.

Bokura no Monogatari

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Warning: Typo(s), OOC, 1st PoV keseluruhan, OC/Reader/Unidentified!Aku, and any other standard warnings~

Friendship, (maybe) a very little romance and humor~

.

DLDR and happy reading!

.


.

"Tidak ada jaminan kelangsungan hidupku akan bertabur kebahagiaan. Tapi, setidaknya aku punya dua orang yang tidak akan meninggalkanku. Mereka yang akan terus menautkan jemarinya padaku, melangkah menyongsong kebahagiaan itu bersama-sama!"

.


Padahal hari ini sedang matsuri tahunan di sekolah. Ada banyak stan menarik yang ingin kudatangi. Tapi, sungguh, aku tidak menikmati setiap waktu

yang kulewati sama sekali hingga sore ini. Aku merasa gelisah. Seolah selalu saja ada orang yang membuntuti kemanapun kami pergi.

"Hei, ada apa?" Makoto yang sedang berjalan di sebelahku bertanya penuh selidik. "Seharian ini kau terlihat sangat gelisah."

Aku menelan ludahku paksa. Menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu ke belakang, setelahnya memicingkan mata menelisik deretan bingkai jendela di lantai dua gedung sekolah. "Tidakkah kau merasa akhir-akhir ini ada yang selalu memperhatikan kita?"

"Hah?" Makoto berujar heran, mengernyitkan dahi sembari menjilat sisa es krim coklat yang dibelinya beberapa menit yang lalu. "Tidak mungkin. Kau 'kan seharusnya tahu, tidak akan ada satu pun murid disini yang berani mengusik kita."

"Tapi–"

Aku hendak menyanggah, namun kalimat-kalimat yang sudah siap mengudara tertahan oleh sodokan es krim yang disodorkan Makoto dengan kasar.

"Diam dan percaya saja padaku, bodoh."

Makoto menarik lagi es krimnya, lalu memakan habis keseluruhannya dalam sekali lahap. Sengaja meninggalkan jejak-jejak coklat yang mengotori sekitaran bibirku–tipikal dirinya jika sedang bermaksud mengejek sifatku yang menurutnya cengeng. Kemudian berjalan mendahuluiku sambil memasukan tangannya ke saku celana seragamnya.

Terpaku sejenak memandangi punggung Makoto yang dilatari langit jingga berpulas gradasi merah, aku lantas mengelap es krim di mulutku kemudian mengulum senyum tipis. Makoto memang sudah seperti itu sejak kami berdua pertama kali bertemu. Selalu saja mengejek dengan kata-kata pedas ketika aku sedang dilanda gelisah. Namun, cara itu nyatanya efektif mengembalikan senyum di bibirku–senyum yang sepertinya hanya Makoto dan keluargaku saja yang dapat melihatnya.

"Sepertinya kau benar … Terima kasih, Makoto!" ucapku pelan, berlari-lari menyongsong Makoto yang sudah beberapa meter jauhnya dariku. Meraih ujung baju bagian belakangnya, lalu sengaja merekahkan senyum lebar ketika Makoto menolehkan kepalanya.

Makoto tampak menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Kenapa kau berterimakasih, sih."

"Asal ada Makoto di sampingku, aku akan baik-baik saja 'kan?"

Pernyataanku menuai helaan napas Makoto lagi. Ia tak menjawabku lagi, hanya menengadah memandang langit yang tak terasa sudah berhias gemintang. Angin sepoi sore hari memainkan surai kami berdua. Aku menggamit lengan Makoto, berusaha mencuri sedikit hangat tubuhnya.

Hanya ada aku dan Makoto berdua sepanjang langkah yang tercipta menuju rumah kami. Kalau saja perasaan dikuntit ini tidak kembali menggerogoti firasatku.

.

.


.

'Namanya Hanamiya Makoto. Teman sekelasku sejak kelas satu, juga kapten merangkap pelatih klub basket di sekolah kami. Pertama kali kami bertemu, orang-orang memanggilnya dengan julukan bad boy. Setiap hari aku tak pernah absen mendengar kasak-kusuk bernada negatif yang ditujukan kepadanya, karena itulah dulu pun aku berusaha menghindari dirinya.

Aku, seorang murid teladan yang sejak sekolah dasar tidak pernah luput menduduki peringkat satu. Namun, justru karena itulah, hidupku menjadi tidak menyenangkan. Orang-orang selalu saja berusaha menindasku dengan segala macam cara. Dicemooh, dikucilkan, dan dijahili seakan sudah menyatu di dalam darah dagingku sewaktu itu.

Namun, takdir ternyata memberikanku secercah harapan. Di awal kelas dua ini, aku dipertemukan lagi oleh Hanamiya Makoto–yang kini sudah tak canggung lagi kupanggil dengan nama depannya. Aku baru saja menemukan kenyataan bahwa rumah kami hanya terpisah oleh jalan di depan rumah–tepat berseberangan.

Entah bagaimana caranya, sejak saat itu, kami mulai dekat. Mengobrol sesaat ketika sedang jam istirahat, lalu berlanjut ke tahap janjian makan siang bersama, hingga sekarang kami berakhir menjadi sepasang sahabat. Kau tahu, Makoto itu tidak seburuk yang orang-orang pikirkan.

Aku pertama kali memanggilnya Makoto ketika kami berdua berjalan pulang bersama untuk pertama kalinya. Dan pertama kalinya pula seumur hidupku, aku merasa memiliki teman lewat diri Makoto. Saking senangnya waktu itu, setelahnya aku selalu berlatih mengucapkan namanya seakan ingin menemukan nada yang tepat untuk menyebutnya ketika aku memanggilnya kembali di sekolah. Makoto. Makoto.

Makoto pun demikian. Meskipun ia tidak pernah mengutarakannya langsung padaku, aku tahu dia pun merasakan hal yang sama denganku. Bersyukur telah saling mengenal. Mengenal seorang teman yang tidak akan pernah membuatmu sendiri, bahkan menawarkan sesuatu untuk dijaga. Mengembalikan warna pada hidup kami yang terlanjur kelabu. Makoto sangat berarti bagiku, lantas aku berani berkata bahwa hidupku adalah Makoto. Tak peduli seberapa buruk imejnya di mata orang lain, aku akan selalu berada di samping Makoto sampai kapan pun.'

.

Pensil disimpan, diari ditutup. Aku bersandar rileks pada sandaran kursi. Tersenyum menatap langit-langit kamar.

Ah, benar. Aku harus bergegas sekarang. Sebentar lagi aku harus ke rumah Makoto. Dia pasti sudah menungguku.

.

.


Bulu romaku berdiri. Perasaan itu kembali menyergapku. Benar-benar ada orang lain selain aku dan Makoto disini. Firasatku kali ini tidak salah.

"Makoto …"

"Hmm?" Makoto sekilas melirik padaku yang sedang tidur-tiduran di ranjangnya. Sejenak menghentikan kegiatan menulisnya–kami sedang mengerjakan tugas di kamar Makoto.

"Kau sungguh-sungguh tidak merasa ada seseorang yang mengintai kita?"

Makoto mendecih menandakan ketidaksukaan. Ia taruh pensil yang ia gunakan untuk menulis sedari tadi, kemudian beringsut duduk di tepi ranjang. "Aku bosan mendengarmu berkata seperti itu sejak kemarin-kemarin."

Aku tertegun sejenak mendengar perkataan Makoto, memandang langsung ke pupil legamnya untuk menemukan sirat kemarahan di dalamnya. Aku yakin, Makoto kini tidak sedang dalam mood yang bagus. Apa itu gara-gara pertanyaanku barusan …?

"Dengar ya …" Setelah menghela napas keras, Makoto menaikkan kakinya ke ranjang, mendekatiku yang masih awas memperhatikan tiap sudut tempat yang mungkin bisa dijadikan tempat persembunyian, baik di dalam maupun di luar kamar Makoto. "Kau ini terlalu banyak membaca komik."

Kali ini, giliranku menghela napas. Menutup mata pasrah, sekejap saja pandanganku tertutup kegelapan yang tertembus pendar jingga–efek cahaya lampu kamar yang dinyalakan. Aku pun lelah untuk khawatir, Makoto. Aku tahu, kekhawatiranku ini tidak beralasan. Aku hanya ingin Makoto menenangkanku seperti yang biasa dilakukannya, mungkin hanya itulah satu-satunya yang bisa kujadikan pembelaan.

"Mako–"

Ketika aku membuka mata kembali, yang kutemukan adalah Makoto yang berada di atasku. Terpaut hanya beberapa senti dari tubuh pemuda berbalut kulit sepucat susu itu, aku sukses dibungkam secara paksa. Makoto diam, memandangiku intens dengan raut muka yang tak dapat ditebak. Tak ada senyum picik yang biasanya tidak pernah lepas dari wajahnya. Yang ada, hanya perasaan keras yang entah kenapa bisa kurasakan dengan mudah, seolah Makoto sengaja menyalurkannya lewat tatapan mata legamnya itu.

"Makoto …?"

"Kau tidak percaya aku bisa melindungimu dari hal-hal semacam itu?" ujarnya tanpa menggubris keherananku.

Aku memalingkan wajah ke samping, menghindari kontak mata dengan Makoto. "Bukan begitu maksudku, hanya saja–"

Kalimatku tercekat di tenggorokan begitu saja ketika aku kembali mengalihkan pandang pada Makoto. Menemukan tatapan sayu Makoto yang seolah menyiratkan permohonan. Sekaligus kesungguhan hatinya terhadap niat yang secara tidak langsung barusan ia katakan–melindungiku dari segala bahaya yang mengancam.

Aku adalah satu-satunya yang ia miliki di dunia. Dan Makoto, juga satu-satunya yang kumiliki di seluruh jagat raya.

Tanpa sadar, aku tersenyum. Menyibak beberapa helai surainya yang lembut ke belakang telinganya, kemudian mengusap pipi porselen itu penuh kasih.

"Aku meragukan Hanamiya Makoto yang seorang bad boy untuk menjadi pelindungku dari stalker? Itu tidak mungkin terjadi, harusnya kau sudah sangat tahu itu."

Senyum picik yang sempat absen sejenak kembali timbul di wajah Makoto–seperti biasa, membuat hatiku kembali bersih dari rasa gelisah.

"Karena asal ada Makoto di sampingku, aku akan baik-baik saja 'kan?"

.


Hari ini melelahkan seperti biasa. Yang mengitariku sepanjang hari hanyalah bisikan-bisikan tidak mengenakan tentangku dan Makoto kemanapun aku pergi–entah itu di koridor, di dalam kelas, atau bahkan ketika aku sedang di toilet. Belum lagi ketika harus tahan mental ketika mendapat delikan-delikan tidak suka ketika pelajaran kimia sedang berlangsung–hanya karena aku dan Makoto aktif menjawab pertanyaan sensei dan mendapat pujian yang tidak hanya sekali.

Tentu saja, kali ini semua buah bibir orang sudah tidak berpengaruh lagi padaku. Karena sekarang, aku dan Makoto saling menjaga. Asal ada Makoto di sampingku, aku akan baik-baik saja.

Bel pulang berdering sudah sejak kurang lebih sejam yang lalu, namun aku masih disini–di taman belakang gedung sekolah–tanpa ada kegiatan berarti. Hanya menunggu Makoto menyelesaikan kegiatan klubnya saja.

Aku melirik jam pada ponselku. Jam empat sore. Seharusnya sebentar lagi Makoto akan selesai. Namun, tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak.

Perasaan ketika seseorang sedang mengawasiku dari rimbun dedaunan.

"Hei!"

Aku tersentak kaget ketika mendengar teriakan itu. Menoleh ke belakang dengan gugup, aku menemukan Makoto berjalan ke arahku dengan memasang tampang masa bodohnya seperti biasa. Hah. Leganya. Kukira siapa.

"Ada apa?" Makoto menaikkan sebelah alisnya saat berhasil mencapaiku. Menatapku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa takut ini. Dan seakan mengerti apa yang sedang kupikirkan, ia pun segera bersiaga mencari-cari hal yang kemungkinan menjadi sumber rasa takutku.

"A-ah … T-tidak–"

"Sshh …" Makoto tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arahku, menempelkan telunjuknya di atas bibirku sembari bola matanya terus bergulir memperhatikan sekeliling.

Aku langsung diam, menuruti sang bad boy begitu saja. Apa Makoto juga merasakan kehadiran orang lain disini …?

"Diamlah sebentar dan ikuti saja apa yang akan kulakukan sekarang." Makoto mengecilkan volume suaranya hingga hanya terdengar seperti bisikan.

Aku pun hanya mengangguk mengiyakan. Tidak mengerti maksud perkataan Makoto. Tapi, aku percaya padanya! Apapun yang akan Makoto lakukan, aku akan selalu mendukungnya–

"Hei, kau tahu?" –gelegar suara Makoto tiba-tiba saja mengudara. Ia menyentuh daguku dan menarikku mendekatinya.

Angin semilir berhembus kencang menerbangkan apapun yang ada di sekitar kami. Burung-burung yang sedang bertengger dengan santainya di rerantingan taman sekejap terbang tunggang langgang. Aku refleks terdiam dengan mulut menganga dan mata yang terbelalak kaget. Semuanya yang terjadi seolah menyambut deklarasi provokatif dari Makoto.

"Aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu," ujar Makoto lagi–nyaris seperti berteriak menghendaki seluruh dunia tahu apa yang tengah diucapkannya sekarang.

"M-Makoto, apa yang kau katakan–"

"Aku selalu memperhatikanmu jauh sebelum kau menyadarinya. Hingga sekarang akhirnya aku bisa berada di sampingmu, aku sangat senang! Sampai-sampai saking senangnya, aku lupa mengatakan hal yang sangat penting padamu!"

Aku menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Angin semakin gencar menghujam tubuh kami. Seringai Makoto terasa sangat menyeramkan di mataku sekarang. Ada apa sebenarnya dengan dirimu, Makoto …? Kenapa begitu tiba-tiba?!

Makoto kemudian menarik daguku lebih dekat, membuatku terpaksa berjinjit untuk menyamai ketinggiannya. Wajah kami berdua sekarang sudah sangat dekat …! Hanya butuh sedikit dorongan angin, maka kami akan …

"Sekarang, selagi aku ingat, bukalah mata dan telingamu lebar-lebar!" Makoto mendesis di depan wajahku, menampakkan seringai yang lebih lebar.

Aku tak dapat lagi berbuat apapun untuk melawan Makoto. Ingin memberontak tapi tak mungkin kulakukan–aku takut Makoto marah padaku dan aku akan berakhir sendirian lagi di dunia ini. Dan aku sudah tidak bisa lagi menahan mataku untuk tetap terbuka.

Deru napas Makoto semakin kentara. Ia menutup kelopak matanya, dan tanpa sadar aku pun mengikutinya. Bibir atas kami sudah menempel dan–

"JANGAN SENTUH DIAAAAA!"

Tepat ketika teriakan itu membahana memecah langit sore hari, Makoto menjauhkan kepalanya dariku dan menarik lenganku menuju ke belakang dirinya–menempatkanku di tempat teraman di dunia, di belakang punggungnya. Memasang kuda-kuda bersiap sembari menatap waspada ke tempat dimana suara berdebam yang keras tiba-tiba menggema, dan gumpalan asap seketika eksis di bawah pohon rindang di dekat kami–

T-tunggu sebentar. Apa yang sedang terjadi?! Kenapa disana ada gumpalan asap?! Demi Tuhan, aku tidak mengerti! Hei Makoto, ada apa ini sebenarnya?!

"Kau yang disana!" desis Makoto sambil mengacungkan jari telunjuknya, menodong sang anonymous bermandikan debu. "Apa tujuanmu sebenarnya membuntuti kami belakangan ini?!"

Gumpalan debu yang beterbangan perlahan lenyap tertiup angin. Sosok di balik debu itu semakin terlihat jelas. Membuatku terbelalak–lagi.

Disana. Ada pemuda tinggi berpostur sempurna yang berbalut seragam dari sekolah seberang. Surai sewarna langit sore hari dengan potongan pendek nan lembut bak bulu anak kucing yang lucu. Cengiran perahu naga tanpa dosa tersaji ketika ia menengadah. Taring yang menyembul menggemaskan diantara deretan giginya yang rapi–

"Ehehehe … Hayama Kotarou desu! Yoroshiku onegaishimasu!"

–Serta celana seragamnya yang sobek di bagian paling vital.

.


.

'Namanya Hayama Kotarou. Siswa kelas dua SMA Rakuzan yang akhir-akhir ini menguntitku dan Makoto. Sekilas, ia terlihat seperti seorang naif yang mudah dibodohi. But, who knows? Jika dia sudah melakukan tindakan yang mengganggu privasi semacam menguntit, pantaskah aku masih beranggapan begitu?

Makoto pun mengatakan hal serupa. Meskipun tutur kata dan kelakuannya setelah ketahuan tadi menyenangkan, tapi kami tetap harus waspada selama kami belum tahu apa tujuan Hayama yang sebenarnya.

Ah, tak apa. Selama kami punya kartu truf (Makoto dengan tangkas memfoto celana Hayama yang sobek terkena ranting pohon), ia tidak akan bisa berlaku macam-macam. Bahkan, ini seperti kami membalikkan keadaan.

Namun, karena itu, kami memiliki sedikit masalah. Hayama menanyakan nama dan alamatku secara gencar, yang lantas kutolak hingga ia bermaksud untuk kembali menguntit kami sampai ia berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Jadilah, untuk sementara waktu, aku terpaksa menginap di rumah Makoto. Orangtuaku tentu tidak akan mempermasalahkan seberapa lama aku tidak pulang ke rumah jika aku berada di rumah keluarga Hanamiya, bahkan dengan senang hati menyerahkan pengawasanku pada Makoto.

Tentunya, aku harus tetap waspada ancaman Hayama. Meskipun kami punya kartu truf, itu belum tentu akan mematahkan niat Hayama yang sepertinya sangat menggebu-gebu. Tapi, tak apa-apa! Selama Makoto ada sampingku, aku akan baik-baik saja!'

.

Kembali kututup diariku sambil menghela napas. Hari ini memang benar-benar melelahkan.

"Belum tidur juga?" Samar-samar, aku mendengar suara Makoto dari balik futon.

Aku mengerling kecil padanya, lalu tersenyum. "Aku sudah mau tidur kok."

Makoto menatapku sejenak, kemudian membalik posisi tidurnya. "Jangan lupa matikan lampunya."

"Hai, hai~" jawabku, lalu berjalan menuju saklar. "Oyasumi, Makoto."

–Lampu kamar padam. Aku beringsut menaiki ranjang Makoto yang hangat dan nyaman. Berusaha menahan senyum yang terkembang sambil mendekap buku diariku yang berisi semua tentang apa yang telah terjadi hari ini.

.

.

TBC (or End?)

.

.


[A/N]

Jangan tanya kenapa saya makin nambahin utang fic \(TwT)/

Idenya lagi ada, jadi tolong maafkan saya yang ngetik fic lagi *sujud* salahkan op terbaru kurobas yang nampilin Hayamanya imut bingiiiiits yaaloh~ xD.. Sama Mayu-sama yang oh-so-kakkoi kyaaaaaaaa~ xD *mati* /?

Trus pemilihan Hanamiya di fic ini, gatau kenapa yaa, lucu aja kayanya kalo dibikin temenan sama Hayama wkwkwk /digiles

Jadi, lanjut atau end saja? Review membangun ditunggu banget! Dan terimakasih sudah mampir! xD