Gumpalan awan tipis berarak di langit kelam, melintasi bulatnya bulan purnama yang bersinar tanpa didampingi bintang-bintang. Malam yang sunyi dengan hawa begitu dingin melanda kota Tokyo. Aktivitas di ibukota Jepang yang selalu nampak padat ini terhenti ketika malam semakin larut. Menandakan waktu bagi sang pengalir darah, para manusia untuk beristirahat.
Perempatan jalan yang biasanya bising oleh polusi suara kini begitu senyap. Hanya sesekali dilewati pusaran angin kecil yang berputar membawa dedaunan kering, kemudian berhembus menerpa tubuh seseorang. Seseorang dengan perawakan pria paruh baya itu mengeratkan jaketnya, merasa tubuhnya merinding karena angin dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dengan mendekap tas kerjanya pria itu berjalan dengan lebih cepat, merasa tidak nyaman dengan suasana malam kali ini. Tidak buang-buang waktu untuk menengok ke arah gang-gang gelap yang dilewatinya, pria itu ingin secepatnya tiba di rumah. Sungguh sial baginya yang harus lembur hingga pulang lewat tengah malam seperti ini. Dimana keadaan kota yang seolah tidak berpenghuni, hanyalah sebagai kemuflase kemungkinan kejahatan yang tidak diinginkan.
Baru saja pria itu berbelok dan merasa agak lega setelah sampai pada gang ke arah kompleks perumahannya. Namun langkahnya harus terhenti ketika melihat gerombolan orang menghalangi jalan. Secara teknis tidak sedang menghalanginya dengan sengaja. Gerombolan yang terdiri dari tiga orang itu hanya sedang berjongkok di bawah keremangan cahaya lampu, memenuhi jalan gang sehingga si pria paruh baya tidak dapat lewat tanpa permisi.
Pria itu mulai mengangkat kakinya untuk mendekati mereka, berniat meminta izin untuk dibukakan jalan. "Krrrs-" Tapi baru saja ia menapak pada satu langkah tubuhnya tiba-tiba menegang. "Krrrak-" Telinganya menangkap bunyi-bunyi aneh diantara mereka. "Eerrgh-kekkh~!" dan juga seperti ada suara seseorang yang sedang merintih.
Mata berlapis kacamata itu mengamati was-was pada beberapa orang yang sedang jongkok membelakanginya. Dari jarak beberapa meter dengan penerangan minim ini ia tidak dapat melihat apa yang sedang mereka lakukan. Dan tidak dapat dipungkiri jika mereka sangat mencurigakan. Mungkin mereka adalah para pemabuk, atau lebih buruk adalah gerombolan perampok yang kebetulan sedang ada disini. Sialnya ini adalah satu-satunya jalan menuju ke rumah. Tidak ada pilihan baginya selain melewati orang-orang itu. Jika harus menyerahkan barang berharganya ia putuskan untuk memberikannya. Namun mereka tetap tidak bergeming dari apa yang mereka lakukan, walau pria itu sudah berjalan mendekat.
"O-oi..!" Berusaha menyapa dengan suara bergetar agar mereka menoleh.
"KRRRS-KRRAUS!" Namun hanya itu yang semakin jelas didengarnya tanpa respon dari mereka.
Tangan pria paruh baya itu terjulur dan tersendat sejenak, sebelum menyentuh bahu seorang yang membelakanginya. Ia meneguk ludahnya kering sebelum memberanikan diri untuk bertanya. "A-apa yang sedang kalian lakukan?" Ujarnya berhasil. Seketika aktifitas mereka terhenti, tanda mulai menyadari kehadirannya.
Pria itu semakin gugup menanti seperti apa rupa mereka, jika benar mereka para preman yang menyeramkan, ia sudah siap menyerahkan semua uang yang ada di dompetnya. "HH-!" Namun apa yang dilihatnya ternyata lebih dari yang ia duga. Dua pasang mata yang baru saja menatap ke arahnya itu menyala merah seperti binatang buas. Rupa dari orang-orang itu tidak hanya menyeramkan tapi juga mengerikan. Cairan merah tidak hanya menetes dari dagu mereka, tapi juga melumuri wajah dan tangan mereka.
Pandangannya dengan cepat beralih pada orang yang ia pegangi bahunya, dan mendapatkan rupa yang tidak kalah mengerikan. Mata merah berpupil pipih, dengan seringai diarahkan padanya, menunjukkan dua taring tajam yang menyembul keluar. Sontak pria itu mundur dan jatuh terduduk dengan ketakutan. Kelereng beriris coklat di balik kaca itu bergetar nanar. Salah satu dari mereka yang memegang gumpalan merah di tangan mengirimnya ke arah mulut, kemudian memakannya dengan bunyi "Crrrs!" yang diiringin muncratnya cairan merah dari dalamnya. Pandangannya jatuh pada seonggok mayat di tengah orang-orang itu, dengan bentuk tidak karuan, semua anggota tubuhnya sudah terlepas, sedangkan isi perutnya berceceran disekitarnya.
Seketika ia menutup mulutnya, perutnya bergejolak ingin memuntahkan isinya. Dengan tubuh bergetar ia berusaha berbalik untuk merangkak pergi. Tangannya meraba-raba mancari pijakan, seketika telapak tangannya mendapati sesuatu yang lembek. Ia melirik, sontak tercekat dengan suara yang hampir tidak dapat keluar, mengetahui apa yang disentuhnya adalah seonggok kepala lain dengan tubuh yang sudah hancur total. Ia membuang tubuhnya menjauh dengan ketakutan.
Seperti sudah kehilangan seluruh tenaga, kakinya bergetar kaku tidak dapat digerakkan. Deru nafasnya yang menggebu sekaligus terputus-putus dengan gumaman yang tidak jelas. Kepalanya mendongak hanya untuk semakin terbelalak ngeri, mendapati orang-orang itu yang telah mengelilinginya.
"Ti-tt-tidak..." Hanya itu yang bisa dikeluarkannya dari tenggorokannya yang serak. Sebelum melihat kilatan beringas dengan seringaian bertaring tajam layaknya binatang buas yang akan segera melumatnya.
"GYAAAAAAA!"
.
.
.
.
DEDICATED FOR OPPOSITE PARTY PART 2
.
!WARNING!
Yaoi, boyxboy, hint of mpreg, sexual content, slight incest, slight NaruHina and SasuSaku, AU, OOC, cerita rumit, cerita absurd, typo (s), gaje bin ababil, terserah apapun itu silahkan dinikmati saja ^^
.
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
.
- Collaborative Writing -
between
Fro Nekota and ShinKUrai
.
.
.
present
.
a NaruSasu Fanfiction
.
.
SHARP BITTERNESS
....
OoO
First Memories
...
Do you still remember me ?
.
..
.
Buagh!—sebuah tinju keras berhasil mengenai wajah seorang remaja sebelum disusul dengan—
BUGH—!
Bam!—Krang—!
Remaja itu pun terbanting menabrak pagar besi di belakangnya, sebelum dengan luntai merosot ke tanah. Di depannya, berdiri seorang remaja yang mengenakan seragam sekolah menengah pertama dengan logo khas SMP Konoha. Remaja bersurai hitam jabrik itu berdecak, lalu mengusap darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Dua manik onyx remaja itu melirik ke samping, menatap tajam beberapa remaja yang babak belur di sana-sini akibat perbuatannya. Ia menyeringai dingin, membuat lawannya bergidik takut sekaligus tak menyangka kekuatan fisik remaja raven itu.
"A-awas kau nanti, b-brengsek!" salah satu lawan berteriak dengan ketakutan sebelum ia berlari panik dan kabur dari tempat itu.
"S-sial!" teman-temannya pun berlari kabur mengikuti, meninggalkan remaja bersurai raven itu sendirian.
Jelas sekali siapa pemenang perkelahian itu sekarang. Perkelahian yang sudah seperti sarapan paginya setiap hari. "Tsk." Remaja dengan goresan tiga garis di pipi itu berdecak lagi.
Drrt. Drrt. Drrrttt. Drrrt. Drrt.
Dengan malas, remaja itu merogoh sakunya, mengambil sebuah benda canggih yang dari tadi bergetar meminta perhatian. Sebuah nama pun terlihat di layar handphone itu. Ia memutar bola matanya saat tahu siapa yang memanggil.
"Apa?" ucapnya enggan.
"Apa?! Kau bilang "Apa"?! Ini sudah hampir jam 8! Sedang dimana kau, baka?!" teriakan marah terdengar dari ujung sambungan telepon itu.
"Hn." Balas sang remaja raven itu malas, dia pun menggerakan kakinya, berniat melanjutkan perjalanannya menuju sekolah yang sempat terhenti karena perkelahian tadi.
"Menma! Berhenti main-main, kau—" ada suara gemerusuk tiba-tiba terdengar saat kalimat dari ujung sambungan terpotong mendadak, sebelum—
"Menma! Apa kau akan telat lagi hari ini? Hey, jangan lupa mampir toko kue di pinggir stasi—" suara dalam telepon berubah menjadi lebih feminim lalu terpotong lagi dan—
"Chouchou, serius sedikit, baka! Ini jam sekolah, kita—" kembali ke suara yang lebih rendah, lalu—
"Berisik, Inojin! Aku lapar, lagipula tidak ada guru sekarang, aku ingin—
"Aku tutup teleponnya."
"Huh—Apa tungg—"
Klik.
Sambungan telepon itu pun mati.
Dengan ekspresi datar, remaja yang dipanggil "Menma" itu pun memasukan kembali handphone-nya ke dalam saku. Ia mendongak, memandang cerahnya langit biru yang memayunginya.
"Cih, menyebalkan."
.
..
.
SMP Konoha, merupakan salah satu sekolah menengah pertama elit yang sangat terkenal di wilayah Tokyo. Memiliki bangunan yang cukup besar dan luas, dengan fasilitas sangat lengkap, dan jaminan rekomendasi ke berbagai SMA elit di seluruh negeri. Pintar ataupun kaya, itu adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk bisa masuk ke dalam sekolah itu. Tak perlu pintar untuk masuk kesana, asalkan keluargamu berkecukupan untuk menyumbangkan uang, namun kau juga tak harus kaya, asalkan kau cukup pintar untuk mendapatkan beasiswa.
Karena hal itulah, SMP Konoha dipenuhi dengan banyak murid-murid dari keluarga kaya, namun juga tak sedikit yang memiliki otak cerdas. Hal itu pun berlaku pada seorang remaja bersurai raven yang sekarang ini sedang mengendap-endap masuk ke dalam sekolah lewat pagar belakang.
"Hup!" dengan hati-hati, remaja itu melompat dari pagar tinggi untuk bisa masuk ke halaman belakang sekolah. Sekolah sudah dimulai sejak satu jam yang lalu. Jelas sekali kalau ia sudah terlambat dan tidak mungkin untuk masuk ke sekolah lewat pagar depan yang dijaga oleh seorang satpam. Yang ada sih, dia bakal diseret ke ruang guru.
Menma pun menghela napas lega. Diliriknya kondisi sekeliling, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya menyusup masuk. Tanpa bersuara, dia kembali berjalan menuju ruang kelasnya. Chouchou, teman sekelas yang baru saja menelponnya tadi bilang kalau sedang tidak ada guru di dalam kelasnya. Itu berarti belum ada guru yang tahu kalau dia terlambat masuk.
Dia mengambil jalan di koridor samping, dekat dengan halaman parkir, namun cukup aman karena jauh dari ruang guru. Yeah, itulah yang ia pikirkan, sebelum—
"Uzumaki!"
Shit!.
Menma pun menoleh, menunjukan ekspresi datarnya.
"Apa yang kau lakukan disini?! Kelas sudah dimulai sejak satu jam yang lalu!" Iruka, salah satu guru yang mengajar matematika menangkapnya basah.
"Aku tersesat." Jawab Menma sok polos.
"Yeah, itu alasan yang kau katakan padaku tiga hari yang lalu, Uzumaki. Kau tidak punya alasan lain untuk menutupi tindakan bolosmu?" Iruka menyipitkan matanya.
"Aku tidak bolos. Lagipula sekarang kelas sedang kosong." Jawabnya setengah bohong. "Bagaimana dengan Iruka-sensei? Bukannya sensei seharusnya mengajar sekarang?" tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku sedang menunggu seseorang. Ada murid baru yang katanya datang hari ini. Tapi dia terlambat. Ini sudah setengah sembilan lebih, dan diam disitu, Uzumaki! Jangan pikir kau bisa lari dari hukuman karena bolos jam pertama." Ucap Iruka tajam, saat melihat gelagat Menma yang terlihat ingin kabur.
Damn. Menma pun merutuk dalam hati.
Setelah beberapa menit terpaksa ikut menunggu disana, sebuah mobil mewah hitam mengkilap akhirnya datang dari arah gerbang depan. Mobil itu diparkir rapi di halaman parkiran, sebelum akhirnya seseorang keluar dari sana. Seorang pria dengan rambut putih keperakan terlihat keluar dari kursi supir. Menma mengernyitkan alis saat melihat penampilan tidak biasa dari pria itu. Rambut perak jabrik, dengan masker hitam menutupi setengah wajah dan sebuah penutup mata menyembunyikan mata kiri pria itu. Pria itu berjalan menuju kursi penumpang, lalu membukakan pintu penumpang layaknya seorang supir yang membukakan pintu untuk tuannya.
Anak dari keluarga kaya, huh?
Seorang remaja pun keluar dari mobil itu, bersurai pirang yang sedikit bergelombang jabrik, memakai seragam yang identik dengan seragam yang dipakai Menma. Dan, ketika remaja itu berbalik untuk berjalan ke arahnya, Menma harus menahan napasnya terkesiap. Paras remaja itu benar-benar tampan, berkulit tan eksotis, dengan manik sebiru langit yang menatap tajam ke depan. Tapi bukan itu yang paling membuatnya tertegun, remaja itu memiliki sebuah tanda yang sangat mirip dengannya. Goresan garis di tiap pipi layaknya tanda kumis kucing. Dia punya tiga di tiap pipi, sedang remaja pirang itu…punya dua…
Aura dingin yang tak biasa menyelimuti dua orang yang baru saja datang itu, memberi kesan asing dan menyesakkan. Pria dengan surai perak itu berjalan mendekat, lalu tersenyum dengan girang pada Iruka, atau…setidaknya itu yang terlihat saat mata pria itu menyipit membentuk lengkungan senang.
"Selamat pagi, maaf kami terlambat. Anda pasti salah satu guru disini. Namaku Hatake Kakashi, dan ini adalah Namikaze Boruto." Ucap pria itu mengenalkan dirinya dan remaja di belakangnya.
"Uh, oh...t-tidak apa-apa." Seperti disadarkan dari lamunan, Iruka menjawab dengan terbata. "Namaku Umino Iruka, dan…tunggu, Hatake?!" Iruka mengerjap saat mendengar nama pria itu.
"Benar, itu nama margaku." Kakashi menjawab dengan senang.
"Apa anda adalah guru bahasa inggris yang baru saja dipindahkan ke sekolah ini?" Iruka menyuarakan rasa penasarannya.
"Itu benar." Masih dengan tersenyum Kakashi menjawab enteng.
Tunggu, tunggu dulu. Guru pindahan?! Bukannya pria itu seorang supir?! Jelas sekali barusan dia bertingkah layaknya seorang supir atau bahkan pelayan pribadi!
"Oh, benarkah? Ku pikir anda seorang—
"Supir?" Kakashi menyela gampang.
"Eh…" Sang guru matematika pun jadi salah tingkah.
"Keluarga Namikaze cukup dekat denganku. Berhubung kami saling kenal, ku putuskan untuk menjemput Boruto-kun terlebih dahulu." Terang Kakashi dengan senyum khasnya.
"Oh…k-kalau begitu, sebaiknya kita segera menemui kepala sekolah." Jawab Iruka risih. Sepertinya memang bukan hanya Menma yang merasakan aura tak biasa dari kedua orang baru itu. "Uzumaki, kau ikut denganku!" perintah Iruka pada sang bocah raven.
"Hn." Menma mendengus malas, dengan enggan menggerakan kakinya mengikuti mereka. Dia melirik remaja bersurai pirang yang dari tadi hanya diam. Tertegun, saat manik onyx-nya bertemu langsung dengan manik shappire. Iris sebiru langit itu memandangnya sangat intens, membuat Menma harus menahan diri untuk tak bergidik dingin. Dia pun menyipitkan matanya tajam membalas tatapan intens itu.
"Baumu tidak asing." remaja bernama "Boruto" itu tiba-tiba mengeluarkan suara, menatap tajam Menma untuk beberapa saat, sebelum ia memalingkan wajah dan berjalan mendahului.
Apa maksudnya?
.
.
.
Pertemuan dengan kepala sekolah tak berlangsung lama. Hanya basa-basi penyambutan sang murid dan guru baru ke sekolah ini. Mendapat apes, Menma harus menjadi teman sang murid baru yang bertugas menemaninya untuk berkeliling sekolah.
Dan disinilah dia, berdiri di depan kelas menghadap seluruh penghuni kelas yang menatapnya selidik. Padahal bukan dirinya yang berkepentingan untuk memperkenalkan diri, tapi anak di sebelahnya. Menma melirik Boruto, anak blonde bermata biru khas orang barat itu tersenyum ke arah seluruh murid yang sedang menatapnya penasaran.
"Kita mendapatkan teman baru hari ini." Kata Iruka selaku wali kelas.
Seketika ruang kelas yang sedetik tegang tadi berubah menjadi bisik-bisik. Bukan hanya karena anak baru berpenampilan tidak biasa itu, tapi entah kenapa teman-temannya juga sesekali melirik ke arah Menma.
"Psst…anak baru itu terlihat eksentrik sekali." Bisik-bisik terdengar samar memenuhi seisi kelas.
"Mungkin dia memang bukan asli Jepang." Saling menyusul menyuarakan rasa penasaran para murid di kelas itu terhadap sang murid baru. "dan dia kelihatan keren!" seorang siswi menyeletuk dengan teman sebangkunya.
" Benar, benar, mata dingin dan aura misterius di sekitarnya…" tambah temannya berpikiran sama. "Tapi kenapa Menma berdiri di sebelahnya?"
"Entahlah, mungkin Menma berulah lagi,"
"Tapi mereka terlihat mirip."
"Benar, mereka sama-sama memiliki tanda garis aneh di pipi." Murid-murid di kelas itu terus berbisik satu sama lain. Sedangkan Menma yang agaknya merasa risih hanya mendengus sebal, kenapa pula Iruka-Sensei tidak membiarkannya duduk?
"Hei Menma! Kau tidak bilang punya saudara kembar!" Seorang anak menyeletuk dengan tiba-tiba. Siswi bertubuh gemuk dengan kulit coklat nampak seperti kue lumpur bernama 'Chouchou', salah satu teman dari Menma itu menatapnya penasaran sekaligus bersemangat. Semua anak kini menatap Menma, beberapa nampak sama herannya seperti Chouchou.
"Sejak kapan aku punya saudara kembar?!" Menma mengernyit tidak senang.
"Tapi kalian terlihat sangat mirip." Kali ini anak berkulit pucat bernama 'Inojin' ikut berkomentar, didukung dengan anggukan serempak seluruh kelas. Membuat remaja raven bertanda tiga garis itu sweatdrop seketika.
Menma melirik Boruto yang balas menatapnya dengan senyum tanpa arti. Tidak ada yang sama diantara mereka, hanya saja... kenapa mereka harus sama-sama memiliki tanda lahir di pipi?
"Ehhem-" Iruka berdehem mengintrupsi gemrusuk murid-murid. "Biarkan teman kalian memperkenalkan diri!" Perintahnya mempersilahkan sang murid baru.
"Namaku Namikaze Boruto, Yoroshiku!" Ujar anak berambut Blonde itu seraya ber-Ojigi.
"Wow, jadi marga kalian berbeda? Apa kalian diangkat dari keluarga yang berbeda?" Chochou menyeletuk lagi. Menma pun mendelik galak. Bukankah tadi dia sudah bilang kalau mereka tidak kembar?!
Tapi kelihatannya gadis gendut itu tidak punya rasa takut terhadap delikan garang Menma. Asal tahu saja, si kue lumpur—ehem, maaf maksudnya si gadis bernama Chouchou ini bukannya tidak takut, tapi sebagian otak kanannya itu sudah penuh dengan bayangan macam-macam kue. Tidak sinkron dengan gelagatnya yang sedang mempermainkan anak terkuat se-entro Konoha seperti Menma. Lagipula, mereka sudah berteman sejak kecil.
"Sudah kubilang kami tidak kembar!" sungut Menma tak terima. Ia melirik jijik kepada Boruto di sebelahnya, memandangnya dari atas ke bawah. Jelas sekali anak blonde itu berasal dari keluarga kaya. "Siapa juga yang ingin bersaudara dengan anak macam ini." Tambahnya ketus. 'Cih! Pasti anak semacam dia hanya bisa menyogok untuk bisa masuk ke sekolah ini.'
Boruto menoleh ke arahnya dengan tersinggung. "Siapa yang kau bilang dengan anak macam ini?! Kau tidak sadar sedang berbicara pada siapa?" Boruto berkata dengan dingin dan tajam.
Tapi mendapati perkataan itu Menma malah membuang mukanya "Ceh~! Tentu aku sadar." Seringainya. "Kau hanya anak yang tidak bisa masuk sekolah ini tanpa sogokan dari orang tuamu bukan?"
"Apa kau bilang? jaga bicaramu!" Perkataan Menma membuat Boruto menjadi geram. Tangan Boruto terkepal menahan emosinya. Jika saja ia tidak berasal dari keluarga terpandang, pasti Boruto akan menghajar bocah kurang ajar itu, walau harus di depan kelas dan menjadi pertunjukan murid yang lainnya.
"Atau apa hah?" pancing Menma mengejek dengan seringai. "Jelas sekali, anak orang kaya sepertimu paling-paling masuk kemari dengan sogokan. Jangan samakan aku dengan anak manja sepertinya."
"A-apa—!" Boruto menggeram. "Setidaknya aku lebih terpandang dari pada bocah pembolos sepertimu, dasar peniru." Ejek Boruto tak ingin kalah.
"Wooh…" murid-murid di kelas itu bersorak kagum menonton perkelahian itu dengan tertarik.
"Heh? Peniru kau bilang? Aku sudah tinggal di kota ini sejak lahir, kau yang tiba-tiba datang kemari dengan tanda lahir yang mirip denganku lah yang harusnya disebut peniru!" ketus Menma kesal. "Lagipula—
"Cukup Menma! Kau keterlaluan berkata buruk pada orang yang baru saja kau temui. Terlebih lagi kalian akan menjadi teman sekelas. Harusnya kau mengakrabkan diri dengannya, bukan malah sebaliknya! Kau masih ingat hukumanmu bukan." Dimarahi seperti itu membuat Menma membungkam mulut. Dan tentu ia masih ingat dengan hukuman tersialnya dari kepala sekolah, tentang harus menemani Boruto berkeliling sekolah ini nanti.
"Boruto-kun ini baru saja pindah dari London, jadi Bapak berharap kalian dapat membantunya menyesuaikan diri." Ujar Iruka kepada teman sekelas mereka.
"Ooo... Jadi Boruto ini dibawa orang tuanya ke luar negeri, sedangkan Menma ditinggalkan di Jepang?" Lagi-lagi Chouchou berkomentar asal dengan menangkup kedua pipinya.
"Pantas saja, kalian terlihat tidak akur." Inojin menyahut setuju. "Menjadi anak kembar yang terpisahkan pasti sulit ya."
"Oh! Aku tahu! Menma pasti iri karena tidak dibawa ke luar negeri bersama Boruto kan?" celetuk Chochou lagi.
"Sudah kubilang kami tidak kembar! Siapa pula yang ditinggalkan! Dan aku tidak iri!" Teriak Menma frustasi. Membuat beberapa anak tertawa mendapati ekspresi jarang dari Macan Kumbang SMP Konoha itu.
Sedangkan Boruto mendengus geli mendapati kekesalan Menma seperti itu. Terutama ketika mendengar kalimat 'ditinggalkan'.
"Sudah cukup anak-anak! Menma, ajak Boruto duduk di bangku sebelahmu!" Dan Menma hanya bisa kembali merasa sial, kenapa harus ada bangku kosong di sebelah bangkunya.
Mata Onyksnya mendelik mengancam, ketika dengan sengaja Chouchou tersenyum pernuh arti ke arahnya. "Semoga beruntung!" Ucap gadis gendut itu terkikik geli.
"Mendokusai." Sedang Shikadai yang mereka lewati menatap ke arah lain dengan bertopang dagu. Dan Inojin memperhatikan mereka hingga duduk di bangku masing-masing bersebelahan.
.
.
lol
.
.
"Tadaima~!" Ujar Menma, menapakkan kakinya pada lantai kayu beralas tatami. Merasa haus ia berjalan menuju dapur dan meminum air di keran tanpa melepaskan tasnya terlebih dahulu.
"Kau sudah pulang?" Seorang laki-laki dewasa masuk ke dalam dapur dan menghampirinya. Menma pun menoleh, tersenyum tipis menatap pria dengan surai dan mata sehitam dirinya.
"Papa sendiri sudah ada di rumah?" Tanyanya balik.
Tangan putih pria itu memutar keran wastafel dan membasuhnya. "Yah... hari ini papa pulang sedikit lebih awal." Jawabnya sambil melap tangannya dengan serbet. Seperti halnya Menma yang memiliki rambut hitam jabrik, pria itu memiliki rambut hitam yang mencuat ke belakang dengan poni samping yang membingkai wajah putihnya yang rupawan. Tidak terlihat jika pria itu sudah menjadi ayah dengan anak sebesar Menma.
"Sebaiknya kau lekas ke kamar, ganti bajumu Menma! Papa akan menyiapkan makan malam." Uzumaki Sasuke, ayah dari Menma itu mendorong bahu anaknya untuk segera ganti baju. Kemudian mulai membongkar kresek merah yang berisi penuh sayuran untuk segera dipotongnya.
.
Makan malam mereka cukuplah sederhana, tapi cukup enak jika pria satu itu yang memasaknya. Sasuke tersenyum tipis melihat Menma menyuapkan sup miso ke dalam mulutnya dengan lahap. Setelah selesai segera ia menumpuk peralatan makannya ke dapur, dan kembali dengan sepiring penuh kue beras.
"Hari ini tidak ada PR?" Tanya Sasuke kepada Menma.
Menma menopang pipinya dan meraih remot tv, memindah-mindah channel merasa tidak ada yang menarik.
"Tidak ada. Kalaupun ada aku pasti bisa langsung mengerjakannya dengan cepat nanti." Ujar Menma enteng. Jarinya yang menekan channel berhenti keteka televisi menayangkan liputan berita.
Sasuke tersenyum tipis. Ia tahu Menma itu tidak hanya pintar, gen jenius menurun juga pada anak lelakinya itu. Gen kebanggaan keluarga yang sudah lama ditinggalkannya dulu.
"Wahh, mengerikan." Sasuke mengernyit, mendapati Menma yang diperhatikannya tiba-tiba bergidik. Dengan sedikit penasaran ia menolehkan pandangannya ke arah TV. Dan mendapati satuan polisi yang mengangkut sesuatu terbungkus kantong plastik besar berwarna kuning.
[-penemuan lima mayat pagi tadi. Dimana kondisi mayat tidak lagi berbentuk dengan organ yang tidak lagi utuh, seperti halnya penemuan sebuah mayat beberapa hari yang lalu. Polisi masih belum bisa menemukan sekiranya pelaku pembunuhan ini. Tapi diduga jika pelaku dari pembunuhan kejam ini sama. Sedangkan tim medis yang telah melakukan otopsi masih belum dapat menyimpulkan, apakah ini perbuatan dari binatang buas atau justru manusialah pelakunya. Untuk itu warga kota Tokyo diharapkan untuk berhati-hati jika keluar rumah pada malam hari...]
"Soal berita ini... Shikamaru tadi meneleponku untuk meminta pendapat." Ujar Sasuke.
"Mungkinkah itu perbuatan dari binatang buas?"
"Entahlah... jika itu binatang buas, pasti binatang itu akan mudah ditemukan berkeliaran dalam ibukota sepadat ini."
"Menurutku itu bukan ulah binatang buas. Jika binatang... pasti akan lebih memilih memakan dagingnya dulu daripada mengobrak-abrik isi organnya." Komentar Menma. Dan Sasuke setuju dengan hal itu. Tapi ia masih tidak bisa menyimpulkannya sebelum memeriksa sendiri besok.
.
..
…
..
.
Di dalam sebuah kamar luas bernuansa gothik. Perabotan impor tertata apik di bagian sudut masing-masing. Sebuah layar digital menyala dengan bunyi-bunyian ramai khas game RPG yang sedang dimainkan lihai oleh seorang remaja. Boruto Namikaze, nama anak pemilik kamar megah itu sedang dengan menggebunya menekan tombol stick game, tanpa memperhatikan seorang anak lain baru saja menyusup ke dalam kamarnya.
"Oniichan..." Sapa anak itu tiba-tiba memeluk lehernya.
"Ahh, Himawari... menyingkirlah! Aku hampir saja mengeluarkan jurusnya" Keluh Boruto mendapati jarinya salah langkah akibat konsentrasinya terpecah.
"Tapi Kaa-san sudah menunggu kita. Jadi kita berdua harus segera ke bawah." Anak perempuan yang dipanggil 'Himawari' itu memberi tahukan jika ini sudah waktunya makan malam. Tapi tetap saja, adik kandung dari Boruto itu tidak melepaskan lehernya, malah bersandar pada punggungnya manja.
"Baiklah..." Boruto memutuskan untuk melepaskan stick gamenya. Kemudian tanpa aba-aba berdiri dengan membawa Himawari di punggungnya.
"Uwaa..!" Mata lavender Himawari berbinar takjub, menyadari tubuhnya berada di atas gendongan kakaknya.
"Ayoo! Kaa-san sudah menunggu kita bukan." Ajak Boruto riang.
"Yeiyy! Meluncur ke TKP!" Seru Himawari sambil menunjuk ke depan. Boruto mulai melangkah, berjalan cepat membawa adiknya yang genap berumur 10 tahun itu menuruni tangga.
Di dapur terlihat sosok wanita anggun berbalut apron sedang bergelut dengan uap panas. Walau begitu tidak mengurangi kecantikan yang dimilikinya.
"Kaa-san sedang masak apa?" Tanya Himawari, ketika Boruto yang menggendongnya menghampiri wanita bersurai panjang dark blue itu.
Hinata, nama ibu dari Namikaze bersaudara itu menyelipkan rambut di belakang telinganya. Melirik anaknya yang sedang bermain gendong-gendongan, dan tersenyum.
"Sebentar lagi siap. Jadi sebaiknya sekarang kalian pergi ke meja makan!" Ujar Hinata lembut, dan segera mereka mematuhinya.
Boruto mendudukkan Himawari di salah satu kursi meja makan. Kemudian menggeser kursi lain untuk didudukinya sendiri. Ruang makan ini tentu saja tidak kalah luas dari kamarnya. Lampu hias besar tergantung tinggi di atas meja memanjang dengan kursi yang berlebih, walau anggota keluarga mereka hanya empat orang. Lebih tepatnya ruang makan ini didesain dengan nuansa khas Eropa. Sedangkan di atas meja sudah tersaji berbagai makanan mewah yang sudah disiapkan para pelayan sebelumnya, seperti ayam kalkun dan salad. Boruto berpikir hidangan spesial apa yang coba ibunya hidangkan kali ini, sehingga wanita anggun itu turun tangan sendiri di dapur.
Tidak lama kemudian, Hinata datang dengan membawa nampan berisi empat mangkuk yang mengepulkan uap panas. Dengan hati-hati tangannya meletakkan satu persatu mangkok itu di ke empat tatanan piring yang sudah di persiapkan.
Telihat kernyitan di dahi Boruto ketika melihat hidangan dalam mangkok itu. Mie berkuah, yang biasa disebut dengan 'ramen', walau mereka sebelumnya tinggal di Inggris, ia cukup tahu tentang makanan satu ini. Termasuk jika itu adalah makanan kesenangan dari kepala keluarga mereka.
"Ramen?" Beo Himawari menatap Hinata yang tersenyum.
"Kita sekarang tinggal di Jepang. Jadi menurut Kaa-san tidak masalah untuk mencoba menu Jepang. Lagi pula kalian tahu bukan? Otou-san kalian sangat menyukai ramen." Jawabnya. Dan Himawari mengangguk mengerti, kemudian dengan semangat meraih sumpitnya.
"Ehh, tunggu dulu! Tou-san masih belum turun, kita harus memakannya bersama-sama!"
Boruto menatap ramen yang mengepul panas itu dengan tidak berselera. Bukannya ia tidak menyukai ramen. Hanya saja mengetahui ibunya memasak menu Jepang yang tidak biasanya seperti ini membuatnya tidak yakin. Tentu saja ia yakin jika apapun yang dibuat ibunya itu enak, hanya saja...
"Naruto!" Boruto mendongak, menatap seorang pria dewasa yang sedang turun dari tangga menggunakan pakaian rapi. Segera Hinata berjalan menghampiri pria itu dan berdiri di depannya. Laki-laki itu berperawakan tegap, memiliki rambut pirang yang di pangkas pendek, dengan ciri khas yang hampir sama seperti Boruto.
"Aku—sudah menyiapkan ramen untuk makan malam..." Walau dengan suaminya sendiri, entah kenapa Hinata terlihat canggung mengutarakan ajakannya. Tangannya yang saling bertautan bergerak gelisah, sedangkan sesekali ia mengigiti bibir bawahnya "J-ja-jadi... maukah makan malam bersama kami?" Ajakan yang terasa ganjal jika orang lain yang mendengarnya. Tak terdengar seperti pria itu adalah kepala keluarga mereka seperti kenyataannya, namun malah terlihat seperti orang asing.
Mata biru lelaki itu menoleh ke arah meja makan. Boruto yang tidak ingin bertatapan mata dengannya, mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ada urusan penting di kantor. Jadi aku harus segera pergi."
Mendengar itu seketika bahu Hinata yang sebelumnya tegang melemas kecewa. Sambil menunduk lagi-lagi ia menggigit bibir bawahnya, sebelum menonggak dan memaksakan senyuman tipis di bibirnya. "Iterasai..." Ucapnya.
"Hm." Jawab Naruto yang kemudian berjalan melewatinya.
Himawari yang melihat hal itu pun menunduk lesu menatap ramennya.
"Cih—!" Boruto yang masih memalingkan pandangan, mengepalkan tangan erat-erat di samping tubuhnya. Sungguh tidak dapat dimengerti. Kenapa Ayahnya tidak pernah hadir di meja makan bersama mereka. Dan kenapa ayahnya selalu bersikap kejam terhadap ibunya. Padahal ibunya sudah bersusah payah membuat makanan kesukaannya.
'Kepala keluarga macam apa yang bersikap dingin kepada istri dan anaknya?'
"Tsk." decak Boruto kesal.
..
…
..
.
Malam itu…
Aku ingat merupakan malam pesta wisuda kelulusanku. Seorang teman memaksaku mengadakan pesta perayaan sekaligus perpisahan setelah lulus kuliah.
Panas
Saat melihat sekelilingku, aku kembali menyaksikan suasana ramai berpesta. Makanan, minuman, disajikan begitu lezat, dan mereka semua yang menganggap diri sebagai temanku berpesta pora merayakan kelulusanku.
Sangat panas
Semuanya terjadi begitu cepat, membuat pemandangan di depanku menjadi seperti blur. Tapi aku ingat. Dia…si bodoh itu berada disana, duduk di depanku.
Kenapa panas sekali ?
Saat aku membuka mata, semuanya terlihat remang-remang. Perlahan aku sadar aku berada di sebuah kamar. Rasa pusing segera menusuk bagian kepalaku dan bau bir pun tercium dimana-mana. Aku mengerang—
Tidak.
Mendesah?
Apa aku baru saja mendesah?
Untuk apa aku—
"Ahnn…." Suara itu terdengar lagi. Suaraku. Dewa Jashin! Kenapa suaraku terdengar—
"Errghhh~!"
Oh, benda itu…
Benda basah lunak itu terasa seperti menjilat leherku. Lembut dan hangat, menjilat kulitku dengan sangat aneh…rasanya seperti—
"Mnnn~!" Sial. Aku tak bisa menahan suaraku. Desahan itu terdengar lagi.
Apa yang sebenarnya—
"Sasuke…"
Bisikan bernada rendah dan serak itu membuat tubuhku merinding. Lalu aku sadar. Bahwa tak ada sehelai kainpun yang menutupi tubuhku. Dan seseorang…seseorang sedang berada di atasku.
"Sasuke…" Dia memanggilku lagi.
Samar-samar aku melihat sesuatu yang pirang. Kelopak mata berkulit tan itu terbuka, menunjukan padaku dua manik sapphire yang sangat familiar.
Aku kenal pemuda ini.
Aku sangat mengenalnya.
Pemuda pirang yang selalu hadir dalam mimpiku.
Pemuda pirang yang selalu ku impikan, sekarang menyentuhku dengan sangat intim, menyentuh titik nikmatku seakan tahu apa yang kuinginkan.
Hey, kenapa aku merasa pernah melihat ini sebelumnya?
Aku mencoba membuka mulutku, namun hanya desahanku yang terlepas. Tubuhku terbuai. Terlena dalam sentuhan nikmatnya. Aku tak berdaya ketika ia menggagahiku. Ketika pemuda pirang yang sudah merenggut hatiku sekarang merenggut tubuhku.
"Ini salahmu…Sasuke…"
Huh?
Apa yang ia katakan?
"Ini salahmu…"
Apa maksudmu?
"Kau yang sudah membuatku melakukan ini…"
Seketika aku teringat, ketika pemuda ini membopongku masuk ke dalam kamar. Aku ingat aku sudah minum terlalu banyak. Kepalaku terasa begitu berat. Aku ingat saat aku memaksanya untuk tetap berada di sampingku.
Aku mencoba mengeluarkan suara. Aku ingin mengatakan sesuatu, memberitahunya bahwa aku menginginkannya. Bahwa aku menginginkan pemuda di depanku ini…
"Sasuke…"
Namun suaraku seakan lenyap. Dia memanggil namaku, namun aku sama sekali tak bisa membalasnya.
Kedua tanganku terulur, meraba ukiran sempurna dari wajahnya. Ku perhatikan setiap inci dari wajah tampannya. Memastikan semuanya tersimpan jelas dalam pikiranku. Tapi…
Kenapa manik sapphire itu terlihat sedih?
Mereka memandangku sendu. Seakan ingin memberi tahuku sesuatu.
Apa?
Apa yang ingin kau katakan?
Bibirnya terbuka, namun kembali terutup, membentuk garis datar yang terlihat pahit. Sorot matanya menjadi sayu. Sentuhan halus terasa di pipiku. Ia mendekat. Membenamkan wajahnya di perpotongan leherku. Hembusan hangat dari napasnya membuat kulit sensitifku tergelitik.
Lalu…
Samar-samar aku mendengarnya…
Hanya sebuah bisikan…
Bisikan yang sangat lirih, membuatku ragu jika ia sengaja mengatakannya. Tapi aku yakin aku mendengarnya. Ia memanggil namaku.
"Sasuke…"
Sangat lirih, namun masih terdengar olehku. Ia mengatakan sesuatu, mengatakan bahwa ia…
"Aku mencintaimu Sasuke…"
Dan seketika semuanya mendadak lenyap menjadi gelap.
Pemandangan indah itu tiba-tiba direngut paksa dari penglihatannya.
Sasuke terbangun. Manik onyksnya memandang lebar dengan terkejut, lalu berkedip cepat beberapa kali menyesuaikan diri dengan kondisi sekelilingnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menormalkan napasnya yang memburu.
Mimpi?
Apa ia baru saja bermimpi?
Dengan helaan napas panjang, ia mengusap wajahnya dengan letih. Ia melirik ruangan tempatnya berada, membuatnya yakin ia memang baru saja terbangun dari tidur.
Sial.
Lagi-lagi mimpi itu.
Sudah berapa lama?
Sejak peristiwa itu terjadi…
Sepuluh? Sebelas?
Tidak. Ia masih mengingatnya jelas. Itu terjadi empat belas tahun yang lalu. Dan sialnya ia masih saja mengingatnya sampai sekarang. Bahkan terus menghantuinya dalam bentuk mimpi.
Sasuke menghela napas, mengeyahkan diri dari kasur empuknya. Ia melirik ke samping, dimana sebuah meja kecil terletak manis di samping tempat tidur. Tangannya terulur, membuka sebuah laci dari meja itu. Sorot matanya berubah sendu, saat menangkap sesuatu disana. Ia mengambilnya.
Selembar foto.
Kertas putihnya sudah kusam dan lawas, menandakan foto itu sudah lama dan sering sekali dipegang.
Sasuke mengusapkan jarinya disana, menelusuri wajah seseorang yang tercetak di foto itu. Pandangannya terlihat semakin sendu.
Dua orang pemuda yang terdapat di foto itu, berambut hitam dan pirang, dengan pemandangan latar sebuah halaman gedung universitas tempatnya kuliah dulu. Jelas sekali pemuda berambut hitam disana adalah dirinya, wajahnya terlihat lebih muda namun tak banyak yang berubah meskipun sudah bertahun-tahun terlewati. Namun bukan sosok dirinya yang membuatnya merasa sedih, merasakan sebuah kerinduan. Melainkan sosok pemuda yang berdiri disampingnya. Berambut pirang jabrik, dengan tubuh yang lebih tinggi dan kokoh darinya. Sorot senang yang terpancar dari manik sapphire membuatnya teringat berbagai kenangan bertahun yang lalu. Sangat berbeda dengan sorot sedih yang ia lihat dalam mimpi.
Benar. Dia adalah pemuda pirang sama yang ia temui dalam mimpi.
Pemuda brengsek yang sekarang entah ada dimana…
"Tsk." Sasuke berdecak, meremas lembaran foto itu, namun segera ia merapikannya seakan takut merusaknya. Menghela napas, ia meletakan foto itu di meja, sebelum beranjak dari sana untuk memulai harinya seperti biasa.
.
..
.
"Ini pesanan anda, tuan." Seorang pelayan meletakan secangkir kopi hitam dan sandwich penuh tomat di atas mejanya. Pelayan itu tersenyum manis sebelum melenggang pergi meninggalkannya sendirian.
Sasuke mengecek jam tangan yang menempel apik di tangannya. Berdecak saat seseorang yang ia tunggu masih belum datang juga. Ia mengangkat cangkir di depannya, menyesap aroma kopi kental yang masih panas. Harum kafein yang meresap masuk sedikit meredakan pusing dari kepalanya. Bibirnya menempel di sisi cangkir, dengan hati-hati menyicip cairan hitam yang masih mengepul panas itu.
Ia meletakannya kembali di meja, menggantikannya dengan lembaran kertas koran berita pagi ini. Tak ada yang menarik dari berita di pagi itu, kecuali satu berita tentang pembunuhan buas yang masih belum diketahui pelakunya. Sesekali ia melirik ke luar jendela, ataupun pintu kafe, menanti temannya agar cepat datang.
Dan akhirnya teman yang ia tunggu itu pun datang.
"Maaf, bos menahanku panjang lebar." Sapa Shikamaru, pemuda berambut kuncir mirip nanas yang kemudian duduk di kursi depannya.
"Apa ia memberimu tugas lagi?" Sasuke melirik sekilas pada sahabatnya, lalu kembali menangkap tiap baris kalimat dari koran yang dipegangnya.
"Nah, kau tahulah. Bos kita memang sangat cerewet." Shikamaru menghela napas. Ia memanggil pelayan kafe, lalu memesan beberapa menu untuk makan siangnya.
"Kau sudah lihat berita pagi ini?" Shikamaru memulai pembicaraan seraya menunggu pesanannya datang.
"Hn. Pembunuhan itu benar-benar menguras seluruh perhatian publik. Beritanya masih panas hingga tadi pagi." Sasuke menyerahkan koran yang dibacanya pada Shikamaru, menunjukan kolom berita pembunuhan yang sedang mereka bicarakan.
"Pihak kepolisian meminta agensi kita untuk menyelidikinya. Jiraiya-san menyerahkan kasus ini pada kita." Ujar Shikamaru seraya membaca isi berita dari kertas koran di depannya.
"Kapan? Aku tidak mengetahuinya." Sasuke mengernyitkan alis.
"Kemarin malam. Kau sudah pulang duluan, jadi bos tidak sempat memberi tahumu. Aku menelponmu tentang kasus itu ingat." Terang Shikamaru, ia tersenyum kecil pada pelayan yang sudah mengantarkan makan siangnya, sebelum kembali fokus pada koran berita di tangannya.
"Kau tidak bilang kita akan menangani kasus itu, Shika." Sasuke menyipitkan matanya.
"Eh, err benarkah?" Shikamaru menggaruk kepalanya. Ia menghela napas saat Sasuke masih menatapnya tajam. "Oh ayolah, aku tahu kau senang mendapat kasus ini. Kau bilang ingin menyelidikinya saat pertama kali melihat berita ini. Aku langsung menerimanya karena aku yakin kau juga akan menerimanya."
"Hn." Sasuke memutar bola matanya, meskipun dalam hati dia memang setuju tentang hal itu. "Bagaimana hasil otopsinya? Apa pihak kepolisian sudah menghubungi?"
"Belum. Seharusnya hari ini hasil otopsinya bisa dilihat. Paling lama mereka akan menghubungi kita nanti malam." Ujar Shikamaru seraya melahap makan siangnya.
Sasuke terdiam sejenak seperti berpikir sebelum berkata lagi. "Kita ke sana saja sekarang. Apa kau bawa berkas laporannya? Aku ingin membacanya di jalan." Putus Sasuke segera menghabiskan sandwichnya lalu beranjak berdiri.
"Ha—tunggu, kenapa kau jadi ngebet sekali. Biarkan aku menghabiskan makan siang ku dulu!" protes Shikamaru dengan buru-buru melahap makanannya.
"Kita pakai mobilku saja. Kau hubungin pihak kepolisian dan petugas otopsinya. Mungkin mereka sudah mendapat informasi baru." Tukas Sasuke sebelum berjalan ke kasir membayar makanannya, Shikamaru pun mengikutinya di belakang.
"Mendokusai…"
.
.
"Tiga kasus?" ucap Sasuke terkejut membaca laporan kasus dari polisi. "Kenapa beritanya baru heboh kemarin?" celetuknya heran. Ia membalik lembaran kertas yang di pegangnya.
"Yah, lima mayat kan tidak sedikit. Tentu saja langsung jadi heboh." Ujar Shikamaru mengedikan bahunya. "Dua kasus lainnya hanya memakan satu korban, kurasa wartawan hanya belum mengendusnya." Ia berkata lagi tanpa memalingkan pandangannya dari jalanan. Karena Sasuke tidak sabar ingin membaca laporannya, terpaksa pemuda nanas itu yang harus menyetir.
"Hmm dengan lima korban kemarin, itu berarti sudah ada tujuh orang yang dibunuh. Tubuh korban ditemukan dalam kondisi yang sama. Tsk, mengerikan. Menghancurkan tubuh korban terutama bagian organnya. Apa tujuannya? Mereka di bunuh di tempat yang berbeda, tapi jika melihat kondisi korban jelas sekali pelakunya sama. Bagaimana dengan latar belakang korban, polisi sudah mengeceknya?"
"Sudah, ada di bagian belakang laporannya. Ketujuh korban tak memiliki satu pun kesamaan. Hal itu yang menyulitkan penyelidikan. Kita tak akan bisa menemukan pembunuhnya jika tak bisa menemukan alasannya membunuh ke tujuh orang korban." Shikamaru membalas, ia melambatkan mobil saat tempat yang mereka tuju sudah terlihat.
"Kita sudah sampai."
Mereka pun segera turun setelah mobilnya terparkir aman. Seorang polisi segera datang menghampiri saat melihat kedatangan kedua detektif muda itu.
"Terima kasih sudah datang untuk menemani kami." Sapa Shikamaru menjabat tangan polisi itu. "Namaku Nara Shikamaru, dan dia Uzumaki Sasuke."
"Ya, aku sudah mendengarnya. Terima kasih sudah mau membantu penyelidikan kasus ini. Kalian sudah membaca laporannya?" ujar polisi itu yang kemudian mengantar sang dua detektif masuk ke dalam ruang pemeriksaan otopsi.
"Apa ada perkembangan penyelidikannya?" tanya Sasuke tanpa basa-basi. "Aku ingin tahu tentang latar belakang para korban. Semuanya sangat berbeda, umur, jenis kelamin, pekerjaan mereka juga sama sekali tak berkaitan. Mereka juga tak terlihat saling mengenal. Korban yang terbunuh terlalu random, ini seperti sang pelaku tak memikirkan siapa yang ia bunuh."
"Benar." Polisi itu menghela napas. "Ini yang membuat kami sedikit kesulitan." Ia membuka pintu ruang otopsi, lalu membiarkan dua detektif di belakangnya ikut masuk.
Ruangan itu bersuhu dingin, dengan beberapa tempat tidur di letakan disana. Dua diantaranya terisi oleh sesuatu yang bisa dipastikan merupakan tubuh tak bernyawa, tertutupi oleh selembar kain putih yang lebar.
"Mereka adalah korban pertama dan kedua. Lima korban dari kasus kemarin masih ada di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun pihak forensik sudah bisa memastikan kondisi mereka hampir sama seperti dua korban ini." Terang polisi itu mempersilahkan kedua detektif untuk memeriksanya sendiri.
Sasuke mengernyit jijik saat melihat lembaran kain putih itu di singkirkan dari tubuh korban.
"Ini mengerikan ukh—!" Shikamaru menutup mulutnya jijik, merasa mual harus melihat kondisi tubuh yang sudah sangat tak layak. Hancur tercabik, terutama pada bagian perut dan dada.
Polisi itu pun segera menutup kainnya, lalu berpindah ke tubuh korban yang satunya.
"Luka di tubuh mereka…sangat tidak wajar…" gumam Sasuke mengamati. "Alat apa yang digunakan pelaku untuk membunuh mereka? Maksudku, ini tak seperti luka tusukan, ataupun tebasan benda tajam."
"Kami juga memikirkan hal itu. Daripada ditusuk, ataupun ditebas pisau, tubuh mereka seperti di cabik paksa. Mirip seperti serangan cakar dari binatang buas." Terang polisi itu lagi.
"Maksudmu pembunuhnya adalah binatang buas?! Masyarakat pasti sudah gempar jika ada binatang buas berkeliaran di tengah kota." Tukas Shikamaru.
"Tapi ini terlalu mustahil untuk dilakukan oleh manusia. Manusia tak akan menghancurkan tubuh korbannya sampai seperti ini, apalagi tanpa bantuan alat tajam."
"Tidak, meskipun begitu. Kurasa binatang pun juga meragukan. Mereka akan lebih memilih mencabik dan memakan dagingnya terlebih dahulu, dibandingkan dengan isi organnya." Sasuke berkata tak setuju.
"Lalu?! Manusia tak punya cakar tajam untuk mencabik seperti ini. Kalau bukan manusia dan binatang, siapa lagi yang bisa membunuh mereka?"
Hanya keheningan yang menjawab pertanyaan itu.
Namun kemudian polisi itu tersentak, seperti baru mengingat sesuatu.
"Oh benar juga, ada satu lagi kondisi yang aneh..."
Shikamaru dan Sasuke pun mengangkat kepalanya, dengan raut yang seperti mengatakan 'Apa itu?'
"Saat korban ditemukan, tidak banyak darah di sekitar mayat mereka." Kata polisi itu.
Sasuke mengernyitkan alisnya. "Maksudnya?"
"Yahh... kalian bisa lihat bukan! Bagaimana kondisi mayat yang tercabik-tercabik itu, seharusnya menimbulkan genangan darah yang banyak. Itulah yang membuatnya semakin aneh, ketika ceceran tubuhnya hanya meninggalkan sedikit darah yang telah mengering." Terangnya lebih lanjut.
"Bagaimana bisa?" Beo Shikamaru. "Membedah tubuh korban dan mencabik-cabiknya tanpa meninggalkan bekas darah. Apakah pelakunya menggunakan obat tertentu untuk membunuh korban lebih dahulu, baru mereka membongkar tubuhnya?"
"Pihak forensik juga mengatakan, kalau korban kehilangan banyak sekali darah, bahkan hampir mengering habis, sangat tidak wajar jika kita melihat kondisi korban yang tidak meninggalkan banyak bekas darah. Ada kemungkinan para korban dimutilasi setelah meninggal dengan kehilangan banyak darah."
Sasuke merapatkan rahangnya. "Kasus ini menjadi lebih rumit." Merasa sangat buntu dengan kasus yang dihadapinya sekarang. Shikamaru yang biasanya punya gagasan spontan pun terlihat lebih pendiam. Bahkan seorang jenius pun bisa mengalami jalan buntu.
"Kalian bisa lihat kondisinya langsung di TKP penemuan lima mayat itu, jika mau!" Usul polisi itu. Yah, mungkin ia memang harus memulai penyelidikan ini dari awal, Sasuke harus mengecek tkp dan keluarga korban terlebih dahulu. Mungkin ada yang bisa ia dapatkan dari sana.
"Ng?" Sesuatu tiba-tiba menarik perhatiannya. Ia menyingkap kain yang menutupi lengan korban untuk melihatnya lebih jelas. Tidak seperti korban satunya, kedua lengan korban ini masih cukup bagus kondisinya.
"Ada apa Sasuke?" Shikamaru melirik penasaran gerak gerik temannya.
"Ini…" Sasuke meraba sebuah bekas di kulit lengan korban itu. Ada dua buah bekas titik yang terlihat aneh. Seperti gigitan serangga, namun terlalu besar untuk disebut sebagai sengatan serangga.
"Sebuah gigitan?" Celetuk Shikamaru dari samping yang juga ikut melongok bekas luka itu.
"Kau pikir ini sebuah gigitan?" Sasuke menatapnya ingin tahu.
"Entahlah, itu mengingatkanku pada kucing Shikadai. Man, kucing itu sepertinya membenciku. Gigitannya benar-benar menyakitkan, membuat bekas dua titik merah di tanganku. Perlu tiga hari untuk menghilangkannya" keluh Shikamaru menceritakan pengalaman buruknya dengan kucing.
Sasuke mengernyitkan alis menatapnya.
"Kenapa, kau pikir itu ada hubungannya dengan kasus ini?" selidik Shikamaru.
"Mungkin…apapun harus bisa kita gunakan sebagai bukti kan…" gumam Sasuke. Ia memandang penasaran pada dua bekas titik itu. 'Jika bukan sengatan serangga, kemungkinan besar ini akibat gigitan sebuah taring. Ini semakin mustahil untuk diungkap pembunuhnya adalah manusia. Benarkah binatang yang melakukannya?' pikirnya heran.
'Cakar yang cukup tajam untuk mencabik, dan taring tajam yang bisa meninggalkan bekas huh…'
.
..
…
..
.
'Ckkkitt...ckit...' Suara sepatu kets bergesekan dengan lantai lapangan. 'Dug –dug –dug' diiringi suara pantulan bola yang dimainkan lihai oleh tangan seseorang.
"Hahh-hhh..."
Seringaian mengembang di bibir Menma, dalam posisinya mendribble bola penuh percaya diri. Sedangkan Shikadai yang terlihat sedang 'berusaha' menghadangnya tampak sudah ngos-ngosan dengan keringat yang sesekali menetes dari dagunya.
Dengan cepat Menma memantulkan bola melewati kaki Shikadai yang terbuka, dan untuk mengecohnya ia berputar melewatinya sebelum menangkap bolanya kembali, dan...
"Hup!" Setelah mendrible dan melangkah dua kali, ia menembakkan bola dan berhasil melakukan Lay up dengan sempurna.
"Yeah! Kau hebat Menma." Dengan senyum puas bocah bersurai raven itu menyambut high five dengan teman setimnya yang berambut bob. Sedangkan Shikadai hanya menghela nafas sambil mengusap keringat di dahinya.
Uzumaki Menma, dia adalah anak paling berprestasi di angkatan tahun ini. Bukan hanya berbakat di bidang olahraga, tapi dia juga jenius dalam mata pelajarannya. Merupakan alasan yang membuatnya dapat masuk ke dalam sekolah ini, meski tidak hidup di keluarga kaya yang dapat memberikan sumbangan. Walaupun guru-guru menganggapnya sebagai anak nakal, suka melanggar peraturan dan membantah perintah, hampir seluruh sekolah mengakui jika dia adalah anak yang jenius. Nilainya selalu sempurna walau sering tertangkap basah membolos mata pelajaran.
"Kyaaa~ Sugooi! Dia hebat ya?!" Seru seorang siswi kepada teman lainnya, yang menonton dari pinggir lapangan. Yang lainnya pun mengangguk mengiyakan.
"Hmph~!" Sebuah bibir menyunggingkan senyum meremehkan. Mata sebiru langit itu mengamati bagaimana Menma bermain dengan lincah, mem-passing bola bersama seorang anak berpotongan bob.
"Hah...!" si Bob nekad melakukan shooting sendiri namun berhasil di block keras oleh lawan, sehingga bola meluncur dengan cepat ke arah penonton.
BAGH—suara keras bola yang berhasil di tahan oleh sebelah tangan berkulit tan. Tepat sepertiga meter di depan para siswi yang tertegun melihat bola itu meluncur ke arah mereka.
Semua mata tertuju kepada Boruto. Anak blonde yang berhasil menangkap bola itu tersenyum ke arah lapangan. Ia menghampiri Menma yang menatapnya tajam, dengan santai memutar-mutarkan bola itu di tangannya.
"Boleh aku ikut main?" Tanyanya, memutar bola basket dengan satu jari kemudian mendaratkannya lagi secara berulang-ulang di depan Menma.
"Hei siapa dia?" Bisik siswi yang baru saja terselamatkan dari hantaman bola. "Bukannya dia itu murid baru dari kelas 2B." Jawab temannya. "Rambutnya pirang. Dia keren juga ya." Ujar yang lain.
Menma hanya mendengus, merasa tidak tertarik untuk mengizinkannya. Berniat untuk merebut bola itu ia menggerakkan tangannya dengan cepat. Namun terkejut, mendapati hanya udara kosong yang digapainya.
Boruto terkekeh. Menma berdecak, berusaha lagi mengambil bola yang masih dipermainkan Boruto itu. Tapi Boruto berhasil menghindarinya lagi.
"Aku tidak akan memberikannya padamu... jika kau tidak mengizinkanku ikut." Ujar Boruto.
Menma memutar bola matanya bosan. "Bukannya aku tidak mengizinkanmu... hanya saja kau bukan anggota dari klub basket."
"Kau ketua basketnya bukan? Jadi lupakanlah soal keanggotaan dan bertandinglah melawanku!"
Mendengar hal itu senyuman mengembang di bibir Shikadai. Tidak ada yang bisa mengalahkan Menma sebelumnya. Tapi kelihatannya akan jadi hal menarik, jika bocah yang terlihat hampir kembar itu bertanding.
"Berani sekali kau menantangku." Delik Menma. "Berikan bolanya padaku!"
"Tidak. Sampai kau merebutnya sendiri." Boruto mulai memantulkan bola oranye itu di sampingnya. Menatap Menma dengan seringaian seolah berkata 'Sini! Ayo maju!'
Menma meregangkan tubuhnya ke samping sebelum memasang kuda-kuda, "Kau pikir aku tidak bisa merebut bola lembek seperti itu?!" bersiap segera merebutnya. Mata onyksnya memperhatikan bagaimana bola itu terpantul, kemudian menerjang ke depan untuk menepisnya. Tapi Boruto berputar ke belakang menghindarinya, dan mendribblenya kembali di hadapan bocah raven itu. Pandangannya seolah menantang 'Kau tidak akan bisa menyentuhnya!' dan entah kenapa itu membuat Menma menjadi bersemangat. Selama ini tidak ada yang bisa melawannya bermain basket. Tapi sepertinya bocah pirang itu lumayan.
Mereka melakukan gerakan zig-zag saling menyerang dan menghindar. Sedangkan siswa lainnya hanya memperhatikan dengan heran, kedua anak yang sedang berduet sengit itu.
"Hup!" Ujung jari Menma hampir saja sanggup menepis bola itu. Tapi lagi-lagi Boruto tetap bisa mempertahankannya, padahal Menma sudah menyerangnya dengan gencar. Hingga beberapa waktu Menma mulai merasa kesal.
"Hei Menma! Cepat minta bolanya dari anak baru itu! Permainan kita belum selesai bukan, aku harus membalas yang tadi." Ujar si Little Rock Lee, anak berambut bob, yang sepertinya kurang peka situasi dan kondisi.
"Diam mangkuk! Kau tidak lihat aku sedang berusaha merebutnya!" Teriak Menma frustasi, terus mencoba meraih bola dari tangan Boruto.
"Hahah... menyerah sajalah. Dan biarkan aku ikut bermain di tim Shikadai."
"Diam kau! Yang kau lakukan hanya bertahan, membelakangi bola dengan tubuhmu. Aku pasti bisa merebutnya jika kau juga maju ke depan." Ketus Menma. Dan memang itulah kebenarannya, jika Boruto hanya melakukan pertahanan.
"Hentikan, ini sangat mendokusai!" Tiba-tiba Shikadai datang di antara mereka. "Boruto akan bergabung di dalam timku. Jadi kalian dapat bertanding dalam permainan sesungguhnya."
Mendengar itu Boruto menyeringai senang. "Kalau begitu, ayo kita lakukan!" Ajaknya. Melemparkan bola pada Shikadai, dan melirik Menma yang memandangnya tajam, mengisyaratkannya untuk pergi ke tengah lapangan.
"Kali ini aku tidak akan membiarkanmu menyentuh bola." Tantang Menma dalam kuda-kudanya siap merebut Tip-Off. Dalam basket yang paling penting adalah kerja sama tim, dan tidak seperti tadi, Menma cukup percaya diri untuk mengalahkan siapapun.
"HUP!" Bola dilambungkan, Menma dan Boruto melompat, saling mencuri start. Dan salah satu telapak tangan pun berhasil menggapainya. Bola dipukul keras, meluncur cepat ke bawah yang langsung disambut oleh Lee, si bocah mangkuk. Menma menyeringai, berhasil mendapatkan bola pertama kali, dan segera maju ke depan.
Little Rock Lee yang dihadang Shikadai pun mem-passing bola kepada Menma, selanjutnya dengan mulus Menma menembakkan bola tepat ke dalam ring. Yeah. Three point.
Ia menyeringai puas sambil berlari melewati Boruto "Kau lihat itu!" Bocah blonde itu hanya menanggapinya dengan senyum penuh arti. Skor 3 point yang sangat cepat dicetak olehnya pada menit pertama.
Menma menggiring bola tanpa penjagaan, merasa leluasa untuk menembak sebelum tiba-tiba Boruto sudah ada di depannya. Dengan sigap, Menma men-dribble bolanya ke belakang, sedang kakinya bergerak cepat mencari celah untuk melewati sang pirang. Tapi tentu saja tak semudah itu. Boruto menempel kuat. Bergerak ke kiri, Boruto pun mengikutinya. Bergeser ke kanan, Boruto tetap menempel ketat. Saling bertahan dan menyerang Mengambil kesempatan, Menma memantulkan bola dengan cepat ke kanan. Itu rencananya sebelum—Bam!—Boruto berhasil menepisnya dan meju ke depan.
Shit!
"Tidak akan kubiarkan!" teriak Lee sigap, menerjang Boruto yang mulai melompat. Tapi dengan refleks yang bagus Boruto membelokkan bola itu ke lantai, menggerakan kakinya dengan gesit, dan "Hup!" Tiba-tiba saja dia sudah meraih bola itu kembali. Dengan beberapa kali dribble ia melompat, mengangkat bola dengan satu tangan dan memasukkannya langsung dengan tangan menyentuh ring. KLANG!
Seluruh pemain dan penonton terkesiap.
"Wow! Barusan itu Slam Dunk bukan?!". Ujar seorang siswa yang kebetulan menonton pertandingan menarik itu.
"Dia kan masih smp. Bagimana dia bisa menggapainya." Pikir Shikadai. Slam dunk atau biasa disebut 'Dunk'. Merupakan teknik menembak dengan tangan menyentuh besi ring. Hal itu mengandalkan lompatan yang tinggi, dan tentu saja tergantung postur tubuh seseorang. Sedangkan tinggi Boruto yang masih murid smp, seharusnya sulit untuk mencapai ring itu. Jarang yang menerapkan teknik itu, bahkan pemain dewasa sekalipun.
"Kau lumayan juga." Ujar Menma.
"Thanks." Balas Boruto dengan kerlingan di matanya.
Walau begitu senyuman sinis tetap tersungging di bibir Menma. "Akan kutunjukan, bagaimana basket itu sebenarnya."
Tip-off kembali dilakukan. Namun kali ini Boruto berhasil memotong operan dari Lee.
"Ahh siaal... harusnya aku tidak membiarkannya!" Geram bocah bob itu, berbalik dan berlari kencang mengejar Boruto. Tapi belum sempat mengejar, bocah pirang itu sudah melesat cepat sampai dekat ring dan melompat.
"Apa... lagi?!" Shikadai yang juga berada di daerah menyerang terperangah, melihat bagimana tubuh Boruto melayang di udara, sebelum tiba-tiba bayangan hitam sudah melompat dan menghadangnya.
"Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja?" Menma tiba-tiba melompat muncul di depannya, dan—Dug!—bola ditepis keras dari tangan Boruto.
"Bagus Menma!" Seru Lee.
"Ayo kita balas!" Bersama dengan Lee, Menma menyerang balik ke daerah lawan. Tapi ternyata Shikadai mengejarnya. Anak dengan rambut diikat ke atas itu tengah mengawalnya, sedangkan teman yang lainnya berusaha merebut bola dari tangan Lee.
Lee mendribble bola dengan dua anak yang menghadangnya. Ia memutuskan untuk berbalik dan mem-passing bola pada teman lain.
"Berikan pada Menma." Teriak Lee.
"Apa?" Shikadai terkejut, mendapati Menma berhasil berkelit dari penjagaannya dan menguasai bola.
Dengan gerakan cepat, remaja raven itu menerjang cepat menuju ring. Lawannya pun tak sempat berkelit, terkesiap menghadapi gerakan membabi buta sang raven. Detik berikutnya Menma sudah melompat di udara, dan—
DUNK!
Bola dimasukan cepat ke dalam ring. Para penonton pun terkesiap, menatapnya dengan terpana. Tangan kanannya mencengkeram ring, membuatnya masih bergantungan di atas beberapa detik setelah mencetak skor. Lalu melompat turun dengan santai. Ia saling menepuk kedua tangannya membersihkan debu kotor yang sebenarnya tak ada, dan tersenyum penuh kemenangan.
"SUGEEEH!" Seru Little Lee melompat girang dan memasang dua jempol kepada Menma.
"Jadi dia bisa melakukannya juga." decak Boruto lirih.
Permainan panas itu pun kembali dilanjutkan. Tak ingin kalah, Boruto menerjang tanpa basa-basi. Ia mengincar ketat sang pembawa bola, berusaha merebut bola dari tangan musuh.
Lee berkelit cepat, berusaha mempertahankan bola di tangannya. Namun, Boruto pun tak ingin kalah, seperti mengamuk, ia menepis cepat bola dari sang bocah bob seketika mendapat kesempatan. Lee pun tersentak saat tiba-tiba bola sudah hilang dari genggamannya. Ia menggeram kesal, dan segera berlari mengejar sang pirang. Tentu saja tidak semudah itu, Boruto bisa lolos. Di depan, Menma sudah menunggu kedatangannya.
Bocah berambut mangkuk itu menyeringai senang. Bertukar pandangan dengan Menma. "Yosh, bagus Menma! Dia tak akan bisa lolos dengan kita berdua yang menghadang." Tukas Lee bersiap menjaga sisi belakang Boruto. Ia bergerak maju, mengawasi gerak-gerak Boruto dari belakang, sedang Menma sudah bergerak sigap di depan sang pirang. Pertempuran sengit terjadi diantara ketiga remaja itu. Boruto berdecak kesal, mencari celah untuk kabur dari apitan musuh.
"Kau tak akan bisa lolos!" seru Little Rock Lee, ia mengejar Boruto yang bergerak maju, memastikan remaja pirang itu tetap dalam pengawasannya. Tapi, sial. Tiba-tiba saja keseimbangannya goyah, dan—
"Awas!"
Semuanya tiba-tiba terjadi seperti slow motion, mata bulat sang bocah bob itu pun melebar saat menyadari tali sepatunya terlepas, dan dengan sialnya terinjak, membuat tubuhnya terhuyung ke depan dan menabrak punggung Boruto.
Boruto yang sedang sibuk mendribble tersentak kaget. Bola terlepas dari tangannya dan tubuhnya pun terjatuh ke depan, tak bisa berkelit dari tabrakan itu. Mata sebiru langit miliknya tak sempat melebar saat ia melihat seseorang di depannya dan—
"Chuu~!"
Hening.
Tidak. Horor.
Semua mata menjadi horor, bahkan terdengar beberapa berteriak. Menatap kejadian yang sangat rare di depan mata mereka.
Onyks bertemu dengan Sapphire. Saling menatap horor satu sama lain seketika menyadari apa yang sedang terjadi. Bibir terkunci rapat, saling terpagut satu sama lain dengan posisi tubuh yang tidak elit. Boruto terjatuh menindih Menma, tak menyisakan seinci pun jarak di antara tubuh mereka. Dengan bibir mereka saling terbentur dalam ciuman panas. Yes, a kiss~!
Oh my…
Siapa sangka serangan tak sengaja dari belakang akan menimbulkan masa depan yang fatal.
"Gyaaagh!"
"Hoeek! Hoek!"
Menma dan Boruto dengan segera melompat saling menyingkirkan diri dari masing-masing. Wajah pun menjadi pucat pasi, bahkan menjadi hijau. Perut mereka bergejolak ramai ingin mengeluarkan isinya. Tangan mereka sibuk mengusap-usap seperti ikan kepanasan membersihkan bibir mereka dengan jijik.
"Aku tidak percaya ini! Mereka berdua berciuman." Ujar Inojin masih dengan pandangan setengah shok setengah terperangah. Sementara di sampingnya Chouchou menjatuhkan keripik kentangnya dengan dramatis. Teriakan tertahan terdengar, wajahnya yang tadinya biasa saja, kini sibuk dengan ekspresi lovey dovey. Darah mengucur deras tak bisa di tahan dari hidungnya. Image di atas rate T yang sepertinya tidak perlu di jelaskan berkerumun dalam kepalanya setelah melihat adegan fan service barusan.
Oh… sepertinya ada fujoshi disini. Ckck.
.
.
.
Setelah adegan kissu-kissu-an, permainan pun terpaksa di lanjutan. Tentu saja disertai ramai oleh death glare dari dua pemuda sejoli yang baru saja berciuman panas. Bahkan listrik mulai terlihat menyuarakan kebencian sekaligus rasa jijik antara si pirang dan si raven.
Bola sedang berada di tangan pemain lain, tapi dengan cepat di rebut oleh Boruto. Tim Menma mundur untuk melakukan pertahaan di area tembak.
"Jangan biarkan dia!" Perintah Menma selaku kapten tim, membuat mereka semakin siaga.
Mata biru itu mengamati orang-orang yang maju satu persatu, bibirnya tetap membentuk seringaian kecil, sebelum...
"A-apa?" Mata menma melebar dengan kepala mendongak ke atas. Di atasnya ia mengamati gerakan slow motion dari Boruto yang seperti sedang berjalan di atas udara. Hanya dengan lompatan tinggi Boruto menuju ke ring melewati semua orang yang ada di bawahnya. Dan—JLEB!—si Blonde itu memasukkan bola langsung dengan kedua tangan.
Semua orang tertegun, tak terkecuali Menma.
"Lompatannya tinggi sekali...! apa benar dia manusia?!" Ujar Chouchou, yang menonton bersama Inojin. Setelah ketegangan terlepas dari tubuhnya, gadis gendut itu memasukkan segenggam penuh kripik kentang lagi ke dalam mulutnya.
"Bagaimana bisa?" Lirih Shikadai tidak percaya.
Menma mengepalkan tangannya dengan erat ketika pandangannya bertemu dengan Boruto. Mereka memang hanya bertatapan, tapi entah mengapa Menma merasa si Blonde itu sedang mengejeknya. Death glare pun saling menyahut.
"Kali ini tidak akan kuberikan kesempatan!" Ucap Menma yakin, saat menemukan dirinya kembali berhadapan langsung dengan Boruto yang sedang menguasai bola. Pertarungan sengit pun kembali terjadi saling memperebutkan bola. Semua yang menonton menjadi ikut tegang melihat mereka lumayan lama berduet. Boruto berkelit tapi Menma terus bisa kembali menghadang di depan.
Dengan bola di belakang punggungnya, Boruto melambungkannya ke atas agar Menma terkecoh, kemudian secepatnya berkelit melewati Menma.
"Sial!" Decak Menma kesal. Berbalik untuk menyusul si musang kuning itu.
Namun dari jarak kurang dari 5 meter menuju ring, Boruto sudah melompat.
"Lagi-lagi..." Lompatannya kali ini bahkan jauh lebih tinggi.
"Tidak akan kubiarkan!" Menma ikut melompat menyusul Boruto. Tapi ia terkejut tidak dapat menjangkaunya. Bolanya diangkat oleh Boruto di atas kepala. Anak Blonde itu melirik licik ke bawah, menatap Menma yang hanya mampu melompat di bawah bokongnya. Sial! Jika begini usaha Menma akan percuma.
"He-hei!" Boruto terkejut, mendapati tiba-tiba Menma malah memeluk perutnya.
"Hehehh..." Menma hanya tertawa aneh sambil mengeratkan cengkramannya. Apa boleh buat, ia tidak menyangka akan berada jauh dari atas tanah.
"Ga-wat!" Boruto terbelalak panik, tak bisa mengendalikan tubuhnya yang kini di bebani. Kedua remaja itu pun meluncur jatuh menuju ring, tak bisa bergerak hingga semakin dekat dengan ring dan—
"GYAAAA!"
BRAKK
Si kuning dan si hitam menabrak tiang dengan keras, kemudian terjatuh ke permukaan lapangan dengan saling bertindih.
"Adu-du-duh! Ittai..." Kedua bocah itu sama-sama mengaduh kesakitan. Menma menyingkirkan dirinya dari Boruto. Tapi belum sempat bernapas lega, kedua kelereng beriris beda warna itu harus terbelalak, menyaksikan tiang basket yang di tabraknya oleng secara perlahan, dan akhirnya—Tuwiiing~!
BRAAK—Jatuh dengan dramatis dari tempatnya berdiri.
Krik—Krik—Krik—Bunyi jangkrik seolah terdengar setelah suara nyaring jatuhnya tiang barusan. Sedangkan lalat dengan bahagia keluar dari mulut Chouchou yang terbuka penuh dengan isi lumatan keripik kentang. Inojin bahkan tak bisa berkedip, dan kulit putihnya dengan kinclong menjadi semakin putih saja. Shikadai pun mengerjap dari rasa ngantuknya. Hening~
Yeah. Semua terkejut menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
"Kaliiian!" suara iblis tiba-tiba terdengar. Seketika tubuh Menma dan Boruto merinding, mendengar suara dingin dan berat tiba-tiba muncul di belakang mereka. Kepala kuning dan hitam menoleh patah-patah, dan harus menatap horor, ketika yang ditemuinya adalah sebelah mata yang melengkung lancip, tersenyum mengancam lengkap dengan bayangan api neraka muncul sebagai background. Si pirang dan si hitam pun menyusut kikuk. Haleluya~!
"A-ampuni kamiiiii... kami tidak sengajaaaa!" pekik kedua remaja itu memohon ampunan pada si orang-orangan sawah bernama Kakashi yang kini menatap marah.
.
lol
.
"Menyebalkan." rutuk Menma kesal. Sementara tangannya terus menata kardus-kardus berdebu yang berisi peralatan usang.
"Hatchi!" Boruto juga melakukan hal yang sama tidak jauh darinya. "Ohhok—! Debunya banyak sekali." Rongga hidungnya terasa digelitiki dari dalam dan itu membuatnya bersin berkali-kali. Sial, kenapa ia harus berurusan dengan benda kotor berdebu seperti ini?!
Uh, oh, siapa suruh merusak tiang ring basket? Bisikan suara setan terdengar.
Yeah, itulah akibatnya jika merusak sarana sekolah. Menma dan Boruto pun harus bersuka ria untuk membersihkan gudang olahraga setelah bel pulang sekolah sebagai hukuman. Mereka harus tertahan di ruangan ini berdua, dengan rutinitas penuh debu yang menyebalkan. Yah, berkencan setelah pulang sekolah kan tidak buruk? Uhuk, tentu saja disertai death glare berdebu.
"Jangan mengeluh dan segera selesaikan agar kita cepat pulang!"
"Hei kau juga mengeluh! Jangan seenaknya memerintahku, berisik." Sela Boruto tidak terima. Sementara pikirannya yang lain terus merutuki Kakashi, selaku guru yang menghukum mereka. Harusnya pria nyentrik yang hanya 5% wajahnya terlihat itu mencari cara, agar dia tidak terkena hukuman. Bukan malah sebaliknya, turun tangan sendiri untuk memberi hukuman.
"Ini salahmu! Harusnya kau tidak memaksa untuk ikut bermain."
"Kenapa kau malah menyalahkanku?! Jika saja kau tidak menghalangiku, tidak mungkin kita akan menabrak tiang."
"Kau hanya ingin pamer bukan?" Boruto menghentikan pekerjaanya dan menoleh ke arah Menma.
"Aku tahu kau tidak suka padaku. Tapi jangan menuduhku seenaknya."
Menma balas menatapnya.
"Lalu kenapa kau memaksakan diri dengan melompat setinggi itu? Kau ingin mengambil perhatian dari semua orang? Hah!" Tuduh Menma lagi.
"Memang apa salahnya ingin diperhatikan? Aku tahu, kau marah karena kalah dariku dalam permainan basket yang kau banggakan itu?" Balas Boruto menyeringai tak ingin kalah.
Menma memalingkan wajahnya dan sedikit menggeram. Memang kenyataannya dia kesal dengan kekalahan. Belum ada yang pernah mengalahkannya. Di sekolah ini dialah yang paling unggul. "Pertandingan kita masih belum selesai. Kau pikir aku akan kalah semudah itu, apalagi dari tukang caper seperti dirimu!"
Boruto mulai merasa kesal. Membuatnya ingat, apa yang dilakukannya dulu untuk menarik perhatian seseorang. Membolos sekolah, berkelahi, tidak mengontrol kekuatannya, bahkan mengusili guru, dulu sering sekali ia lakukan. Semua itu dilakukannya hanya untuk menarik perhatian dari ayahnya. Hanya ingin dimarahi oleh ayahnya saja tidak tercapai. Yang ada... ibunya cemas dan neneknya ikut pergi menghadap guru menasehatinya. Dan sekarang Boruto sudah berhenti melakukan itu, karena semuanya hanya berakhir percuma.
Lalu apa yang diketahui bocah di depannya ini? Dia tak tahu apa-apa, tapi seenaknya saja menilainya.
Walau begitu ia merasa seperti dihadapkan oleh dejavu. Bukan karena tanda lahir yang sama, tapi karena Menma memiliki beberapa sifat yang persis seperti dirinya. Bertatapan dengannya membuatnya merasa seperti bercermin.
"Cih! Dari pertama kali bertemu, aku tahu kalau kau menyebalkan." Decak Menma.
Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang lain dari Boruto yang tidak bisa ia mengerti. Dari pertama kali ia melihat Boruto turun dari mobil, sampai sekarang. Menma menafsirkan itu sebagai sesuatu yang menyebalkan. Dua pasang garis di pipi itu menyebalkan, aura yang dipancarkannya itu menyebalkan, dan seringain itu juga menyebalkan. Rasanya hanya bertatapan dengannya pun sangat menyebalkan.
"Katakan saja! Kau hanya ingin kuhajar bukan?" Boruto mulai berdiri dari duduknya. Menma pun ikut bangkit. Tinggi mereka sejajar tanpa selisih jika berhadapan seperti ini.
"Sebaliknya. Akulah yang tidak sabar untuk menghajarmu." ketusnya balik, merenggangkan otot-otot tangan hingga berbunyi gatal ingin memukul. Menma sebenarnya juga mengikuti klub judo, dan telah memenangkan olimpiade beberapa kali. Tentu saja ia yakin dapat menghajar anak blonde di depannya ini. Berkelahi sudah menjadi makanan kesehariannya.
Sedangkan Boruto hanya menyelipkan tangan di saku celananya, dengan menyeringai kecil.
Merasa diremehkan, Menma pun menyerang duluan. Tangan kanannya yang terkepal meluncur untuk meninju Boruto. Tapi Boruto menghentikan tinju itu dengan tangan kirinya. Tidak sampai disitu, tangan kiri Menma meluncur ke bawah, menargetkan perut Boruto. Tapi tidak disangka Menma, hanya dengan menunggingkan pinggulnya, Boruto berhasil lolos dari pukulannya.
Boruto menarik tangan kanan Menma yang dicengkramnya, sehingga remaja raven itu terhuyung ke depan. Dan seketika lutut Boruto bertindak menghajar perut Menma beberapa kali, lalu melemparkannya ke belakang.
"Akh—!" Menma merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. Keseimbangannya cukup kuat untuk tidak jatuh di atas lantai. Hanya saja ia membungkuk sambil menahan sakit. Dengan sedikit rintihan Menma kembali bangkit. Kemudian kembali menyerang...
...
Punggung Boruto menabrak susunan kardus setelah terdorong beberapa langkah. Aktivitas perkelahian membuat suara gaduh di dalam gudang itu. Yang seharusnya bertugas membersihkan gudang olahraga, tapi malah membuatnya menjadi lebih berantakan. Ruangan ini seperti kapal pecah sekarang.
BRAKK
Boruto menghindar dari tendangan Menma, sehingga kardus-kardus di belakangnya yang menjadi korban hantaman kaki kuat remaja itu.
Seperti sebelumnya, Boruto berhasil menggagalkan tinju dari Menma. Dan dengan segera balas memukul pipi remaja onyks itu. Menma pun terjatuh ke lantai terkena serangannya.
"Bagaimana? Sekarang kau sudah babak belur." Ujar Boruto, menatap ke bawah pada Menma di bawahnya.
Remaja onyks itu meludah ke samping. Tidak disangkanya dirinya akan kalah dalam bertarung satu lawan satu seperti ini. Bocah pirang itu kuat. Tapi ia tidak akan menyerah.
"Masih mau lagi?" Boruto mendekati Menma.
Bukannya takut, remaja raven itu malah menyeringai licik. Tiba-tiba saja Menma berbalik tengkurap, menggunakan kedua tangannya sebagai ttumpuan dan memutar kaki kirinya menyapu kedua kaki Boruto dengan telak.
Boruto pun terhuyung ke belakang. Seketika Menma bangkit dan menindih Boruto di atas lantai. Beberapa kali pukulan telah Menma layangkan pada wajah Boruto. Tidak tinggal diam untuk dipukuli, tangan kanan Boruto menangkap tinju yang akan mengenai wajahnya kesekian kali. Kemudian membanting tubuh Menma kesamping dan membalikkan keadaan.
Seperti halnya yang di lakukan Menma tadi, Boruto juga menindih dan menghajar wajah Menma. Di pukulan kesekian ia meluncurkan tinjunya namun berhasil di hindari, membuatnya menghantam lantai di samping kepala Menma. Kedua remaja itu bernafas naik turun dengan tempo yang sama.
Boruto menatap Menma yang juga menatapnya tajam dengan beberapa luka di wajah.
Boruto tidak menyangka, berkelahi dengan bocah raven ini akan menguras tenaga. 'Cih!' Ia mengumpat dalam hati. Walaupun sudah babak belur, mata onyks itu tetap saja tajam menatapnya. Boruto pun enggan menyingkir dari atas Menma. Tak ingin mendapat resiko kena serangan lagi dari sang raven. Paru-parunya masih kembang kempis mengisi udara, dengan tempo yang semakin tenang. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Mengernyit saat merasakan udara disekitarnya tercium sedikit manis, membuatnya tertarik untuk menghisap udara itu semakin dalam. Tanpa disadari, ia mendekat ke arah Menma.
Menma yang masih dalam tahap mengumpulkan tenaga mengernyit heran, mendapati Boruto seperti sedang mengendus tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan? Menyingkir dari atasku." Perintah Menma dingin.
Mata biru itu menangkap goresan luka kecil di dahi Menma, yang entah sejak kapan meneteskan cairan merah. Tak hanya itu, lengan Menma sepertinya juga berdarah. Itu hanyalah luka kecil. Tapi aroma manis yang terasa, memenuhi indra penciumannya, seakan sedang mengusik gatal remaja pirang itu. Selain itu aroma familiar yang juga terasa membuatnya merasa sedikit tak asing dengan aroma darah Menma.
"Kau berdarah..." Gumam Boruto pada remaja pirang di depannya. Tapi mata biru itu seperti sedang terbius sesuatu, tidak menatap ke arah sepasang onyks di depannya. Menma mengkerutkan alis saat menyadari pandangan bocah pirang itu menjadi aneh.
Boruto menggelengkan kepala beberapa kali untuk menyadarkan diri. Tidak mungkin hanya karena sedikit darah dari luka itu sanggup membuatnya terbuai. Tapi aroma itu, aroma darah yang sangat manis… sangat berbeda dengan manusia yang biasa ia temui. Sangat manis... dan unik. Berbeda. Entah apa yang membuatnya penasaran dengan rasanya. Ia ingin merasakannya. Mencicipi rasa manis dari cairan merah itu…
"Hey, aku bilang minggir!" ketus Menma lagi saat Boruto masih menindihnya. Ia mendorong tubuh Menma dengan tangannya. Namun bukannya menyingkir, remaja pirang itu malah menarik tangan Menma. Manik onyks Menma pun melebar saat melihat Boruto mengendus tangannya. Tidak, bukan tangan, tapi mengendus bagian lengannya yang terluka dan meneteskan darah. "Hey, apa yang—
Lick. Satu jilatan. Satu jilatan kecil dilakukan oleh pemuda pirang itu, seperti sedang mencicipi cairan merah yang mengalir keluar dari luka di lengan Menma. Rasa yang sangat manis segera melumer di dalam lidahnya. Boruto meneguk ludah berat, belum pernah sekalipun ia merasakan rasa semanis ini. Ia ingin lagi. Ia ingin merasakannya lagi.
Menma menatap ngeri saat Boruto menjilat luka di lengannya. Seperti kucing, tak menyisakan satu pun tetes darah terlewati oleh lidah remaja pirang itu.
"Sudah cukup!" Merasa risih, Menma mendorong sekuat tenaga agar Boruto menyingkir. Tapi tubuh itu kokoh tak bergerak sama sekali. "Oi, hentikan! Uh—" ia menggeliat risih, berusaha menyingkirkan lengannya dari jilatan Boruto. Tapi lengannya dicengkram kuat, dan lidah itu terus menjilat tiap darah yang menetes. "Uh—O-oi!" Menma mencoba protes. Luka di lengannya terasa panas. Sensasi geli terasa saat Boruto menjilatnya. Sial. Ada apa dengan anak ini?!
Manis…
Sangat manis. Darahnya sangat manis…
Boruto mulai kehilangan kendali. Ia menginginkan lebih. Ia ingin merasakan lebih banyak rasa manis dari darah sang raven. Hidungnya mengendus aroma harum dari cairan merah itu, mencari titik sumber darah yang lebih banyak. Tubuhnya bergerak semakin mendekat ke arah perpotongan leher Menma. Ia mengendusnya, menjilat kulit mulus dari leher jenjang Menma. Aroma manis itu tercium begitu kental seakan memabukkan.
Manik sapphirenya menjadi sayu tak fokus, secara perlahan berubah menjadi merah menyala. Sel darah tubuhnya berpacu cepat, tekanan darahnya pun naik bersamaan rasa haus yang tiba-tiba meningkat drastis menyerang tubuhnya. Dua taring tajam mulai keluar dari sela bibirnya, sebelum ditempelkan mendekat pada kulit leher Menma. Tak bisa menahan diri lagi, taring itu pun menusuk tajam.
"Hei, mau apa kau? Perg-AARGH!" Kedua onyks Menma terbelalak lebar. Rasa sakit tiba-tiba menyengat bagian lehernya saat sesuatu seperti sedang menggigitnya dalam-dalam.
Gulp. Gulp. Gulp. Tonjolan di leher Boruto pun bergerak naik turun ketika carian merah itu meluncur masuk melewati kerongkongannya. Taring Boruto menembus dalam pada daging leher Menma, membuat luka yang cukup dalam sehingga darah mengucur deras dari sana dan berpindah masuk ke dalam mulutnya. Rasa yang sangat manis segera melumer. Mata merahnya yang tertutupi poni, tersirat bagaimana ia begitu menikmati meminum darah Menma. Memuaskan rasa dahaganya yang belum pernah menikmati darah manusia secara langsung.
Boruto mencabut taringnya dari leher Menma. Perlahan mata merahnya kembali menjadi biru. Pertanda bahwa sekarang ia sudah kenyang walau tidak meminum mangsanya sampai kering.
Begitu kesadarannya kembali ia terkejut. "A-apa yang sudah kulakukan?" Boruto menatap Menma yang sudah tidak sadarkan diri di bawahnya. Dia pun menjadi panik. "G-gawat! Bagaimana ini?! A-apa dia sudah mati? Apa aku baru saja membunuhnya?!" ocehnya merasa kebingungan menghadapi situasi itu untuk pertama kalinya. Sial. Kenapa ia bisa sampai hilang kendali seperti tadi?!
Boruto mencoba memeriksa denyut nadi Menma. Bernapas lega, saat masih bisa merasakaannya pelan. Namun tidak membahayakan. Untung saja ia tidak meminum seluruh darah dari remaja raven itu. Kalau tidak, Boruto tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tak ingin mengambil resiko, Boruto menjilat bekas gigitannya di leher Menma untuk yang terakhir kalinya, menggunakan saliva-nya untuk menyembuhkan bekas gigitan itu. Ia tersenyum puas saat melihat dua titik gigitannya menghilang tanpa bekas. Kemudian menggunakan sapu tangan miliknya untuk membersihkan darah di mulutnya dan leher Menma.
Setelah menghapus jejaknya, ia pun menggunakan kekuatannya. Salah satu jari tangannya terulur menyentuh kening remaja raven itu. Cahaya biru tiba-tiba terlihat berpendar dari dua jari tangannya, menembus dahi sang raven sebelum lenyap dengan sekejap. Ia baru saja menghapus ingatan Menma.
"Fiuh… sudah beres sekarang." Gumamnya bernapas lega, mengusap keningnya yang entah mengapa berkeringat dingin. Dengan begini, ia tak perlu cemas jati dirinya sebagai makhluk penghisap darah akan terbongkar. Yeah, Boruto adalah seorang vampir. Akan gawat jika Menma sampai menyebarkan kejadian ini pada orang lain, karena itu ia harus menghapus jejak gigitan dan ingatan remaja itu.
Tak ingin menambah kecurigaan, Boruto pun memutuskan untuk membawa Menma ke ruang kesehatan, memakai alasan pingsan atau pusing apapun itu untuk menutupi alasan Menma menjadi tidak sadarkan diri sekarang.
.
.
"Eeergh…" Erangan terdengar dari dalam ruang kesehatan.
Jendela yang terbuka dengan tirai di sampingnya, memancarkan warna jingga sang surya yang mulai terbenam. Di atas sebuah ranjang terlihat seorang anak tengah terbaring, menggeliat kecil mulai terbangun. Kelopak onyksnya berkedip beberapa kali, sebelum melihat ke sekeliling. Ruang berdinding putih di sekelilingnya memberi tahunya bahwa ia sedang berada di ruang UKS.
"Akh—ssh!" Menma meringis saat mencoba mendudukkan diri. Remaja raven itu menghela nafas, memijat-mijat batang hidungnya. Kepalanya terhuyung merasakan pusing tiba-tiba akibat kehilangan banyak darah. Ia menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pusing.
"Sial! Apa yang—?" Sekelebat ingatan segera memenuhi kepalanya. Mata onyksnya pun terbelalak kaget. Salah satu tangannya dengan refleks menyentuh bagian perpotongan lehernya. Ia segera melompat turun dari tempat tidur menuju cermin yang ada pada lemari di ruangan itu.
"Huh?" Ia memiringkan kepala, mengekspos bagian lehernya untuk melihat lebih jelas. Terkejut ketika ia tak menemukan apa yang dicarinya dari pantulan cermin itu. Jemarinya meraba-raba lehernya, tapi bekas gigitan yang ia kira sudah menancap lehernya sama sekali tidak ada.
"Apa yang terjadi?" Menma menekuk alisnya bingung. 'Aku yakin dia sudah menggigitku disini, dan bahkan menghisap darahku!' batinnya. 'Tidak mungkin aku salah, rasa sakitnya masih terasa…'
Seharusnya ada bekas lubang gigitan disini, di kulit lehernya. Setidaknya dua titik bekas merah bukti bahwa ia baru saja digigit.
"Tidak mungkin..." Gumamnya tak percaya. Sejak awal ia sudah merasa ada yang tidak beres dengan anak baru itu.
Menma menyipitkan matanya, menatap tajam pantulan dirinya dari balik cermin. Siratan bingung namun penuh rasa penasaran terpantul disana.
"Boruto Namikaze... siapa kau sebenarnya."
.
yo
.
.
Cahaya bulan terlihat teduh menerangi gelapnya malam. Jalanan kota mulai terlihat sepi menandakan orang-orang sudah berada di rumahnya masing-masing untuk beristirahat. Angin berhembus semakin dingin mengikuti malam yang semakin larut.
Di sebuah jalan kecil, yang tak jauh dari pemukiman, terlihat seorang pria tengah berjalan sendirian. Perawakannya tegap dan kokoh, dengan surai pirang jabrik terlihat menyala sangat berlawanan dengan pakaiannya yang serba hitam. Samar-samar di balik cahaya remang, terlihat tiga pasang garis menghiasi kedua pipinya. Ia berdecak, memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket tebal yang dikenakannya. Kakinya pun berhenti melangkah. Ia menoleh, menyenderkan tubuhnya pada dinding pagar jalanan di sampingnya.
Manik beriris langitnya melirik ke samping. "Keluarlah. Aku tahu kalian ada disana." Ucapnya bernada dingin, pada siapapun yang berada di belakangnya.
Ketegangan meningkat dalam keheningan sebelum akhirnya entah siapapun yang tengah bersembunyi itu menunjukan dirinya. Seorang pemuda yang juga memiliki surai jabrik dengan warna coklat gelap keluar dari balik gang kecil. Manik coklatnya balas menatap intens pemuda pirang di hadapannya.
"Kiba." Pemuda pirang itu mengangguk mengenali pemuda yang sudah mengikutinya dari tadi. "Tak kusangka akan mendapat kunjungan dari seorang werewolf dari klan Inuzuka sepertimu."
"Apa yang sedang kau coba lakukan?" Pemuda yang dipanggil 'Kiba' itu tiba-tiba berdesis.
Pemuda pirang itu pun menaikkan alis heran. "Bukankah itu seharusnya jadi pertanyaanku? Kau yang sudah mengikutiku dari tadi."
"Jangan berlagak bodoh, Naruto! Aku tahu kau tahu yang kumaksud." Balas Kiba itu sedikit emosi.
"Apa kau sedang bermain kata denganku sekarang Kiba?" Naruto tersenyum miring. "Untuk apa kau mengikutiku? Tak usah bertele-tele, aku juga tahu kau sudah mengikutiku dari kemarin."
"Kenapa kau menyerang kami?!" Kiba menggeram, manik coklatnya berkilat penuh amarah.
"Apa maksudmu?" Naruto mengeyahkan tubuhnya dari dinding, menatap bingung pada sang werewolf di depannya.
"Jangan berlagak tolol, Naruto! Vampir-vampir busukmu sudah menyerang orang-orangku! Apa yang sebenarnya kalian inginkan! Kalian sudah merusak perjanjian antara kedua ras!" Kiba tersulut emosi.
"Jaga mulutmu anjing bodoh." Desis Naruto. "Klanku tak pernah melanggar perjanjian. Justru tindakanmu ini yang bisa menyulut perang."
"Hah! Kau bahkan tak mau mengakuinya! Atau mungkin vampir-vampir busukmu itu sekarang menjadi brutal karena sang ouji-sama yang bahkan tak bisa mengatur bawahannya!"
"Apa kau bilang?!" Naruto menggeram. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan, Kiba?! Klan vampir tak pernah menyerang para serigala!"
"Kalian sudah menyerang teman-temanku, brengsek!" Dalam sekejap Kiba sudah muncul di depan Naruto, tangannya berubah menjadi cakar besar yang tajam, dengan kuat mencengkeram leher pemuda pirang itu. Taringnya pun berubah menjadi tajam dan besar, digertakan kuat seraya mengingat teman-temannya yang menjadi korban penyerangan mendadak yang dilakukan vampire dua hari yang lalu.
"Kh—" Naruto menahan kuat tangan yang sedang mencengkeram lehernya. Manik sapphire pun dalam sekejap berubah menjadi merah. "Lepaskan aku brengsek!"
"Kenapa kalian menyerang para serigala?!" Kiba menggeram tajam. "Jawab aku, Naruto! Apa kalian ingin menyulut kembali perang yang terjadi dua ratus tahun yang lalu?!"
"Apa yang kau bicarakan, brengsek?!" Naruto membentak marah sebelum dalam sekejap—BUAGH!—ia menendang perut Kiba hingga terbanting jatuh ke belakang.
Beberapa gerombolan manusia serigala dengan cepat bermunculan mengelilingi Kiba yang yang terbaring kesakitan. Mereka menggeram marah, melihat salah satu alpha-nya telah diserang. Satu persatu merubah wujud mereka menjadi serigala besar, dan mendelik garang pada Naruto.
"Cih." Naruto mengusap-usap bekas cengkeraman di lehernya, lalu mendelik tajam pada sekumpulan werewolf di depannya. "Brengsek. Bukankah kalian yang sebaliknya menginginkan perang?! Kau baru saja menyerang putra mahkota klan vampir, sialan!"
"Itu karena kalian dulu yang menyerang teman-temanku, Vampir busuk!" balas Kiba tak kalah emosi. Ia berdiri, lalu merubah tubuhnya menjadi serigala besar berbulu coklat tebal dan menerjang cepat ke arah Naruto.
"Brengsek!" Naruto pun tak kalah seram, taring dan kuku nya memanjang, menjadi sangat tajam bahkan melebihi pedang. Ia melompat menghindari cakaran tajam dari werewolf yang menyerangnya. Lalu menerjang cepat menggunakan kuku tajamnya ia menyerang Kiba.
Namun Kiba berhasil menghindar. Para manusia serigala lain yang berkumpul di belakangnya pun ikut menyerang sang vampire. Naruto menjadi kuwalahan karena di serang ramai, ia mengamuk marah, menyerang tanpa ragu para werewolf yang menyerangnya.
BAM!
Naruto membanting werewolf yang menggigit lengannya dengan keras hingga menabrak tumpukan tong sampan di sudut gang., lalu menghindar ke samping saat serigala yang lain menyerangnya. Ia melancarkan tendangan keras pada serigala itu. Terdengar retakan tulang remuk ketika serigala itu menabrak dinding. "Hentikan ini, Kiba!" Naruto mendelik garang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?!"
"Aku ingin sebuah pembalasan atas luka teman-temanku." Kiba berkata dingin. "Kalian para vampir sama sekali tak bisa dipercaya. Tak hanya menyerang kami, kalian bahkan memangsa kembali para manusia! Ini sudah merusak perjanjian damai yang terbentuk dua ratus tahun yang lalu."
"Apa maksudmu?" desis Naruto dingin. "Bukankah malah kalian yang memangsa para manusia itu?! Para vampire hanya menghisap darah, tidak memangsa dengan sangat menjijikan seperti yang kalian lakukan mencabik-cabik manusia itu."
"Kalianlah yang menjijikan, dasar vampir busuk!" Kiba menggeram marah sebelum menerjang cepat pada Naruto, dan menyerang dengan cakar tajamnya.
.
Grrau
.
.
"Otsukaresama, Uzumaki-san. Hati-hati di jalan."
"Ya, selamat malam." Sasuke mengangguk kecil pada salah satu rekan kerjanya yang masih melembur di kantor, lalu berjalan keluar dari gedung dan pulang.
Ia tak menyangka sudah melembur di kantor hingga sangat larut. Kasus yang ia tangani kali ini cukup sulit, ia harus menguras otak untuk memecahkan tiap bukti yang ia temukan. Seharusnya ia membawa mobil tadi pagi, kalau saja ia tahu akan melembur sampai malam. Mungkin sebaiknya ia memanggil taksi. Mengecek jam di tangannya, ia mengurung niat itu. Masih belum terlalu larut, ia masih sempat untuk mengejar jadwal kereta yang paling terakhir.
Jarak kantor dari rumahnya tak terlalu jauh, dengan kereta ia akan sampai dalam lima belas menit, lalu berjalan selama sepuluh menit dari stasiun menuju rumahnya. Sasuke menghela napas lega setelah akhirnya sampai di stasiun dekat rumahnya. Ia pun turun dari gerbong kereta, sebelum berjalan langsung menuju jalan pulang. Jam di tangannya menunjukan angka di atas sebelas malam, mungkin Menma sudah tidur sekarang. Untung saja ia sempat meninggalkan uang makan malam untuk putranya tadi pagi, jadi ia tak perlu memikirkan anaknya kelaparan.
Jalan menuju rumahnya sudah sepi. Tiba-tiba ia menjadi teringat akan pembicaraannya dengan Shikamaru yang mengatakan kalau pembunuhan sadis itu terjadi di dekat wilayah rumahnya. Yah, tapi itu sudah terjadi beberapa hari yang lalu, ia yakin pembunuhnya sudah berpindah tempat mencari korban yang lain. Lagipula ia menjadi detektif karena sudah tahu resiko bahaya yang akan ia ambil. Kalau tak bisa menanganinya, mana bisa ia menangkap penjahat.
Berjalan santai, ia mengingat-ingat bukti yang sudah ia kumpulkan hari ini di tempat kejadian. Mengkalkulasikan segala kemungkinan yang bisa ia temukan seraya berjalan pulang. Ide spontan bisa muncul kapan saja kan?
Ada beberapa hal janggal yang membuat kasusnya semakin membingungkan. Seperti yang dijelaskan polisi itu, bekas genangan darahnya memang terlalu sedikit untuk ukuran luka yang terlalu parah. Di tempat kejadian juga tak ditemukan benda-benda tajam yang bisa digunakan untuk membunuh korban. Tidak ada bulu atau apapun yang bisa mengindikasikan jejak binatang buas.
Semuanya terlalu aneh, bahkan kondisi tubuh korban juga sangat aneh.
Sasuke menghela napas, ia melangkahkan kakinya melewati tikungan jalan kecil. Rumahnya tinggal beberapa blok lagi.
"Huh?" Kakinya berhenti saat tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang keras. Sasuke melirik ke sekelilingnya, mencoba mencari sumber suara gaduh yang baru saja didengarnya barusan. Rasa penasarannya yang memang tinggi, membuatnya berjalan mendekat mencari sang sumber suara. Alisnya berkerut saat suara gaduh itu membawanya menuju sebuah proyek bangunan yang masih belum jadi. Ia melirik ke sekelilingnya, lalu melangkah mendekati sebuah gang kecil tak jauh dari sana. Kurangnya cahaya lampu membuatnya sedikit kesulitan melihat dalam kegelapan. Ia hendak melongok sedikit pada gang kecil itu sebelum—Wussh!—sesuatu tiba-tiba terlempar di depan matanya dan—BRAKK
"Ap—" Manik onyksnya pun terbelalak kaget. Sontak ia menoleh pada sesuatu—apapun itu yang baru saja terlempar menabrak tumpukan kayu. Kelereng hitam miliknya semakin membola menemukan sesuatu yang tak biasa.
"Serigala?" bisiknya tak percaya, menatap seekor serigala yang ukurannya terlalu besar, bahkan serigala terbesar yang pernah ia tahu. "Apa yang—"
BAM!
BUAGH
Sasuke kembali menoleh kaget ke dalam gang gelap itu. Suara gaduh terdengar keras seperti beberapa orang yang sedang berkelahi, lalu disertai geraman keras seperti suara binatang—tidak. Serigala?
Kenapa ada serigala di tempat seperti ini?
Ia pun menjadi teringat kasus pembunuhan buas yang sedang ia tangani. Pembunuhan yang terlalu janggal untuk ditemukan pelakunya. Jangan-jangan… Apakah mungkin serigala itu yang membunuhnya?
Rasa penasarannya dijawab lagi dengan serigala lain yang juga terbanting tepat di depan kakinya. Sasuke melebarkan matanya, serigala itu penuh luka dan darah. Bukannya takut, pria raven itu malah melangkahkan kakinya maju untuk melihat lebih dekat. Jika pembunuhnya memang serigala, ia harus mengetahuinya dengan jelas. Ia harus melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri.
Dengan hati-hati ia berjalan melewati serigala yang sudah tak sadarkan diri tadi. Manik onyksnya menajam berusaha melihat dalam kegelapan. Suara gaduh dan geraman itu semakin terdengar jelas di telinganya. Jantung berdebar takut sekaligus penasaran.
"Brengsek!"
Samar-samar ia mendengar suara geraman dari ujung gang, lalu diikuti suara bantingan menabrak sesuatu.
"Hentikan ini, Kiba!" terdengar bentakan keras, Sasuke mulai bisa menangkap beberapa bayangan di dalam gelap. Siapa yang baru saja bicara?
Ingin melihat lebih jelas, ia bersembunyi dibalik tumpukan tong sampah, mengintip hati-hati di dalam kegelapan.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
"Aku ingin sebuah pembalasan atas luka teman-temanku." Suara lain terdengar dingin menyahut. "Kalian para vampir sama sekali tak bisa dipercaya. Tak hanya menyerang kami, kalian bahkan memangsa kembali para manusia! Ini sudah merusak perjanjian damai yang terbentuk dua ratus tahun yang lalu."
Vampir…?!
Sasuke terbelalak tak percaya. Omong kosong apa ini?!
"Apa maksudmu?" suara lain kembali berdesis. "Bukankah malah kalian yang memangsa para manusia itu?! Para vampir hanya menghisap darah, tidak memangsa dengan sangat menjijikan seperti yang kalian lakukan mencabik-cabik manusia itu."
"Kalianlah yang menjijikan, dasar vampir busuk!" geraman keras terdengar sebelum diikuti suara gebrakan gaduh, dan sayatan tajam.
Bau anyir darah segera tercium jelas, Sasuke terbelalak ngeri saat menyadari bahwa ia baru saja menginjak genangan darah. Bukan hanya perkelahian, sebuah pertarungan buas sedang terjadi di depan matanya.
BUAGH!
Sesuatu yang besar tiba-tiba terbanting tepat menuju dinding di sampingnya. Tubuh Sasuke pun mematung seketika. Manik onyksnya melebar shok. Ia bahkan tak berani melirik tubuh serigala yang baru saja terbanting tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Klontang!
Sebuah botol kosong tersenggol oleh kakinya dan menggelinding dengan suara nyaring.
Shit. Sasuke meneguk ludah, menyadari bahwa keberadaannya sudah ketahuan.
Serigala coklat yang baru saja terbanting itu berdiri kembali, lalu mendelik garang ke arahnya. "Manusia…" desis serigala itu, membuat Sasuke semakin terbelalak tak percaya mendengar serigala di depannya baru saja berbicara padanya.
"Apa yang dilakukan manusia disini.." Serigala itu menggeram, berjalan mendekat mengintimidasi manusia di depannya.
"U-ukh…" Sasuke mulai menjadi panik, kakinya tersandung ketika berjalan mundur, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah. Pikirannya berteriak panik mencari cara untuk kabur.
Tapi berbeda dengan serigala di depannya, Kiba tak akan begitu saja membiarkan seorang manusia yang sudah melihat sosoknya lolos begitu saja. Gigi besar tajamnya pun digertakan, membuatnya tampak begitu menyeramkan sebelum ia menerjang maju dan menyerang manusia di depannya.
'S-shit!'
Sasuke pun kelabakan bergerak mundur menghindar. Ia mengambil apapun di sekitarnya untuk menyerang serigala buas di depannya.
"Brengsek! Kau pikir benda seperti itu bisa melukaiku?" Kiba menyeringai seram, melirik pecahan botol yang baru saja mengenai kepalanya. Tak berniat bermain-main itu pun menerjang lagi, mengarahkan cakarnya pada tubuh manusia di depannya dan—
BRUAGH
"GAH—!" Darah keluar dari tenggorokan sang serigala saat sebuah tendangan keras tiba-tiba mengenai perutnya. "Brengsek! GRRR!" Kiba menggeram marah pada sang vampire yang baru saja menyerangnya.
Sasuke terbelalak kaget menatap seseorang yang tiba-tiba muncul di depannya dan menyerang serigala yang hendak memangsanya barusan. Sosok tinggi berpunggung tegap di depannya cukup terlihat untuk dikatakan sebagai manusia. Tidak, tunggu, bagaimana dengan vampir yang baru saja mereka sebut-sebut?
"Hentikan omong kosong ini, Kiba! Para tetua tak akan membiarkan ini. Perjanjian sudah rusak. Kalian sudah menyulut perang dengan kami." Sosok yang baru saja menolongnya tadi menggeram dingin.
"Kalianlah yang sudah menyulut perang, vampir brengsek! Aku tak akan memaafkan ini!" geram Kiba mendelik tajam sebelum akhirnya ia berbalik dan berlari pergi dari tempat itu, diikuti para serigala lainnya.
Sasuke masih belum berani bergerak. Gang kecil yang tadinya ramai, kini menjadi sepi hanya tinggal dirinya dan makhluk apapun yang berdiri di depannya.
"T-tunggu!" teriak Sasuke cepat saat melihat pemuda di depannya hendak berjalan pergi. "Tunggu!" Sasuke segera berdiri, dan berjalan mengejar sosok di depannya. "Hey—
Sasuke tak sempat melanjutkan kalimatnya saat tubuhnya tiba-tiba terbanting cepat menabrak dinding, dan sebuah tangan berkuku tajam mencengkeram lehernya.
Napasnya pun tertahan, menatap lebar pada seseorang yang kini mencekik lehernya.
"Kau…" Ia mendengar pemuda di depannya berdesis dingin, lalu mendekatkan wajahnya hingga Sasuke bisa merasakan napas hangat di kulit wajahnya.
"Ukh—" Sasuke mulai meronta saat merasakan organ pernapasannya mulai tak bekerja. Lehernya terasa sakit. Ia menarik tangan yang mencengkeram lehernya dengan sekuat tenaga, namun sama sekali tak berhasil. Mendongak, ia berusaha melihat sosok pemuda yang hendak membunuhnya sekarang.
Rambut pirang jabrik lah yang pertama kali dilihatnya. Sasuke terkesiap saat manik onyksnya menemukan dirinya bertatapan dengan manik sapphire yang terasa sangat familiar. Dimana ia pernah melihat…
Manik hitam miliknya pun melebar tak percaya saat menyadari sesuatu. Tiga goresan. Samar-samar ia bisa melihat setiap ukiran dari wajah pemuda di depannya. Ada tiga goresan luka di pipi yang sangat ia kenal…
"Na…ruto…" bisiknya hampir kehilangan napas. Tidak mungkin. Tidak mungkin pemuda di depannya adalah…
Cengkeraman tangan di lehernya tiba-tiba dilepas, dan pemuda pirang di depannya bergerak mundur menjauhinya.
Sasuke terbatuk sesak mencari oksigen. Tubuhnya merosot ke tanah. Ia mendongak, mencoba menggapai pemuda pirang di depannya. Air mata menumpuk di bola matanya, entah karena rasa sakit yang sedang ia rasakan ataupun karena perasaan yang kini bergejolak sesak di dalam dadanya.
"N-naruto…" Ia mencoba memanggil lagi, namun pemuda pirang itu menjauh. Sekilas ia melihat raut sedih terlihat di balik manik sapphire sebelum lenyap sekejap digantikan dengan tatapan dingin.
"Tu-tung—uhk!" Kepalanya mulai terasa berat. Pandangannya pun menggelap memaksanya kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang ia lihat adalah punggung pemuda pirang itu yang bergerak semakin menjauhnya. Lagi…
Lagi-lagi seperti ini. Seperti waktu itu, pemuda itu pergi meninggalkannya…
Naruto…
.
.
.
.
to be continued... ?
...
[Fro ]] Huwaaahhh! Akhirnya beneran di publish ff labil ga jelas ini #nangisterharu Setelah bergumal dalam kerumitan dunia duta yang kesibukannya kian menumpuk, sampai-sampai fro hiatus satu bulan lebih. Fro akhirnya bisa kembali tampil dalam dunia ffn huhuhu. Tp sekarang fro kembali kemari untuk membawakan sebuah fanfiksi baru. dan, dan, Fro datang bersama seseorang yang saaaangat spesial nihhh sebagai teman seperjuangannn! *narik lengan shin *
[[ Shin] hahahahh... tenang donk Froo tenang. Disini ada author amatiran yang hiatusnya uda parah. Jd gk perlu minder cuma karena RR blom ada updetan #digamparFroo wkwkwk...
Disini ShinKurai, author2an yang tulisannya masih berantakan. Dan akhirnya bersama Froo mendapatkan jalan terang untuk sedikit lebih baik. Well... nulis bareng Froo bs bikin latihan. N rasanya tulisanku jd lebih terkontrol. Froo-SENPAAAII... ARIGATOU! #peluk Froo. Monyongin bibir mau nyium
[Fro ]] E-ehh?! #nahanshin t-tunggu, tunggu shin, tunggu, masa fro mau dicium sih?! Jangan dong, ga boleh, ntr ada yang liat, jadi kissnya di belakang aja #kedip #dilemparsandal hahahhh, malah fro yang harus berterima kasih, karena shin uda mau membantu menulis ini huhu,, salah satu ide di otak fro akhirnya dikeluarkan dan ga menumpuk kadaluarsa berkat bantuan shin xD
Iya Fro tenang kok, hanya saja tagihan apdetan kian menumpuk, disitu terkadang fro merasa sedih #usapingus
[[ Shin] *puk puk puk* Froo jangan sedih..! Ntar aku bantuin juga deh nulis RR (bohong #disambit) disitu jg kadang saya mengerti... gmna rasanya tagihan. tapi aplah daya pikiran masih kusut. Rantai mesin otak masih nyangkut. (ngomong apaan?!) #disambit
[Fro ]] hahahahh, lupakan saja masa lalu~ #digeplak uhuk, gomen2 haha, btw shin, apa menurutmu ff ini sudah mencakup semua persyaratan Opposite party nya? hm hmmm #mikirkeras
[[ Shin] uemmm... *tempelin telunjuk di pipi (mikir ceritanya)* Shin rasa uda mencukupi sihh... tp mungkin bagian antagonis NaruSasunya yg kurang un #kerjab
hAhAhAh... pdhal aslinya Shin lupa persyaratannya apa aja. Tehhe~! #pukuldahi #melet
[Fro ]] ckckck, bagaimana dirimu itu shin? *padahal sendirinya juga sama aja*
yaaahh bagian antagonisnya kita serahkan pada pendapat reader saja, fro sudah pasrah #digeplak tp chapter dua sasu lebih antagonis kok, mungkin...
[[ Shin] bukaaannnn... pikiranku baru aja masuk. Sbnernya mereka cuku antagonis. Kita lihat ajh nanti. # kedipin mata
jadiiiii gimana? Gimana...? ini baru chapter satu, tapii... Apa ceritanya cukup menarik? Apa yg terlintas di benak kalian ya? Apa minnachi sempet berfikir, yg mana bagian Froo dan yg mana bagian Shin? #blink2 ayes
[Fro ]] wahahh, yang bisa membedakan tulisan fro dan shin, kalian the best reader huhuhu xD silahkan tebak kalo bisa, mungkin fro akan memberi hadiah kkk, hadiahnya adalah... ciuman danzo kkk #digeplak #kidding hahah, tebak dulu, mungkin fro akan benar2 memikirkan hadiahnya pfftt
[[ Shin] Ahhahahh... #angguk2 Itu bener, Itu bener. Siapa reader yg bner2 hafal ma tulisan Froo ya? Tp Eh- Froo. Menurutmu gaya bahasa Kamu n Aku bukannya mirip ya? #senyum penuh arti
[Fro ]] kekeke karena itulah aku memilihmu babe~ #evilsmile *benarkah? entah wkwkk* biarkan para reader berpendapat haha
[[ Shin] Jiahhahah... Lagian tulisanku uda sedikit dikit dibenerin ma Froo. N qw jg ikut2an pkai kata 'pun' (dchapter 2)
[Fro ]] jangan spoiler beb, ga asik haha :v oke cuap-cuapnya sampe sini aja, sebelum reader menjadi kesal membaca kerecokan kita shin haha
[[ Shin] Oops! Hehehh... Gomen Gomen... Ngana Khilaf. Jd sampai disini kah? #tengok kanan kiri pada sepi
[Fro ]] ehhh?! uda sepi.. #pundung ya uda lah, bye bye #lambaitangan
[[ Shin] #ikut lambaiin tangan. Bye... mata ashita nee! Jangan lupa review~! #nyengir
[Fro ]] tbc... #pundung
...
