Bismillahirrahmanirrahim

.

.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

.

.

Complicated © Kaeru Kodok

.

.

.

.

.

Pair:

SasuHinaNaru

.

.

.

.

.

Genre:

(Insya Allah)Romance-Drama

.

.

.

.

.

Chapter Satu:

Misunderstand

.

.

.

.

.

Summary:

Naruto itu bodoh dan polos, mudah dibohongi. Sasuke itu misterius dan egois, susah dipahami. Mereka berdua datang di saat yang bersamaan, dan membuat kehidupan Hinata berantakan.

.

.

.

.

.

Hyuuga Hinata duduk di atas sofa, menyalakan tv dan mencari saluran berita favoritnya, Eagle Channel, sambil sesekali menyeruput jasmine tea hangat. Seorang pembawa berita cantik berambut pirang yang dikucir kuda menyambut para penonton dengan senyum ramah. Tulisan "Yamanaka Ino" hadir di pojok kiri bawah layar televisi. Ditemani dua temannya, Ino hadir dengan acaranya setiap hari, dari siang hingga sore. Dilanjutkan saat malam dengan acara talk show yang keritis tentang berbagai hal yang terjadi di Negara Api. Bagi penikmat setia channel tv ini, wajah Ino tidaklah asing.

"Kembali lagi dengan kami, pemirsa. Bagi Anda yang akan melewati tol-tol yang menuju maupun meninggalkan Konoha, ada laporan dan pantauan arus lalu lintas Konoha sore ini, yang akan dibawakan oleh reporter kami, Uchiha Sasuke, secara langsung menggunakan helikopter. Berikut laporannya," Ino tersenyum dari balik mejanya.

Hinata menyerengit. 'Uchiha Sasuke?'

Setengah layar televisi langsung teralih ke pemandangan Konoha dari atas, dengan sisa layarnya yang masih menampilkan wajah manis Ino. "Selamat sore, Uchiha-san."

Seorang pemuda dengan headphone besar dan mikrofon di tangan, duduk berjongkok di pinggir pintu helikopter—membiarkan kameramen menyorot pemandangan yang menakjubkan di bawah. Rambut hitam Sasuke berkibar liar, dan suara bising melatar belakangi laporan singkatnya. Sebelum itu, ia memperbaiki sedikit letak headphone. "Selamat sore, Yamanaka-san." Sasuke bahkan harus sedikit berteriak walau sudah menggunakan mikrofon.

Ino memiringkan sedikit arah kursinya—berpura-pura kalau Sasuke benar-benar ada di studio, di sampingnya, dengan laporan arus lalu lintas yang sudah tersedia. "Uchiha-san, bagaimana keadaan lalu lintas Konoha sore ini?"

"Arus lalu lintas sore ini masih terkendali walaupun tetap padat seperti biasa, Yamanaka-san. Kepadatan berawal dari kilometer kedua gerbang masuk Konoha, hingga Tol Kage. Seterusnya, di Tol Mizu hingga Tol Kaze, masih aman terkendali," Sasuke mengangguk kecil pada kamera, mengisyaratkan Ino untuk memberi pertanyaan lain agar kehadirannya di layar televisi tidak sia-sia.

"Apakah ada kendala atau hal-hal lain?"

Sasuke kembali membetulkan posisi headphone-nya. "Setelah tindakan yang mengejutkan dari Mentri BUMN, Sarutobi Asuma, Kamis lalu, tentang kemacetan tol yang tiada henti, sejauh ini tidak ada situasi yang berarti; baik kemacetan atau arus lalu lintas. Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto, melaporkan."

"Ya, terimakasih atas laporannya, Uchiha-san," Ino tersenyum kepada kamera, dan membetulkan arah kursinya ke posisi semula. "Baiklah pemirsa, selanjutnya ada berita mengenai harga Bahan Bakar Minyak yang melambung tinggi. Seperti biasanya, demo menjadi pilihan alternatif warga yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan, di beberapa tempat, aksi anarkis masyarakat berujung maut. Berikut laporan langsung Naara Shikamaru dari daerah pedalaman Konoha yang mengalami kelangkaan BBM. Selamat sore, Naara-san."

Hinata tidak terlalu memperhatikan laporan berita selanjutnya. Pikirannya masih tertuju ke satu hal; Sasuke. Bahkan, alih-alih memperhatikan berita yang dibawakannya, Hinata malah sibuk merenung sambil memperhatikan wajah si reporter. Uchiha Sasuke… sepertinya tidak asing di telinga Hinata. Uchiha Sasuke… akankah ia orang yang sangat berarti di kehidupan Hinata yang dulu, hingga ia membuatnya risau begini? Entalah. Pekerjaannya sebagai novelist professional dan penyanyi kafe magang sudah cukup banyak menyita pikiran Hinata. Tidak ada tempat untuk memikirkan masa lalu jika harus tinggal sendiri di kota besar dan mempunyai tanggung jawab untuk membiayai sekolah adik satu-satunya sepeninggal sang ayah. Syukur-syukur ada Neji-nii yang siap merawat Hanabi.

Tak membiarkan emosi menguasai dan menjadikannya wanita lemah, Hinata lebih memilih menggunakan cara kaum lelaki kali ini; berpikir dengan logika. Bukan saatnya untuk memikirkan masa lalu, tentang Sasuke, atau kampung halaman tempat ia meninggalkan Hanabi dan Neji. Ada novel yang belum selesai, dan satu jam lagi Hinata sudah harus ada di kafe. Hinata harus segera mandi.

.

.

.

.

.

Sasuke bukanlah reporter biasa, begitu pikir Hinata. Setelah seminggu kemunculan perdananya di tv, memantau arus lalu lintas dari atas, Sasuke terus muncul di hari-hari berikutnya, membawakan tema-tema berita yang informatif sekaligus berbahaya. Dua hari lalu, ia kembali memantau dari atas, tapi dengan cara memanjat tebing Hokage. Kemarin, ia melaporkan keadaan sungai Mizu menggunakan speed boat. Dan sekarang, tepat saat ini, ia melaporkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di Selat Nami setelah sebuah kapal tanker yang membawa lima ribu liter BBM, menumpahkan seluruh bawaannya. Sasuke bahkan berani menyelam ke kedalaman lima belas meter untuk melaporkan secara mendetail keadaan terumbu karang dan ikan-ikan di sana. Semua itu ia lakukan bersama sahabat karibnya, Uzumaki Naruto, yang tak pernah lupa ia sebut namanya setelah laporan berita selesai ia bawakan.

"…. Begitulah keadaan di Selat Nami. Saya, Uchiha Sasuke, dan rekan saya, Uzumaki Naruto, pamit undur diri. Kembali ke studio."

Hinata merasa sedikit penasaran dengan orang bernama mirip makanan(1) tersebut.

Sebagai reporter amatir, Hinata akui kalau Sasuke dan Naruto sangat hebat. Mereka sudah langsung dipercaya pihak Eagle Channel untuk meliput secara langsung, dengan cara-cara yang ekstrim, namun sudah menarik banyak perhatian masyarakat. Laporan yang tepat dan informatif menjadi senjata rahasia mereka Sasuke. Didukung dengan pengambilan gambar yang bagus dari Naruto, tak ayal beberapa orang di jejaring sosial mulai membicarakan mereka—khususnya soal ketampanan Sasuke.

.

.

.

.

.

Jam enam sore, Hinata sudah tidak ada apartemen. Komitmen akan pekerjaannya sebagai penyanyi kafe sift malam membuatnya berpendapat bahwa datang beberapa jam lebih awal sudah termasuk upaya untuk menjadi professional. Berbekal gitar elektrik kesayangannya, Hinata pergi ke kafe dengan scooter matic.

Saat tiba di kafe, Hinata menikmati beberapa jam duduk di depan meja bar, sesekali mengobrol dengan Kiba yang terus disibukkan dengan permintaan pelanggan, sambil menunggu gilirannya tampil di atas panggung berukuran 2x1. Sabaku Temari tampak cantik dengan blus ungu tua, tanktop hitam, skinny jeans, dan sneakers di atas panggung. Aburame Shino datang tepat setelah Temari turun panggung diiringi tepuk tangan pengunjung, dan Kiba yang sudah berganti baju dari seragam bartender.

"Jadi, apa yang akan kau nanyikan nanti, Kapten?" Kiba pura-pura melakukan pemanasan otot, meregangkan semua persendiannya seperti yang diajarkan sewaktu SD. Hinata tersenyum.

Saat Hinata, Kiba, dan Shino naik panggung, para pengunjung setia kafe tersebut langsung berdiri dan memberikan tepuk tangan pembuka. "Selamat malam," Hinata menyapa. "Kami akan menemani Anda untuk beberapa jam ke depan. Jadi, nikmatilah hidangan dan suasana di kafe ini." Hinata menarik sebuah kursi mendekat, lalu duduk di atasnya. Mikrofon berdiri di depannya juga ia atur agar pas dengan posisi kepala dan bibirnya. Gitar elektrik Hinata yang berwarna ungu tua dipangkunya, mencari kunci awal yang pas, mengangguk pada kedua Shino yang menjadi drummer dan Kiba yang memegang bass, lalu mulai menggenjreng gitar.

Di lagu pertama ini, sentuhan dari kedua orang yang lainnya tidak terlalu terasa. Hinata dan petikan gitar elektriknya yang menjadi menu utama. Hinata mulai bernyanyi.

"Seandainya bisa terulang kembali saat pertama bertemu antara kau dan aku. "Tak sampai tiga detik setelah Hinata membuka suaranya, penonton sudah tak ingin mendengar suara lain. Mereka benar-benar terbius suara lembut Hinata. "Kau sentuh jemari tanganku, terbuai indahnya kata cinta terucap olehmu. Manis… manis yang kurasa, ku tak rela cintaku berakhir. Kuminta kau katakan cinta saat ku terjaga, adakah kau rasa. Tak seperti diriku kini, cintaku 'tlah hilang.

Sayangnya kini ku tak mengerti. Begitu berat rasa ingin memelukmu. Tapi kuhanya bisa mengingatmu, karena kau tak pernah tahu tentang rasa ini. Hilang… hilang yang kurasa, cintaku kini telah berakhir. Dirimu yang selalu temani khayalku….

Tatap mataku, rasakan tangisku, agar kau tahu. Ouh…. Karena ku biasa denganmu dahulu di setiap waktu. Kuminta kau katakan cinta saat ku terjaga, adakah kau rasa. Kuminta kau katakan cinta saat ku terjaga, adakah kau rasa. Tak seperti diriku kini, cintaku 'tlah hilang. Ouh… cintaku 'tlah hilang. Cintaku 'tlah hilang."

Bernyanyi itu butuh penghayatan, sama seperti menulis sebuah cerita kehidupan (cerpen/novel). Hinata selalu mendapat penghayatan lagu jika bernyanyi dengan terpejam, tapi beda lagi kalau pengayatan membuat cerita. Dan saat membuka mata, ada seseorang yang bertepuk tangan paling keras di antara yang keras, dengan senyum lebar yang ceria dan kagum luar biasa. Bahkan air mata dan ingusnya mengalir di saat yang bersamaan. Uegh.

Orang itu berdiri dari kursinya. "Su… SUGOI, ONEE-SAN(2)!" Teriakannya membuat perhatian semua orang teralih dari Hinata yang terlihat manis dengan skinny jeans, dress pendek, bolero, dan beanie hat(3), ke lelaki yang hanya memakai jeans baggy, blus oranye kotak-kotak yang terbuka, dan kaus kuning terang. Ia terlihat seperti jeruk di antara buah dan sayur yang berwarna gelap, dan semua orang memperhatikannya dengan heran—tak terkecuali Hinata.

Aksi panggung terhenti untuk beberapa saat.

.

.

.

.

.

Saat jarum panjang dan pendek menunjuk angka paling atas, saat semua pelanggan sudah pergi, pemuda jeruk tadi berlari ke arah panggung, dengan senyum cerah mendekati Hinata yang baru saja merapikan gitar. "Onee-san!" Hinata menoleh. "Tadi bagus banget! Nee-san selalu menghayati setiap lagu dengan sepenuh hati. Aku bahkan sampai ingin menangis. Nee-san hebat! Kenapa tidak jadi penyanyi professional saja?"

Hinata tersenyum senang. Belum pernah ia mendapat ucapan selamat yang seheboh ini. "Bagiku, berkomitmen dan menghargai pekerjaanku sudah termasuk professional."

"Hoo…. Shou ka…." Mata pemuda tadi berbinar-binar. "Kalau begitu, aku juga akan menjadi professional dengan pekerjaanku! Yosh!"

Melihat semangat pemuda ini, Hinata tertawa.

"Ne? Nanda? Memang ada yang lucu dengan itu?" Pemuda itu memasang ekspresi kecewa sambil menggaruk belakang kepalanya. Mungkin salting dengan reaksi Hinata.

"Tidak, tidak," Hinata berusaha meredam tawanya. "Tidak ada. Genbatte ne." Hinata mengepalkan tangan di samping lengannya, tersenyum ceria yang manis, lalu mengangkat tas gitarnya. "Aku pergi dulu. Oyasumi."

"Cho… chotto matte!" Belum saja dua langkah, lengan Hinata sudah ditarik kembali. "Aku belum tahu nama Nee-san."

Mendengar itu Hinata langsung menurunkan tas gitarnya, lalu mengulurkan tangan ke arah pemuda itu dengan senyum ramah. "Atashi wa Hyuuga Hinata desu."

Seperti yang Hinata duga, pemuda itu langsung menyambar uluran tangan Hinata—walau sempat bengong beberapa detik karena tidak terbiasa dengan cara kenalan ala Barat. "Uzumaki Naruto desu! Yoroshiku ne."

'Uzumaki Naruto?' Gantian, Hinata yang bengong. "Yo… yoroshiku, Uzumaki-san." Waduh, parah, parah, latah Hinata kumat. Parah. "A-anoo…. Apakah kau…. Apakah kau U-Uzumaki Naruto yang me-menjadi kameramen li-liputan live di Eagle Cha-Channel?"

Haduh! What's wrong with you, Hinata? Kok tiba-tiba kumat begini sih? Pantesan aja kamu nggak ulus casting jari reporter berita.

"I… iya." Melihat mimik dan gaya bicara Hinata yang berubah, Naruto jadi ikutan latah—eh, lebih tepatnya, khawatir. "Anoo… apakah Nee-san sakit? Ayo, kuantar pulang."

"Da-daijobu."

"Ne?"

"Anoo…" Hinata memainkan jarinya—salah satu kebiasaan buruk yang selalu datang setiap ia gugup. Padahal kan ia sudah membayar mahal untuk membeli buku psikologis tentang hal ini! "Aku… a-aku…" Hinata menunduk, wajahnya memerah padam. Haduh, satu lagi kebiasaan buruk. Bawaan lahir kali ya?

Di lain sisi, cowok jeruk itu lagi dag-dig-dug—antara cemas Hinata memang demam, penasaran, nggak sabar sama apa yang bakal diomongin Hinata, dan bingung dengan semua yang terjadi sama cewek manis itu.

"Aku… aku fans beratmu." Akhirnya kata itu terucap juga, begitu melegakan, namun juga begitu pelan. Jangan salahkan Naruto yang mengira kalau yang Hinata katakan adalah "Aku menyukaimu", bukan "Aku fans beratmu". Semua aktifitas outdoor yang ekstrim bersama Sasuke sudah membuat telinga Naruto terbiasa dengan suara-suara keras, tidak dengan volume suara Hinata.

Tak ayal, Naruto lantas memeluk Hinata erat, dan Hinata berada di pertengahan antara pingsan dan sadar. Itu pernyataan cinta pertama yang diterima Naruto. Pantas saja ia sesenang ini.

"Aku… um, kita memang baru bertemu, tapi sepertinya Nee-san orang yang baik. Baiklah, aku terima!"

Haduh, salah, salah! Bukan ini yang Hinata harapkan! Salah! Kenapa bisa jadi begini sih?

.

.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

.

1. Sebenarnya… kata 'Naruto' itu adalah nama 'jajan' tambahan yang ada di ramen itu lho. Yang warna putih-merah/pink bunder-bunder itu lho. Ibaratnya seperti potongan daging ayam di mie ayam. Yah, yang sudah baca komiknya, pas ada pembahasan masa lalu Naruto, pasti tahu.

2. Maksud saya tuh kayak 'Mbak' (ex: "Mbak, yang ini harganya berapa ya?" "Oh, Mbak, tasnya jatuh." "Makanya, Mbak, hati-hati dong kalau bawa motor!") Singkat kata, seperti panggilan umum untuk perempuan yang belum terlalu kenal atau numpang lewat.

3. Topi kupluk, yang sering dipakai Mbah Surip. Entah kenapa saya seneng aja ngebayangin Hinata nyanyi lagunya Geisha dengan dandanan kayak gitu. Momo itu lho, kalau diperhatiin sekilas mirip Hinata :3 *loh*

.

.

.

.

.

Moshi moshi. Annyeong. Halo. Assalamualaikum.

Anoo… maaf saya hiatus lama banget. Pulsa modem abis. Saya kena demam berkepanjangan. Mana balik bawa fic baru lagi. Gomen, yang Simple Harmony saya ada kendala.

Saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau sudah ada fic dengan tema atau judul yang sama. Sumpah, saya nggak ada maksud plagiat.

Lagu yang Hinata bawain itu lagunya Geisha, Cintaku Hilang. Kalau ada lirik yang salah, mohon maaf. Saya nggak ngecek dulu di internet. Dan kalau ada yang nggak suka sama lagu-lagu Indonesia, atau bahkan lagu-lagunya Geisha, saya juga minta maaf.

Fic ini sendiri terdiri dari 1.803 kata (belum termasuk opening dan closing ini). Jadi, ini bisa dibilang fic yang pendek. Ya, saya tahu Anda tidak puas. Tapi, kalau banyak yang minta dipanjangin, insyaallah chap depan saya panjangin. Cuma tolong beri saya semangat untuk rajin-rajin ngetik lagi.

Uung… saya lagi nyari beta reader. Ada yang bersedia? Kalau nggak, jadi editor lah. Kalau ada, tolong langsung kirim email ke: .id. Makasih.

Oia, gaya penulisan saya memang sengaja saya ubah. Kalo ada yang nggak 'sreg', tolong katakan.

Seribu maaf,
Kaeru K.