Disclaimer
Fairy Tail milik Hiro Mashima
.
A Painting For You
by karinalu
.
Genre : Romance/Drama
.
Pair : Natsu X Lucy
.
Warning : Gaje, Abal, Typo(s), OOCness, dan kekurangan lainnya
.
Lucy Heartfilia. Gadis malang itu kini tinggal di sebuah rumah kecil milik saudara jauhnya yang sudah meninggal. Malang?
Papanya, Jude Heartfilia, telah meninggal karena insiden tabrakan maut. Meninggalkan gadis berumur 16 tahun bersama mamanya.
Kejadian itu terjadi setahun yang lalu. Dan beberapa bulan setelahnya, mama Lucy divonis mengidap sakit yang tidak bisa disembuhkan. Sehingga Lucy harus kerja banting tulang untuk membiayai hidupnya dan ibunya.
Dari dua puluh empat jam yang ada, entah berapa jam gadis itu tertidur. Pagi hari ia bekerja menjual sayuran di pasar. Siang ia gunakan untuk menjahit di sebuah toko temannya. Malam hari ia menjadi pelayan di sebuah restoran. Terkadang ia mendapat makanan dari restoran itu untuk dibawa pulang.
IOIOIOI
"PAPA!" Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. Tubuhnya berkeringat. Napasnya seolah memburu. Jantungnya berdegup kencang. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Fyuh, masih pagi.
Lucy baru saja mengalami mimpi buruk. Yah, seperti reka ulang kejadian setahun yang lalu. Sebelumnya ia tidak pernah bermimpi seperti ini. Tapi kenapa tiba-tiba sekarang begini?
"Lucy?" Suara mamanya yang pelan dapat terdengar dari kamar Lucy. Gadis itu segera mengelap keringatnya dan bergegas ke kamar mamanya.
"Ada apa, Ma?"
"Mama yang harusnya bertanya seperti itu. Kamu tadi berteriak, ada apa sayang?"
Lucy tersenyum tipis, "hanya mimpi buruk biasa, Ma. Ohya, hari ini aku akan memasak makanan kesukaan mama. Tunggu ya ma." Lucy pun bergegas ke dapur. Sebelum bekerja ia memang selalu memasakkan mamanya sarapan. Tapi terkadang mamanya mendahului putrinya dengan bangun lebih pagi.
Setelah sarapan, Lucy pamit pergi bekerja.
"Ittekimasu, Mama."
"Itterashai."
IOIOIOIOI
Kini gadis berambut pirang itu sedang berjalan dari arah pasar menuju sebuah pameran lukisan di pusat kota. Menurut sahabatnya, Levy McGarden, di pusat kota akan didirikan sebuah tenda besar yang di dalamnya dipajang beberapa lukisan dari pelukis terkenal seFiore. Informasi ini Levy dapatkan dari pacarnya, Gajeel Redfox, yang bekerja sebagai reporter di suatu koran kota.
"Mumpung tidak ada jahitan yang harus dikerjakan, sekalian cuci mata. Lagipula, pameran ini tidak menarik jewel sepeser pun." Lucy bergumam sendiri. Ia kemudian tersenyum simpul. Sepanjang jalan gadis itu mengumamkan sebuah lagu favoritnya.
"Lu-chan!" Seorang gadis berambut biru nampak berdiri sambil melambai-lambaikan tangannya pada Lucy. Di sampingnya sudah terlihat pria berambut hitam dengan beberapa tindik di wajah serta telinganya.
"Levy-chan!" Lucy berlari kecil sambil membalas dengan senyuman.
"Hai Gajeel." Lucy mengucapkan salam pada Gajeel.
"Yo, Bunny-girl." Balas Gajeel. Lucy hanya bersweatdrop. Ia tak pernah mengerti kenapa pria ini memanggilnya seperti itu. Tapi toh ia sudah terbiasa.
"Gajeel tidak mau ikut masuk. Ia akan menunggu di bar XOX, ya kan?" Tanya Levy sambil melingkarkan tangan mungilnya di lengan berotot Gajeel.
Gajeel hanya mengangguk. Lalu Levy langsung menggamit tangan Lucy kemudian memasukki pameran.
Mata Lucy dan Levy melirik ke setiap lukisan yang terpajang. Semuanya bermacam-macam. Ada lukisan pemandangan, orang, atau bahkan still-life. Namun, mata Lucy jatuh pada sebuah lukisan yang terpajang di daerah ujung.
Mulut Lucy menganga lebar. Seolah gadis itu tak pernah melihat lukisan sebagus itu sebelumnya. Atau dia memang tidak pernah?
Mata kecoklatannya itu larut dalam komposisi lukisan yang menarik itu.
Disana tertorehkan pemandangan pantai di sore hari. Warna jingga bercampur dengan lembayung dengan hampir sempurna. Cahaya matahari terpantul ke laut yang hampir kelam dengan begitu indah. Awan keputihan terpoles lembut di langit. Setengah lingkaran besar berwarna jingga merupakan fokus utama lukisan tersebut. Namun yang membuat Lucy semakin tertarik akan lukisan ini adalah, siluet seorang gadis yang berdiri di tepi pantai. Yang tidak mudah diabaikan dalam lukisan ini.
Gadis itu tampak seperti membelakangi pelukis, membelakangi siapa saja yang melihat lukisan tersebut. Seperti ada angin yang meniup lembut rambut gadis tersebut yang tidak terlalu panjang. Tangan gadis itu tak nampak dalam siluet tersebut, namun justru seperti tertangkupkan dibalik dadanya. Terdapat sebuah tongkat? Atau sebuah tabung kecil –entahlah, Lucy juga bingung benda itu apa– terdapat melintang di samping kepala si gadis.
"Lu-chan?" Levy melambaikan tangannya di depan wajah Lucy. Gadis itu nampak tersentak.
"E-eh? Ah. Gomennasai Levy-chan. Ada apa?"
"Hahaha. Nampaknya kau senang sekali melihat lukisan ini. Kau mau tinggal disini lebih lama? Sudah setengah jam, aku tidak enak membiarkan Gajeel menunggu lama-lama."
"Oh tentu saja Levy-chan. Aku ingin berada disini sebentar lagi. Ngomong-ngomong, kapan pertunangan kalian akan diadakan?" Lucy menyenggol-nyenggol lengan Levy dengan sikunya.
"A-a-apaan sih, Lu-chan. K-ki-kita masih 17 tahun. Kalau begitu, aku pamit dulu ya. Jaa~" Muka Levy sempat memerah namun ia segera pergi sebelum berubah jadi tomat.
Lucy sempat tertawa kecil namun mata kembali menelisik setiap inci dari lukisan itu. Entah kenapa Lucy seperti jatuh cinta pada benda, pada lukisan itu. Dan matanya menangkap sebuah coretan di pojok kanan bawah lukisan.
Lucy memicingkan matanya.
"Z?" Lucy menaikkan satu alisnya. Z? Jarang sekali orang yang bernama Z sebagai huruf pertama namanya. Atau mungkin nama itu hanya alias?
"Oh, ini lukisan Mr.Z!" Seorang gadis berteriak senang sambil menunjuk-nunjuk lukisan 'Mr.Z'.
"Mr.Z yang terkenal itu? Seperti yang ku bayangkan. Lukisannya keren sekali!" Gadis lain menimpali.
"Identitasnya tak pernah terungkapkan. Bahkan katanya tak ada satu pun yang pernah melihat mukanya. Misterius sekali bukan?"
"Wah, pria misterius itu keren! Hahaha."
Lucy hanya diam sambil mengupingi pembicaraan dua gadis itu. 'Jadi, pelukisnya adalah Mr.Z? Kenapa namanya harus disamarkan? Huh, sok misterius sekali. Tapi, aku jadi penasaran...' Batin Lucy.
IOIOIOI
Sementara itu di sebuah rumah kecil yang tak jauh dari pusat kota Magnolia...
"Wendy!"
Yang dipanggil langsung menghadap seseorang yang memanggilnya.
"Boleh kah aku meminta tolong?"
"Tentu saja. Ada apa nii-chan?"
"Tolong belikan aku kuas nomer 7. Sepertinya kuasku yang ini sudah mulai tua. Bulunya sudah kering dan mengembang."
"Baiklah, ada lagi nii-chan?"
"Sudah itu saja. Arigatou, Wendy."
Baru saja gadis kecil itu mau melangkah keluar rumah, ia bertanya pada kakaknya, "Natsu-nii tidak apa-apa kan di rumah sendirian?"
"Hey, aku hanya tidak bisa melihat. Bukan sakit parah."
"Gomen ne, nii-chan."
"Santai saja. Lagipula, aku kan sudah biasa ditinggal olehmu."
"Hehehe. Kau benar, nii-chan. Kalau begitu aku pergi dulu. Ittekimasu."
"Itterashai, Wendy."
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung! Duh, entah kenapa aku tidak bisa membuatnya lebih panjang. Karena ini baru prolog!
Ohya fic ini terinspirasi dari sebuah novel teenlit yang sudah jaduuul. Tapi Karin suka sekali ceritanya hehehe.
Yosh! Bagaimana? Dilanjut? Atau dihapus saja? I need your review!
Arigatou ne! Jaa~
