Naruto © Masashi Kishimoto
Over Again © Harayosaki Ochi
Genre: Romance – Friendship
Rate: K+
Main-character: Uchiha Sasuke, Haruno Sakura
Warning: Canon-filler.
Tanpa suara, Sasuke menghela napas. Sekalinya udara dalam dadanya habis terembus, kepalanya diangkat, mendongak menatap bulan yang malam itu bersinar terang tanpa terhalang awan. Seulas senyum tipis terpoles samar di wajahnya, memikirkan tingkahnya sendiri.
Ini hampir tengah malam, tebaknya dari bagaimana beberapa bagian tubuhnya mulai pegal meminta tidur serta jarak jangkau pendengarannya yang melebar karena suasana semakin sunyi. Namun alih-alih berhenti dan istirahat pada salah satu penginapan di perkampungan kecil yang sempat ia lewati, Sasuke justru menguatkan tekad dan menggerakkan sepasang tungkainya untuk terus melangkah ke dalam hutan lebat yang menjadi batasan Desa Konoha.
Oh, tentu. Belum apa-apa, ia sudah dapat membayangkan tawa keras sahabatnya yang berambut pirang itu jika sampai ketahuan dirinya melakukan ini karena—ugh, rindu.
Uchiha Sasuke sama sekali tidak memasang sikap siaga. Bukan hanya karena lelah dan tenaganya yang semakin menipis, tapi rasa-rasanya masih perlu beberapa puluh atau setidaknya belasan tahun lagi untuk terjadi kejahatan yang terlalu membahayakan. Yang terburuk yang bisa terjadi di hari-hari ini paling-paling hanyalah perampokan. Sebut saja dirinya sombong, kenyataannya Sasuke tidak merasa terancam atau merasa akan kesulitan hanya dengan membayangkan tiga atau empat orang perampok menyergapnya bersamaan.
Namun sekalipun dirinya tidak bermaksud, sulit untuk tidak berhasil mendeteksi dan mengenali chakra yang sangat dikenali serta dinanti untuk ditemuinya. Chakra milik sosok yang membuatnya mengesampingkan lelah dan memaksakan diri untuk meneruskan perjalanan pulang sekalipun tungkainya hampir menyerah.
Kelopak matanya menyipit agar dapat melihat lebih baik. Gerbang desa hanya di ujung jalan, tidak sampai seratus meter dari tempatnya memandang. Jarak lampu di tepi jalan mulai semakin rapat dan membuat sekitarnya lebih terang. Lalu di bawah salah satu lampu yang tidak seberapa jauh dari gerbang desa, berdirilah sosok itu.
Sosok dengan rambut merah muda sebahu dan senyum cerah yang bahkan sudah dapat dikenalinya sekalipun jarak masih cukup jauh membentang. Sebelah tangan perempuan itu terjulur keluar dari jubah malam yang dikenakannya, lalu melambai ringan, seakan tahu benar akan keberadaannya sudah disadari Sasuke.
Sang Uchiha sendiri, menahan ujung bibirnya yang berkedut agar tidak tersenyum terlalu lebar dan berakhir membuatnya nampak bodoh. Sesuatu dalam dadanya menghangat dan keseluruhan perjalanan pulang ini diakhiri dengan lambaian seorang gadis yang membuatnya merasa benar-benar pulang. Sekuat tenaga, Sasuke mengendalikan kakinya agar tidak melangkah lebih cepat atau bahkan berlari.
Ia memang rindu. Lalu kenapa?
.
.
Haruno Sakura bukan lagi gadis kecil yang menyukai orang lain dengan tergila-gila dan tanpa akal. Kendati perasaan itu masih ada dan bahkan tak pernah berkurang, ia mulai menyertakan kepalanya dalam pertimbangan sebelum bertindak. Hanya saja, lelaki dengan gores seperti kumis kucing di pipi yang tiba-tiba datang menyuruk saat dirinya sedang bekerja itu membuatnya bimbang. Sahabatnya sejak kecil itu datang dengan menyebut dirinya membawa berita besar—
—bahwa sosok itu akan pulang hari ini. Sosok terakhir dalam klannya itu akan pulang malam ini.
Gadis itu segera menyelesaikan semua urusannya sebelum matahari terbenam dan mengambil mantel lalu menyusur jalan menuju gerbang desa saat langit mulai kelam. Ia tahu bahwa sahabatnya yang berwajah seperti rubah itu sudah memperingatkan dirinya bahwa malam bisa sangat panjang dan pemuda itu pun tidak tahu pasti pukul berapa tepatnya kawan mereka itu akan pulang. Tapi sang gadis merah muda itu hanya tersenyum dan mengangguk. Menunggu bukanlah sesuatu yang berat baginya. Gadis itu berpengalaman.
Semuanya terasa begitu mudah dan natural selama ia menunggu. Sakura baru mulai merasa bodoh saat sosok itu muncul di ujung jalan. Dadanya mulai berdebar semakin lama semakin kencang. Dalam hati gadis Haruno itu mulai bertanya pada dirinya sendiri, tentang setelah ini harus melakukan apa dan bicara apa.
Yang selanjutnya terjadi, adalah sesuatu yang dilakukannya karena terasa seperti hal yang benar dilakukan. Sebelah tangan Sakura dijulurkan keluar dari mantel untuk melambai kasual, sebelum diturunkan dan dimasukkan kembali ke dalam mantel. Degup dadanya semakin tidak karuan, wajahnya terasa panas, bibirnya terasa gatal untuk digigit dan kakinya gatal untuk mengetuk-ngetuk jalan karena gugup.
Suara dalam kepalanya melontarkan ledekan untuk tenang dan jangan bersikap seperti remaja muda.
Tapi sulit.
Sekarang Sakura bersyukur dirinya mengenakan mantel. Bukan karena terlindung dari udara dingin, tapi setidaknya ia bisa meremas jarinya sendiri tanpa terlihat. Waktu seakan berlalu begitu cepat dan Sasuke sudah berhenti menapak, tepat di hadapannya. Baru sekarang gadis itu menyadari bahwa dirinya sangat, sangat rindu. "Hai," sapanya, tidak berhasil menemukan hal lain untuk diucapkan.
"Hai." Bibir pemuda itu berdenyut membentuk senyum samar sebelum sorot matanya beralih melembut. "Kau menungguku?"
Kelopak sang gadis mengerjap dan matanya melebar dengan pertanyaan itu. Ia selalu tahu Sasuke bukan penggemar basa-basi, namun ia pun tidak menyangka pertanyaan semacam itu akan terlontar dari sang pemuda. "Iya—" Tidak! Ia tidak mau mengiyakan dan membuat dirinya sendiri terdengar memalukan! "—tidak, maksudku—" Tapi berkata tidak pun akan membuat dirinya terdengar seperti tak lagi peduli pada Sasuke! "—maksudku, begini, aku, maksudku, aku memang—"
Geragap sang gadis dihentikan dengan telapak Sasuke yang mendarat di kepalanya. Pemuda itu tersenyum tipis, seolah berkata bahwa tidak apa-apa jika gadis itu tidak dapat mengutarakan maksud maupun perasaannya dengan baik. Karena, hey, bukankah dirinya pun begitu? Selama mereka berdua mengerti maksud satu sama lain, maka menurutnya tidak ada masalah. Sasuke mengerti bahwa gadis di hadapannya itu memang menunggu, sekalipun ia tidak mengerti kenapa Sakura harus mengelak kenyataan yang sudah sama-sama mereka ketahui itu. "Terima kasih," ucapnya pelan seraya menepuk ringan puncak kepala merah muda itu, membuat Sakura sekali lagi terbelalak dan tersenyum sarat malu.
Sekalinya sang Uchiha menurunkan tangan, pemuda itu mengedik pada gerbang desa, mengusulkan keduanya untuk mulai bergerak. Sakura tanggap dan mengangguk sebelum tungkainya mulai menapak, serta sengaja memberi jarak yang cukup antara dirinya dan pemuda di sebelahnya. Bukan karena keinginannya sendiri, tapi menghargai Sasuke yang setahunya tidak terlalu menyukai kedekatan fisik. Lagipula dirinya bukan siapa-siapa. Hanya karena Sasuke meminta maaf dan berterima kasih padanya, juga mengetuk dahinya sebelum pemuda itu pergi, bukan berarti dirinya adalah sosok istimewa. Haruno Sakura tahu itu dan berusaha menjaga hati maupun harapannya sendiri. Ia bukan lagi gadis kecil yang dengan bodohnya merasa istimewa hanya karena mereka berada tim yang sama, kemudian merasa terluka saat mendapati bahwa itu hanya perasaannya saja.
Uchiha Sasuke, justru berpikir sebaliknya. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu berjalan terlalu jauh di sampingnya, menurut penilaiannya. Pemuda itu juga tidak mengerti kenapa gadis itu bersikap biasa saja seperti tidak ada apa-apa di antara mereka, sedangkan semua yang dikatakan dan dilakukannya sebelum ia pergi itu adalah wujud pernyataan bagaimana gadis itu sangat berarti bagi dirinya. Bukan, yang benar adalah bagaimana gadis itu sudah dianggap bagian dari dirinya. Gadis Haruno itu juga nampak dengan kesadaran penuh mengendalikan jarak di antara mereka, bagaimana gadis itu setengah berjengit lalu kembali memberi jarak setiap kali langkah Sasuke yang berlagak kasual itu membuat jarak di antara mereka menyingkat.
Tidak ada cara lain, pikir Sasuke. Pemuda itu perlahan menjulurkan tangan untuk meraih sebagian kecil punggung Sakura, lalu mengarahkan sosok itu untuk mengikuti langkahnya berbelok di dua gang kemudian. "Lewat sini saja," usulnya setengah bergumam.
Sakura terlalu terkejut untuk mengatakan apapun. Sasuke tahu benar Sakura sudah mengenalnya dengan baik untuk tidak repot-repot bertanya kenapa dirinya memilih jalan ini. Pemuda itu pun bersyukur atas situasinya, karena jika sampai pertanyaan itu dilontarkan, Sasuke juga tidak memiliki jawaban yang sesuai. Ia melakukannya semata-mata agar mereka bisa berjalan bersisian dengan lebih rapat. Serta sengaja menahan tangannya untuk bertahan di punggung Sakura lebih lama agar gadis itu mengerti bahwa Sasuke sama sekali tidak keberatan jika mereka berjalan bersisian. Saat tangannya diturunkan, Sasuke menghela napas lega tanpa suara, karena akhirnya gadis itu tidak lagi berjengit menjauh.
Gadis itu sendiri sedang merasa kepalanya berkecamuk. Sakura tetaplah Sakura yang tidak berpikir panjang jika sudah mengenai hal-hal seperti ini. Ia hanya berencana untuk menunggu dan menjemput, tanpa merencanakan lebih jauh. Sekarang dirinya kebingungan. Apakah ia harus berhenti di rumahnya sendiri lalu mengucapkan salam perpisahan dan keduanya berpisah begitu saja? Akan aneh, karena, hey, ia datang menjemput Sasuke, akan aneh kalau akhirnya ia membiarkan pemuda itu justru mengantarnya lalu pulang sendirian. Tapi membayangkan dirinya mengantar Sasuke sampai kediamannya sendiri lalu mengucapkan salam perpisahan kemudian menyusur sendiri jalan pulang pun terasa aneh. Bagaimanapun juga ia perempuan. Sangat aneh membayangkan dirinya mengantar Sasuke, sekalipun sesungguhnya tidak keberatan.
"Kau sudah makan malam?" tanya Sakura pelan. Hampir terlalu pelan. Salahkan malam yang sudah sangat sunyi dan membuatnya sungkan untuk bicara terlalu keras.
"Belum. Aku sudah di hutan perbatasan sejak senja." Pandangan Sasuke tetap tertuju pada jalan di hadapan mereka. Sesekali melirik beberapa lampu jalan yang sedikit lebih redup dari lampu yang lain.
Sasuke hampir tidak mengerti waktu gadis di sebelahnya itu tertawa kecil. Ia menoleh dan menatap Sakura dengan pandangan tanya. "Kau harus makan, Sasuke," kata Sakura setelah bahu gadis itu berhenti berguncang karena tawa. "Kau pasti lelah dan lapar. Tapi aku ragu kau punya persediaan makanan di rumahmu, mengingat kau pergi lama sekali. Selarut ini juga sudah tidak ada toko yang buka selain kedai minum." Nada geli di antara kalimat Sakura mulai hilang. Tawanya sudah mereda, rupanya. "Mau makan di tempatku? Tadi siang aku masak kari." Baru di kalimat terakhir, Sakura akhirnya mendongak menatap pemuda di sebelahnya, lengkap dengan sebuah senyum manis terpoles di wajah.
Diam yang diciptakan Sasuke itu bukan karena dirinya berpikiran untuk menolak. Sama sekali tidak. Ia tahu semua yang dikatakan Sakura memang benar, dan demi apapun, pemuda itu tidak akan pernah lagi menolak menghabiskan waktu dengan Sakura jika tidak terpaksa. Ia hanya berpikir. Ini tengah malam dan Sakura adalah perempuan sementara dirinya laki-laki. Sekalipun tidak ada masalah pada keduanya, apakah tetangga Sakura akan berpikiran sama? "Aku tidak keberatan." Setelah berpikir, Sasuke merasa tidak akan apa-apa. Toh mereka rekan satu tim sejak kecil. "Terima kasih," tambahnya.
Senyum Sakura melebar dan gadis itu mengangguk antusias, membuat helai merah mudanya bergoyang. Detik selanjutnya, mereka mengembalikan perhatian masing-masing ke jalan di hadapan. "Sama-sama, Sasuke."
Dan perjalanan mereka menuju kediaman Sakura tidak diiringi terlalu banyak percakapan, selain pertanyaan sederhana yang kadang terlontar dari satu sama lain. Namun keduanya sama sekali tidak keberatan. Nyaman, bahkan.
.
.
Sejak dulu Sasuke tidak pernah termasuk dalam golongan orang yang makan dengan cepat, sekalipun ia laki-laki. Maka Sakura tidak heran saat keduanya selesai makan dan meletakkan sendok mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.
Haruno Sakura tumbuh dalam dunia yang bisa dikategorikan dalam berisik. Ibunya cerewet, ayahnya pun tidak pendiam. Teman satu timnya yang lain, Naruto, berisiknya bisa melebihi kumpulan ibu-ibu yang sedang bergosip. Sahabatnya yang lain, Ino, cerewetnya bukan main dan tidak akan pernah kehabisan topik. Teman satu timnya yang baru, Sai, bisa tidak berhenti sama sekali jika sudah bersemangat menceritakan suatu kisah. Itu masih belum semuanya dan Sakura memang telah terbiasa tumbuh dan tinggal dalam keadaan seperti itu. Justru karena terlalu terbiasa hidup dalam keramaian, ia kadang merasa dirinya canggung dalam keheningan.
Tapi bersama Uchiha Sasuke merupakan pengecualian.
Oh, tentu. Tentu saja Uchiha Sasuke selalu mendapat perlakuan istimewa.
"Kau mau teh lagi?" tanya Sakura seraya bangkit dari duduk. Tangannya dengan cekatan mengumpulkan piring dan mangkuk kotor, termasuk milik pemuda di hadapannya. Alih-alih keberatan, gadis itu justru senang. Rasanya seperti mengalami secara langsung salah satu impiannya semasa kecil, saat ia membayangkan dirinya menjadi istri Sasuke. Senyum kecil terulas di bibirnya mengingat hal itu. Apakah berarti ia yang sekarang tidak mengimpikannya lagi? Tidak perlu ditanya, tentu saja masih. Akan selalu masih. Hanya saja Haruno Sakura sudah cukup dewasa untuk membatasi bayangan-bayangan serta harapannya.
"Tidak perlu. Terima kasih." Sang pemuda menjawab hampir terburu-buru. Teh dalam gelasnya yang tidak mencapai setengah bagian cangkir itu disesapnya habis. Setelah itu buru-buru berdiri dan menyusul Sakura yang sudah lebih dulu menuju dapur setelah mengangguk sekilas atas jawabannya. Saat berhasil menyusul, Sasuke mendapati gadis merah muda itu sudah mulai mencuci piring.
Dengan sebelah tangan, Sasuke membantu meletakkan peralatan makan yang sebelumnya sudah selesai dicuci. Menata piring dalam rak, menumpuk sendok dan sumpit dalam laci, lalu bertanya pada di mana dirinya harus menyimpan panci. Sasuke hanya ingin berterima kasih dalam wujud yang lebih nyata, lagipula ia juga tidak keberatan untuk membantu Sakura. Gadis itu sendiri, lagi-lagi tersenyum kecil. Hal ini juga salah satu yang pernah dibayangkannya semasa kecil.
Tidak ada lagi yang perlu dilakukan sementara Sakura masih dengan telaten mencuci piring. Akhirnya, Sasuke hanya berdiri separuh canggung, tidak jauh dari sisi gadis itu sendiri. Membuat bahu gadis itu berguncang halus karena kekeh pelan, menertawakan sikap kikuk rekan satu timnya. "Aku sedang berpikir sesuatu."
Sasuke tidak memberi respons secara lisan, tapi kepalanya menoleh dan menunggu Sakura melanjutkan.
"Kau pasti super lelah dan besok akan bangun siang dalam keadaan lapar. Terlalu lapar sampai kau tidak sanggup masak sendiri dan akan menakuti para penjual kalau kau nekat beli makanan sendiri dengan wajah kesal karena kelaparan,"
Sang pemuda masih tidak memberi reaksi berarti. Sekalipun kali ini alisnya sedikit terangkat, mempertanyakan ke mana arah perbincangan gadis ini menuju.
"Tapi besok aku ada shift pagi, tidak mungkin ke tempatmu untuk masak atau sekadar mengantar sarapan." Sekalipun sesungguhnya gadis itu sangat, sangat ingin, teramat ingin. Ia tidak keberatan untuk makan berdua lagi dengan Sasuke. Hey, ia bahkan sama sekali tidak keberatan untuk selalu makan berdua dengan Sasuke di sepanjang sisa hidupnya. Tapi Haruno Sakura adalah ninja medis, ninja medis memiliki sumpah, sumpah mereka bukanlah suatu permainan. Nyawa orang bisa benar-benar bergantung pada mereka dan Sakura tahu itu. "Jadi aku berpikir untuk membawakanmu sekotak kari. Mau? Mungkin kau perlu menghangatkannya besok pagi, atau kalau terlalu malas, kau bisa masak nasi malam ini dan besok pagi cukup memakannya dengan nasi hangat." Kepala Sakura bergerak-gerak miring ke kanan dan kiri selama gadis itu menjelaskan. Otomatis helai-helai tanggung berwarna merah muda itu ikut bergoyang ke sana ke mari, membuat Sasuke gatal ingin menjulurkan tangan dan menyentuh apa rambut itu selembut seperti yang ia bayangkan.
"Lalu besok kau makan apa?" Sasuke bukan sedang menolak. Pemuda itu hanya tidak ingin merepotkan gadis itu dan membuat Sakura dalam posisi yang sulit hanya karena dirinya. Kari yang baru saja dimakannya itu memang enak dan hampir membuatnya teringat akan kari buatan ibunya semasa ia kecil.
Lagi-lagi, pemuda itu tidak mengerti saat Sakura justru tertawa kecil. Mata hijau sang gadis yang sedari tadi tidak berpaling dari peralatan makan yang sedang dicucinya itu kini terangkat, menatap mata gelap Sasuke dengan kilat geli. "Kau sedang meledek?" tanyanya sambil menjulurkan sebelah sikunya pada Sasuke dengan telapak masih menggenggam dan mencuci piring. Rencananya ingin menyikut rusuk atau setidaknya lengan pemuda itu, tapi sang pemuda berdiri terlalu jauh, membuat rencananya gagal. "Aku tidak memerlukan kari sebanyak itu untuk sarapan, Sasuke," jelasnya seraya mengedik pada panci kari yang tetap berada di atas kompor sekalipun tanpa api menyala di bawahnya. "Aku bisa makan di kantin rumah sakit untuk makan siangnya. Jadi, mau?" tanya Sakura sekali lagi.
"Sesukamu saja," sahut Sasuke akhirnya. Tidak menemukan cara mengatakan persetujuan yang sesuai dengan caranya, jadi hanya itu yang bisa dikerahkannya.
Tapi Sakura justru terkekeh lagi. Gadis itu memang mengenalnya dengan baik. "Daripada berdiri di situ, kau bisa menunggu di ruang tengah, Sasuke. Aku akan menyelesaikan ini dan mengemas kari untukmu setelahnya," pesan gadis itu, perhatiannya sudah kembali pada cucian di wastafel.
Tanpa mengatakan apapun, Sasuke mengangguk ringan dan mulai beranjak menuju ruang tengah. Tapi langkahnya berhenti di hitungan keempat. "Sakura," panggilnya setelah berbalik badan kembali menghadap sang gadis.
Posisi Sakura agak sulit, jadi gadis itu hanya dapat menoleh dan menengok pemuda Uchiha itu dari balik sebelah bahunya sendiri. "Ya?" Mau tidak mau, kegiatannya mencuci piring juga jadi terhenti. Memangnya bisa mencuci piring tanpa melihat? Sakura tidak bisa.
"Terima kasih," ujar pemuda itu pelan. Awalnya, Sasuke tidak berencana menunggu respons apapun. Ia hanya mengatakan itu karena ia ingin mengatakan itu, serta tahu diri kalau ia memang seharusnya mengatakan itu. Tapi reaksi Sakura membuatnya tertegun di tempat.
Gadis merah muda itu sendiri tidak jauh berbeda. Sempat tertegun beberapa saat, menyadari bagaimana seorang Uchiha Sasuke berhenti melangkah untuk kemudian berbalik lalu mengucapkan terima kasih setelah menyebut namanya. Reaksi selanjutnya hampir terjadi secara natural. Senyum tulus terpulas di bibir sang gadis, membuat iris hijau itu ikut berbinar. Lalu gadis itu mengangguk, seperti biasa. "Setelah kuingat lagi, hari ini kau banyak mengucapkan terima kasih," komentarnya masih dengan senyum terhibur. "Sama-sama, Sasuke," tambahnya sebelum menggangguk lagi lalu mengembalikan fokusnya pada pekerjaan yang sedang ia lakukan.
Di balik punggung Sakura, Sasuke pun hampir tersenyum, sekalipun pemuda itu masih setengah tertegun. Andai, andai saja gadis itu tahu bahwa kalaupun Sasuke meluangkan dua atau tiga harinya untuk terus mengucapkan terima kasih pada gadis Haruno ini tanpa henti, Sasuke masih merasa bahwa itu belum cukup. Dirinya berutang banyak pada Sakura, ia sadar benar hal itu. Sekalipun sepertinya sang gadis justru tidak merasa seperti itu sama sekali.
.
.
Itu bukan benar-benar kediaman Sakura. Secara hukum, gadis Haruno itu masih terdata tinggal dengan orang tuanya. Jika harus mengisi data alamat, ia pun masih menuliskan alamat rumah keluarganya. Kebanyakan barang-barangnya pun memang di sana.
Ini hanyalah sebuah flat kecil yang disewanya beberapa tahun lalu, tidak lama setelah Pein datang dan meluluhlantakkan desa. Flat ini sangat dekat dengan rumah sakit, tentu saja sangat efektif bagi Sakura untuk tinggal dan menginap di sini jika ada kondisi pasien yang parah dan memerlukan perawatan serta pengobatan intensif.
Gadis merah muda itu semakin sering tinggal di flat ini dibanding di rumah kediaman keluarga Haruno sejak perang melawan Madara. Sekalipun saat rumah sakit tidak sedang membutuhkan bantuan konstan darinya dan hanya bertugas sesuai jam kerja. Ia lebih suka begitu. Keseluruhan perang yang terjadi dan banyak hal yang berlalu dalam beberapa waktu itu membuat pola pikirnya satu langkah lebih dewasa dan membuatnya ingin lebih mandiri. Hanya itu keputusan terjauh yang bisa dibuatnya, bagaimanapun juga ia adalah gadis tunggal ayah ibunya, akan sulit untuk meminta izin tinggal sendiri. Lagipula, keseluruhan proses pindahan terlihat sangat merepotkan, untuk saat ini, ia lebih suka keadaannya sekarang.
Setidaknya teori Sakura bahwa tinggal sendiri akan membuatnya lebih mandiri itu memang terbukti. Menjadi satu-satunya penghuni membuatnya bertanggung jawab penuh atas kondisi flatnya. Tidak lagi bisa mengharapkan andil ibunya dalam kebersihan rumah, pakaian kotor dan bahkan menu untuk makan.
Mata hijaunya beredar ke sekitar dapur dan dalam satu keputusan, Sakura mengembalikan sekalian piring dan peralatan makan lain yang baru saja dicucinya. Setidaknya besok ia bisa bangun dengan tenang tanpa perlu mengkhawatirkan dapur, pikirnya. Baru setelah selesai, gadis itu meraih kotak makan dari salah satu rak lalu menuang kari sejumlah yang ia kira cukup bagi Sasuke untuk sarapan. Sakura mengemas kotak makan itu dengan kain pembungkus dan sedikit merapikan simpulnya agar lebih mudah dibawa. Namun saat ia membawa kemasan itu ke ruang tamu, yang ditemukannya adalah—
—Sasuke, dengan kepala tertunduk dan salah satu buku medis milik Sakura terbuka di pangkuannya. Kemungkinan, pemuda itu mengambilnya dari rak buku, membaca lebih baik daripada menunggu tanpa melakukan apapun. Sangat tipikal Uchiha Sasuke. Yang istimewa adalah bagaimana gadis merah muda itu kemudian menyadari sepasang bahu Sasuke yang naik turun dengan ritmis. Kemudian saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan sang pemuda, sosok itu tetap bergeming. Sakura sedikit membungkuk untuk menengok wajah Sasuke yang tersembunyi karena pemuda itu menunduk. Dugaannya benar, kedua kelopak pemuda itu terpejam.
Uchiha Sasuke tertidur di ruang tamunya dalam keadaan duduk.
Sorot mata Sakura meredup trenyuh. Dengan hati-hati, satu tangannya mengambil buku di pangkuan pemuda itu untuk diletakkan di meja. Ia ingin sekali mengubah posisi pemuda itu menjadi lebih nyaman, tapi ia takut membangunkan. Sasuke selalu dikenal sebagai sosok yang sensitif, termasuk saat tidur, gerakan maupun suara kecil dapat membangunkannya, dan Sakura tahu itu.
Sama hati-hatinya, kotak bekal yang tadi disiapkannya ia letakkan di meja dan gadis itu melangkah tanpa suara menuju kamar. Ia ingat masih ada cadangan selimut di lemari. Setelah mengambil satu, Sakura kembali ke ruang tengah dan menyelimuti kawan satu timnya itu, masih tetap dengan hati-hati.
Dengan sebuah senyum terkulum, Sakura perlahan melangkah kembali ke kamarnya. Tak lupa untuk sekali lagi kembali menoleh dan memastikan Sasuke masih tetap tertidur sebelum menutup pintu.
"Selamat malam, Sasuke," bisiknya lirih, bersamaan dengan bunyi pelan pintu yang ditutup.
.
.
an:
Part satu dari two-shots. Part dua akan dipost sesegera mungkin. nb: kemampuanku dalam memilih judul masih tetap (atau bahkan semakin) payah.
.
Tell me what you think 3
Harayosaki Ochi
