Gundam SEED/Destiny Disclaimer By Sunrise & Bandai (Not Mine!)

My Short Journal By Oto Ichiiyan

Rate : T

Genre : Romance, Family, Hurt/Comfort, Drama

Pairing : Athrun Zala & Cagalli Yula Athha [Slight CagallixKira]

Warning : OOC, AU, Typos, etc. Don't Like, Don't Read! For Twin Hibiki's Birthday! :) Three-Shoot! Cagalli's POV!


~ Meet You ~


Akhir-akhir ini... entah kenapa aku banyak berpikir tentang apa yang terjadi dalam hidupku. Ah... padahal rasanya seperti baru kemarin aku lulus Taman Kanak-kanak, tapi kenapa besok aku harus ujian masuk ke SMA Archangel, ya? Aneh, bukan? Kenapa waktu terasa begitu cepat, ya?

Pandanganku terarah pada ponsel flip yang sedari tadi kugenggam.

Ia tak bergerak sama sekali, padahal aku sangat berharap akan adanya sebuah pesan balasan.

Ya, sebuah pesan dari seseorang yang sudah sebulan ini tak ada kabarnya.

Kusandarkan sepenuhnya punggungku pada sandaran kursi taman.

"Sampai kapan kau tak membalas pesan dariku, Kira?" Aku bergumam pelan sambil menatap langit yang nampak cerah namun berawan. Berbagai kejadian yang kulewati dengan laki-laki itu kembali berputar layaknya sebuah film layar lebar di benakku. Seperti saat kami bertemu dan berbicara untuk pertama kali, atau saat dengan ketidakmaluannya untuk mengungkapkan perasaannya padaku di kelas. Haaah... mengingatnya membuatku tertawa. Kenapa aku tak menyadari perasaannya padaku setelah sekian lama kami berteman?

Tentu saja karena aku memiliki sifat yang kurang peka terhadap sekitarku.

Atau.. aku hanya berpura-pura tidak peka, ya?

Syuuuh...

Tiba-tiba angin berhembus dan membuat rambutku sengaja digerai ikut bergerak. Helaian-helaian bunga sakura juga terbang mengikuti ke mana arah angin itu berhembus. Beberapa di antaranya terbang melewati depan wajahku. Aku tersenyum begitu kelopak bunga sakura tersebut tertangkap oleh tangan kananku. Hanya tiga kelopak yang kudapat.

"Apa... kau suka bunga sakura?"

Aku menengok ke kanan dan terpaku sebentar.

Seorang laki-laki asing tengah duduk setengah meter di sebelah kananku. Ia tersenyum ramah lalu berucap sambil memandang lurus ke depan. "Bunga sakura itu... indah, ya? Mereka juga bisa terbang bebas mengikuti arah angin sesuai kemauan mereka."

Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksud perkataannya. Jadi aku hanya bisa diam dengan terus memandangi kelopak bunga sakura yang ada di telapak tanganku. Ia juga tak bicara lagi setelahnya. Tiba-tiba sesuatu menarik perhatianku. "Maaf..." Aku mencoba memulai pembicaraan dengan terus menatap benda yang ada di dekat kedua kaki dari laki-laki asing berambut biru tua itu berupa koper hitam besar.

"Hmm?"

"Kau... pengelana, ya?"

"Eh?" Pandangannya mengikuti arah pandangku. "Oh, ini..."

Dari wajah dan nada suaranya, terlihat jelas ia tengah kebingungan untuk menjawab pertanyaanku. "Tapi... kalau dilihat dari wajah dan bentuk tubuhmu, sepertinya kau bukan pengelana." Ia hanya ber-'eh' ria dengan ekspresi kaget. "Kau masih siswa SMA dan sedang kabur dari rumah, kan?" tebakku.

"Eh? Bagaimana...!?"

"Aku sering mengamati orang-orang di sekitarku dan membaca buku psikolog."

"O-oh, begitu?"

Perlahan kutiup kelopak bunga sakura yang kutangkap tadi kemudian melihat jam yang kupakai di pergelangan tangan kiriku. 16.02. "Jadi, tebakanku benar?" Sekali lagi aku bertanya untuk memastikan seraya menatap sosok itu.

"Ya, tebakanmu benar semua." Ia tertawa kecil.

Aku coba menebak lagi tanpa menatapnya. "Masalah dengan keluarga?"

"...ya."

"Broken home?"

"...ya, sepertinya?"

Ah, aku sadar, aku terlalu banyak menebak dan mulai mencampuri masalah yang ia hadapi. "Maaf, aku tak bermaksud untuk ikut campur. Aku hanya asal tebak saja," ujarku dan malah disahuti tawa darinya. "Memang ada yang lucu?" tanyaku bingung.

"Ah, maaf. Sikapmu itu polos sekali," sahutnya dengan nada bercanda.

"Aneh," gumamku.

Kulihat ia tertawa lagi. "Iya, iya. Aku ini memang aneh."

Tak mau terlalu dekat dengan orang asing yang aneh itu, aku memilih untuk pulang ke rumah saja. Ayah juga pernah bilang untuk tidak terlalu dekat dengan orang yang baru dikenal. "Aku harus pulang sekarang," pamitku sambil berdiri dari kursi lalu mulai melangkah. "Oh iya," aku melangkah mundur dan berdiri di hadapannya, "lebih baik kau kembali ke rumahmu. Satu-satunya tempat terakhir yang bisa kau datangi hanya keluargamu."

"..." Ia hanya menatapku tanpa menyahut sama sekali.

"Dah." Setelah itu aku benar-benar pergi dari hadapannya.


~ Lost You ~


Sudah seminggu berlalu sejak hari di mana aku bertemu laki-laki aneh yang 'katanya' tengah kabur dari rumah. Sampai sekarang, aku belum bertemu dengannya lagi, padahal tiap hari aku selalu ke taman. Mungkin orang itu sudah kembali ke rumahnya? Yah, mudah-mudahan saja begitu.

Kedua tanganku membuka sebuah surat yang kudapat tadi pagi.

Di bagian depan amplop terlihat dengan jelas sebuah lambang sekolah.

Surat itu asli dari SMA Archangel, sebuah SMA bertaraf internasional yang menjadi SMA incaranku setelah lulus dari SMP Dominion. Dengan cepat kubuka lalu kubaca secara kilat. Kedua mataku terbelalak melihat satu kalimat dengan ukuran yang cukup besar.

'Selamat! Anda diterima menjadi murid di SMA Internasional Archangel!'

"Aku... diterima?"

Sontak aku langsung berteriak kegirangan. "AKU DITERIMAAA!"

Set! Tiba-tiba saja benda dingin tertempel di pipi kananku.

"Huaaa!" aku memekik seraya berdiri dari kursi taman dan berbalik ke belakang. Sosok laki-laki yang tidak terlalu asing bagiku tengah berdiri dengan tersenyum manis. Di tangan kanannya terlihat sebuah minuman kaleng yang kuyakini adalah benda yang ia tempelkan pada pipiku. "Kau... Apa yang kau lakukan padaku tadi!?" tanyaku dengan nada geram.

"Maaf, aku hanya ingin menyadarkanmu kalau ini bukan kamarmu," jawabnya.

Melihat ekspresi tidak bersalahnya, membuat kesalku semakin menjadi. "Huh!?"

"Kau sadar tidak, sih? Kau berteriak seperti orang gila di taman, Nona."

"Hah?"

Ia tertawa lalu mengambil posisi duduk di kursi panjang yang tadi kududuki. "Masih tidak mengerti atau telingamu jadi tuli mendadak?"

"Apa maksud—!"

"Hm?"

Ugh, aku baru sadar setelah kudengar beberapa orang berbisik di belakangku. Tadi aku memang berteriak kegirangan dan ini di tengah-tengah taman! Langsung saja aku kembali duduk sambil menyembunyikan wajah yang—mungkin—terlihat memerah malu sekarang. "K-kau boleh tertawa lagi kalau memang ingin tertawa," ujarku pelan. Sebuah minuman kaleng terangsur ke depan wajahku. Aku menengok padanya dengan pandangan bingung.

"Sepertinya kau diterima di SMA yang kau pilih?" tebaknya sambil tersenyum.

Kuterima minuman kaleng tersebut tanpa membukanya. "Ya. Aku diterima."

"Kalau begitu, selamat!"

"Um-mm, terima kasih."

Suasana tampak hening setelahnya. Bahkan suara hembusan angin bisa terdengar jelas oleh kedua telingaku. "Omong-omong, ini pertemuan kedua kita, bukan? Kita belum berkenalan waktu itu." Tangan kanannya terulur padaku. "Namaku Athrun Zala. Siapa namamu?"

Athrun... Zala? Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Tapi di mana, ya?

"Namamu?" Ia bertanya lagi.

Aku menjabat tangannya. "Cagalli Yula Athha. Senang bisa bertemu denganmu lagi, walau dengan cara yang cukup menyebalkan," ujarku memperkenalkan diri. Terdengar jelas nada kesal dan menyindir di kalimat terakhirku.

"Ahahaha, maaf, maaf."

Klek. Pesss.

Kubuka minuman kaleng yang ia berikan. Sebelum kuminum, aku pandangi sebentar wajahnya. "Tidak ada racunnya, kan?" tanyaku.

"Tenang, aku bukan orang jahat kok."

Alis kananku terangkat. "Tak ada yang tahu 'kan 'dalamnya' bagaimana?"

"Oke, oke. Terserah kau sajalah," pasrah laki-laki bermarga Zala itu.

Tanpa sadar aku tertawa kecil dan secara reflek menyenggol lengannya. "Pasrah banget," gurauku. Ia menatapku, malas. Aku pun meminumnya. Hmm... lumayan... Rasa apa ini, ya?

"Boleh kutebak?" Athrun meminta izin.

"Silahkan," sahutku seraya minum lagi.

"Kau baru pertama kali minum jus kalengan rasa buah naga, ya?"

"—uhuk! Uhuk! Uhuk!" Tebakannya tepat sasaran! "B-bagaimana—!?"

Athrun melipat kedua tangannya ke depan dada. "Padahal aku hanya asal menebak, lho." Aku hanya mencibir mendengar ucapannya itu. "Hei, hei, hei. Tidak sopan mencibir ucapan seseorang yang lebih tua darimu, kau tahu?" Dengan seenaknya Athrun mengacak-acak rambut pirangku.

"Hei!"

"Ahahaha."

"Geez, dasar aneh." Aku kembali meminum jus kalengan rasa buah naga pemberiannya dengan raut wajah sebal. Kugembungkan kedua pipiku, kebiasaanku saat sedang kesal yang kumiliki sejak kecil dan sepertinya takkan bisa hilang walaupun sudah puluhan kali kucoba. "Cagalli." Merasa dipanggil, aku pun menengok. Sebuah jari telunjuk menempel pada pipi kananku. "Hei!" Lagi, aku memekik kaget karena ulah kekanak-kanakkannya.

Ia tertawa pelan. "Ternyata wajahmu terlihat semakin manis saat marah, ya?"

"Huh?" Kedua alisku mengkerut. "Kau menghinaku?"

"Bodoh, aku memujimu!" sahut Athrun gemas setelah menepuk keningnya pelan.

"Oh," aku meliriknya malas, "kau pikir aku akan percaya padamu, Tuan?"

"Terserah, terserah."

Kini aku yang tertawa cukup keras melihat betapa pasrahnya laki-laki ini saat dikerjai. Bagaimana ya, kalau ia ditindas orang lain? Apa Athrun juga akan sepasrah ini dan tidak melawan? Bodoh sekali. Setelah puas tertawa, pandanganku teralih padanya lagi. Baru kusadari kalau laki-laki itu terus memperhatikanku sambil tersenyum sedikit aneh, menurutku. "Apa?" tanyaku, ketus.

"Sikapmu cepat sekali berubah, ya?" Ia bertanya atau berpendapat?

"Yaaah, maaf saja. Seperti inilah sifat asliku," sahutku dengan nada sarkastis.

"Oke, oke."

Kupandangi sebentar wajahnya yang entah kenapa jadi lebih cerah daripada saat pertama kali kami bertemu. "Omong-omong, bagaimana dengan masalahmu? Sepertinya sudah terselesaikan, ya?" Aku bertanya dan mencoba menebaknya lagi. Rasanya menyenangkan juga bermain tebak-tebakan dengan Athrun.

"Yaaah, seperti itulah."

"Huh? Maksudmu?"

Ia bersandar pada sandaran kursi. "Aku kembali ke rumah setelah mendapat kabar kalau Ibuku masuk ke rumah sakit. Ia terus mengkhawatirkanku sampai-sampai tidak makan selama tiga hari," cerita Athrun sambil memandangi langit yang nampak mulai berawan. Terlihat jelas senyum lega di wajahnya yang cukup tampan.

Kenapa aku baru sadar, ya? Tentang wajah Athrun, maksudku.

"Ada yang aneh di wajahku?"

Tanpa sadar aku berkedip beberapa kali. "Tidak."

"Oh, begitu?"

Ah, ia tersenyum usil padaku dan itu terlihat menyebalkan. "Berhenti tersenyum seperti orang mesum begitu, Tuan Athrun Zala," ujarku dengan nada geram.

"Maaf, rasanya menyenangkan bisa menjahilimu, Cagalli," akunya.

"Ya, ya, ya, dan aku cukup muak melihat wajahmu itu."

"Tapi," tiba-tiba ia berdiri dan menatapku dengan senyuman anehnya. "Terima kasih, Cagalli. Kau tahu? Ucapan terakhirmu waktu itu, sudah menyelamatkanku untuk tidak lari dari masalah yang kuhadapi dengan keluargaku," kata Athrun dan entah kenapa aku merasa ia benar-benar mengucapkannya dengan tulus. Lalu senyuman yang sekarang ditunjukkan Athrun sebagai bukti bahwa ia benar-benar tulus mengatakannya.

"..." Aku hanya bisa menatap laki-laki itu dengan pandangan terpaku. Tanpa sedikit pun berucap sepatah kata padanya sampai sosok tersebut pergi menjauh keluar taman dan tak terlihat lagi.

Tunggu, ia benar-benar pergi?

Karena terlalu kaget, aku langsung lari mengejarnya.

"H-hei, tunggu!"

Saat aku sampai di luar taman, kedua mataku tak menemukan sosok Athrun Zala di mana pun. Kucoba mencarinya di beberapa gang dekat taman, tapi ia benar-benar hilang tanpa jejak. Napasku terengah-engah dan bersandar pada tembok taman yang dipenuhi coret-coretan pilok serta cat warna-warni. "Cepat sekali jalannya," gumamku sambil menyeka keringat yang menetes dari pelipis kananku.

To Be Continued

Note : Akan di-update tiga hari berturut-turut :)

Fanfic ini saya publish sebagai hadiah ulang tahun Cagalli dan Kira. Pas tanggal 18 Mei kemarin juga bertepatan dengan pengumuman pemenang lomba fanfiction di bunkasai terkenal di kota saya dan fanfic ini jadi juara I. :D

Sudah dua kali ini saya buat fanfic terus menang dan fandom yang dipakai selalu GSD. Saya sangat berterimakasih pada penciptanya, juga fans-fansnya :) Hontou ni arigatou gozaimasu! #Bow

Oh iya, terima kasih juga pada pocaga-san, caga. hina-san, Dewi Natalia-san, dan Naw d Blume-san yang sudah me-review fanfic "Unfair" saya. #Bow Review kalian buat saya termotivasi dan untuk "We're REDFOX" akan saya usahakan update di minggu ini. #Bow

Ja Mata Ashita!