesar dan setebal ini terjatuh hanya karena angin? Mataku kembali mengerjap dan ku edarkan ke seluruh penjuru ruang perpustakaan ini.

Kosong.

Bulu kudukku perlahan meremang. Pertanda apa ini?

"Sudah saatnya pulang, Liza-"

"Eh?" aku terkejut saat Aurum menepuk pundakku. Hembusan nafas lega meluncur begitu saja dariku. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala pada gadis yang menjaga perpustakaan itu.

Aku merapikan beberapa barangku juga meletakkan buku besar yang tadi terjatuh itu di rak semula.

Mataku sejenak membaca dua kata yang tercetak tebal dan dominan pada cover buku berwarna cokelat itu.

"Orpheus-Eurydice-" aku melafalkan judul buku itu. Sepertinya menarik.

Ku putuskan untuk meminjam buku besar itu kepada Aurum. Rasa penasaranku membuatku mengesampingkan sedikit rasa takutku mengenai buku 'aneh' itu.

oOo

Alunan musik klasik sengaja aku pilih untuk menemaniku malam ini. Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang. Konsentrasiku tertuju pada smartphone yang kini ku genggam. Seharian ini aku seperti lupa jika aku memiliki benda canggih itu. Banyak pesan masuk dari Lay, lelaki yang akhir-akhir ini mengisi hatiku.

Aku tersenyum kecil saat menyadari jika laki-laki manis itu begitu khawatir denganku yang seharian ini tak menanggapi semua pesan dan telfonnya.

Baiklah, seharian ini aku tak akan menghubunginya dulu. Maafkan aku, Lay..

Mataku terpejam sejenak. Dan kembali terbuka saat sekelebat bayangan tentang buku misterius tadi siang mampir dalam pikiranku. Aku terbangun. Melirik sebentar ke arah meja belajarku, tempat dimana aku meletakkan buku itu.

Sedetik kemudian, serbuan angin malam terasa masuk ke dalam kamarku. Lembaran pertama dari buku itu terbuka.

Aku melangkah mendekati buku itu, bergerak perlahan untuk meraihnya.

Orpheus adalah putra Apollo, Dewa Terang, dengan Calliope, Dewi Musik. Selain tampan dan berbudi luhur, Orpheus merupakan pemusik yang handal. Apabila jari-jarinya telah diayunkan pada dawai-dawai liranya dan suaranya yang merdu bersenandung, tak satupun yang tidak terpesona dibuatnya.

"Or-phe-us?" pikiranku masih melayang. Mencoba membayangkan seperti apa sosok Orpheus yang ada dalam buku ini. Ku putuskan untuk nekabjutkan membaca lanjutan kalimat setelahnya.

Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan dalam hutan, Orpheus berjumpa dengan Eurydice, seorang peri hutan yang jelita. Mereka saling terpesona dan jatuh cinta. Hati Orpheus tertawan oleh sinar mata Eurydice yang lembut dan gerai rambut hitamnya yang lincah berayun, sedangkan Eurydice terpesona oleh sosok Orpheus yang gagah. Mereka kemudian mengikrarkan diri untuk menjadi pasangan yang abadi.

Tidak mungkin! Aku menggelengkan kepala keras-keras. Segera ku tutup buku itu. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan Lay? Kenapa konsentrasiku tiba-tiba pecah? Oh, ayolah. Tak biasanya aku seperti ini.

Aku menghela nafas. Kenapa di saat aku membaca nama tokoh wanita itu, mendadak aku teringat pada Lay? Apakah mungkin...

Ah, mana mungkin? Tidak. Ini pasti karena aku merindukan Lay. Merindukan lelaki yang seharian ini mengkhawatirkanku. Atau mungkin aku merasa bersalah telah membuatnya khawatir?

Aku mengusap wajahku berkali-kali. Kenapa buku ini semakin aneh? Ada apa sebenarnya?

oOo

Rinai hujan kembali turun. Awan mendung berarak di atas langit sore seolah tak ada habisnya. Genangan-genangan air mulai tercipta sementara angin dingin terus-menerus berhembus. Jalanan tampak lengang, tidak ada satu makhluk hidup pun yang berniat untuk bercengkerama dengan cuaca yang tidak bersahabat ini.

Pun demikian yang dilakukan oleh seorang pemuda tinggi dengan rambut pirang itu. Dia terlihat setengah berlari untuk segera sampai di tempat tujuannya. Akhirnya langkah panjang pemuda itu terhenti di depan perpustakaan. Yup, pemuda bernama Kris itu memang sedang menuju perpustakaan. Dia akan bertemu seseorang.

"Kau sudah datang?" sebuah suara tertangkap pendengaran Kris saat dia tengah mencoba mengusap rambutnya yang sangat basah.

Kris menoleh ke dalam perpustakaan tempat darimana suara tadi berasal. Terlihat seorang gadis berdiri di balik pintu perpustakaan itu. Gadis itu melangkah mendekati Kris dan menyerahkan sebuah handuk kecil pada Kris.

"Maafkan aku yang selalu merepotkanmu, Kris.." ucap gadis itu dengan wajah menyesal.

Kris tersenyum, dia menerima handuk berwarna putih tulang itu kemudian mencoba mengeringkan beberapa bagian tubuhnya yang basah.

"Kau memang selalu merepotkanku, Liza." Kris mengacak pelan rambut Liza kemudian segera masuk ke dalam perpustakaan mendahului Liza yang masih terpaku di tempatnya.

"Jadi, apa yang ingin kau ceritakan padaku? Apa yang membuatmu sebegitu inginnya bertemu denganku, hum?" Kris segera duduk di sebuah bangku.

Liza menyerahkan buku bersampul cokelat yang kemarin dia pinjam kepada Kris. Kris menerima buku tersebut dan mulai membukanya.

"Kau mengerti buku itu?" Liza membuka percakapan setelah beberapa menit sebelumnya hanya bunyi rintikan hujan yang terdengar.

Kris terdiam. Dia terlihat sedang serius membaca dan meneliti buku itu.

"Entah mengapa, aku merasa jika buku itu seperti mempunyai kekuatan mistis, Kris. Setiap aku melafalkan nama tokoh perempuan di buku itu, bayangan Lay mendadak mampir di pikiranku. Seperti, aku memiliki indera keenam. Seperti aku bisa melihat apa yang akan terjadi pada Lay. Aku takut, Kris.."

Kris menatap Liza sejenak, kemudian lelaki tampan itu menghela nafas.

"Memangnya ada apa dengan Lay dalam pikiranmu itu, Liza? Sesuatu yang burukkah?"

Liza mengangguk pelan.

"Aku merasa jika Lay dan tokoh perempuan itu memiliki suatu hubungan, Kris. Hubungan yang, entah bagaimana aku merasa ada keterkaitan antara mereka. Aku benar-benar takut, Kris.." setitik air mata lolos begitu saja dari mata berkilauan milik Liza.

Belum sempat Kris menanggapi perkataan Liza, smartphone Liza berdering. Liza segera meraihnya. Dia sudah berjanji tak akan mengabaikan sebuah bunyi dari smartphone lagi.

"Halo.." suara serak Liza menjawab panggilan dari nomor tak dikenal itu.

Kris menunggu Liza menyelesaikan panggilannya. Tangan pemuda itu masih terus membalik beberapa lembaran buku itu.

"Apa?"

Kegiatan Kris terhenti saat telinganya menangkap pekikan keras dari Liza. Kris terkejut saat menyadari sudah banyak air mata yang mengalir di wajah putih Liza.

Detik itu juga, Liza hanya bisa merasakan jika seluruh tubuhnya melemas. Seakan semua tulang dan otot yang menyangga tubuhnya berhenti bekerja. Gadis itu terpaku.

"Liza! Ada apa? Apa yang terjadi?" Kris menghampirinya. Sejurus kemudian tangan besar Kris bergerak untuk mengusap lembut punggung gadis yang tengah berguncang keras itu.

"Lay.. " Liza seakan tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Kris meneguk ludahnya dengan susah payah, "Ada apa dengan Lay, Liza?"

"Lay kecelakaan, Kris..." itulah kalimat terakhir dari bibir Liza sebelum akhirnya gadis manis itu jatuh pingsan di pelukan Kris.

oOo

Jemari Liza masih terus bergerak di atas blok-blok notasi piano di ruang tengah rumah megahnya itu. Sudah berapa puluh kali tangan lincah itu memainkan lagu sendu yang sama. Seakan tak pernah bosan, Liza terus memainkan lagu kenangan itu.

Ya, lagu kenangan. Lagu kesukaan Lay dan dirinya juga. Lagu yang pernah mereka mainkan bersama di acara pentas seni tahunan sekolah mereka. Lagu yang akhirnya memikat hati para pendengarnya saat Liza dan Lay menampilkannya.

"Kau yakin memilih lagu ini untuk duet kita di pentas seni bulan depan?"

"Tentu. Kenapa? Kau tak suka?" seorang gadis dengan nametag Liza Wu memandang penuh selidik ke arah kekasihnya Lay Zhang.

"Aih, bukan begitu. Kau tak merasa jika lagu ini terlalu melankolis?" Lay mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia seakan tak berani beradu tatap dengan kekasihnya yang sangat keras kepala ini.

"Lagu melankolis akan membuat suasananya semakin romantis, Lay." Liza mengedipkan sebelah matanya ke arah lelaki yang memiliki dimple di pipi kanannya itu.

Lay menghela nafas, dia menatap Liza sejenak.

"Baiklah.." Lay tersenyum sambil mengacak rambut Liza. Sedetik kemudian dia mengecup kening gadis pujaannya itu.

"Mari kita lakukan yang terbaik, baby.." Lay mencubit pipi kanan Liza.

Liza tertawa manja dan menganggukkan kepalanya bersemangat, "Yup!"

Dan dalam detik berikutnya, sepasang kekasih itu pun saling berpelukan. Erat.

Liza menghentikan permainan pianonya. Dia mulai lelah. Akhirnya dia melangkah menuju kamarnya. Pikirannya yang sedari tadi berkecamuk membuatnya ingin segera mengakhiri hari ini. Dia ingin segera terlelap.

Saat Liza berjalan untuk menutup jendela kamarnya, hembusan angin yang cukup kencang menerpa wajah Liza. Menjadikan suasanya sedikit menegangkan. Liza menghela nafas, dan segera menutup jendela tersebut.

Saat langkahnya melewati meja belajarnya, mata Liza tertuju pada buku misterius itu. liza meraihnya. Dibukanya lembaran terakhir yang dia baca.

Sungguh pasangan yang serasi. Sebab selain kejelitaan Eurydice sebanding dengan ketampanan Orpheus, hanya Eurydice lah yang mampu menari dengan indahnya diiringi permainan musik Orpheus. Berdua mereka hidup dalam kebahagiaan yang berakar pada cinta sejati yang telah dianugerahkan dan mereka pelihara bersama.

Sayang sekali kebahagiaan mereka tidaklah sekekal cinta mereka. Para Parcae, dewi-dewi takdir, yang keras hati telah memutuskan riwayat Eurydice harus berakhir.

Liza berhenti membaca, dia merasakan kepalanya pening. Tubuh Liza limbung, hingga buku besar itu terjatuh ke lantai. Liza tak lagi mempedulikannya. Dengan langkah berat dia berjalan menuju ranjangnya, dan akhirnya tubuh lelah itu rebah juga di atas ranjang bernuansa merah itu.

oOo

Liza, bangunlah! Liza.. Liza... Kau ingin bertemu kekasihmu, bukan? Kau merindukan Lay, bukan?

Liza mengerjapkan matanya berkali-kali, retinanya berusaha untuk melihat cahaya terang di depan sana. Dia berdiri seorang diri di tengah padang rumput yang kosong. Gadis itu menatap sekeliling. Bingung. Kepalanya masih terus berputar mencari keberadaan suara itu.

Liza, dengarlah! Kau bisa kembali membawa kekasihmu pulang. Percayalah, buku Orpheus itu akan membantumu bertemu kekasihmu lagi.

"Be-benarkah?" suara Liza bergetar.

Ya. Buku itu bisa membawa kekasihmu kembali, Liza..

"Tunggu! Si-siapa kau? Ken-"

Semoga perjuanganmu berhasil, Liza. Berhati-hatilah...

Liza kembali mengedarkan pandangannya. Tapi tetap saja, tak ada yang bisa dilihatnya selain rerumputan yang masih setia bergoyang dihembus angin.

Kepala Liza kembali terasa pening. Hingga akhirnya tubuh itu ambruk dan Liza kembali terpejam.

oOo

"Kau hanya bermimpi, Liza.." Kris mengunyah roti yang baru saja dia masukkan ke dalam mulutnya. Mata elangnya menatap adik angkatnya itu. Kris baru saja mendengar cerita Liza tentang suara-suara yang dia dengar semalam. Tentang buku itu dan Lay, kekasihnya.

"Tapi Kris, aku yakin jika buku itu memang bisa membawa petunjuk! Aku akan mencarinya, Kris. Aku akan membawa Lay ke dunia lagi. Aku akan membawanya pulang, Kris!" tekad Liza yakin.

Kris menghela nafas, pandangannya sendu ke arah adik yang disayanginya itu.

"Liza, aku pikir kau bisa segera bangkit dari lubang kelam ini. Aku pikir kau akan segera menyadari semuanya. Aku pikir kau sudah merelakan kepergian Lay. Tapi aku salah. Ternyata kau lebih lemah dari yang aku kira, Liza.."

"..." Liza terdiam.

"Ayolah, Liza! Berhentilah. Aku yakin Lay akan bersedih melihatmu seperti ini. Relakan dia, Liza. Ku mohon.."

Liza menggelengkan kepalanya, "Tidak, Kris. Aku akan membawa Lay pulang. Aku akan mencari petunjuknya sendiri jika kau tak ingin membantuku. Aku akan membawa Lay pulang, Kris." Liza melangkah meninggalkan apartment mewah Kris. Tanpa salam, dia pergi menghilang dibalik pintu apartment itu.

"Kenapa kau harus bermain dengan takdir, Liza?-" Kris mengusap wajahnya. Dia terlihat kesal... dan marah.

.

.

.

To be continued... ;)