Mentari telah bangun dari tidurnya, menampakkan sinarnya. Awan-awan tipis sedikit menutupinya, namun ini bukan tanda akan hujan—pasti hari ini adalah hari yang cerah. Dan pemandangan indah itu ditemani kicauan burung yang indah pula. Serta embun pagi yang menetes dari pohon-pohon sekitar istana—
TES.
Salah satu tetesan itu jatuh di hidung sang pangeran, Kaito, yang sedang bersantai di balkon kamarnya.
"Hawa pagi ini sangat segar , ya, hahaha..." katanya sembari mengelap tetesan air di hidungnya.
Sementara itu, dua pelayannya hanya setia menemaninya sambil tersenyum dan berdiri tegap.
"Perlu saya bawakan teh, Tuan Muda?" tanya pelayannya yang berambut ungu—namanya Gakupo—masih dengan senyum lembutnya.
"Tidak perlu. Tapi kalau kalian ingin minum teh bersamaku, boleh lah,"jawab Kaito sambil menatap kedua pelayannya, lembut. Dia benar-benar menganggap mereka sebagai temannya—ralat, sahabatnya.
Gakupo menghela nafas pendek lalu berucap,"Baiklah kalau Tuan Muda menginginkannya," lalu segera mengambilkan teh dengan seperangkat tea set dari dapur.
"Kiyoteru, kau kali ini ikut juga, ya,"
"Pangeran, saya tidak ingin dianggap tidak sopan kepada anda," tolak pelayannya yang satu lagi, Kiyoteru.
"Ayolah, Kiyoteru. Kita ini kan sebentar lagi berpisah,"
DEG.
Mendengar kata perpisahan membuat hati Kiyoteru bergetar—sakit. Kenapa, kenapa berpisah...?
"Tapi..."
"Hey, Kiyo,"
Kiyoteru terbelalak. Sudah lama sekali sang pangeran tak memanggilnya begitu.
"Kau ini tsundere sekali! Pfft..."
"Hey, hey. Enak saja. Aku tidak tsundere, tau!" Kiyoteru mengucapkannya sambil tersenyum. Ia langsung melupakan hal sebelumnya kalau sudah mendengar suara tawa pangeran yang... jernih.
.
.
Tunggu. Berpisah... ya?
.
.
Kau, Pangeranku
Disclaimer: Vocaloid © Yamaha, Crypton
.
Kau pangeranku. Tidak ada orang yang boleh memisahkan aku dan kau.
.
.
(KIYOTERU'S POV)
Aku berjalan pada lorong istana yang cukup luas, namun tentu saja dengan penerangan yang cukup. Saat aku ingin memberikan sarapan pada Pangeran, aku mendengar suara obrolan di kamarnya. Ada orang yang masuk sebelumku.
Aku mendekatkan telinganya ke pintu kamar sang pangeran, berusaha mendengar apa yang dibicarakan di dalam...
"Besok, Meiko akan datang ke sini. Kau benar-benar harus bersiap ya, anakku,"
"Hahaha, tentu saja, Yah. Bagaimanapun juga dia adalah calon istriku, hehe..."
"Tapi setelah itu kau juga harus mencari servant baru, Kaito,"
Hening sebentar.
"Hahaha, menambah teman bukan?"
"Kaito."
"Servant lama atau baru pun aku tidak peduli,"
"Kaito."
"Kenapa jadi membicarakan soal servant, ya?"
Sang raja terdiam.
"Baiklah, Kaito. Sepertinya persiapan mentalmu juga sudah betul-betul matang. Ini berarti para servant juga akan dipecat,"
"Ha-haha... Sayang sekali. Padahal mereka sudah setia mengabdi sampai 13 tahun di sini..."
Apa itu? Kenapa..? Kenapa tawa Pangeran tidak renyah seperti biasa?
"Baiklah, Kaito. Pembicaraan kita selesai di sini,"
"Baik, Ayahanda,"
Sang raja keluar dari kamar Pangeran—tidak sengaja bertemu tatap denganku. Ia melihat mataku yang sudah mulai berkaca-kaca. Lalu pergi meninggalkanku. Aku yakin beliau mengerti kalau aku mendengar pembicaraannya dengan sang anak barusan.
.
Aku masuk sambil membawa sarapan milik sang pangeran. Dia menatapku sambil tersenyum seperti biasa.
"Hey, Kiyoteru. Hari ini kau buatkan es krim rasa coklat, ya?"
"Baiklah, Pangeran,"
"Rasa anggur juga boleh, hihi,"
"Warnanya familiar, ya?"
KRIK.
Terlihat sebutir air mata terjatuh dari mata Kaito. Sangat kecil, hampir tak dapat terlihat. Iya, aku sadar. Itu warna rambutku dan Gakupo. Tetapi... aku tidak sadar bahwa perkataanku akan membuat Kaito menangis. Dia menangis... untukku dan Gakupo?
Ah, iya. Dia memang sahabat kami walaupun aku mengharap sedikit lebih. Dan tangisan itu disebabkan oleh kata pernikahan? Karena dia harus menikah dengan wanita bernama Meiko itu? Kenapa jodoh pangeran bertemu secepat ini? Kenapa... pangeran harus menemukan jodohnya?
.
Kenapa ada wanita bernama Meiko itu?
.
Kenapa wanita bernama Meiko itu berjodoh dengan Kaito?
.
Kenapa wanita itu menjadi jodoh Kaito lalu membuat kami berpisah seperti ini?
.
Kenapa?
.
KENAPA?
.
Aku menunggu di depan pintu bersama Gakupo yang sudah mulai memasang raut bosan. Ah... kita sedang menunggu Meiko yang tak kunjung datang. Andaikan bukan perintah Pangeran, mana sudi aku menunggu wanita bejat itu.
Yah, walaupun dia seorang putri raja, kata-kata kasar tersebut harus melantun setiap aku mengucapkan namanya. Aku benar-benar benci padanya. Yang akan memutuskan tali persahabatanku dengan Kaito. Aku harap bisa memusnahkannya sekarang. IYA, SEKARANG.
Tunggu, memusnahkan? Oh iya. Aku bisa membunuhnya. Lalu memalsukan bukti pembunuhannya. Dan Kaito tidak jadi menikah dengannya. Lalu aku dan Gakupo akan tidak jadi dipecat. Lalu, aku dan Gakupo dapat meneruskan pengabdian kita. Akhir yang bahagia.
Ah, itu dia. Orang yang kutunggu-tunggu. Wanita bernama Meiko. Wah, wah, benar-benar putri raja. Sikapnya sopan dan bermartabat tinggi.
"Maaf. Ini pelayan Kaito yang bernama Kiyoteru 'kan?" tanyanya padaku.
Sepertinya kau memang menunggu-nunggu kematian mu, ya, Nona Meiko?
"Iya, Nona. Sambil menunggu pangeran, mari saya antarkan dulu ke ruang tamu,"
"Baiklah,"
Dia hanya tersenyum sinis—lembut padaku. Aku benar-benar mengantarkannya ke ruang tamu—tapi rencanaku tidak kugagalkan. Di sana memang tempat tersepi di istana. Entah penjaganya bodoh atau apa, mereka malah meninggalkan sang putri pergi berdua bersamaku. Gakupo juga—ia melayani pangeran sekarang, jadi memang hanya kami berdua saja. BERDUA.
.
Akhirnya lorong ini sudah mencapai ujungnya—ruang tamu. Aku melihatnya, ia sedang melirik ke sana kemari. Ruang tamu ini memang megah—dan tentunya rapih, karena ini adalah istana yang cukup terkenal, tentunya harus dirawat baik-baik.
"Kau yang menatanya?"
"Bukan, Nona. Bagian bersih-bersih dan penataan dilaksanakan oleh Gakupo. Saya hanya bagian pelayanan tamu dan anggota kerajaan, serta masak-memasak,"
"Wah? Tak ada maid atau koki?"
"Tentu saja ada, Nona. Kami tidak mungkin sanggup mengerjakannya berdua, saja,"
"Hmm.."
Kali ini dia berkeliling di ruang tamu sambil melihat ke sana kemari—dan sekarang tubuhnya sudah mulai dekat dengan sofa. Bagus.
Aku mendekatinya, dan dia terlihat tidak menyadarinya. Aku menjadi lebih dekat, dekat, DEKAT...
BRUUK!
Aku menghempaskannya ke sofa, anehnya dia tidak kaget sama sekali. Tampangnya datar, biasa saja—eh, tidak. Ia tersenyum—ralat, menyeringai.
"Kau sengaja ke sini yang sepi karena aku 'kan, Kiyoteru?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi membalas senyumnya dengan senyum pula. Aku mengeluarkan pisau roti yang kusimpan dibalik jasku lalu menjilatnya, bagaikan orang haus darah.
"Kau ternyata memang sudah menunggu ajalmu, Tuan Putri..."
Raut wajahnya berubah datar. Lalu dia menghela nafas cukup panjang.
"Tidak, Ki-yo-te-ru,"
"Cih."
Aku semakin ingin menancapkan pisau itu ke perutnya. Ayo, AYO! Akhirnya, sarafku bekerja, tanganku dengan cepat mengarah ke perutnya –dengan pisau di tanganku.
Kau akan mati sebentar lagi, pengganggu—
PLAAAK!
TBC
Padahal cerita gaje gini.. wordnya lebih dari seribu, saya stress deeh...
Di sini Kiyoteru kerasa cewek banget ya? Taulah, saya gak terlalu peduli.
Saya minta kritik dan saran, ya—dan pendapat, kira-kira mau gak cerita ini dilanjutin?
Baiklah, sekian~
