Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki

Amiodarone © altaira verantca

Rated : T

Genre (s) : General | Romance | Friendship

Main Cast (s) : Kuroko Tetsuya

.

.

Ten

Akashi Seijuurou & Kuroko Tetsuya

Prompt : First sleeping together (requested by Jiyulie on twitter)

.

.

Tidak ada yang bicara. Baik Akashi maupun Kuroko diam menatap tempat tidur di hadapan mereka. Tempat tidur dobel ukuran queen, cukup untuk dua orang tidur dan satu guling di tengah untuk pemisah.

"Aku akan meminta kasur tambahan. Kau bisa pakai tempat tidurnya, Akashi-kun." Kuroko menyadari keheningan itu akan awet kalau tak satu pun dari mereka yang bergerak. Bagaimana pun, ini terasa canggung. Menatap kasur mati tak berdosa terus-menerus tidak akan serta merta mengubah bentuknya menjadi dua kasur ukuran tunggal dan menyelesaikan masalah mereka, kan?

Akashi menarik nafas pendek, lalu menggeleng cepat. "Tidak perlu, Kuroko. Kecuali kalau kau keberatan berbagi tempat tidur denganku, untuk semalam."

"Kupikir kau yang akan keberatan kalau harus berbagi tempat tidur, Akashi-kun," balas Kuroko, kini pandangannya terarah kepada mantan kaptennya di masa SMP dulu.

Dulu, lima tahun yang lalu.

"Sama sekali tidak. Tidak masalah bagiku kalau harus berbagi tempat tidur denganmu." Dibandingkan kalau harus berbagi dengan Murasakibara, atau Midorima, Kise, terutama Aomine, Kuroko merupakan opsi terbaik kalau harus berbagi tempat tidur.

Murasakibara bergerak terlalu banyak saat tidur, Kise mengoceh, Aomine mendengkur, Midorima harus tidur dengan lampu menyala. Kuroko? Ia tenang dalam tidur, lampu dimatikan, dan tidak akan menarik selimutmu di tengah malam—setidaknya itu yang Kise gembar-gemborkan dulu, ia sendiri juga belum tahu.

Dari sekian banyak training camp yang diadakan oleh klub basket Teikou, tidak sekali pun Akashi menang undian untuk mendapatkan kehormatan tidur di samping Kuroko. Tidak pernah. Ini yang pertama.

"Selain itu, ini hanya semalam, kan?" tambah Akashi, menyadari kerut samar yang timbul di dahi Kuroko. "Esok pihak penginapan akan mengganti kamar ini. Kita hanya perlu bertahan semalam."

Kuroko sudah hendak membuka mulutnya dan bicara tadi, namun ucapan Akashi membungkamnya.

"Baiklah, Akashi-kun."

Semalam.

.

.

"Akashi-kun, kau sudah tidur?"

Detik berlalu menjadi menit, tinggal beberapa derajat lagi untuk menjadi jam, dan Kuroko masih berusaha menarik kantuk ke matanya. Dia lelah, jelas. Perjalanan dari Tokyo ke Hokkaido sama sekali tidak pendek, terutama kalau kau terus diganggu oleh pertengkaran kecil antara Kise dan Aomine, serta Momoi, sepanjang perjalanan.

"Aku masih terjaga, Kuroko," jawab Akashi, tanpa berbalik dari posisinya yang memunggungi Kuroko. Terjaga memang, tapi mengantuk.

"Oh..."

Hening kembali melingkupi ruangan mereka sampai sibak halus dan bunyi kisik seprei memecahnya.

"Tidak bisa tidur?" tanya Akashi, kini menghadap Kuroko. Lengan terlipat menjadi bantal tambahannya, seolah siap untuk mendengar apa pun yang nanti Kuroko katakan, kalau memang belum mengantuk.

Kuroko membuka matanya, lalu melirik Akashi. Ruangan itu gelap, memang. Namun bias cahaya yang manembus tipis tirai cukup untuk mengiluminasi sosok di sampingnya. Memberikan pendar cahaya lemah yang melembutkan rona helaian rambut yang biasanya semerah delima itu.

"Apa yang Akashi-kun lakukan kalau tidak bisa tidur?"

"Membaca," jawab Akashi lugas, seolah itu adalah jawaban paling jelas yang pasti ia lakukan. "Kau sendiri?"

"Berusaha tidur." Kuroko menatap Akashi sekarang, memeluk guling yang ada di antara mereka dan menghadap teman sekasurnya. Siap untuk berbincang sepanjang malam, kalau perlu, dan kalau masih terjaga.

"Bukan jawaban yang pintar menurutku." Canda dalam ucapan Akashi itu kental, tak ayal menarik satu senyum kecil di wajah Kuroko.

"Aku hanya jujur, Akashi-kun," balasnya, berusaha menutup matanya agar terlelap.

Akashi menatap Kuroko cukup lama, menyaksikan bagaimana kedua mata biru menutup erat, berusaha untuk tidur. Pundaknya rapat memeluk guling, membuatnya tampak seperti meringkuk di balik selimut tebal nan hangat.

"Kau tidak akan bisa tidur kalau dipaksa seperti ini, Kuroko." Akashi mengusap kerut di antara alis Kuroko perlahan dengan telunjuknya. Memijatnya perlahan untuk melonggarkan stres tak kasat mata yang menegangkan raut wajah minim ekspresi itu.

"Aku berusaha tidur, Akashi-kun."

"Aku membantumu untuk tidur."

Cuma hela nafas pendek tanpa peduli untuk membuka matanya yang menjadi reaksi Kuroko. Sebuah ijin tersirat bagi Akashi, untuk meneruskan bantuannya.

"Pundakmu juga." Akashi menarik perlahan guling yang dipeluk erat oleh Kuroko, membuka satu gerutu protes dari temannya itu. Kuroko bahkan membuka mata dan menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya menggeleng dan kembali menutup matanya.

"Kau bisa sesak nafas kalau meringkuk begini," komentar Akashi. Ia tidak canggung untuk menggeser posisinya, mendekat ke tubuh Kuroko, hingga tangannya meraih pundak kurus Kuroko dan mulai memijatnya perlahan.

Kuroko sempat berjengit ketika Akashi menekan satu titik yang kaku, membuatnya refleks membuka mata. Hanya untuk menemui wajah Akashi tepat berada di depannya, hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter dari wajahnya sendiri.

"A-Akashi-kun!" Refleks yang membawa Kuroko memundurkan tubuhnya, hanya untuk memberikan tarikan kasar ke otot-ototnya yang kaku, menimbulkan nyeri baru yang langsung menyerang punggungnya. "Aw!"

"Kuroko, tidak seharusnya kau bergerak tiba-tiba seperti itu." Akashi duduk dari posisinya, serta merta langsung menyalakan lampu yang ada di samping tempat tidur. "Aku merenggangkan ototmu dan lihat apa yang baru saja kau perbuat."

Laki-laki yang tengah kesakitan itu hanya melempar satu tatapan heran kepada Akashi, setengah teredam karena ia menggigit pipi dalamnya untuk menahan nyeri.

"Akashi-kun, aku bukan pasienmu," ujarnya. Ia sadar betul akan pekerjaan Akashi, atau pendidikan yang tengah Akashi jalani saat ini. Pendidikan khusus untuk calon dokter olahraga. Itu artinya, ia ahli soal cedera otot dan bagaimana cara menanganinya.

Masih mahasiswa saja sudah workaholic, entah bagaimana jadinya kalau sudah lulus.

"Dengan kondisi semacam itu, tak ada bedanya kau dengan pasienku, Kuroko. Tengkurap," perintah yang ia katakan di akhir kalimat sama sekali tidak bisa dibantah oleh Kuroko. Penuh enggan, ia menuruti apa yang Akashi katakan. Tidak lupa memeluk bantal erat kalau-kalau apa yang nanti Akashi lakukan akan menyakitinya.

"Kau malah membuatku semakin tidak bisa tidur, Akashi-kun," protes Kuroko, yang segera berakhir begitu tangan terampil Akashi bekerja di pundaknya. Memijatnya perlahan tepat di simpul-simpul otot yang menegang.

"Kau hanya perlu diam dan menutup mata, Kuroko," saran Akashi, tidak mempedulikan protes atau lenguh lega Kuroko begitu ia memindahkan jarinya ke titik yang lain.

Tidak lama sampai Akashi merasa cukup dengan hasil pekerjaannya. Pundak, punggung, dan pinggang Kuroko sudah cukup lunak untuk saat ini. Mungkin ia kurang olahraga, atau kelelahan, sampai semua ototnya kaku dan tidak terurus macam tadi.

"Kuroko, aku suda sele—"

Ucapan Akashi terputus ketika ia mendengar hela nafas teratur nan halus, kontras dengan suaranya yang jernih. Akashi menoleh ke arah sumber suara, hanya untuk menemukan Kuroko sudah terlelap.

Mata tertutup, nafas yang ringan dan teratur, pundak yang turun, dan bibir yang sedikit terpisah sebagai tanda rileks dari otot wajahnya.

Ada senyum yang terbit di wajah Akashi saat melihatnya. Lega, mungkin, karena sang pemain bayangan itu kini terlelap damai. Ia bahkan sangat berhati-hati ketika bergerak untuk mematikan lampu dan masuk kembali ke dalam selimut. Sengaja mengambil posisi miring menghadap Kuroko, hanya untuk mengawasi wajah yang kini samar karena gelapnya ruangan.

"Selamat tidur, Kuroko," ujar Akashi, sembari mengusap kembali dahi laki-laki di hadapannya, menyibak poni panjang yang menutupi kelopak mata Kuroko.

Tidak perlu waktu lama untuk Akashi terlelap, setelah puas menatap sosok Kuroko yang tenang dalam tidurnya. Tidak ambil pusing dengan jarak mereka yang memendek, hingga lutut bertemu lutut dan ujung-ujung jari kaki bersinggungan di bawah selimut.

Ia tidak pernah berbagi ranjang sebelumnya, dan ini cukup membuatnya tertegun sejenak mendapati betapa tiadanya rasa tidak nyaman dalam kesempatan kali ini.

Tapi, mungkin karena Kuroko yang berbagi ranjang dengannya. Bukan Aomine dengan dengkurannya, Kise dengan ocehannya, Murasakibara yang tak bisa tenang, atau Midorima dan lampu ruangan yang menyala.

.

.

Kuroko tidak ingat kapan ia jatuh terlelap.

Kalau pun ada yang ingin ia pertanyakan, ialah Akashi yang terlelap di hadapannya. Dengan lutut mereka yang bertemu dalam jarak nol, kaki yang bertaut ringan dalam kenyamanan, dan kepala Akashi yang menginvasi bantalnya.

Sangat dekat sampai hidung mereka bersinggungan, dan degup jantungnya terdengar beriringan.


A/N : Yak! Countdown untuk ulang tahun Kuroko Tetsuya! Semoga bisa on time updatenya, ya! Also, masih nerima prompt, kok! Silakan dikomen ya untuk request prompt-nya~ Tolong sertakan pairing yang diinginkan juga. Kalau cocok, mungkin bisa saya tuliskan~

Comment would be lovely! Thanks for reading!