Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

I will survive~ ;)

Dozo, Minasan!

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi. I didn't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.

Warning: Alternate Reality, genderbend!FurihataKouki, OOC, FLUFF, highschool, SUPER simple, cliché, typo(s), absurd, fail-romance, etc.

Special backsound: It Girl by Apink

.

Tidak suka? Tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. :)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

"Okae—uch!"

"Tadaima, Onii-chan!"

Pemuda yang menyambut kepulangan seorang anggota keluarganya yang menerjangnya dalam pelukan erat merampas napas, keduanya jatuh terbanting ke lantai kayu.

Mengaduh kesakitan, dia terbelalak kaget menemukan adiknya tersenyum seakan ada bunga-bunga imajiner bermekaran di sekitarnya. Mengecup sayang pipinya lalu melompat-lompat kecil seperti kelinci yang riang bermain petak umpet di antara semak-semak dengan pasangan hidupnya.

Mengintili adiknya yang beranjak ke dapur, menghambur memeluk dan mengecup sayang pipi kedua orangtua mereka seraya mengatakan sesuatu, lalu berputar-putar ceria sehingga rok sekolahnya terkembang apik, langkahnya berderap riang seiring senandung merdunya ke lantai atas menuju kamarnya sendiri.

"Apa yang terjadi padanya, Otou-san, Okaa-san?"

"Mungkin karena klub ekstrakulikulernya liburan musim panas akan ke Kyoto selama dua minggu?" Ayahnya sedang mengusap pipi dengan senyuman terkembang. "Bukankah bagus mood-nya tidak buruk seperti kemarin-kemarin?"

"Liburan ke Kyoto saat musim panas?!" Kakaknya melongo heran. Berikutnya dia menggeleng, ekspresinya mengeras. "Tidak, aku setidak setuju. Bagaimana bisa dia pergi dengan lelaki-lelaki saja? Oke, mereka memang terlihat seperti orang-orang yang hanya gila pada basket, tapi tetap saja—"

"Riko-chan juga ikut." Ibunya meletakkan tatakan yang dipakai untuk mencicipi sup miso untuk makan malam. Bibirnya mengukir senyum tipis, memejamkan mata seraya mendesah lega—entah itu karena masakannya begitu lezat atau karena pemahaman yang melampaui nalar.

"Sudah beberapa minggu ini adikmu terlihat murung. Tidakkah ini suatu pertanda baik jika kita membiarkannya pergi berlibur?" tanya ayah dari keluarga kecil tersebut.

Putra sulung keluarga tersebut lesu mendudukkan diri di meja makan. "Aku mendapat firasat buruk."

Terdengar jeritan falsetto kemenangan dari lantai atas. Bunyi gedebak-gedebuk yang kencang. Dan pekik tawa yang bahagia tak terkira.

"Tuh, kan. Apa kubilang." Pemuda itu memutar kedua bola matanya. "Lagaknya seperti sedang jatuh cinta dan akan bertemu pujaan hatinya saja."

Ibunya menatap kedua pria yang mendudukkan diri di meja makan selagi ia menyajikan makanan. Wanita itu tersenyum penuh makna seraya berkata—

"—bagaimana jika Kouki kita tersayang memang sedang jatuh cinta dan akan bertemu pujaan hatinya?"

.

#~**~#

.

Special for SKIES requested by Kiseki wa Zettai,

.

Innocent Love

.

By: Light of Leviathan

.

#~**~#

.

Duk.

"Awh."

"Kau baik-baik saja, Furi?"

Fukuda bertanya pada sahabatnya sejak kecil yang tadi tengah tertidur lelap sepanjang perjalanan di bus terantuk kaca jendela ketika bus mengerem mendadak. Dilihatnya gadis yang berada di sisinya itu tengah menekan-nekan pelipisnya seraya merintih pedih. Baru ia mau membuka mulut, gadis tersebut menggeleng.

"Aku tidak apa-apa." Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan sesaat, menguap, lalu mengulet perlahan. "Di mana ini?"

"Kita sudah sampai." Fukuda menjawab dengan senyuman terkembang. "Tadi kita sudah sempat mampir ke penginapan untuk menaruh barang, tapi karena kau tertidur, Kantoku bilang jangan membangunkanmu jadi barangmu ditaruh di kamarmu dan Kantoku, lalu bus berangkat lagi ke—"

"Rakuzan?" Furihata yang tadi sedang bercermin di kaca bus dan memerhatikan wajah bangun tidurnya—oh lihatlah rambutnya yang tidak rapi dan sedikit lelehan liur di bibir. Pupil mungilnya membeliak horror.

Fukuda mengangguk penuh semangat. Barulah ia mengerjapkan mata ketika melihat mimik wajah temannya tidak sesuai dengan harapannya. "Err, Furi?"

Gadis itu melakukan headbangs ke sandaran kursi di depannya. Seseorang mengaduh dari bangku yang ditubruknya. Dia buru-buru mengintip takut-takut dan penuh rasa bersalah. "Ma-maafkan aku, Kuroko-kun."

Kuroko mendongak, wajahnya nyaris bersinggungan dengan gadis yang dengan manis mengintip dari balik kursi lain. Ia menggeleng sekilas. "Tak apa, Furihata-san."

Sang gadis yang menjabat sebagai pelatih berseru penuh semangat pada teman-temannya untuk segera turun dari bus dengan tertib karena mereka sudah sampai Rakuzan. Berbanding terbalik dari antusiasme para pemuda, satu-satunya gadis asisten tim basket Seirin itu panik seorang diri. Dia komat-kamit pada dirinya seorang diri, seperti ingin hampir menangis.

Asisten manajer tim basket Seirin itu adalah gadis biasa-biasa saja yang bernama Furihata Kouki. Sebagaimana gadis biasa lainnya, dia tentu ingin tampil dengan baik jika bertatap muka—atau paling tidak di hadapan—pujaan hatinya.

Klise sekali.

Menurut panduan manga shoujo yang berlatarkan kehidupan percintaan masa sekolah, pemuda mana pun akan menyukai gadis yang tampil apa adanya dan biasa-biasa saja.

Tapi sebagaimana karya fiksi, itu hanyalah imajinasi belaka. Hello, Dear! Welcome to the real world! Mana ada lelaki yang akan melirik gadis biasa-biasa saja. Para heroine itu harus mengalami semacam make-over atau mereka adalah tipikal perempuan yang memang sudah dianugerahi kecantikan, keimutan, keeleganan, bakat, ataupun pesona luar biasa lainnya.

Furihata bukan gadis luar biasa. Dia biasa-biasa saja. Bila melihat pemuda-pemuda tampan dia akan berbisik-bisik fangirling, jika melihat kaus melorot garis otot dan paras rupawan dengan celana agak merosot, ia akan menjerit-jerit heboh. Setiap dihadapkan pada lelaki dengan mata yang menjerat perhatiannya, dia akan meleleh.

Tapi tidak seperti gadis-gadis biasa lainnya, dia tergolong gadis yang pengecut—jika terlalu halus disebut sebagai pemalu. Dia memang ingin berpenampilan yang terbaik di hadapan orang yang disukainya. Paling tidak,ia tidak terlihat memalukan. Atau paling tidak, Furihata akan dilirik.

Sama seperti kuatnya keinginan pebasket di bench ingin turun ke arena pertandingan basket, seperti itulah keinginan Furihata untuk—paling tidak—dilihat sebagai seorang gadis oleh pencuri separuh hatinya.

Sayangnya, sama pula seperti seluruh keklisean kisah-kisah roman picisan lainnya, objek pujaannya adalah seseorang yang berbanding terbalik darinya. Tidak ada kata apa pun yang dapat mendeskripsikan segala hal tentangnya selain: sempurna.

Well, tidak sempurna sepenuhnya. Furihata pernah dibuat ketakutan setengah mati olehnya karena orang itu memiliki kepribadian ganda yang menyeramkan.

Namun ketika tahun lalu di akhir pertandingan Winter Cup, melihatnya berubah, lalu di akhir pertandingan menjabat tangan teman setimnya dengan fair—padahal dari mata merah yang memukai itu sudah berkaca-kaca seperti hampir menangis karena kekalahannya—ia bisa melihat pemuda itu tersenyum setulus hati.

Napasnya tercekat. Jantungnya berdebar kencang membuat hatinya sesak bukan kepalang.

Senyum yang begitu menghangatkan hati, mengharukan bahkan, padahal dia pasti sedih seperti orang sekarat di ambang kematian karena telak dihantam kekalahan mutlak.

Waktu kepribadian menyeramkan objek pemuda terideal untuk dijadikan sebagai suami idaman itu bertemu dengannya saat pembukaan Winter Cup, saat tim mereka tidak sengaja berpapasan di interval istirahat dua quarter pertarungan Rakuzan versus Shutoku, ketika Riko mengumpankannya untuk mencairkan ketegangan di lobi sebelum pertandingan Rakuzan versus seirin—melemparkannya hingga menubruk orang yang ditakutinya itu ...

... lalu dengan bodohnya Furihata berusaha menyampaikan tantangan, mengemukakan keyakinannya bahwa teman-temannya pasti bisa mengalahkan Rakuzan—dan orang itu, dia tersandung kakinya sendiri. Jatuh tersusruk. Memalukan. Menyakitkan.

Tak ada yang menertawakan karena mereka terlampau bingung. Terlebih orang itu, bingung menatapi kebodohannya.

Tidak hanya sampai di situ.

Di hari ulang tahun Kuroko, Kiseki no Sedai bertandang ke flat Kagami karena pesta diselenggarakan di sana. Furihata yang sedang senang menyenandungkan lagu Happy Birthday to You, membuka pintu karena bel berbunyi.

Ia tergugu di pintu menemukan sosok itu—yang ia pikir mereka tidak akan bertemu lagi sampai final Inter-High—tersenyum padanya!

"Hei, kau ini Furihata-san, 'kan?"

Tersenyum sopan. Tapi tetap saja, dia tersenyum! Bukan senyum untuk menutupi tangis. Tuhan, dia bahkan mengingat Furihata Kouki!

Sayangnya, efek ketidaksiapan mengetahui akan bertemu lagi dengan seseorang yang menjerat hati, menyebabkan Furihata bergetar. Jantung berdegup tak dinamis dan ia terbata-bata karena gugup untuk mempersilakan tamu Kiseki no Sedai masuk ke flat Kagami. Saat orang itu mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu, Furihata pening karena wangi maskulin khas lelaki yang mungkin hampir misterius menyesakinya.

Gadis ini merosot pingsan dengan pose sama sekali tidak manis.

Ini bukan kesan yang Furihata harapkan pada seseorang yang kemudian padanya seoranglah perasaannya tertambat.

Mungkin Furihata kebanyakan membaca manga shoujo. Mengharapkan ia akan jatuh cinta dengan cara yang sederhana tapi berharga untuk dikenang: bertemu pujaan hati di musim semi saat bunga sakura berguguran dan ia terlambat datang ke sekolah dan bertabrakan lalu mereka jadi teman sebangku atau adegan-adegan klise romantis lainnya.

Tiba-tibat terlintas kisah cinta seorang gadis lain yang dapat batangan es krim sisa bertuliskan: "Pemenang!"

Astaga. Furihata tidak tahu lagi mana yang lebih aneh dari semua ini. Dirinya atau Momoi Satsuki.

Setidaknya, manajer dari tim Too itu memiliki fisik yang amat menarik. Mengesampingkan ukuran fantastis dadanya, dia memiliki mata semerah pulasan merah saat senja meraja, rambut pink seperti sakura yang bersemi, kulit yang putih dan mulus, ditunjang dengan kecerdasan dan kelembutan suaranya.

Huh, rumput tetangga memang selalu lebih hijau.

Bagaimana dengannya?

Saat Furihata berjalan di sisi kedua sahabatnya, agak di belakang, meringis miris berusaha melenyapkan pemikiran iri tersebut seraya menghentakkan langkahnya yang berat memasuki area sekolah prestisius di Kyoto itu, barulah pemikirannya menyimpulkan penyesalan.

Dia menyesal karena terlalu bersemangat mendengar undangan yang disampaikan Kuroko bahwa tim-tim alumnus Teikou itu memutuskan untuk mengadakan latih tanding bersama sepanjang liburan musim panas di Kyoto—karena penginapan yang murah akan dibantu reservasinya oleh tim Rakuzan.

Sehari sebelum berangkat, sejak berhari-hari memilih dan menyortir barang-barang—terutama pakaian—yang akan di bawanya, Furihata sibuk berguling-guling di ranjang memeluki boneka beruang putih hadiah dari kakaknya, gelisah tidak bisa tidur. Mood swing-nya seminggu terakhir ini, mungkin karena ia pikir ia merindukan seseorang dengan senyum tak terlupakan itu, membuatnya terjaga sepanjang malam.

Makanya separuh awal ke Kyoto, Furihata baik-baik saja dan bisa melupakan keresahannya itu dengan bercanda dengan teman-teman setimnya.

Bermain kartu dengan teman-teman seangkatannya,bernyanyi riang dengan Koganei di televisi yang memutar lagu-lagu karaoke yang hits saat ini, memainkan gitar mengiringi dayu nyanyian enka (lagu Jepang klasik) yang didendangkan Kiyoshi sehingga menyebabkan kapten tim Seirin mengomel marah, menanggapi candaan pun dari Kiyoshi, berbagi bekal dengan Mitobe untuk yang lain, hingga kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur.

Furihata memang tidak berpesan pada siapapun untuk dibangunkan. Ia tidak menyangka dirinya akan jatuh tertidur. Padahal ia sendiri yang berencana—setelah mengetahui agenda tim Seirin di Kyoto—untuk mengganti baju yang cukup menunjukkan bahwa ia seorang gadis begitu mereka tiba di penginapan untuk check-in.

Setibanya mereka di gimnastik yang juga merangkap sebagai aula Rakuzan, melihat tim-tim basket lain telah tiba di sana dan bersiap-siap untuk berlatih, itu sudah biasa bagi Furihata.

Tapi melihat objek yang membuatnya hampir dalam setiap waktu senggangnya hanya untuk memikirkannya, berjalan menghampiri timnya untuk menyambut tamu di tim Rakuzan, Furihata meringis miris menyadari betapa tidak feminim penampilannya.

Sweater yang satu nomor terlalu besar ukurannya berwarna abu-abu. Celana pendek selutut. Sepatu kets yang lusuh dengan kaus kaki nyaris mencapai lutut. Rambut dikuncir satu tinggi dengan anak-anak rambut tercecer tidak rapi. Wajah polos tanpa polesan apa pun.

Furihata menggigit bibir. Kepanikannya meningkat ketika jarak antara dirinya dan orang yang menghampiri timnya terpangkas. Buru-buru ia maju untuk menyembunyikan diri di balik seseorang.

Seseorang yang merasakan ada yang menjadikan punggungnya tameng, menoleh, menatap bingung karena asisten tim Seirin bersembunyi di belakangnya. Perhatiannya teralih ketika sapaan dilontarkan padanya.

"Selamat datang di Rakuzan, Kuroko, Kagami, dan Seirin."

"Terima kasih sudah mengundang kami untuk berlatih bersama." Kuroko mengulurkan tangan, balas menjabat tangan eks-kapten setimnya. Ia refleks membalas senyum pemuda di hadapannya. "Lama tidak berjumpa, Akashi-kun."

Furihata merasakan perutnya mulas seakan organ dalamnya berkelonjotan dan pandangannya berkunang. Ia mengintip dari balik garis bahu Kuroko yang dipegang olehnya. Tak sengaja tatapannya bersingungan dengan si pelaku pembuat jantungnya berdegup gugup yang bingung memandangnya, ia lekas bersembunyi lagi dan menggerung malu di pundak Kuroko.

Dengan seragam Rakuzan, celana hitam yang licin dan rapi, kemeja abu-abu gelap Rakuzan yang tidak kusut sedikit pun, dasi hitam yang melambai ringan ditiup angin, kancing teratas kemeja yang tidak dikancingkan, dan segala hal lain yang melengkapi sosoknya.

Furihata sesak napas. Kami-sama, tolonglah hamba hawa hayati-Mu yang tidak kuat hatinya! Kenapa hamba adam-Mu yang itu kau anugerahkan ketampanan seperti racun mematikan?!

Tentunya tim Seirin menyadari tingkah aneh Furihata. Sebagian besar—yang dikarenakan otak mereka bertransformasi jadi otot di luar segala hal mengenai basket—beranggapan bahwa itu karena Furihata takut, benar-benar ngeri melihat sosok itu yang dulu pernah mengintimidasinya.

Golongan kecil lain yang cukup observan, mulai menduga-duga. Mungkin keanehan Furihata ada hubungannya dengan kenyataan bahwa Furihata pun memang berlaku aneh sejak seminggu belakangan.

Hanya Aida Riko yang satu-satunya mengerti hubungan tentang seminggu ini, kedatangan mereka ke Rakuzan, tingkah abnormal Furihata Kouki, dengan eksistensi bernama Akashi Seijuurou.

"TETSUUUU—" Seorang gadis berlari secepat kilat, seperti biasa hendak menubruk Kuroko seperti yang biasa dia lakukan, namun dia tertegun melihat Kuroko dengan (cukup) lembut menepuk punggung tangan seorang gadis yang tengah memegang bahunya—dan bersembunyi di belakangnya. "—kun?"

Kuroko menengok pada sumber suara seseorang yang bergeming menatapi dirinya dan asisten tim Seirin. Senyum tipis terbit di wajahnya. "Lama tidak bertemu juga, Momoi-san."

Bibir merah muda tipis yang tak sempat dipoles lipgloss apapun menggigit belahan bawahnya, Furihata beringsut pergi dari balik punggung Kuroko, bergeser dua langkah ke kiri—bersembunyi di balik tubuh tinggi menjulang Kagami. Dari tatapan tidak percaya Momoi, Furihata mengerti arti tatapannya apa.

"Halo, Tetsu-kun." Momoi berusaha tersenyum semampunya, walaupun terlihat terlalu dipaksakan. "Akhirnya kau sampai juga."

Furihata berniat mengintip bagaimana reaksi Momoi ketika Kuroko akhirnya berbincang dengan gadis manajer Too tersebut, dia memiringkan kepala dari balik punggung lengan kokoh Kagami yang hanya meliriknya tidak paham.

Saat itu pula, sepasang mata semerah delima yang menyorot bingung dan penasaran bersitatap dengan mata pupil mungil coklat yang melebar terkejut.

Doki.

"K-kya!"

Pekik singkat nan samar itu yang familiar dan Furihata kembali bersembunyi di belakangnya membuat Kagami tertawa sekilas.

"Kadang-kadang, kau benar-benar tidak seperti gadis biasa. Suaramu barusan aneh tapi terdengar sangat imut, Furi."

"Sa-sangat imut?" Furihata ternganga tidak percaya menatapi Kagami yang nyengir inosen padanya. Begitu pula seisi tim Seirin, Momoi, bahkan Akashi. Hanya Kuroko yang tahu, Kagami tidak akan pernah berbohong dengan perkataannya.

Sebelum seseorang hendak menanyakan apakah Kagami kepalanya terbentur terlalu keras, atau efek samping karena sepanjang perjalanan di bus ia histeris dengan Kuroko membawa-bawa Nigou yang mengusilinya dengan berusaha mendekati pemuda penakut anjing tersebut, Kiyoshi menyeruak maju lalu menepuk sekilas kepala asisten manajer tim mereka.

"Kagami memang benar. " Kiyoshi tersenyum hangat—nyaris semua orang berpikir dia mirip seperti seorang bapak menyayangi putrinya—pada Furihata, lalu menatapi Akashi yang bergeming. "Bisakah kauantarkan kami ke gimnastik?"

Akashi membalas senyum dari center tim Seirin tersebut. "Tentu. Mari ikut denganku," pandunya pada tim Seirin yang bergegas mengikuti sang kapten Rakuzan dari belakang.

Furihata tidak membiarkan dirinya lepas dari tameng berupa punggung Kagami. Matanya memenjarakan punggung berbalut kemeja abu-abu hitam tersebut dalam pengamatannya. Sepertinya Akashi punya garis bahu yang tegas dan punggung yang tegap.

Selagi Akashi menunjukkan rute menuju gimnastik indoor, Furihata tidak mendengar tentang rumor hantu bernyanyi yang santer digosipkan karena katanya ada murid bunuh diri di toilet gim Rakuzan, selain pada kenyataan bahwa entah sudah ada gadis-gadis modis menyapa kapten sekolah yang berkediaman di Kyoto tersebut.

Dia populer.

Sempurna baik meski bila hatinya ditelisik, baik dari segi fisik maupun akademik.

Tak terjangkau.

Seketika Furihata galau.

Kenapa dari sekian banyak lelaki di dunia ini, harus Akashi Seijuurou yang mencuri perhatiannya?

Kenapa tidak sahabat terdekatnya? Teman sekelasnya? Guru muda di sekolahnya? Teman seklub basketnya? Teman di rumahnya? Siapa pun yang berada di sekitarnya selama sehari-hari? Kenapa seseorang yang memiliki begitu banyak perbedaan sedemikian jauh darinya?

Memikirkannya saja membuat Furihata makin mulas berat. Matanya panas dan pandangannya memburam.

Oh, ayolah. Furihata datang ke sini memang untuk melihatnya. Tapi dia juga bertekad untuk mencari sasaran (baca: para lelaki menawan) yang bisa membuatnya move on dari kapten tim Rakuzan yang tidak ada bedanya dari matahari di langit—begitu terik dan tidak tergapai olehnya.

Begitu mereka masuk gim, teman-teman lelakinya segera berganti baju dengan baju latihan untuk bergabung dengan tim-tim basket lainnya. Furihata memeluki perutnya yang mulai mengeluarkan suara berkerut-kerut abnormal seraya merapikan tas-tas mereka yang ditinggal berserakan. Duduk di bench, di sisi Riko yang menyorotinya dengan pandangan simpatik tapi memutuskan untuk tak berkata apapun padanya.

Pada Furihata yang menatap ke seberang bench Seirin. Ada bench Rakuzan. Kapten timnya dihampiri seorang gadis berambut ungu. Tanpa perlu dilihat dari Tokyo Sky Tree dengan sumpit pun, Furihata bisa tahu seberapa cantik gadis itu dan ukuran—oke soal ini tidak usah dibahas.

Sepertinya gadis itu menunjukkan beberapa berkas tertentu. Tertawa entah apa karena perkataan Akashi usai melihat dokumen yang diserahkannya. Dilihatnya Akashi tersenyum pada gadis itu seraya balas mengucap sesuatu.

Furihata merasakan relungnya berdenyar menyakitkan. Ada bebunyian yang menyembul hingga pangkal kerongkongannya. Sakit. Tidak menyenangkan, membuatnya ingin muntah.

"Furi!"

Gadis itu menoleh pada seniornya yang nyengir manis padanya, tersenyum di sela ringisan ketidaknyamanannya. "Ada apa, Riko-Senpai?"

Riko membuka tas selempang Furihata semena-mena, mengeluarkan buku berlapiskan sampul print Death Note. Isinya bukan semacam catatan hitam untuk mengutuk mati seseorang, melainkan—

"Cuci mata. Oke?" Riko mengedip seraya menjulurkan lidah dengan gaya nakal tapi tetap manis padanya, menjejalkan buku buatannya itu padanya.

Furihata terkikik susah-payah sembari menahan sakit. Meraih buku miliknya, membukanya perlahan-lahan. Alih-alih hanya deretan nama dan sebab-musabab mereka akan mati, Death Note itu tergantikan jadi Target Note.

Ada berbagai macam foto pemuda lengkap dengan biodata mereka masing-masing. Furihata menggeser beberapa tas dan memutuskan untuk di sisi Riko. Kedua gadis anggota tim basket Seirin itu mulai memerhatikan sesi pemanasan para pemuda, latihan, dan bertukar komentar.

Sang senior akan menuturkan kemampuan fisik siapa yang paling bagus sementara Furihata akan memerhatikan beberapa bagian tertentu seperti otot lengannya, otot perut mereka—yang kadang terbuka karena mereka shooting atau dipakai untuk mengeringkan cucuran keringat.

Hingga pandangan sang junior tertumbuk pada seorang pemuda yang ternyata telah selesai bicara dengan gadis bersurai ungu itu dan kini merentangkan lengan untuk melancarkan tembakan tiga poin dari area garis tiga poin.

Furihata mengamatinya lekat.

Rambut merahnya yang terkibas oleh angin. Lengan yang tidak bercacat cela bahkan dengan setitik noda pun, sekilas terlihat berkilau karena keringat bersembulan di sana. Kausnya yang sedikit tersingkap. Kaki jenjang yang tidak kepanjangan namun tampak kuat.

Menapak lincah, bergegas memungut bola, dan berputar untuk bertukar highfive dengan rekan setimnya seraya menyeka keringat dari balik kening yang diceceri helai-helai merah, wajahnya terlihat seutuhnya—yang sedang mengulas senyum ringan (tampan-tampan-tampan-tampanastaga aku bisa gila) pada teman setimnya.

Furihata sukses dibuat sesak napas dan perut makin mulas.

"Kau suka sekali pada dia, eh?"

Furihata tersedak kaget mendengar pertanyaan dari seniornya.

Riko menertawakan karena Furihata gelagapan menjawab pertanyaannya. Diikutinya arah pandang juniornya untuk memerhatikan pemuda yang disukai adik kelasnya itu seraya melirik buku yang terbuka di pangkuannya.

"Target Note-mu itu penuh catatan tentang yang lain. Seperti Murasakibara-kun terlalu tinggi, poni Midorima-kun yang aneh, Kagami-kun yang terlalu temperamen, Kuroko-kun yang membuatmu sering terkejut, Mibuchi-kun yang agak terlalu feminin untuk seleramu, Izuki-kun yang terlalu freak pun, Moriyama yang hobi menggombal, Miyaji-kun yang terlihat galak, bahkan sampai pada catatan Kise-kun sangat tampan meski dia kadang berisik."

Furihata terkesiap karena ternyata seniornya itu memerhatikan isi tulisan dalam bukunya.

"Tapi tidak ada satu pun tentang Akashi-kun." Riko terkiki geli menyadari wajah gadis di sampingnya memerah parah hingga tertunduk malu. "Padahal waktu itu, kukira kau sangat ketakutan padanya."

"A-aku memang takut—"

"—untuk mendekatinya?" Riko mendekatkan bibirnya ke telinga adik kelasnya. "Karena si perempuan berambut ungu tadi, ya?"

Anggukan lamat-lamat. "Mu-mungkin, yang tadi itu ..."

"Bagaimana kalau cari tahu saja apa Akashi-kun sudah punya pacar atau belum?"

Furihata menoleh perlahan pada Riko. Wajahnya tampak cemas. "Ti-tidak perlu. Aku memang ingin dapat pacar ... ta-tapi ..." Dia mendesah lelah. "... aku juga sadar, mau dunia diputar balik pun, aku tidak pantas bersamanya. Ma-maksudku, dia luar biasa sementara aku ... terlalu biasa."

Riko memutar kedua bola matanya. Ditamparnya bahu rapuh gadis di sisinya. "Kau memang kelihatannya pengecut, pemalu, dan lemah ... tapi aku tidak bilang kau ini tidak bisa diandalkan atau tidak punya kelebihan sama sekali, 'kan?"

Furihata meringis kesakitan sembari mengusap-usap bahunya yang ngilu. "Itu menurutmu, Senpai."

Riko mengusap puncak kepala berhelaikan rambut coklat yang agak berantakan itu. Dia tersenyum manis. "Orang lain selain aku boleh saja berpikir kau itu gadis biasa dan tidak pantas bersama seseorang seperti dirinya, tapi bisa jadi juga kau itu lebih dari biasa dan pantas bersamanya ketimbang yang kau sendiri pikirkan."

Furihata merenungi perkataan seniornya. Dia berusaha memahami apa yang kakak kelasnya coba sampaikan. Tapi dia menggeleng, ia tidak mengerti apa maksud Riko. Sebelum ia mengutarakan maksudnya, seseorang memanggilnya dari lapangan.

"Furi! Tolong ambilkan minum!"

Gadis itu menengok pada sumber suara, buru-buru dia bangkit mengambilkan sebotol air minum pada sang kapten yang berdiri tersengal-sengal beberapa putaran. "Hai', Senchou!"

Kata-kata penyemangat dari Riko tadi terlalu manis dan optimis, Furihata mengerti itu. Karena itu dia mencoba untuk tidak memikirkannya dan mengenyahkan harapan bisa bersama seseorang sesempurna Akashi Seijuurou.

Meski rasanya ada yang amat sakit menusuk Furihata Kouki sendiri karenanya. Tidak hanya perutnya, tapi hatinya juga. Karena itulah usai membagikan minuman, Furihata berpamitan ke toilet untuk meredakan gemuruh di hatinya—dan berusaha tidak mencuri pandang pada Akashi.

.

#~**~#

.

"... kalau yang menyanyi itu Mayuzumi-san dan dia tidak kelihatan, aku mungkin percaya."

Semua sweatdrop mendengar perkataan dari Nebuya yang tengah bersendawa dan menuai omelan dari Mibuchi yang jijik karenanya.

"Memang Mayuzumi-san bisa bernyanyi?" tanya Hayama heran yang sedang melakukan pendinginan sebelum istirahat paruh pertama regimen latihan basket.

"Aku tidak bisa membayangkannya." Mibuchi bersidekap seraya memijat-mijat punggung lengannya. "Tapi gosipnya memang seperti itu yang kudengar dari anak-anak ekskul olahraga senam lantai kemarin."

Akashi melirik tim Too yang memerhatikan ace mereka membatu mendengar percakapan Rakuzan—karena kedua tim tersebut berdampingan dalam prosesi pendinginan dan jeda istirahat. Ia menatap rekan-rekan seregunya. Berusaha untuk tidak tersenyum geli karena Aomine, yang berada tak jauh dari sisinya, tampak aneh karena posisinya canggung seperti hendak berdiri tapi batal.

"Itu hanya kabar burung, tidak ada kebenarannya," sergah Akashi menenangkan. Dia beranjak bangun, "Permisi, aku mau ke toilet dulu."

Mibuchi refleks menoleh dengan mimik cemas pada kapten timnya. "Sei-chan, kau tidak takut—"

Akashi ringan melambaikan tangan seraya berjalan keluar menuju gim. Baru disadarinya seseorang membuntutinya, ia menoleh dan menemukan siapa yang mengekorinya, senyumnya lekas terbit.

"Kau mau ke toilet juga, Aomine?"

Pemuda berkulit gelap itu mengedikkan bahu, mengkhianati derasnya aliran keringat dingin di wajahnya. "Be-begitulah. A-aku tidak tahu tempatnya di mana."

Akashi mengangguk sekilas sembari menahan senyuman, dia paham—bukan hanya mengenai ketidaktahuan Aomine tentang lokasi toilet gimnastik rakuzan tapi juga ketakutannya akan hantu. "Ikuti aku."

Mereka keluar dari gimnastik lalu menyusuri koridor. Memasuki sebuah lorong yang agak remang karena senja masih meraja dan belum ada petugas menyalakan lampu.

Tapak langkah kaki mereka mengetuk-ngetuk udara, samar-samar ada bunyi tetesan dan gemericik air. Sayup-sayup gumaman. Semakin dekat ke toilet, semakin jelas pula suara lembut yang merdu merasuk kalbu.

Aomine merepet ngeri, kacau menggerung kata-kata yang mungkin berbunyi seperti "Maafkan aku!" berulang kali.

Dalam sekerjap mata, Akashi menoleh ke belakang. Aomine sepertinya masuk paksa ke Zone untuk kabur secepat mungkin dari toilet itu. Akashi mengerjapkan mata, kenapa Aomine lari dari sana padahal belum bisa dipastikan itu hantu atau bukan?

"Oh, field flower, that has bloomed

Ah, somehow, please tell me:

Why is it that people hurt each others

And fight?"

Apa yang menyeramkan dari nyanyian bersuara halus yang merdu? Bunyi suara keran diputar dan gemiricik air yang terhenti? Langkah yang halus seperti hampir transparan? Bunyi gagang pintu ditekan dan decit yang mengerikan? Atau liukan nada dari senandung merdu itu yang mengagumkan?

"Aaah~ aaahh—"

Seseorang berdiri mematung di pintu toilet wanita yang terbuka.

Sepasang mata merah berbenturan dengan mata coklat berpupil mungil yang terbelalak kaget.

Akashi terpana sesaat. Kalau tidak salah, orang ini ...

"Hei, Furihata-san." Akashi tersenyum tipis dan bertepuk tangan sekali. "Nyanyianmu—"

"—hm ... hmmm." Lantunan gumam merdu yang menyejukkan.

Krieeet.

Pintu toilet wanita ditutup kembali.

Akashi masih tertegun.

Orang itu baru datang ke mari. Tokyo dengan Kyoto pun jaraknya tidak sedekat Tokyo Tower pada Tokyo Sky Tree. Jadi, tidak mungkin dia yang santer digosipkan oleh murid-murid di Rakuzan, bukan?

Sedikit kecewa karena orang itu tidak keluar lagi dari toilet—Akashi hanya ingin memujinya saja tapi dia ingat orang itu sejak awal bertemu selalu taktu dengannya dan mungkin itu karena awal pertemuan mereka ia sendiri yang membuat kesan menakutkan, Akashi tetap melangkah masuk ke toilet.

Pemuda itu tersenyum, lengkungan di bibir yang tidak selaras dengan sorot sendu matanya. Ia tidak bisa melompat ke masa lalu dan mengubah seluruh masa menjadi waktu-waktu yang menyenangkan, menghapus dosa-dosa yang seharusnya tak termaafkan. Tidak bisa mengubah pandangan dari apa yang mereka lihat tentangnya sejak pertama kali bertemu atau selama ini bersama dengannya.

Di luar semua itu, Akashi hanya ingin berkata jujur.

Setidaknya, untuk satu suara yang menentramkan hati.

.

#~**~#

.

"Furihata-san, kau dari mana saja?"

Pertanyaan halus dari Kuroko itu menyambut langkah gontai dan muka pucat Furihata yang memegangi perutnya.

"Perutku sakit sekali." Furihata menjawab jujur. Dia mendesah lelah. "Maaf, ada perlu apa, Kuroko-kun?"

Kuroko yang jeli dan observan tersenyum tipis melihat noda sabun di sepilin rambut coklat yang menjuntai dari sebagian anak rambut yang terurai. Tangannya terulur untuk membersihkan rambut tersebut dari busa. "Masih ada busa di sini."

"Maaf. Aku tidak memerhatikannya." Furihata membiarkan Kuroko membantunya untuk membersihkan busa dari sabun cuci tangan—mungkin saat tadi Furihata merapikan rambut dengan stress usai mencuci tangan lagi karena bertemu seseorang yang mungkin hari ini menjadi penyebab perutnya mulas bukan main.

Dia membalas senyum Kuroko. "Terima kasih, ya."

"Oi, kalian! Jangan pacaran! Cepat bantu merapikan bola! Hanya tim kita yang belum selesai beres-beres. Kau dari mana saja, Furi?!"

Sentakan galak si kapten membuat sepasang muda-mudi itu bersitatap geli, berseru menjawab sang kapten dan membantu memunguti bola satu per satu. Tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka dengan tajam dan penuh perhatian.

Furihata yang menekuk perutnya berulangkali dan memasukkan bola satu demi satu ke keranjang merasakan perutnya berdenyut sakit melilit. Kepalanya mulai terasa sakit. Tapi ia tetap mengerjakan tugasnya karena ia tahu para lelaki yang lain lelah pasca berlatih dan masih memulihkan energi. Ia terpaksa mencengkeram tepi keranjang untuk melampiaskan rasa sakit yang mencambuk perutnya.

"Furihata-san, kau baik-baik saja?"

Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Furihata menggelengkan kepala tanpa berani menatap Kuroko. "Aku tidak apa-apa."

Tidak mau dicurigai lebih dari ini, Furihata beranjak untuk mengejar satu bola yang terlempar ke sektor lapangan tempat tim lain berada. Dia tidak tahu tim apa yang ada di situ. Tapi dia hanya berusaha mendapatkan bola, hingga sakit di perutnya membuatnya terjerembab jatuh.

Furihata mendengar ledakan tawa di sekitarnya bercampur seruan kebingungan yang tidak mengerti kenapa bisa ia terjatuh sendiri. Kuku-kukunya nyaris mencakari permukaan licin lapangan basket, Furihata merintih karena rasa perih di bagian perutnya makin menjadi. Dan sakit di hatinya karena mendengar dirinya ditertawakan.

"Oi, kau anggota tim Seirin yang mau mengambil bola ini, 'kan, ya?" Seruan dari suara bariton entah siapa tertuju pada Furihata. "Ambil ini!"

"Hei, jangan dulu! Perempuan itu terlihat aneh—Eikichi!"

Terlanjur.

Bola itu sudah dilempar melayang dengan kekuatan yang cukup untuk membuat kepala gadis tersebut benjol jika tidak bisa menangkapnya. Anggota tim Too dan Rakuzan yang berada di lapangan tersebut, beberapa langsung tergerak untuk berusaha menangkap bola dan menyelamatkan gadis yang jatuh tanpa mereka bisa mengerti apa sebabnya.

CTAAAS!

Para pemuda terbengong dalam gerakan yang terhenti kaku.

Gadis dari tim Seirin itu mendongakkan kepala dengan alis meliuk bertemu, dahi berkeriut dalam, anakan rambut terurai berantakan, wajah pucat bukan main dan berkeringat, tangan kiri dijadikan penopang tubuh sementara tangan kanannya menangkis bola dengan hampir bengis agar tidak membenturnya.

Bola terpantul entah ke mana.

Sunyi menyesapi seisi gimnastik.

"... a-aku ... " Mata berpupil mungil itu berkaca-kaca nanar. "... bodoh." Dia membenturkan dahi ke lapangan dan menggerung lemah. "... kenapa bolanya tidak kutangkap ..."

Mereka menyaksikan bagaimana gadis itu dengan lengan dan kaki bergetar hebat berusaha berdiri. Penampilannya berantakan, dan ia terlihat menakutkan ketika melangkah gontai dengan tangan terjulur berusaha menggapai bola yang terpental untuk dimasukkan ke keranjang.

Akashi bergerak untuk menghampiri gadis itu yang tampaknya menyadari kehadirannya. Gadis itu membeliakkan mata, lalu menunduk dan memeluk perutnya lagi, bersejingkat menghindarinya untuk mendapatkan bola yang dikejarnya dari area lapangan tim Seirin.

Mengkhawatirkan langkahnya yang terhuyung-huyung itu, Akashi berusaha untuk mengejar gadis itu yang napasnya terengah-engah dengan tidak normal.

"Bola—akh!"

"Furihata-san!"

Sang bayangan yang telah terlebih dahulu menyadari keanehan perilaku asisten timnya bergegas melesat kilat. Tepat waktu menyelamatkan gadis tersebut yang nyaris lungser lagi ke lapangan jika tidak diselamatkan olehnya.

Semua terperangah kaget melihat Kuroko, sebagai salah satu dari orang yang paling observan, menyangga gadis itu dengan memegangi lengan dan bahunya, sementara gadis itu menaruh kedua telapak tangan di dada pemuda

"Furihata-san, kau tidak baik-baik saja."

"Te-terima kasih, Kuroko."

Furihata kemudian meneguk ludah, dia menggeleng-geleng perlahan—tak bisa mencegah dirinya sendiri meremas kaus yang Kuroko kenakan untuk melampiaskan rasa sakitnya.

"Se-sepertinya ini karena aku kurang tidur, ukh ... a-aku senang kita datang ke sini ... d-dan melihat kalian bermain basket ... a-ah ... ma-maksudku, sepertinya aku bu-butuh ke kamar mandi lagi ka-karena—"

"Tenanglah, Furihata-san." Kuroko menepuk-nepuk lembut bahu kurus gadis tersebut yang meracau kacau.

Koganei bersiul ceria. Dia menampar bahu ace tim basketnya. "Oi, Kagami. Lihat itu cara Kuroko menenangkan seorang gadis."

Kagami mendelik sengit sambil mengelus-elus bahunya. "Iya, iya, aku tahu!"

Riko menyeruak dari para pemuda tim Seirin, dia bergegas menghampiri Furihata dan Kuroko yang masih berdiri begitu dekat dengan pintu masuk. "Furihata-chan, kau kenapa?!" tanyanya khawatir.

Gadis berambut pendek itu berjengit kaget melihat raut mengerikan wajah Furihata.

"T-toilet, Senpai ..." rintih gadis yang ditanya letih.

"Sebaiknya antarkan Furihata-san ke toilet. Atau ke Ruang Kesehatan sekalian." Kuroko membantu menopang Furihata yang berdiri goyah.

Riko baru mau membuka mulut hendak bicara, ketika seseorang menyela.

"Aku saja yang mengantarkan Furihata-san ke toilet dulu." Momoi yang sedari tadi memerhatikan interaksi antara Kuroko dan Furihata—sejak kedatangan tim Seirin ke Rakuzan—menawarkan diri. Dia meraih lengan Furihata dan menggenggam tangan gadis itu agar bergantung padanya. "Serahkan dia padaku, Tetsu-kun, B no Kantoku."

"Apa hubungan dadaku dengan—arrgh! Dasar anak kecil!" Riko memblokir aset kewanitaannya dengan wajah merah padam. "Cepat pergi antar Furihata-chan, sana!"

Tidak menyahut respons pelatih tim Seirin tersebut, Momoi dengan baik membimbing Furihata melangkah, kedua gadis itu keluar dari gimnastik diiringi pandangan dengan sisa-sisa kasak-kusuk yang memencar di udara.

Akashi melihat Kuroko yang berjalan kembali ke timnya. Kagami menghampiri cahayanya tersebut dan bertanya.

"Apa yang terjadi pada Furi?"

"Sepertinya dia sakit. Ah." Kuroko menghela napas pendek. "Apa Momoi-san tahu letak Ruang Kesehatan di Rakuzan di mana, ya?"

Akashi menyahut, "Aku tahu." Disadarinya seisi tim Seirin menatap padanya dan ia balas menatapi pandangan menyangsikan tim Seirin yang tertuju padanya. "Aku bisa mengantarkan mereka berdua ke sana."

"Kalau begitu, sebaiknya kau kejar mereka, Akashi-kun. Maaf kami merepotkanmu." Kuroko mengangguk sopan pada pemuda tersebut.

"Bukan masalah." Akashi melambaikan tangan ringan dan bergegas melangkah untuk mengejar kedua gadis yang tadi beranjak pergi ke toilet.

Sebagai tuan rumah sekolah, Akashi tentu berniat untuk memfasilitasi dan membuat nyaman tamu-tamunya karena telah bertandang ke sekolahnya. Lagipula, sudah tugasnya sebagai ketua organisasi sekolah untuk mengantarkan tamu ke tempat yang dituju.

Baru Akashi sampai di depan pintu keluar gimnastik, ia mendengar—

"AKU TIDAK MENYUKAI— ..." Ada suara dari dalam gim yang berseru memanggilnya ("Oi, Akashi, kau mau ke mana?!"), sehingga kemudian yang terdengar olehnya adalah jerit suara lembut— "... AKASHI SEIJUUROU!"

Akashi tertegun di tempat.

—derap langkah.

"Kyaaa!"

BRUK!

Gubrak.

Seisi ruangan menoleh dan terbelalak horror.

.

#~**~#

.

"Ma-maaf aku jadi menyusahkanmu, Momoi-san."

"Tidak apa-apa. Kau ... terlihat menderita. Sedang masamu?"

Furihata meremas sweater lusuh yang dikenakannya. "Se-sepertinya begitu. Dari tadi aku sudah merasakannya, tadi aku sudah sempat mengecek ke kamar mandi ... tadi tidak ada yang keluar."

"Mungkin sekarang sudah?"

"Mu-mungkin juga. Perutku sakit sekali ... ku-kupikir karena aku gugup be-berada begitu dekat dengan—ah, ta-tapi ternyata mungkin memang karena sudah waktunya—"

Momoi berhenti melangkah. Dia menoleh, terkejut memandang Furihata. "... dekat dengan Tetsu-kun?"

Furihata ikut berhenti melangkah. Dia menahan keriutan sakit dan bersandar pada dinding ketika Momoi melepaskan topangannya. "K-Kuroko ...?" Dia memiringkan kepala bingung.

"Furihata-san, aku ..." Momoi meremas tangannya dengan gugup. Ia menatap Furihata yang meringis-ringis kesakitan tepat di mata. Wajahnya tampak merasa bersalah. "Aku tahu kau sekarang satu tim dengan Tetsu-kun—"

"-e-eh—"

"—tapi ... aku sudah menyukainya sejak kami masih di Teikou Chuugakou. A-aku selalu memerhatikan Tetsu-kun. Ku-kupikir dia awalnya aneh karena bisa muncul dan menghilang dalam sekejap mata—"

"—Mo-Momoi-san, aku tidak bermaksud—"

"—lalu dia memberikanku es krim batangan. Ku-kukira itu sampah, dan ternyata ada tulisan pemenang. Mu-mungkin aku saja yang terlalu berpikir berlebihan, se-seperti seolah aku ini pemenang di hatinya. Tapi sejak itu aku selalu memerhatikannya, aku tahu bagaimana perjuangannya, dan karena itu—"

"—tu-tunggu dulu—!"

Momoi menyeka matanya yang memburam karena airmata.

"A-aku memang me-merasa sangat aneh melihat Tetsu-kun dekat denganmu ... a-aku tidak senang ada gadis yang begitu dekat dengannya. Terlebih kau sangat langsing, kau sangat manis, bahkan reaksimu juga imut—Kagamin yang Basket Idiot itu saja malah bilang kau sangat imut. Lelaki mana yang tidak akan menyukaimu? Ti-tidak sepertiku—"

"—a-aku justru berpikir Momoi-san sangat beruntung karena kau sangat pintar, matamu bagus, rambutmu merah muda panjang, kau adalah perempuan yang peka, te-terutama lekuk badanmu itu—" Furihata berusaha menjelaskan dengan susah payah.

"—dan Tetsu-kun begitu memerhatikanmu!" isak Momoi sedih. "Sejak dia datang ke sini, aku melihatnya selalu memerhatikanmu! A-aku iri ... a-aku mengerti itu karena dia bermaksud baik, tapi aku sendiri tidak yakin dari sepanjang kalian datang ke sini sampai tadi dia memelukmu ... kau begitu beruntung bisa setim dengannya. Tetsu-kun sangat baik, lembut, dan penyayang ... dia juga tidak bisa ditebak dan saat bermain basket dia sangat keren, 'kan?"

Furihata panik melihat cucuran airmata di wajah gadis yang ternyata merasa iri padanya. "I-iya, tentu aku tahu—" Sakit yang lagi-lagi menyerang perutnya membuat Furihata mengerang seraya menundukkan kepala, tidak tahan.

"Aku menyukainya, Furihata-san." Momoi menangkupkan wajahnya, melirih sedih. "Maaf, aku tidak bermaksud menghalangimu untuk bersamanya. A-aku juga akan berusaha keras agar Tetsu-kun—"

"I-ini salah paham."

"—Furihata-san, maaf aku jujur tentang perasaanku padamu."

"Se-semua sudah tahu—argh! Mo-Momoi-san ... de-dengarkan aku! Kumohon!" Furihata yang telah bersimbah airmata karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit dan salah paham, mendongak pada Momoi. Tidak sempat memikirkan bahwa wajah mereka sama sembabnya karena berurai tangis.

"AKU TIDAK MENYUKAI KUROKO-KUN SEPERTIMU!" jerit Furihata untuk melampiaskan seluruh rasa sakit yang mencambuknya. "AKU SUKA PADA AKASHI SEIJUUROU!"

Momoi tercengang tidak percaya.

Furihata mencelos karena segala hal yang inginnya ia rahasiakan dengan mudahnya lolos dari bibirnya. Mendekap mulutnya, dengan seluruh sisa energinya, ia berlari sekuat tenaga untuk pergi dari hadapan Momoi yang syok karena didamprat lengkingan frustrasinya.

Airmatanya disaput angin, mungkin memercik ke lantai. Furihata berlari untuk mencari Riko, atau mungkin Kuroko, atau Fukuda, Kawahara, Kiyoshi-Senpai, Kapten Hyuuga, Kagami, siapa pun, agar ia bisa menenangkan diri. Ia tidak kuat lagi dengan rasa sakit ini dan kesalahpahaman tadi yang kian menguras tenaganya.

Furihata berlari secepat yang ia mampu seraya menyeka airmatanya, karena itulah ia tidak melihat siluet di sekitar pintu yang hendak keluar dari gimnastik. Ia terlambat menyadari ada orang di hadapannya.

"Kyaaa!"

Tubuhnya begitu keras membentur seseorang dengan sangat keras, rasa sakit yang mengerikan ketika kepalanya membentur sesuatu yang keras, membuat orang yang ditabraknya jatuh terduduk saking terkejutnya dengan Furihata menindihnya.

Benturan dahsyat itulah yang menyebabkan Furihata Kouki pingsan seketika dan tidak mendengar jeritan orang-orang kemudian.

"DARAAAAH!"

.

To be continue

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

argh nulis fic shoujo simple begini ternyata jauh lebih melelahkan daripada kelihatannya. *goleran* fluff fuwa-fuwa doki-doki, gulali everywhere. Kenapa setting fem!Furi bisa nyanyi lagi, ahem yang merikues ini sepertinya doyan-uhuk-suka banget sama Falling for You. X"")

Sepertinya ... bahkan bagi saya sendiri, skandalnya kurang JEDEEEER. /apa maksudnya ini/ XD tapi sesuai permintaan (keras), ini dibuat sesederhana mungkin.

Kiseki wa Zettai: mudah-mudahan dirimu suka dan gampang mengerti ya, Dek. Jangan tebar spoiler, okeee. ;)

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan