Kanvas Berlumur Hitam
Naruto © Masashi Kishimoto
T+
Standar applied, DLDR
Dedicate to SasuHina Days Love [SHDL]
.
.
.
Chapter 1
[Dunia Ini Salah]
Sasuke pernah bermimpi indah.
Disuatu tempat yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya kunang-kunang dan jejak dari telapak kakinya yang menyala, ia melihat tubuh seorang gadis berkulit putih yang memunggunginya. Gadis itu menggunakan terusan sedengkul, berwarna biru pudar. Kepalanya dihiasi oleh mahkota yang terbuat dari rangkaian bunga. Di depannya terdapat sebuah kanvas berbingkai. Sasuke mendekatinya karena penasaran.
Gadis itu tersenyum menatap kanvas yang hampa itu—Sasuke masih memerhatikannya tanpa kedip sedetikpun. Ia bahkan sempat melakukan hal iseng dengan melambaikan telapak tangan kanannya di depan hidung si gadis yang bergeming. Namun sayang, perhatian gadis itu tak teralihkan. ia terus tersenyum menyorot kanvas aneh itu.
"Apa yang kau lihat?" tanya Sasuke yang penasaran. Bola mata gadis itu—yang kelabu-ungu dan penuh misteri—masih bergeming, tak peduli dengan kehadiran Sasuke yang hanya tiga senti berdiri di sampingnya.
"Banyak hal." Gadis itu menjawabnya dengan pilihan kata yang ambigu. Sasuke mengerutkan alisnya.
"Banyak? Ini hanya kanvas kosong."
Gadis itu menoleh saat Sasuke mengatai kanvas di depannya dengan 'kosong'. Pemuda berambut 'tidak biasa' itu bersumpah bahwa keringatnya mengucur di belakang tengkuk saat mata gadis itu menyorotnya.
"Kanvas ini ada gambarnya. Matamu tidak mampu melihat."
"…"
Gadis itu tersenyum, simpul. Sudut bibirnya yang tipis dan melengkung itu menggurat sebongkah hati yang Sasuke miliki. Bukannya ia lemah, hanya saja, ada sesuatu yang mengusik pikirannya saat gadis itu mengatakan bahwa matanya tak mampu melihat.
"Kau tidak perlu sedih. Aku bisa membantumu."
Sasuke terperangah saat gadis itu memutar tubuhnya agar menghadap sosoknya. kemudian ia menjulurkan tangan.
"Membantu?"
"Ya."
"Bagaimana bisa?"
"Oh—" gadis itu menghampiri Sasuke lebih dekat, menempelkan bibirnya pada telinga sang pemuda, lalu berbisik pelan, "Aku kan selalu ada di sampingmu. Tentu aku bisa membantumu."
Merinding.
Itulah kesan pertama Sasuke saat napas kecil gadis itu menggelitik sistem sensoriknya. Bagaimana bisa gadis ini terlihat sangat indah hingga begitu menakutkan?
"Siapa … kau?"
Gadis itu melompat mundur, sambil menempelkan telunjuknya di bibir. Tanpa sepatah kata—hanya mendesis—ia pergi menghilang seperti debu yang tersapu. Senyum terakhirnya sedikit samar. Nyaris tak bisa dibilang senyum, atau malah seringai.
PATS
Kepergian gadis itu mengubah pemandangan hitam yang mengelilingi Sasuke, saat itu. sontak saja, ia berada di sebuah tempat yang begitu-tidak-rasionalnya ada di bumi ini. sebuah daerah dimana lingkungannya terlihat ajaib. Rumputnya berwarna merah muda, langitnya kelabu, dan ada matahari diantara bintang. Sasuke membelalakkan matanya—terpana—dengan apa yang dilihatnya. Aroma di tempat itu seperti roti panggang. Ia melihat seorang pemain diabolo sedang berdiri di ujung tebing sambil beratraksi. Seorang pemain bersurai indigo panjang, berlambaian dihempas angin. Rambutnya yang lembut, terlihat seperti benang-benang sutera yang berdendang penuh keangkuhan.
Sasuke merasakan hawa intens, yang menunjukkan bahwa wanita itu professional.
Professional hingga Sasuke hanya bisa menatap punggungnya dari kejauhan yang tak terkira.
"Siapa, disana—"
Sasuke, tidak mendengar kalimat yang berbalas. Lagi-lagi hanya ada desis, dan senyum misterius yang terbawa pergi oleh angin. Seolah memerintahnya untuk diam, dan mencaritahu sendiri.
.
.
.
.
.
.
"Tuan muda, anda tidak apa-apa?"
Seorang laki-laki berjas hitam dengan rambut panjang, tengah menahan tubuh limbung seseorang yang sudah lima tahun menjadi atasannya. Hubungan mereka kurang dan lebihnya seperti tuan muda dan bodyguard-nya, meskipun si tuan muda itu sendiri tidak suka dengan julukan bodyguard dan lebih memilih emblem 'teman' sebagai pilihannya.
"…"
Wajah khawatir dari sang 'teman' itu membuat kepala si tuan muda sempat menoleh dengan ekspresi yang mengatakan aku-baik-baik-saja. Ia menepis tangan penolong yang berniat untuk menyenderkan tubuhnya diatas kursi roda.
"Aku bisa sendiri, Neji. Kau terlalu memanjakanku."
"Tapi—"
"Aku baik-baik saja." Ia menekan suaranya, dengan alto yang mendesir kuat.
Neji mengangguk patuh, ia cengkeram kedua pegangan pada kursi roda tuan mudanya, dan memutar balik arahnya. Meninggalkan sebongkah lukisan yang sejak tadi diperhatikan oleh Sasuke, pergi.
"Fugaku-sama sudah menelepon saya untuk membawa anda pulang."
Sasuke diam, seribu bahasa.
"Tuan muda?"
Sosok berparas tampan yang sedang terduduk pasrah di kursi rodanya hanya menunduk tidak puas. Bola mata hitamnya yang seharusnya pekat seperti milik anggota keluarganya, justru terlihat pudar berwarna keabuan, kelam.
"Neji, sudah berapa kali kukatakan, kalau sedang bersamaku saja—"
"Ah, maafkan saya. Sasuke-sama."
Neji yang tahu tabiat master-nya—bahwa ia tidak suka disebut-sebut dengan julukan tuan muda—hanya membungkuk cepat sambil memejamkan sedetik matanya. lantas, ia kembali mendorong kursi roda Sasuke dalam kecepatan yang statis.
"Sebenarnya aku lebih nyaman dengan Sasuke saja."
"Maafkan saya, Sasuke-sama. Saya tidak bisa membiasakan diri saya untuk bersikap lancang."
"Hm…"
Sasuke termangu di kursinya. Memikirkan banyak hal—yang entah apa itu—yang tak bisa diutarakannya bahkan kepada Neji sekalipun.
Hening sejenak.
"Oh iya, minggu depan, aku ingin kesini lagi."
Neji tertawa dibelakangnya.
"Apa anda yakin? Padahal, tiga menit yang lalu anda baru saja terbangun dari tidur setelah berjam-jam terpatri di depan sebuah lukisan."
Ia masih terus mendorong kursi roda Sasuke dengan lembutnya. Mendorongnya keluar, dari sebuah galeri lukisan yang termahsyur di kota Konoha.
"Diamlah. Tugasmu disini hanya mendorong kursi rodaku lebih cepat, tanpa tertawa."
"Haha … Maafkan saya."
Galeri lukisan, dengan ukuran sebesar rumah mewah. beratap setengah lingkaran warna emas. Dan berpilar. Di depan pintu keluarnya terdapat undakan anak-anak tangga sehingga saat tiba di ujung mulut pintu, Sasuke akan dipapah menuruni tangga—karena ia tidak mau digendong. Hanya ingin dipegangi saja. Sungguh merepotkan, memang.
Sasuke sempat menoleh kembali pada galeri itu, sebelum ia memasuki limo. Matanya memicing disana, karena penglihatannya sangat buruk sekali. Sejak kecil memang, peruntungan hidupnya tidak terlalu baik mengenai fisik. Dimulai dari visualisasi matanya. ia merasa seperti ada sesuatu yang bentuknya bagaikan selaput abu-abu, melapisi retina-nya hingga akhirnya segala hal yang dipandangnya menjadi blur—sangat, blur—Bahkan terlalu blur hingga nyaris disebut buta—karena kacamata dan lensa tidak berguna lagi untuknya.
Meskipun begitu, ia tahu bahwa diantara pilar-pilar kokoh pada gerbang dimana tempat masuk ke galeri lukis berada, terdapat sebuah plang persegi panjang dengan tulisan berwarna emas yang sangat besar sekali—dimata Sasuke, hanya terlihat persegi panjang yang buram saja.
"Neji, coba bacakan tulisan yang ada di plang itu." tangannya menunjuk keluar jendela mobil, meskipun kepalanya tidak ikut menoleh. Neji yang duduk disampingnya, kemudian tersenyum ramah.
"Oh, tulisannya—"
.
.
.
"—Galeri Hinata."
Sasuke bergumam.
"Oh."
Kecepatan mobil melaju begitu konstan. Tidak tergesa-gesa, namun juga tidak lamban. Dedaunan cokelat-merah yang gugur dari pepohonan maple yang berjejer di kanan-kiri jalan, sungguh menentramkan jiwa. Hanya sayang, Sasuke tidak bisa meresapi keindahan di kanan-kirinya karena ia tidak dapat berbuat banyak dengan kondisi matanya yang sekarang.
Neji sibuk menerima telepon, menyatakan bahwa Fugaku rupanya ada meeting dadakan, hingga akhirnya ia tak bisa menemui anaknya di meja makan sore itu. Sasuke yang mendengar percakapan singkat Neji hanya melengos, menatap jendela dengan wajah kosong.
Ia sudah memprediksinya. Sama seperti sebelumnya. Ayahnya, Fugaku, adalah pengontrol hidup dan matinya. Sasuke dijemput oleh supirnya, itu karena ayahnya. Sasuke pulang, Sasuke tidur, Sasuke mengganti pakaiannya hingga Sasuke makan adalah jadwal yang diberikan oleh ayahnya secara rinci dan ketat. Meskipun Fugaku mempunyai banyak waktu untuk memonitor Sasuke dari kejauhan, nyatanya ia tak bisa sering-sering menyapa anaknya secara langsung, kecuali dengan alat perantara seperti internet atau 3G.
Memang ironis. Pekerjaan dan jabatan tinggi yang membuat Fugaku selalu menjadi orang super sibuk yang bahkan sekedar menyapa 'apa kabar?' dipagi hari saja tidak mampu. Sasuke, sebagai anak semata wayangnya—tidak secara harfiah—tentu maklum. Ia tahu. Ia sadar ayahnya bukan orang sembarangan.
Ayahnya adalah pemimpin. Orang yang bisa membalikkan nasib seseorang dalam satu kedipan. Bisa membuat siapapun yang membangkangnya akan mati dalam penyesalan. Fugaku adalah sosok yang berpengaruh dalam dunia perbisnisan. Tangannya yang mengatur semua—tidak hanya hidup Sasuke saja. Ia adalah pengatur segalanya, kecuali menghidupkan orang mati … dan membawa pulang anak sulungnya, Itachi, yang telah kabur dari penjara dingin keluarga Uchiha.
Anaknya dua. Ya, ada dua. Yang sulung pergi meninggalkannya tanpa penyesalan.
Iya. Kabur dari rumah.
Dan, tentu saja. Sasuke juga punya pemikiran yang sama dengan mantan—yang baginya bukanlah mantan—kakaknya kalau saja secara fisik ia sehat seperti Itachi. Sayangnya, nasib berkata lain. ia terkekang disini, terjebak. Hampa. Itu adalah jenis perasaannya yang dimiliki sebelum Sasuke bertemu dengan Neji, dan gadis misterius itu dalam mimpi.
Eksistensi Neji yang membuatnya percaya bahwa ia masih punya seseorang yang berpihak padanya. Sementara gadis itu—ah.
Siapakah?
.
.
.
.
.
.
"Tuan muda, sarapan anda."
Tiga orang pelayan wanita masuk ke kamarnya untuk membantu Sasuke duduk di kursi rodanya dan meletakkan sepiring roti dan susunya di meja kecil, sebelah ranjang. Saat waktu mandi tiba, ketiga pelayan manisnya akan diganti oleh seorang pelayan laki-laki yang siap membantunya melepas pakaian. Sementara saat berada di kamar mandi, ia akan berendam dengan punggung yang digosok oleh temannya, Neji.
"Kenapa, dengan hal-hal seperti ini, anda justru mengandalkan saya?"
"Kau itu digaji dengan besar oleh ayahku. Jadi, berhentilah mengeluh."
"Maafkan saya, Sasuke-sama."
"Tch," Sasuke mulai benci dengan cara Neji yang selalu meminta maaf padanya, "Tutup mulutmu. Kata maafmu membuatku muak."
Neji mengangguk tanda paham. Ia kembali menggosok punggung Sasuke dengan aroma zaitun dan mencuci rambut majikannya dengan sampo wangi buah-buahan.
"Na, Sasuke-sama. Bolehkah saya bertanya?"
"Apa?"
Di balik tengkuk Sasuke, Neji tersenyum ramah disana. Tangannya masih sibuk menggosok kepala Sasuke dengan sampo berkualitas.
"Saya lihat akhir-akhir ini anda semakin rajin melukis. Kemampuan anda semakin bagus."
Sasuke menggerakkan bola matanya sepintas, untuk melirik bagaimana rupa Neji saat itu.
"…Lalu, pertanyaanmu?"
"Saya hanya penasaran. Darimana anda dapat inspirasi untuk membuat pemandangan yang seratus persen tidak seperti dunia kita itu. Lukisan anda seperti mengatakan bahwa anda sering bepergian ke alam yang entah apa disetiap malam saat orang-orang sedang tertidur lelap."
Neji tertawa renyah disana. Sasuke bergeming. Ia membeku di dalam bak Jacuzzi yang memancarkan air panas tak henti-henti.
"Apakah ... mata anda justru bisa melihat sesuatu yang bentuknya sangat magis hingga lukisan anda begitu menginspirasi saya?"
"Konyol," Sasuke mencipak air di Jacuzzi-nya dengan kedua telapak tangannya, "Kau tahu sendiri, aku tidak bisa melihat, Neji."
"Itu benar," Neji membilas kepala Sasuke dengan cucuran air sambil nyengir lebar, "Tapi maksud saya, mungkin saja Sasuke-sama yang tidak bisa melihat dunia ini, justru bisa melihat dunia yang lain dengan matanya."
Sasuke mengambil selang shower yang dipegang oleh Neji dan membasuh kepalanya dengan kemampuan sendiri.
"Apa yang kau bicarakan." Elak Sasuke.
Neji yang terperangah dengan aksi Sasuke barusan, tersenyum dan beranjak dari tempatnya.
"Sepertinya anda bisa mandi sendiri—"
"Tunggu! Aku tidak bilang kalau kau boleh pergi."
Sasuke menajamkan matanya kearah Neji. Mengekspresikan dirinya bahwa ia, tidak suka berada di ruangan yang luas—bahkan kamar mandi sekalipun—sendirian.
"Kau akan kupecat kalau sampai pergi dari sini."
"Apakah anda berani melakukan itu?"
Sasuke terkejut dengan pernyataan Neji yang seperti menusuknya bagai tombak. Ia tak bisa melakukan apapun selain menggeram karena tindakan lancang pengawalnya.
"Anda tidak suka jika saya meninggalkan anda sendiri disini. Lalu, jika anda memecat saya hari ini, bukankah itu sama saja dengan anda siap untuk kembali hidup sendiri?"
"Kau—"
Kilat mata kesal Sasuke berganti menjadi benci. Walau samar, ia seperti melihat sesuatu yang berwarna krim mendekati wajahnya dan menyentuh pucuk kepalanya. Ekspresi Sasuke berubah drastis karena hal itu.
Tangan besar Neji mengelus kepalanya. Rasanya begitu lembut. begitu menenangkan.
"Tapi, jangan khawatir, Sasuke-sama. Saya tidak akan pernah mengkhianati anda. Saya juga akan selalu bersikap loyal kepada anda, meskipun anda membenci saya," tangan Neji masih terus mengelus pucuk kepala mungil yang rapuh itu, "Maafkan atas sikap saya barusan, Sasuke-sama."
Neji melepas elusannya, dan berdiam terpatri menunggu Sasuke selesai dengan kegiatan mandinya. Untuk sesaat, Sasuke merasa tenang. Diam-diam Neji menghela napas lega karena Sasuke tidak menyadarinya. Ia berani taruhan bahwa pipinya memanas saat melihat Sasuke yang sedang berendam di Jacuzzi menyunggingkan senyuman—yang entah kepada siapa—untuk yang pertama kali setelah sekian lama.
'Sasuke-sama…'
Bola mata peraknya mengecil, menampakkan wajah yang kurang menyenangkan saat dipikirannya terbayang sosok seorang gadis—yang selalu sama—berada di lukisan Sasuke. Seorang gadis bersurai indigo lembut, tanpa wajah. Sosok yang ingin sekali ditanyakannya kepada Sasuke, tapi ia tidak punya sejumput keberanian untuk lancang. Apalagi ia takut mendapati kenyataan bahwa gadis itu adalah cinta pertama tuan-nya.
.
.
.
.
.
.
Suatu hari, guru privat Sasuke tidak datang disebabkan karena beliau mendapatkan kabar bahwa anaknya step dan dilarikan ke rumah sakit. Ia sudah meminta izin kepada Fugaku, bahkan memohon agar dibiarkan pergi meskipun gajinya akan di potong setengah. Dan Fugaku mengizinkannya.
Sasuke justru merasa senang karena saat ini jam belajarnya telah kosong. Ia sedang menyusun acaranya sendiri, dan asik berdiam di depan kanvas—di kamarnya—dengan dagu yang terangkat. Pikirannya berputar. Mungkinkah—ia punya kesempatan untuk kembali ke galeri Hinata tanpa harus menunggu minggu depan?
Sasuke menoleh kearah Neji sejenak. Neji yang sedang berdiri setia di sampingnya hanya membalas dengan ekspresi bertanya.
"Aku … ada permintaan." Pungkas Sasuke, cepat.
"Apa yang anda inginkan, Sasuke-sama?"
Neji bergeming saat Sasuke menyebut nama galeri itu.
"Kenapa anda sangat menyukai galeri lukisan publik?"
Sasuke tak menjawabnya. Hanya terus memerintah. Meminta Neji agar membawanya keluar dari rumah. Neji menghela napasnya, lelah. Ia mulai kerepotan menghadapi sikap tuannya yang semakin keras kepala.
Sasuke diantar menggunakan limo-nya. kali ini, kepergian mereka tanpa surat izin dari Fugaku. Karena Sasuke tahu bahwa ayahnya takkan mengizinkan ia jalan-jalan keluar di hari selain minggu. Neji pun awalnya menolak, takut jika Fugaku mengetahui hal ini dan murka kepadanya, ia akan habis dihajar dan kemungkinan terburuknya adalah ia akan di pecat secara memalukan.
Tapi—wajah kecewa Sasuke saat Neji menolaknya membuat ia tak kuasa berdiam diri. Jadi, dengan hati-hati ia berbicara kepada tuan mudanya, bahwa, pada akhirnya ia mengizinkan Sasuke untuk keluar pergi ke galeri Hinata.
Alangkah senangnya mimik Sasuke saat itu.
Ketika mereka sampai pada tempat yang dituju, Neji kembali memerhatikan wajah rupawan Sasuke dengan senyum kagumnya. Namun, kali ini ia mendapati sorot mata yang lain yang ditunjukkan oleh Sasuke dengan tidak biasanya. Sorot itu mengatakan kebahagiaan, rasa rindu dan keingintahuan yang amat besar. bahkan mungkin saja lebih dramatis daripada bayangan Neji.
Dadanya mendadak nyeri saat tiba-tiba saja Sasuke tertawa tanpa sebab dengan arah pandang yang masih menujam ke galeri itu.
"Entah kenapa, aku merasa deg-degan."
Neji memperlambat dorongan kursi roda Sasuke sementara telinganya terpasang lebar-lebar.
"Kenapa … anda merasa demikian?"
Sasuke mengatupkan matanya sejenak, diliputi oleh sunggingan bibir yang paling lebar yang pernah ia keluarkan.
"Aku … tidak tahu."
Sasuke berbohong padanya. Jelas. Neji tahu. Lelaki yang sudah berbohong itu kini tersenyum mencurigakan. Neji semakin memperlambat dorongannya.
"Tidak. Tunggu. Sekarang aku merasa gila," Sasuke menopang dahinya dengan telapak tangan kiri, membuat helaian rambutnya berjatuhan, sedikit menghalangi pandangannya, "Aku mulai tertarik untuk bertemu seseorang disini. Dia tidak kelihatan. Bahkan aku juga tidak yakin dia nyata. Tapi dia ada, untukku. Kau tahu siapa dia?"
Sasuke menoleh dengan wajah yang berseri-seri. Membuat tenggorokan Neji tercekat, kering. Tangannya berhenti mendorong kursi roda Sasuke.
"Saya … tidak tahu."
Neji jujur sebagian, tapi juga bohong. Jujur karena memang ia tidak tahu siapa sosok yang ditunggu oleh Sasuke. Sekaligus bohong karena berpura-pura seperti tidak peduli dengannya.
"Hahaha … tentu saja kau tidak tahu—" Sasuke menoleh ke sekeliling galeri, kemudian memerintah Neji, "Bawa aku ke setiap lukisan yang ada disepanjang lorong ini."
"—Baik."
Neji tahu, Sasuke sudah pernah mengunjungi tempat ini berkali-kali. Bahkan hingga Neji dapat menghapal setiap lukisan yang ada di sana beserta letak-letaknya. Kecuali—
"Ini—"
Mendengar suara Neji yang tiba-tiba keluar tanpa perintah, Sasuke mendadak penasaran.
"Ada apa?"
Berhubung mata Sasuke tidak berfungsi dengan baik—jadi selama ini ia melihat lukisan dengan panca indera yang seadanya dan hasil cerita buatan Neji—ia pun akhirnya bertanya.
"Ah, ini. ada lukisan baru." Pungkas Neji pendek.
Sasuke langsung antusias. Ia meminta agar Neji membawanya mendekat. Kemudian meminta Neji agar mendeskripsikan bagaimana lukisan itu berbentuk. Dengan senang hati, lelaki berambut panjang itu bercerita, perlahan.
"Cuma ilustrasi dari gedung galeri ini. sedikit realis."
Sasuke bergumam.
"Siapa yang buat?"
"Maaf, Sasuke-sama. Saya tidak tahu. Namanya tidak tertera pada pojok lukisan."
"Hm … begitu."
Sasuke terlihat asik tenggelam dalam pikirannya. Dan, untuk yang pertamakalinya, ia memerintah Neji pergi dan membiarkannya termenung sendiri. Neji pamit, untuk mundur beberapa langkah dari tuannya. Matanya sedikit mengobservasi, dari kejauhan. Rasa curiganya pada Sasuke yang mendadak aneh semakin bertambah saat bibir Sasuke bergerak, membentuk kata.
"Ko-n-ni-chi-wa." Neji mengejanya dengan fasih.
Kenapa … konnichiwa?
Apa yang sebenarnya sedang Sasuke lakukan, Neji samasekali tidak mengerti. Karena dimata Neji, Sasuke sedang menatap kanvas dengan pandangan yang berbinar-binar. Sementara dimata Sasuke, ia sedang menatap sesosok dewi bergaun biru pudar, yang tersenyum sopan dan menyambutnya dengan hangat di tengah kegelapan yang berhias kunang-kunang dan jejak telapak kaki yang menyala.
Sasuke amat suka dengan dunianya yang satu ini. karena disana, matanya bisa melihat dengan jernih dan kakinya dapat bergerak sesuka hati.
"Konnichiwa, Uchiha-san—"
.
.
.
"—Kau menemuiku lebih cepat dari yang biasanya ya."
Sasuke tersenyum. Kemudian berdoa. Seandainya saja, waktu berhenti. Seandainya saja, dunia ini adalah dunia nyata.
Ah, rupanya Neji memang benar kalau mata Sasuke bisa melihat sesuatu yang mistis.
.
.
.
TBC
A/N : Oke, memang sedikit BL di chapter ini -..- maaf-maaf. Saya memang berniat bikin cinta segitiga. Antara NejiSasuHina. Ini twoshot. Jadi chapter yang depan bakalan SasuHina xD
