"Aku kecil tanpa sayap, bahkan saat kau terbang merendah menghampiriku. Aku diantara rimbun kegalauan, dalam sembunyiku menatapmu dengan sepenuh luka. Cinta ini tak harus kau tahu, Sasuke.

Maka biarkan aku tetap dengan mimpi-mimpiku dan

.

.

Menjadi 'Extra' di hidupmu."

.


Extra

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Hurt/Family/Angst

Rate T

Warning: Gender Switch. OOC. Typo(s). Bad Description. Etc.

Don't Like Don't Read!
.


Konoha, Musim Panas tahun 2001.

Udara hangat membungkus pergelangan tangan dan kaki mungil seorang bocah saat berlari mengitari lapangan. Bola plastik di dekap erat di dadanya, seolah takut hilang atau dicuri oleh bocah yang sedang berdiri beberapa meter di depannya.

"Kalau kau mau bolanya, kejal aku Cacuke!"

"Sa-su-ke," koreksi bocah yang dipanggil Cacuke itu. Ia memutar malas manik hitamnya. "Cadelmu belum sembuh eh, dobe? Padahal kau sudah berusia lima tahun."

Manik biru laut si dobe berkilat tak suka. Ia mengembungkan pipi gembulnya, otomatis bibir mungil itu membentuk angka tiga ketika sedang merapalkan kata-kata. Namun sayang, setajam apapun pendengaran Sasuke, bocah itu masih belum bisa menerjemahkan jika lawan bicaranya adalah Naruto.

"Hah? Kau bilang apa?" tanya Sasuke. "Gunakan bahasa yang mudah dipahami dobe, jangan bahasa kalbu. Aku tidak mengerti."

"IH KAN AKU CUDAH BILANG JANGAN PANGGIL DOBE, NAMAKU NALUTO, NA-LU-TO. DAN AKU MACIH EMPAT TAHUN—" papar Naruto berapi-api. "Mecki lebih cedikit cih, hehe."

Sasuke menghela nafas.

Memang benar Naruto belum genap berusia lima tahun, interval usianya dengan Sasuke hanya terpaut empat bulan lebih muda. Namun tetap saja, untuk ukuran bocah di atas tiga tahun, cara bicara Naruto seharusnya lebih jelas dan fasih. Ironi memang, jika mengucapkan 'r' dan 's' saja Naruto masih harus remidi.

Angin berhembus lebih kencang, membuat pohon-pohon kecil di sekitar kediaman Namikaze bergoyang pelan. Sasuke masih setia dengan bacaannya, sementara Naruto sudah berpindah dengan sekop dan permainan tanahnya. Kedua bocah itu menoleh ketika sebuah suara dari arah jam dua belas memanggil mereka.

"Naruto, Sasuke ayo kita foto-foto." Ajak Kushina dan langsung membuat kedua bocah itu berlari ke arahnya.

"Ne, kaachan Naluto ingin difoto."

Kushina mengangguk, ia mengeluarkan sebuah kamera digital. Naruto yang entah sejak kapan berada dipangkuannya semakin tidak sabar melihat gerakan Kushina, membuat Sasuke hanya mampu menghela napas dengan wajah datar khasnya.

Merasa ada sesuatu yang kurang, Naruto bangkit menjadi menghadap Kushina. "Ne kaachan, dimana Nalu-nee?" tanyanya polos dan sukses membuatnya mendapatkan cubitan sayang dari sang ibu.

"Naru-nee sedang tidak enak badan. Jadi Kaasan menyuruh untuk beristirahat saja di rumah," mendengar jawaban tersebut mengundang protes kecewa dari bibir Naruto. "Tapi nanti setelah Naru-nee sembuh, kita bisa ajak bermain dan foto bersama." Lanjutnya mencoba meredakan rasa kecewa Naruto. Benar saja bocah itu langsung sumringah dan memeluk Kushina.

Naruto lantas memandang ke arah rumah dan menemukan sesosok bocah yang memiliki rupa yang sama dengannya tengah memandang balik ke arahnya. Tangan bocah itu melambai-lambai, senyum manis merekah di wajah pucatnya.

"Nalu-nee, cepat sembuh bial nanti bica main belcama lagi, oke?!" Naruto berteriak dan mendapat anggukan semangat sebagai respon. Kushina terharu melihat kedua putri kembarnya saling berbagi perhatian.

Kushina sudah menyiapkan kameranya, segera Naruto menarik tangan Sasuke untuk berpose dengannya.

"Nah anak-anak, bergaya sekeren mungkin oke? Satu dua Cheers."

Jepret

Sinar blitz menjadi penghantar akhir dari sebuah aba-aba, membiarkan lensa kameranya mengabadikan pose manis dari kedua bocah itu. Kushina tidak mampu menahan tawa ketika melihat hasil jepretannya. Di mana seorang bocah perempuan berambut kuning tengah berpose memeluk bocah laki-laki yang nampak terkejut dengan aksinya.

Benar-benar suatu mahakarya yang akan menyimpan sejuta nostalgia.


.


Konoha, Musim Semi tahun 2010.

Bunga sakura yang berguguran diterpa angin, membuat langit jingga sore itu seolah membaur dengan warna pink. Garis-garis emas dari lembayung terlihat begitu cantik, siapapun yang melihatnya pasti ingin mengabadikan momen indah ini. Namun tidak dengan Naruto.

Huatchim.

Dari jendela kamar yang terbuka setengah, Naruto berusaha mati-matian menangkal hembusan angin yang semakin membuat hidung merahnya gatal. Berulang kali ia bersin dan batuk, cukup untuk membuat demamnya naik dan kamarnya yang sepi ramai bersuara.

"Naruto, sudah kaasan bilang untuk tutup jendelanya." Kushina berteriak dari bawah. Naruto hanya mendecih namun detik selanjutnya batuk dan bersin tak mampu dihalaunya.

Menghabiskan waktu seharian penuh di dalam kamar dan mendapatkan pengawasan intenstif dari sang Ibu di musim semi yang indah ini sukses membuat emosinya bercabang. Ya bercabang karena, satu, Naruto bukan tipe gadis rumahan yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalam ruangan minim hal menarik atensi. Dan kedua, karena ulah Kushina menguncinya dari luar.

Oh yeah- bagaimana bisa perawatan intensif berubah menjadi penjara?

Padahal hari ini adalah tahun ajaran baru, di mana Naruto resmi menyandang status sebagai siswi kelas delapan sekolah menengah pertama. Jujur, perkara sakit bukan halangan bagi dirinya, Naruto cukup percaya diri karena terlahir memiliki kekebalan tubuh diluar batas normal.

Pernah ketika setahun yang lalu Naruto terkena demam tinggi gara-gara terlalu lama bermain salju, namun ia masih bisa bisa mengikuti pertandingan basket. Bahkan ketika penilaian lari marathon Naruto menyabet juara pertama, meski menahan perih lambungnya akibat terkena maag—ya itu juga karena sehari sebelumnya Naruto salah mengonsumsi makanan.

Lantas apa yang harus dikhawatirkan? Saat ini Naruto hanya terserang flu dan batuk, itu juga karena masalah sepele. Gara-gara Naruto berenang saat temperatur masih rendah, Kushina sampai tega menguncinya di kamar.

Benar-benar keterlaluan.

"Padahal Sasuke dan Naru berangkat sekolah hari ini, tega sekali mereka meninggalkanku."

Naruto menarik selimut tebal yang membungkus kepala hingga tubuhnya saat hawa dingin dengan kurang ajar membelai setiap titik indera perabanya. Pandangan kosong ia layangkan pada jalanan di depan rumahnya yang sepi, jalanan yang separuhnya tertutupi oleh bunga sakura. Semakin ia mengucek hidungnya yang gatal semakin ia ingin membuka jendela kamarnya lebar-lebar, namun ia tidak mau mengambil resiko membeku karena kedinginan.

Ketika semakin larut dalam lamunanya, manik safirnya menemukan dua orang yang sangat dikenalnya—sedang berjalan beriringan. Hal itu membuat senyum merekah di wajahnya. Naruto lantas berdiri, siap berteriak kencang memanggil nama mereka.

Namun itu tidak akan pernah terjadi.

Karena senyum manisnya telah hilang tersapu angin, bibir pucatnya yang sempat memerah itu kelu. Naruto tidak ingat kapan selimut yang membalut tubuhnya tanggal begitu saja. Naruto juga tidak mengerti kenapa dirinya tidak merasakan apa-apa saat angin membelai tubuhnya.

Yang Naruto tahu, saat itu ia mati rasa—melihat dua orang terdekatnya berbagi kasih dengan mesra.

Melihat Sasuke dan Naru berciuman di bawah pohon Sakura.

'Kenapa?'

'Kenapa hal ini bisa terjadi?'

'Kenapa?'

'Kenapa dadaku sesak sekali?'

'Kenapa?!'


.


Konoha, 6 April 2014.

DUK

"Aww Ittai—"

Aku terbangun dengan posisi tidur yang cukup membingungkan. Kepala nyaris mendongak ke bawah di samping ranjang, sementara kedua kakiku terlentang manis di atas kasur. Nyaris aku terlonjak kaget saat melihat wajah seseorang yang berada di atasku.

"Akhirnya kau bangun juga, dobe." Ucapnya datar seperti biasa.

Setelah bangkit dari posisi nista tadi, aku duduk di atas kasur. Mengucek mata dan menatap pemuda yang juga telah merubah posisinya. Penasaran, akhirnya aku membuka suara, "Apa yang kau lakukan di sini, teme?"

Dapat kulihat pemuda itu berjalan, entah kemana. Yang jelas itu bukan urusanku, namun ketika aku akan menarik bantal, dia berkata, "Menikahimu. Cepat benahi wajah kusutmu dobe, kita tidak punya waktu banyak."

Sebelum aku hendak menyuarakan protesku, sebuah handuk menubruk wajah. Sasuke dengan sembarangan melemparnya ke arahku. Dapat kurasakan denyutan di pelipis kiriku, mungkin akibat terkantuk ranjang tadi. "Aaaa pergi kau teme, aku masih mau melanjutkan tidurku." Ucapku malas. "Dan lagi aku tidak mau menikahi mahasiswa sepertimu."

Tidak ada satu kata pun yang kudengar dari Sasuke, hanya ada suara pintu kamar yang dibuka. Ibuku muncul membawa setelan pakaian formal, lalu mengaitkannya di gagang lemari.

"Ara, jadi kau mau menikahi pria yang seperti apa Naruto-chan?"

Sial, batinku ketika mengetahui bahwa Ibu mendengar perkataanku barusan.

Aku melihat Ibu mendekat ke arah Sasuke dan memegang bahu pemuda itu. "Jangan salah loh, Sasuke bukan sembarang mahasiswa." Ucapnya bangga, "—dia adalah mahasiswa super dan kau tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Sasuke, Naruto." Lanjutnya kejam menohok batin dan jiwaku. Ibu macam apa yang membedakan anaknya dengan anak tetangga yang memang terlahir dengan paket sempurna? Ah cuman Ibuku yang seperti ini.

"Ayo Naruto, kau hampir terlambat di upacara penerimaan mahasiswa baru."

"Upacara penerimaan?"

Ibu mengangguk, kedua tangannya telah memencak di pinggang. Melihat posisi membahayakan Ibu, refleks membuatku bangkit dari kasur dan membereskan selimut. Dengan ragu aku membuka suara. "Memang upacaranya kapan?"

"Tahun depan—ya sekarang lah Naruto."

Aku yang masih loading mencoba mencerna keadaan. Upacara penerimaan? Sekarang? Aku melirik sekilas ke arah Ibu namun nampaknya beliau telah masuk mode paling membahayakan. Buru-buru aku meraih handuk dan berlari menuju kamar mandi. Meninggalkan mereka berdua yang sibuk mengobrol.

"Sasuke-kun pasti belum sarapan kan? Kalau begitu kita tunggu Naruto di bawah saja, sekalian sarapan bersama."

"Baik tante."

.

.

.

Namaku Namikaze Naruto. Usiaku delapan belas tahun, meski kurang beberapa bulan sih. Pasti kalian penasaran apa yang sedang kulakukan di depan cermin dan mengapa aku mengenakan setelan pakaian formal ini, iya kan? Tenang saja, aku janji akan menjawab semua pertanyaan kalian—sangat detail, sampai kalian benar-benar bosan untuk menyimaknya. Well, maaf aku bercanda.

Jangan di ambil hati oke?

Baik, kembali pada topik. Jadi, jawaban dari pertanyaan kalian mengenai "mengapa" adalah karena hari ini merupakan hari upacara penerimaan mahasiswa baru. Ya benar, aku telah resmi menjadi salah satu dari keluarga besar Konoha University.

Silahkan beri tepuk tangan terlebih dahulu untukku.

Meski aku sempat lupa dan loading cukup lama—ya lagi-lagi aku hanya bisa ucapkan terima kasih kepada Sasuke dan Ibuku yang dengan sangat kurang elitnya menggunakan cara yang jauh dari kata sehat untuk membangunkanku. Aku menyisir rambut kuning sepunggungku, mengoleskan lipbalm berwarna peach, dan tidak lupa menyemprot parfum ke seluruh tubuhku. Sempurna. Setidaknya aku terlihat lebih manusiawi, mengingat aku hanya diberi waktu dua puluh menit untuk bersiap-siap.

Setelah mengambil tas selempang, aku menyusul Sasuke yang sepertinya sedang sarapan bersama Ibuku di bawah. Dan benar saja, mereka sedang duduk—menikmati makanan masing-masing, sama sekali tidak memerdulikanku yang telah duduk di samping Ibu.

"Dobe kita tidak punya waktu lagi, ayo berangkat." Sasuke tiba-tiba berdiri tepat setelah aku mendaratkan pantatku di kursi makan.

"T-tapi Sasuke—"

"Sudahlah Naruto, nanti kalian ketinggalan kereta. Ibu sudah menyiapkanmu bekal." potong ibu. Beliau memasukkan sekotak sandwich dan sekotak susu vanilla ke dalam tas selempangku.

Terlanjur lapar aku mencomot sepotong sandwich dan mencium pipi Ibuku singkat. Sementara Sasuke? Dia telah berjalan terlebih dahulu setelah berpamitan.

"Tunggu aku teme, aku masih makan."

"Cepat selesaikan mengunyahmu dobe. Kita bisa terlambat."

Sasuke berjalan semakin cepat di depanku, membuat aku kepayahan karena rok selutut ini membatasi ruang gerak. Susah payah aku menelan sandwich, mengingat langkah Sasuke yang semakin beringas—semakin meninggalkanku di belakang.

"Teme, bisa untuk lebih pelan? Aku bahkan sampai lupa bernapas karena kau berjalan begitu cepat."

"Berhenti merengek, dobe!" Balas Sasuke dingin.

Entah kenapa dadaku menjadi sesak, bukan karena tergesa-gesa memakan sandwich atau efek seret karena belum sempat minum. Melainkan mendengar respon Sasuke yang begitu dingin—begitu menusuk. Entahlah, melihat punggung Sasuke yang menjauh malah semakin menambah rasa sesak di dalam dadaku.

'Kau pasti tidak pernah berkata dingin padanya kan, Sasuke?' gumamku sambil tersenyum miris.

Mengingat hal itu malah menambah rasa sesak di dadaku menjadi tiga kali lipat. Ditambah rasa pedih yang sukses membuatku terluka di pagi hari ini. Siapa sangka jika mimpi semalam mengenai masa lalu yang tidak ingin kuingat akan semenyakitkan ini. Dan lagi objek yang muncul di mimpiku ternyata adalah orang yang pertama kutemui di hari pertama tinggal di Konoha, setelah tiga tahun menghabiskan waktu di Suna.

Kulihat Sasuke berhenti, melipat tangan di dada. Aku buru-buru menyusul langkahnya, takut mendengar nada dinginnya lagi. Namun Sasuke malah diam, bosan dengan keheningan ini aku memutuskan untuk membuka suara.

"Ngomong-ngomong kau masuk kamarku lewat mana, teme?"

"Kau tau fungsi pintu untuk apa, kan? Aku yakin kau juga tahu jawabannya."

"Ah, kukira kau lewat jendela. Biasanya kau sering melakukannya dulu." Ucapku sedikit terkekeh jika mengingat masa lalu kami.

Ya, Sasuke pasti akan menyebrangi beranda dan menggunakan jendela untuk masuk ke kamarku—mengingat kedua kamar kami yang berdekatan.

"Itu dulu dobe, aku bahkan tidak ingat pernah melakukan hal itu."

"Ish, bohong. Jelas-jelas aku masih ingat siapa yang memecahkan kaca jendelaku saat tahun baru um empat tahun yang lalu."

Sasuke tidak menjawab, ia hanya tersenyum singkat—terlalu singkat sampai aku tak sempat mengabadikannya.

"Sudahlah dobe, saat ini kita sedang menunggu kereta bukan untuk bernostalgia. Aku tidak mau menjadi pihak yang membuatmu terlambat di hari pertamamu menjadi mahasiswa."

Aku hanya tersenyum mendengar kalimatnya. Sasuke yang berada di depanku masih sama dengan Sasuke yang kukenal. Meski kini ia telah berubah menjadi lelaki tampan dan mempesona, dan fakta bahwa dia bukan Sasuke yang sering kupeluk dan kupukul seperti saat kita bocah dulu.

Pernah aku berpikir apakah keputusanku untuk kembali ke Konoha adalah pilihan yang tepat? Apakah aku akan bertahan dengan semua yang sempat kuhindari? Dan berhenti melarikan diri seperti kemarin?

Kini di hadapanku berdiri seorang yang bahunya kokoh, rahangnya tegas, tinggi badannya tegap, juga langkahnya yang jenjang—yang sama sekali tak dapat aku susul.

Kau telah tumbuh dengan baik Sasuke, kau telah menjadi seorang pria.

Aku hanya akan memandangmu dari kejauhan atau dari belakang seperti sekarang—menikmati punggung indahmu yang semakin ditelan oleh cahaya.

"Ne, Naruto."

"Hm?"

"Okaeri." Sudut bibir Sasuke terangkat membentuk sebuah senyuman tipis.

Melihat Sasuke seperti itu hanya membuat sesak di dadaku semakin menjadi. Bukan sesak karena kenyataan yang menyakitkan. Sesak karena perasaan ini tidak mau hilang meski sekuat tenaga kubuang. Sesak karena terlampau bahagia, melihat senyum itu tertuju padaku.

Aku berbisik menahan perasaan yang membuncah.

"Hum, Tadaima."

.

.

.

Ah, betapa bodohnya aku. Bagaimana bisa aku menyukai pria yang merupakan kekasih kembaranku sendiri.

.

.

.

To be continued.