Mari kita mulai cerita ini dengan sebuah pertanyaan sederahana,
—apa itu kebenaran?
Misal, sebagai contoh mudah, aku mengatakan bahwa Bumi itu bulat. Apakah engkau akan mengakuinya sebagai sebuah 'kebenaran'? Jika iya, atas alasan apa?
Karena Copernicus menyatakan demikian?
Karena buku dan guru pengetahuan alam-mu berkata demikian?
Atau karena seluruh manusia di muka bumi juga berpendapat demikian?
Tapi nyatanya—apakah kau pernah memeriksanya sendiri?
Apa kau tahu apa syarat utama agar 'kejadian' bisa disebut sebagai sebuah 'kebenaran'? Itu adalah—observasi. Pengamatan. Seperti pepatah primitif—kau hanya bisa mempercayai apa yang kau lihat dengan mata kepalamu sendiri.
Bagaimana kau bisa menyatakan 'Bumi itu bulat' sebagai sebuah 'kebenaran', tanpa melakukan pengamatan dengan matamu sendiri?
"Tidak mungkin. Lalu bagaimana dengan para ilmuwan, angkasawan yang menunjukkan bentuk Bumi dari luar angkasa? Lalu bagaimana dengan para penjelajah yang mengelilingi bumi dan kembali ke tempatnya berasal hanya dengan terus berjalan lurus?"
Bisa saja mereka berbohong.
Bisa saja gambar 'planet' yang mereka tunjukkan tak lebih dari kelereng yang diwarnai dengan begitu apik. Bisa saja para penjelajah samudera itu diam-diam mengambil jalan memutar, dan mengaku bahwa mereka terus berjalan lurus.
Apa kau sudah mengerti? Kalau iya, bagus. Kalau tidak, dengarkan lebih lanjut.
Dari sini, kita bisa mengambil suatu kesimpulan. Untuk menjadi 'kebenaran', ada satu hal yang lebih penting daripada 'mengalami pengamatan', yaitu—
—'pengakuan'.
"Bumi itu bulat," para cendekiawan berkata, dan tanpa memeriksanya sendiri, umat manusia mempercayainya. Umat manusia pun mengakuinya.
"Kau bisa melayang di bulan," para angkasawan berkata, dan tanpa mencobanya sendiri, umat manusia pun mempercayainya. Umat manusia pun mengakuinya.
Kau mengerti?
Begitulah 'kebenaran'. Begitulah 'kenyataan'. Begitulah 'manusia'. Mereka mengakui sesuatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu, dan menganggapnya sebagai sebuah fakta.
Seperti bagaimana engkau percaya dengan keberadaan Sinterklas, dan lalu melupakannya begitu saja saat tahu bahwa kakek berjanggut tebal itu sebenarnya adalah ayahmu yang memakai kostum.
Seorang manusia akan mengakui apa yang diberitahukan orang lain sebagai kebenaran—hingga ia memeriksanya, hingga ia mengamatinya dengan bola mata sendiri.
Meski begitu, bagaimana jika ia tidak pernah melakukan 'observasi'?
Tentu, untuk selamanya, orang itu, tanpa diragukan lagi, akan mempercayainya sebagai 'kebenaran'.
Pada akhirnya, kebenaran adalah sesuatu yang rapuh. Tak peduli jika ada bohong yang tercampur di dalamnya, selama manusia percaya, selama manusia mengakuinya—itu akan tetap menjadi kebenaran.
—dan kepada kalian yang mulai ragu akan kebenaran yang selama ini kalian yakini, aku akan berbaik hati, dan memastikan satu hal menggunakan kebenaran yang tercetak tebal,
—tenang saja, Bumi benar-benar bulat, kok.
Vocaloid © Yamaha, Crypton.
Bagian dari Mystery Game Project.
Seri kedua yang didahului oleh Saat Bel Berbunyi.
Sebuah cerita misteri dengan dua detektif.
Satu di antara mereka adalah detektif yang sesungguhnya,
Sedangkan yang lain adalah detektif palsu yang diragukan kebenarannya.
Episode ini hanya berupa narasi random yang belum mengenalkan apa pun.
Cerita sebenarnya akan dimulai dari episode selanjutnya.
PROLOG
— xx-xx-xx, xx:xx —
"Jadi pada akhirnya, hanya kita berdua yang tersisa."
—Vila Boneka, ruang tamu lantai pertama.
Rintik hujan. Gemuruh petir. Tangisan angin. Detik jarum jam—semua suara bising di luar sana bercampur menjadi satu, menjadi simfoni pengiring permainan terakhir antara dua boneka terpilih.
Kagamine Len.
Kagamine Rin.
Mereka berdua duduk di atas sofa berbahan kulit binatang asli dengan jahitan ornamen emas berkilau, membentuk garis dan lengkungan abstrak yang tak dapat dipercaya merupakan kreasi tangan seorang manusia.
Saling menghadap, saling menatap, terpisahkan oleh sebuah meja kaca bundar tertutup taplak yang satu pola dengan kulit sofa, bagai diatur sedemikian rupa agar tepat berada di tengah ruangan, di bawah chandelier raksasa yang mengayun pelan akibat udara dingin.
"Salah satu di antara kita adalah detektif, sedangkan yang lain adalah pelaku... sebuah cerita misteri di mana kau tidak tahu siapa detektifnya. Menggelikan. Apa ini masih bisa disebut misteri?"
Di atas meja yang memisahkan mereka, tergeletak dua dari tiga benda yang ditinggalkan dalam wasiat sang kepala keluarga sebagai 'petunjuk utama'—sebuah teka-teki dalam bentuk benda mati yang menunjuk pada sang pelaku, pada ia yang memanggil dirinya OPERA.
Catur yang tak bisa diselesaikan.
Kartu yang tak bisa terpisahkan.
"Bagaimana kalau kau mengaku sekarang? Tidak ada artinya melakukan perdebatan ini. OPERA—sang pelaku utama, otak dari mimpi buruk mengerikan ini, ada di antara kita berdua."
Satu kali lagi, petir menyambar.
Permen berbatang plastik di dalam mulut Rin sudah tak lagi meninggalkan sisa rasa manis. Semuanya sudah lenyap, bersama dengan liur yang ia telan sendiri.
Cangkir berisi kopi hitam di tangan Len sudah tak lagi berisi. Semua rasa pahit sudah ia telan, demi menyambut puncak dari permainan kebenaran terakhir yang akan segera dimulai.
"Kebohongan akan menjadi kebenaran apabila semua percaya. Kebohongan akan mejadi kebenaran apabila tidak ada yang mengetahui kenyataan. Bukankah ini saat yang tepat untuk salah satu dari kita agar bebas dari tuduhan?"
"Sayang sekali—tidak peduli siapa yang masih bertahan hidup setelah ini, tidak peduli apakah ia adalah detektif, pelaku, atau bahkan orang yang tak berhubungan, pasti akan memikul takdir sebagai pembunuh berantai."
—pada akhirnya, yang bertahan hidup, tak peduli siapapun itu, di mata dunia, akan menjadi OPERA yang sesungguhnya.
Sungguh, sebuah cerita misteri yang cacat.
Len menarik napas.
Rin menghela napas.
Kagamine Lenka sudah mati.
Kagamine Rinto sudah mati.
Kagamine Leon sudah mati.
Kagamine Lily sudah mati.
Hatsune Miku sudah mati.
Shirafuji Tonio sudah mati.
Rokumiya Yuuma sudah mati.
Semuanya sudah mati.
Hanya aku dan dia yang tersisa.
Memejamkan mata sejenak, mereka berdua masing-masing bersandar pada sofa empuk dari ruang tamu idaman di vila mewah nan megah puncak gunung ini, di vila yang merupakan rumah asli dari Keluarga Kagamine ini.
—di vila yang merupakan latar dari permainan mimpi buruk ini.
Tanpa diperintah, seolah terhubung oleh ikatan batin, secara perlahan, baik Len mau pun Rin membuka kelopak di saat yang sama. Bola mata mereka saling beradu, dan dalam satu tarikan napas—
—permainan terakhir telah dimulai.
"Mari kita selesaikan permainan gila ini. Aku sudah lelah dengan segala ilusi yang kau tunjukkan. Sudah saatnya untuk membuka kotak kebenaran. Ayo, OPERA—"
" —sebelum boneka menari."
— (o) —
Tanpa menunggu lebih lama lagi, mari kita mulai permainannya.
Sebuah permainan kecil yang kalian sebut teka-teki.
Sebuah permainan kecil yang kalian sebut dengan misteri.
Aku yang mencipta, kalian yang menyelesaikan.
Wahai para manusia terpilih yang diizinkan untuk menyaksikan cerita boneka ciptaanku yang paling menakjubkan.
Apakah kalian sudah siap?
Apakah kalian bisa menemukan Sang Pengendali Boneka Agung, OPERA, yang bersembunyi di balik para bonekanya?
(—atau 'aku' yang berada di antara para manusia?)
Keputusan untuk ikut atau tidak berada di tangan kalian.
Pada akhirnya, kalian hanyalah penonton.
Pada akhirnya, kalian hanya bisa menyaksikan.
Tugas kalian hanya melihat, berpikir, dan menganalisa.
Lalu menyombongkan pemikiran yang kalian anggap benar.
Nah, kepada para penontonku yang terhormat,
Selamat menikmati persembahan terbesar dari Sang Maestro Boneka Dunia, sebuah persembahan pertama dan terakhir dari OPERA—
—Saat Boneka Menari.
Bersambung
Catatan Penulis:
Halo. Elpiji di sini.
Seperti yang sudah saya bilang, akhirnya saya bikin cerita baru dengan tema yang sama seperti sebelumnya—misteri pembunuhan berantai. Kali ini jumlah karakternya lebih banyak (ada sembilan), dan dengan setting yang lebih mirip Umineko, sebuah vila terpencil.
Kali ini juga agak beda dari SBB.
Pertama, ada dua narator di sini—Len dan Rin. Mereka bakal menarasikan cerita secara bergantian. Nah, masalahnya adalah, cuma satu di antara mereka yang benar-benar 'detektif'.
Kebenaran bold dari detektif palsu bisa saja menipu, baik itu di narasinya sendiri atau pun dialog. Mpoz luw. Kalian pusing mikir jawaban, saya juga pusing gimana buatnya. Kita adil. Paling saya langsung kabur secara enggak bertanggungjawab kalo kelewat pusing sendiri. /oi
Jadi, ya... sekarang Len 'bisa aja' jadi detektif beneran, sedangkan Miku yang sebelumnya karakter utama di SBB turun pangkat dan jadi karakter sampingan di sini.
Kedua, saya bakal lebih nyentuh unsur lain selain misteri. Incaran utama saya family sama romance. Romance-nya tentang siapa dengan siapa? Tunggu episode pertamanya, ya. Bukan Len/Rin, kok. Mereka berdua sepupu, soalnya. Gak niat bikin inses.
Ketiga, sebisa mungkin karakter di sini bakal saya kasih trait khusus biar enggak kayak para karakter SBB yang... menurut saya, masih datar abis, dan cuma muncul buat dibunuh atau ngebunuh doang.
Ah, btw, ada OC. 'Kepala keluarga' Kagamine di sini ceritanya adalah kakek-kakek, dan kalian tahu sendiri, gak ada karakter yang cukup tua untuk jadi kakek di Vocaloid. Ah, kapan mereka ngeluarin voice bank kakek-kakek, ya?
Keempat... hmm... misterinya sepertinya masih akan berkutat di closed room dan permainan logika sederhana. Tadinya saya pengen bikin trik alibi, tapi, yah, sulit mampus. Padahal saya udah baca ulang Conan demi ini. Jelas, jawabannya gak akan sama kayak SBB.
Kelima... nama kode pelaku utama di cerita ini adalah OPERA (iya, dicaps semua). Saya udah mempertimbangkan banyak nama—Sang Pengendali, Puppeteer, Operet, Marion, Marionett, Maria, TEATER, sampe yang gak masuk akal kek Susan dan Unyil—dan akhirnya mutusin pake nama OPERA.
(tenang aja, gak ada kode khusus disitu. Bukan anagram atau semacamnya, kok).
Keenam, happy reading, happy thinking, happy reasoning.
Selamat menikmati dan sampai jumpa di episode pertama.
Salam sejahtera dan doa agar harga harga komik turun,
Elpiji.
