THE CROWN
An EXO OT12 fanfiction
Warning:
AU! GS for some members!
Death chara!
Officially crack pairing!
Tokoh lain dalam ff ini merupakan tokoh pendukung yang berasal dari beberapa grup lain. Maaf kalau membuat beberapa member EXO terkesan jahat.
EXO belong to God and themself
The Crown © Almighty Magnae
Don't like? Don't Read!
.
.
.
Chapter 1
Matahari bersinar terik, padahal belum juga pukul sepuluh tepat. Tapi selalu seperti itu di ibu kota laut negeri Sagol. Negeri itu memiliki pelabuhan paling besar di seluruh dunia dengan patung-patung dewa laut sebagai mercusuar. Kebanyakan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, atau petani papirus yang tumbuh subur di kebun-kebun luas. Namun, faktanya, kebanyakan yang kaya amat kaya dan yang miskin semakin miskin. Bangsawan berebut kekuasaan, terutama yang memiliki hobi perang saudara. Rajanya, Raja Lee tua, tidak memiliki pewaris karena putri satu-satunya telah di boyong ke negeri seberang laut Elros, di daratan barat. Menambah tekanan timbulnya perang saudara saja. Tapi, Sagol adalah negara yang amat luas. Hampir seluruh dataran timur adalah milik Raja Lee. Pandai sekali ia bernegosiasi dengan banyak negara. Pedagang datang dari berbagai belahan dunia dengan kapal atau kereta kuda. Mulai dari Manzu sampai Taizhou di daerah selatan, Alteroz dan Anntaleon di barat, dan bahkan kerajaan kecil Churran di timur.
Di pojok pelabuhan, seseorang dengan busana janggal berteduh di bawah sebatang pohon palem. Sudah sejak pagi seperti itu, dan orang-orang yang berjalan menuju atau pulang dari pasar ikan terlalu takut untuk sekadar menoleh dua kali padanya. Anak bangsawan keturunan keluarga Choi, menurut logo yang terlukis di kipas yang ia pegang dengan tangan kanannya. Mengayun ke kanan dan ke kiri semakin lama semakin cepat memproduksi angin.
Gadis itu, lebih tepatnya lagi, Choi Baekhyun, putri bungsu keluarga Choi adalah gadis yang terkenal akan kecerdasannya, ahli bahasa sekaligus musisi terbaik di ibukota. Tapi dia sudah terkenal bahkan sejak masih bayi, sebelum dia punya kemampuan itu. Sebagai seorang gadis sungai. Tapi itu cerita lain, sekarang bukan saat yang tepat karena gadis itu sibuk menoleh ke arah dermaga dengan kain mentupi hampir seluruh wajahnya, kecuali matanya.
Lalu apa yang ia lakukan di tepi pantai seperti itu sendirian? Alasannya adalah, ayahnya yang sangat baik hati selalu berkata padanya untuk bermurah hati pada pelayan. "Biarkan mereka melakukan hal yang perlu mereka kerjakan. Jangan meminta bantuan ketika kau bisa melakukannya sendiri, Baek-ah." begitu Jenderal Choi Siwon berkata ketika Baekhyun sudah cukup paham untuk diberi nasihat. Hmm, kalau begitu alasan ia sendirian tanpa seorang pelayan pun di sini sudah memiliki jawaban. Tapi, hal sepenting apa yang membuatnya berada begitu dekat dengan lautan, terutama karena ia begitu membenci samudera?
Mungkin, Baekhyun akan menyukai lautan. Mungkin, jika air asin itu tidak menyebabkan kulitnya begitu lengket. Mungkin, jika butir-butir pasir yang menempel di pakaiannya mudah untuk dibersihkan. Atau, mungkin saja jika aroma pasar ikan yang campur aduk itu tidak membuatnya ingin muntah. Mungkin saja Baekhyun akan berteman baik dengan lautan jika panas matahari di sana tidak membuat kulitnya yang terawat jadi menghitam dan ujung hidungnya menjadi perih. Sebenarnya, laut dan Baekhyun akan menjadi sahabat yang sangat baik. Jika saja lautan bersifat ramah—menurut Baekhyun lautan selalu jadi hal terkasar di dunia.
Baekhyun sudah menunggu cukup lama di pelabuhan. Amat lama bagi dia yang tidak terbiasa untuk menunggu. Tapi ini begitu penting! Untuk sahabatnya, Zitao, dia rela duduk di bawah naungan pohon palem dengan topi bertudung lebar bertengger di kepalanya, dan baju yang begitu tebal sehingga membuat keringatnya menetes deras. Bahkan ia sampai rela menutup wajahnya demi menjaga kecerahan kulit. Tapi untuk ukuran Baekhyun, itu sangat mengagumkan, bagaimana dia bisa tanpa keluhan sedikitpun saat mengelap keringat yang mengalir di dahinya.
Hanya untuk seorang Huang Zitao.
Siapa itu Zitao? Bukan, dia bukan anak Kaisar Manzu. Bukan pula Putri bungsu bangsawan terkaya di Manzu. Putri Jenderal perang paling kejam di Manzu? Tentu tidak. Zitao hanyalah seorang penari yang lahir dari suami istri pedagang furnitur di Manzu. Dan yang paling penting, Zitao adalah teman yang begitu berharga sehingga Baekhyun rela melakukan hal seperti ini untuk menunggu kehadirannya yang langka. Apalagi Zitao telah berjanji untuk tinggal selamanya di Sagol. Rencana yang disusun Baekhyun untuk bersenang-senang tentu saja harus segera terlaksana. Bayangan mengajari Zitao alat musik bahkan sudah berkali-kali muncul di otak Baekhyun. Atau untuk berbagi buah bintang yang paling ranum dari kebun buah keluarga Choi. Ah memimpikannya saja sudah membuat Baekhyun begitu gembira.
Tapi Zitao-yah, kapan kapalmu sampai...
Waktu berlalu begitu lambat bagi Baekhyun. Lalu, tepat saat matahari berada di atas kepala, sebuah kapal besar menepi di dermaga. Terlihat lebih megah daripada kapal yang biasanya dinaiki Zitao. Kapal ini lebih terlihat seperti kapal kerajaan dibanding kapal pedagang. Ahh, betapa kecewanya Baekhyun jika harus menunggu lebih lama lagi.
Serombongan orang turun dari kapal itu, membawa seorang Putri sederhana yang berjalan hati-hati turun dari geladak kapal. Baekhyun adalah seorang pengamat yang ulung, dari posisinya, ia bisa melihat betapa bertolak belakangnya penampilan gadis yang turun itu. Tiara Putri yang berkilau lembut di kepalanya jelas merupakan perhiasan terbaik kerajaan tetangga, tetapi gadis itu hanya memakai zhufin1 yang amat sederhana. Zhufin putih polos dengan hiasan kupu-kupu yang berwarna putih pula. Jelas berbeda dengan hanshin2 yang dikenakan Baekhyun, meskipun dia tidak memakai tiara seorang Putri, tetap saja Baekhyun akan terlihat jauh lebih 'mewah' jika disandingkan dengan gadis itu.
Baekhyun terlalu fokus pada kapal pertama, sampai tidak menyadari ada kapal berikutnya yang membuang jangkar di dermaga. Kapal itu berhenti dan segera membongkar muatannya, barang-barang dagangan yang eksotis dari dataran Manzu. Furnitur dengan kayu terbaik dengan pahatan-pahatan naga, atau burung, atau singa di permukaannya, kotak-kotak perhiasan yang bahkan berkilau dari luarnya, berbarel-barel minuman yang terbuat dari buah plum, gulungan-gulungan kain yang warnanya lebih lembut dibanding kain mana pun di Sagol, sampai ribuan senjata yang terpoles mengilat berkilauan tertimpa cahaya matahari tengah hari.
Baekhyun menggumamkan kata-kata umpatan halus yang ia pelajari dari pelayan rumahnya secara tidak sengaja. Biar bagaimanapun dia ini putri bangsawan kelas atas di ibukota dan bahkan keluarganya amat dekat dengan kerajaan. Pengumuman tentang pernikahan Baekhyun dengan putra mahkota bisa saja segera diumumkan, kalau saja Raja Lee memiliki pewaris. Sayangnya Raja tua itu tidak punya anak laki-laki dan satu-satunya anak perempuannya telah menikah dengan pangeran dari kerajaan yang amat jauh. Ketiadaan pewaris ini menimbulkan banyak spekulasi dan persaingan tanpa kata dari para bangsawan.
Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas hal-hal serumit urusan takhta. Nanti ada saatnya, bukan sekarang. Saat ini hal yang paling penting adalah kapan Zitao akan menunjukkan batang hidungnya yang lancip itu. Baekhyun kesal, bahkan hanya membayangkan wajah Zitao saja membuatnya terganggu, seakan salah bulu mata panjang Zitao-lah yang membuatnya terlambat datang. Atau, lain kali lebih baik ia potong saja kaki jenjang Zitao yang bahkan sangat tidak membantu saat ini.
Sebaiknya Zitao membawa oleh-oleh yang layak. Bukan sekadar sekantung manik-manik warna-warni yang menurut Baekhyun hanya pantas untuk anak-anak. Setidaknya, jika Zitao membawa mutiara sungguhan sekarang, maka Baekhyun akan merasa amat bahagia. Tapi saat itu, sebuah kereta kuda dengan lambang keluarga Choi tergambar di pintunya mendekat ke arah pantai. Baekhyun bingung, bukankah ia meminta agar ia dijemput sampai lewat tengah hari? Sepertinya pelayan bodoh itu lupa akan pesan Baekhyun. Gadis itu menunggu kereta yang tidak berhenti di hadapannya, melainkan mendekati rombongan orang dari kapal kerajaan Manzu, kapal putri yang dari tadi diamati oleh Baekhyun dari kejauhan. Tanpa melihat Baekhyun yang tersembunyi di bawah bayang pohon palem.
Seseorang keluar dari kereta, itu Joonmyeon, kakak Baekhyun yang membungkuk hormat. Rombongan orang yang sepertinya Putri dari kerajaan Manzu itu balas membungkuk dalam. Sungguh beradab, khas sekali tamu-tamu kerajaan. Tapi siapa orang yang sepertinya penting itu hingga kakaknya datang sendiri dengan kereta milik sendiri pula? Tak ada waktu untuk mencari tahu.
Sebuah suara dari belakang tubuh Baekhyun, dari arah pantai, berseru gembira. Suara itu menggunakan bahasa Sagol dengan aksen Manzu yang begitu kentara, jelas sekali yang memanggil itu masih dalam tahap belajar bahasa Sagol. "Hei, Choi Baekhyun!" Tapi Baekhyun masih mematung. "Apa yang kau lihat?" Huang Zitao, rambut hitamnya di kepang tinggi dan gadis itu memakai samzhou3 warna biru dengan gambar bunga-bunga merah muda. Ditangannya ada kotak kayu agak tebal dengan ukiran rumit.
Baekhyun berbalik. "Yak! Kau tahu berapa lama aku menunggu?" Baekhyun berteriak dengan bahasa Manzu yang lancar, dia ini terpelajar, terkenal karena bisa menggunakan beberapa bahasa dengan lancar. Gadis itu mendelik kesal. Tentu saja sebenarnya Zitao sudah tahu jika Baekhyun telah berdiri selama itu di sini, terlihat dari butir-butir keringat yang masih mengalir di wajah kecil Baekhyun.
"Maafkan aku, tidak banyak ruang untuk kapal kami." Zitao menunjuk kapal kerajaan yang besar yang menuntut banyak ruang sehingga kapal-kapal yang lebih kecil harus bergantian untuk merapat di dermaga. "Sepertinya para pedagang dari seluruh negeri sedang berkunjung, kalian sebaiknya membangun pelabuhan baru yang lebih besar."
Ha! Mau sebesar apa lagi pelabuhan di Sagol? Baekhyun menahan diri untuk tidak mengumpat (lagi).
Pelabuhan yang sekarang bahkan bisa memuat lebih dari seratus kapal kerajaan. Kalau lebih besar lagi, Sagol akan membutuhkan pantai yang sama luasnya dengan ibu kotanya—ibu kota Sagol adalah ibu kota paling luas di seluru penjuru dunia. Baekhyun lalu mengedikkan bahu, yang seperti itu bukanlah urusannya. Hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang dibahas kakaknya bersama putra penasihat Park. Kemudian dilihatnya kotak kayu yang berada di pelukan Zitao. Matanya berkilat seketika.
"Itu hadiahku?!" Dia bertanya penuh semangat, melupakan kekesalannya sejenak dan balik tertarik pada kotak yang dipegang Zitao.
Hadiah! Baekhyun suka sekali hadiah, lebih dari apapun di dunia ini. "Tunggu sebentar, aku akan memanggil kereta kuda dan kita bisa segera beristirahat di kediamanku."
"Ya, seperti itu lebih baik." Zitao sepenuhnya setuju dengan ide itu, hampir seminggu berada di atas geladak tentu saja membuatnya lelah.
Baekhyun menoleh ke arah jalan utama, tepat saat kereta kakaknya melintas dari tepi pantai. "Oppa!" Dia berteriak dan kereta berhenti. Joonmyeon memberi isyarat pada kusirnya untuk menepi.
Choi Joonmyeon membuka kerai yang menutupi jendela kereta hanya untuk menemukan adiknya yang berwajah merah kepanasan seperti udang rebus. "Baekhyun-ah, apa yang kau lakukan disini?" Kemudian matanya menatap Zitao. "Ahh, Zitao-ssi, selamat datang."
Joonmyeon memandang Baekhyun lagi "Maaf, kupakai keretamu, aku buru-buru." Baekhyun harusnya maklum, pasti kereta miliknya yang sudah siaga sejak pagi tadi adalah kereta kuda pertama yang siap berangkat. Tapi setelah lelah menunggu seperti ini?
"Oppa, bagaimana denganku?"
"Sewa saja salah satu kereta itu." Joonmyeon paham, menyiapkan kereta lain dari kediaman Choi ke pelabuhan pasti memakan waktu yang cukup lama. Dia tahu, Baekhyun akan mengamuk jika diminta menunggu lagi. Pria itu mengangsurkan beberapa keping uang emas ke tangan Baekhyun kemudian menunjuk pada sekumpulan kereta kuda dengan pengemudi yang sedang beristirahat. Ahh, Joonmyeon selalu seenaknya saja.
Baekhyun mendengus, lalu berbalik melihat penumpang kereta itu. "Oppa, dia siapa?" Dengan tidak sopan Baekhyun menjulurkan kepalanya untuk melihat dalam kereta. Gadis dengan tiara Putri tadi sedang menatap bangunan disekitar pelabuhan dengan antusias, menggumamkan kata-kata dalam bahasa Manzu dengan cepat pada pelayan disampingnya. Tidak mengindahkan Baekhyun sama sekali, seolah Baekhyun hanyalah latar belakang yang tidak pantas dilirik dari sudut pelabuhan besar ini.
"Kau akan segera tahu, cepatlah pulang dan bersiap untuk pesta penyambutan tamu." Joonmyeon berkata singkat kemudian memberi isyarat pada kusir kereta yang segera melajukan kendaraannya.
Baekhyun cemberut. Kereta umum itu berbeda dengan kereta kerajaan. Seperti kendaraan umum lainnya di kota, kereta kuda itu hanya memiliki atap tanpa dinding di kanan kirinya. Para kusir menolak membuat kereta yang layak karena orang-orang tidak bersedia membayar lebih mahal dari dua koin perak. Baekhyun benci itu, dan sekarang ini musim panas dan pasti akan banyak sekali debu beterbangan. Ia lebih benci lagi fakta itu.
"Ayo, Zitao-yah, aku harus segera mandi." Baekhyun mendahului Zitao naik ke dalam salah satu kereta yang paling dekat dan segera menggunakan kain penutup kepala untuk menghalangi debu mengotori kulit mukanya. Zitao menyusul dan hanya bisa menggelengkan kepala atas tingkah sahabatnya yang kelewat menjaga penampilan itu. "Kediaman Choi." Ucapnya pelan dan kereta segera melaju meninggalkan bau lautan di belakangnya.
.
.
.
.
Sebatang anak panah meluncur mulus membelah udara, menuju sasarannya yang berjarak beberapa meter jauhnya. Kemudian menancap tepat di lubang yang berada di pusat papan sasaran. Menyusul anak panah lainnya yang entah bagaimana caranya bisa melingkar rapi di sekeliling pusat lingkaran, tepat di garis yang berwarna merah. Orang yang melepaskan anak panah itu pastilah sangat ahli, hingga ia bisa mendapatkan skor begitu sempurna. Tangan putih itu kembali meregangkan busurnya setelah memasang sebuah anak panah lagi. Matanya membidik sasaran lainnya dan segera seluruh tubuhnya tersinkronisasi dengan amat baik.
Anak panah itu kembali terlepas, tapi bukan menuju papan sasaran itu. Kali ini anak panah itu melesat tepat di tengah-tengah dua orang lain, laki-laki dan perempuan, yang sedang melakukan duel dengan pedang kayu. Nyaris saja menyerempet hidung si laki-laki kalau saja refleksnya terlambat sedikit saja.
Anak panah itu berhasil ditepis, tapi akibatnya pedang kayu di tangannya terlepas berkat teknik pedang si perempuan.
"Terimakasih, Sehun!" Laki-laki itu berkata sarkastis, sementara si perempuan mendelik tajam dengan mata bulatnya yang sudah asli menyeramkan.
"Jangan memanggilnya seperti itu, Kai." Si perempuan berujar pelan, melemparkan pedang kayu ke tangan si laki-laki.
Yang memegang busur hanya menyeringai, membuatnya terlihat agak kejam namun kesannya malah menjadi makin tampan. "Sama-sama, Kai." Ucapnya kalem.
"Kenapa kau selalu membantunya, Sehun?" Kai kembali berujar dengan nada merajuk. "Aku sudah hampir menang tadi."
Si perempuan menggeleng tidak setuju. "Ada atau tidaknya bantuan Prince, tidak akan mempengaruhi keadaan. Kau akan tetap kalah dariku, Kai."
"Yah! Dio, aku tidak terima!" Nada suara Kai seperti kesal sekali. "Mana bisa aku selalu kalah dari perempuan!" Gumamnya tak percaya, dia menggerutu tak jelas, membelakangi si perempuan. Tangannya yang agak berotot menunjuk-nunjuk arena dengan pedang kayu.
Yang dipanggil Dio hanya tertawa kecil sambil membawa pedang kayunya. Ia menyusul Sehun yang melangkah menjauhi arena latihan. Mengabaikan Kai yang masih menggerutu pada pepohonan seperti yang biasa terjadi saat mereka bertiga berlatih bersama-sama, yang artinya, hampir terjadi setiap hari karena itu memang rutinitas sore mereka.
Kai akhirnya sadar jika yang lain meninggalkannya begitu saja. Segera saja ia menyusul kedua orang itu dengan setengah berlari. Pedangnya diarahkan ke belakang kepala Sehun, bersiap menyerangnya. Namun, sebelum kayu itu membentur kepala berambut pirang itu, sebilah pedang kayu lain memblokirnya hingga menimbulkan suara keras. Sehun berbalik agak kaget, namun akhirnya ia hanya tertawa geli.
"Jangan curang, Kai!" Dia mengalungkan sebelah tangannya ke leher Kai, menyerangnya dengan jitakan pelan di kepala berambut hitam legam itu.
Dio ikut tertawa, seperti biasa, hanya bersama mereka Dio bisa tertawa selepas itu atau bicara sebanyak itu. Hal itu disebabkan karena mereka telah bersama sejak Sehun baru lahir. Sampai sekarang mereka nyaris tumbuh dewasa bersama-sama.
"Menurut kalian, apa yang sedang Kris lakukan sekarang?" Kai mengalihkan pembicaraan setelah Sehun melepaskannya.
Sehun hanya mengangkat bahu menandakan ia tidak peduli pada apapun yang dilakukan oleh sepupunya. Tapi Dio membuka mulutnya perlahan dan berkata dalam suara pelan. "Kutebak, dia sudah berada di Anntaleon sekarang, dia mendapat pasukan yang sangat bagus."
Sehun mengangguk tanpa perasaan tertarik sama sekali. Topik ini cukup sensitif bagi Sehun, tapi tidak masalah jika ia membicarakannya bersama kedua sahabatnya ini. Mereka sudah terlalu dekat untuk sekadar merasa tidak enak terhadap satu sama lain, walaupun begitu, tetap saja mereka berlaku formal saat ada orang lain.
"Yah, dia beruntung sekali karena King Marcus memberikan pasukan terbaiknya, dan kudengar ada Daniel di sana." Kai mengarahkan kelingkingnya ke arah hidung. Seperti biasa ia selalu bersikap seenaknya. "Benarkah itu, Sehun?"
Sehun menatap tanah saat bicara, "Ya.." Sehun menjawab hati-hati.
"Sebenarnya kupikir Ayah akan memberikanmu padanya, Kai.." Lanjutnya sarkastis. "Kalau saja kau tidak mengikuti aku."
Sedikit getir rasanya bicara tentang perang. Sehun ini putra mahkota, calon penerus ayahnya satu-satunya. Dan karena ayahnya tidak terlalu baik dalam berperang, dia berpendapat medan perang pastilah amat berbahaya sehingga tak pernah mengizinkan Sehun ikut terlibat di dalamnya.
"Ahh, bersamamu memang membosankan, Sehun." Kai mencibir, tapi itu hanya ejekan. Dia tidak pernah bersungguh-sungguh menyesali pilihannya untuk selalu mengikuti Sehun. Biar bagaimanapun, keinginan itu telah tumbuh dari dalam hatinya sendiri.
"Kai." Dio memperingatkan dengan nada sedikit tajam, dia ini yang paling waras sekaligus paling serius dari trio itu.
"Tapi, aku senang, karena aku tidak perlu banyak bergerak!" Kai berteriak kencang kemudian ganti mengalungkan lengannya ke leher Sehun. Lalu, tawa bahagia kembali terdengar.
Tiba-tiba dua orang mendadak berada di dekat mereka bertiga, seolah meleleh dari bayang-bayang. Tapi bukan seperti itu yang sebenarnya terjadi, dua orang itu hanyalah bergerak sangat cepat sehingga mata tak terlatih tidak akan mungkin menyadari dari mana mereka datang dan kemana tujuan mereka. Ketiga orang itu membeku, dengan tangan Kai masih berada di leher Sehun.
"Bersikaplah selayaknya prajurit, Kai!" Seorang dengan rambut hitam panjang diikat ekor kuda tegas berkata dengan nada dingin. Lirikan matanya sangat tajam, seolah berharap dapat melubangi kulit Kai. Sementara sosok berambut pirang pendek persis potongan lelaki di sebelahnya terlihat agak sedikit ramah walaupun sama-sama menyeramkan.
Segera saja Kai dan Dio berdiri dengan tegak di sisi kanan kiri Sehun, sedikit menunduk karena tahu apa yang mereka lakukan bukanlah hal yang mencerminkan bahwa mereka berdua berbeda posisi dengan Sehun.
"Kenapa kalian datang kemari?" Sehun berkata dingin, ia tidak menyukai dua orang bayangan ayahnya itu. Terlalu banyak mengatur hal-hal yang tidak penting, menurutnya.
"King Marcus memanggil mereka berdua, Prince" Orang dengan rambut pirang berpotongan pendek seperti lelaki berkata tegas. Tanpa takut menatap mata Sehun walaupun ada rasa segan disana. "Anda sebaiknya kembali ke kediaman Anda."
"Tak perlu menyuruhku melakukan sesuatu, Amber." Sehun mendengus kesal. " Aku lakukan apa yang kumau." Dia ini memang arogan, sifat yang dia dapatkan dari ayahnya.
"Kami hanya memberikan saran yang paling baik, Yang Mulia." Gadis dengan rambut ekor kuda itu berkata tanpa takut, mata hitamnya bertemu dengan mata cokelat Sehun. Dan Sehun akui, pantas mereka bisa jadi orang kepercayaan ayahnya. Dengan keberanian seperti itu.
"Terimakasih, Luna, tapi aku tidak butuh saran. Terutama darimu!" Ujar Sehun dingin. "Biarkan mereka berjalan bersamaku, aku akan ke tempat Uncle Bryan." Sehun tidak menunggu lama, tanpa kata ia menggandeng lengan kedua temannya ke arah istana.
Mereka bertiga melewati selasar dengan panji-panji bergambar naga emas bergantung di langit-langit. Lambang. Alteroz selalu mementingkan lambang. Saat ini, penguasa kerajaan berasal dari klan naga emas, keluarga King Marcus Cho yang telah memerintah tidak kurang dari tiga generasi. Mereka bertiga berjalan dalam diam, melewati barisan lukisan dalam koridor remang menuju arah perpustakaan. Tempat King Marcus, dan penasihat kerajaan, Bryan Kim pasti berada.
Sampai di sana, Sehun segera merah gagang pintu. Kasim yang bertugas membuka pintu pasti diperintahkan untuk menjauh. Meninggalkan dua orang penjaga yang diam serupa batu di kanan kiri pintu gerbang. Kai dan Dio otomatis mundur selangkah sebelum memasuki ruangan, mereka adalah tangan kanan dan kiri Sehun, layaknya Luna dan Amber bagi ayahnya.
"Ayah memanggil kami?" Sehun bertanya, menatap King Marcus dan Uncle Bryan yang berkutat dengan selembar perkamen panjang.
Raja muda itu mengangkat kepala, dijumpainya mata cokelat gelap yang terasa amat indah baginya. Sehun — ia bersyukur sekali — mewarisi mata istrinya. Walaupun segalanya yang lain tampaknya merupakan tiruan langsung dari dirinya sendiri. Mulai dari tubuh kurus yang sama seperti Marcus kala muda, rambut pirang lurus, dan dagu runcing yang sama. Tapi matanya, teristimewa seperti milik Queennya. Dan King Marcus senang menatapnya lama-lama melalui bola matanya sendiri yang berwarna abu-abu gelap.
"Aku yakin, Luna dan Amber hanya menyuruh Kai dan Dio kemari?"
"Tapi kenapa? Ayah, kau tahu aku masih marah padamu!" Sehun berkata berang, sekali lagi persis seperti Marcus muda. "Aku ingin mendengar penjelasanmu."
Bryan meletakkan perkamen, lalu mengelap jari-jarinya yang penuh tinta hitam legam sampai bersih menggunakan linen. "Ayo kita jalan-jalan, Sehun." Ia merangkul lengan Sehun yang masih menatap tajam ke arah ayahnya.
"Ayah!"
"Pergilah, Sehun, kau harus belajar dengan Bryan." Sang raja berkata akhirnya setelah beberapa saat.
Sesaat Sehun nampaknya ingin menolak. Benci sekali ia mengalah, terutama di depan teman-temannya. Tapi Dio memberikan tatapan yang seolah berkata 'patuhlah, kami akan baik-baik saja'. Sehun lalu menyusul Uncle Bryan yang telah berada diluar pintu. Langkahnya kasar, Kai dan Dio tidak tahu harus berkata apalagi. Canggung sekali berada dalam kondisi seperti ini terus-terusan. Tapi King Marcus tersenyum.
"Nah, saatnya aku dengar janji kalian lagi."
.
.
.
.
.
Di kerajaan yang lain, tempat pepohonan menaungi sekitar istana yang berada dibalik bebukitan, udara disana sedikit lebih dingin. Agak terasa suasana tegang dalam bangunan megah itu. Tidak banyak suara-suara bahagia yang biasanya berasal dari balik jendela-jendela besar dengan tirai-tirai warna emas berbordir perak dan tembaga.
Di salah satu paviliun tanpa dinding, beberapa wanita sedang menenun benang-benang emas dan menjadi kain mewah. Gerakan mereka serupa dan terorganisir, hasil dari kebiasaan serta kerjasama selama bertahun-tahun lamanya. Tapi disitu juga suasananya sendu, terlihat dari wajah para penenun yang seolah tidak menyadari bahwa mereka berada di sana saat ini. Hanya jari-jari yang bergerak otomatis berhasil membuat kain itu menjadi utuh.
Melihat ruangan lain, seorang wanita dewasa dengan mahkota megah di kepalanya baru saja selesai melakukan doa. Ia meletakkan persembahan berupa beberapa butir mutiara sebesar anggur dalam sebuah mangkuk emas setelah menyalakan dupa. Wanita itu berbalik setelah melakukan penghormatan terakhir dan segera saja menjumpai anak gadisnya. Ia tersenyum, tapi tidak terkejut. Mereka berdua terlihat begitu mirip, hanya saja ada beberapa kerutan di wajah sang wanita dewasa.
"Ibu, mereka menunggu." Yang lebih muda mengangkat suara.
"Iya, Yoona, aku tahu. Aku baru saja selesai berdoa." Sang Ratu berbicara dengan nada manis dan senyum terpatri di wajah cantiknya. "Ayo"
"Ibu, apa ada kabar dari ayah?" Yoona bertanya pelan tapi ekspresi ibunya terlihat tidak baik. "Ahh, bagaimana dengan Henry?" Dia melanjutkan.
"Sejujurnya, aku tidak tahu, Yoona. Berdoa sajalah pada para dewa." Ratu Yuri adalah orang yang kuat dan amat tegar. Ia hanya mampu menggeleng pelan dengan adanya krisis yang dihadapi negerinya saat ini.
Anntaleon.
Negeri mutiara. Semua orang di belahan dunia menyebutnya begitu. Letaknya di ujung barat dunia. Berada di pegungungan, tetapi tidak jauh dari lautan. Masyarakatnya bertani, atau beternak kerang mutiara, atau lobster bagi orang yang tinggal di pesisir. Tempat segala yang rupawan berada. Tua, muda, dewasa, remaja, anak-anak, dan bahkan bayi di negeri itu berwajah tampan atau cantik. Dengan rambut pirang atau cokelat madu yang mendominasi, dipanjangkan paling tidak sepunggung untuk menghormati tradisi. Seluruh kain di tenun dengan benang kualitas terbaik, kebanyakan diwarnai emas, perak, dan tembaga. Memberi kesan mewah yang nyata. Seluruh rumah—masayarakat menyebutnya vila—di desain indah dan berbaris rapi mengelillingi jalan-jalan luas tempat nenek-nenek menjual kue berbahan dasar tepung beras atau buah-buahan ranum yang melimpah ruah di tepi jalan. Semua orang tersenyum.
Atau, paling tidak, tadinya tersenyum.
Sudah beberapa bulan ini Anntaleon sedang berperang dengan kerajaan tetangga. Memperebutkan negeri kecil namun amat kaya ini. Sungguh posisi yang amat rentan. Entah apa salah kerajaan ini, hingga tidak banyak anak laki-laki yang lahir. Sebagai ganti, para dewa memberi beberapa anak perempuan kembar yang tak begitu banyak gunanya untuk perang. Memang, pejuang wanita juga tak bisa diremehkan, tetapi kerajaan tetangga punya ratusan bahkan ribuan pasukan laki-laki berotot kuat. Salah satu kerajaan yang memiliki armada perang terkuat di wilayah barat. Tapi, Ratu Yuri tidak bisa hanya menyalahkan takdir. Ia telah melakukan banyak doa dan memberi banyak persembahan bagi para dewa, sebagai upaya karena ia tidak diijinkan mengikuti suaminya berperang. Wanita tegar itu hanya bisa menyembunyikan keresahan dibalik wajah cantiknya, sebagai contoh untuk anak-anaknya yang masih berada di dalam istana.
Tinggalkan Ratu dan Putri tertuanya itu, menuju salah satu kamar utama dalam istana. Kamar yang amat mewah, dengan ranjang berbalut seprei merah anggun dan banyak dihiasi perabot emas dan perak, seperti kebanyakan kamar di istana itu. Penghuni kamar itu masih terdiam di ujung ranjang. Merajuk. Sudah beberapa hari ini di berlaku seperti itu. Padahal setiap orang di kerajaan tahu dia tidak pernah berlaku seperti itu sebelumnya. Tegas selalu, tapi tidak pernah marah sedikitpun. Dia selalu sempurna, dengan tubuh proporsional dan dagu runcing seolah mahakarya dari pematung terbaik di dunia.
Bahkan kakak-kakaknya tidak sesempurna itu. Yoona, si sulung, terlihat terlalu kurus walaupun punya dagu runcing yang sama. Kemudian putra kedua, Henry, sang putra mahkota, dia nyaris sempurna jika sikapnya tidak sekonyol itu. Begitu juga dengan Sulli, dia memang tinggi dan amat cantik, tapi orang-orang menganggapnya terlalu pucat sehingga ia terlihat begitu rapuh. Diatas Luhan, ada Suzy yang sering dikritik dan menjadi gosip umum para pelayan karena sifatnya yang begitu manja dan tubuhnya yang terlihat lebih 'berisi' dibanding yang lain. Dan Luhan, dia adalah anak kebanggaan. Selain fisik yang bisa dibilang bagus, sikapnya juga tepat bagi seorang keturunan penguasa negeri. Ia jarang marah pada orang yang kedudukannya lebih rendah daripadanya, sedangkan kepada orang terhormat ia selalu sopan dan segan. Ia jarang sekali merajuk.
Kecuali saat ini, ia sedang merajuk sehingga tidak keluar dari kamarnya sejak perang dimulai. Ia tadinya ngotot ingin ikut perang, tapi ayahnya bilang ia masih terlalu muda. Luhan benci sekali jika ia dianggap masih terlalu kecil. Dia itu ahli panah terbaik di kerajaan. Tidak ada yang dapat mengalahkannya, bahkan ayahnya sekalipun. Tapi tetap saja semua orang melarangnya pergi, hingga ia memutuskan untuk tidak menemui siapa pun dan tetap tinggal di dalam kamarnya, ditemani Xiumin-nya yang setia.
Lalu, seseorang mengetuk pintu. Xiumin segera membukanya dan kemudian menutupnya dari balik pintu. Saat ia masuk kembali, raut wajahnya terlihat agak tegang. Apapun yang terjadi di luar kamar Luhan tampaknya telah membuatnya kehilangan separuh kesadarannya selama sesaat.
"Jenazah putri Sulli sedang dibawa ke istana."
Sesaat hening, tampaknya Luhan terlalu terkejut sehingga tidak dapat berkata-kata. Sulli? Bagaimana bisa, setahu Luhan kakaknya itu pergi mencari perlindungan, menyeberang ke Manzu sesuai yang diperintahkan. Bagaimana bisa ia ditemukan telah menjadi mayat dalam waktu amat tiba-tiba seperti itu? Tidak masuk akal sama sekali. Bahkan ayahnya melarang keras semua Putri kerajaan untuk ikut ke medan perang.
"Jangan bercanda, Xiumin-ah, itu tidak lucu!" Luhan nyaris berteriak parau. Suaranya pecah.
"Putri Sulli menyusup ke dalam legiun, tidak ada yang tahu ia disana sampai helm perangnya lepas saat ia terjatuh dari kudanya." Xiumin berucap panjang lebar, tapi nada suaranya seolah ia masih melayang di tempat yang jauh.
Luhan terdiam. Bobot seolah melayang dari tubuhnya dan ia merasa amat kebas. Dari semua saudarinya, sangat tidak mungkin Sulli pergi ke medan perang. Sulli yang amat cantik, kesayangan orangtuanya setelah Luhan. Tapi semua anak Raja punya bakat untuk jadi pemberontak. Dan Sulli memang telah menghilang setelah armada perang meninggalkan kerajaan. Semua orang di istana berpikir jika Sulli mungkin saja memutuskan mengikuti saran ayahnya untuk pergi ke Manzu. Siapa yang menyangka dia akan kembali sebagai mayat setlah menyusup ke medan perang?
Setelah dipikir lagi, Luhan kesal. Dia kesal karena tidak mampu berbuat apa-apa dan malah bersembunyi di balik punggung orang lain. Dia bangkit, semua orang pasti berada di depan takhta. Xiumin bergegas mengikutinya. Luhan membuka pintu gerbang. Kursi kebesaran tampak, tetapi tidak ada seorang pun duduk di sana. Luhan membuka pintu di balik kursi itu, di meja lingkaran penuh berbahan batu granit, semua orang duduk di kursi-kursi yang mengelilinginya.
Hening.
Sesekali terdengar Suzy terisak. Dia adalah yang peling cengeng dari saudaranya yang lain. Tapi yang lain hanya diam. Air mata meleleh dari mata Yoona, tapi dia hanya diam, dan itu lebih menyeramkan. Tatapannya kosong ke arah jendela kaca seluas dinding di sebelah utara. Taman itu, tempat keluarga kerajaan makan malam di bawah terang purnama saat musim panas.
Rasanya sebulan lalu sudah seperti seratus tahun saja bagi Luhan. Padahal saat itu ayahnya masih di sana, meminum anggur dari cangkir perak. Kemudian ia terlalu mabuk sehingga tidak dapat membedakan Henry dengan Suzy—padahal rambut Henry pirang sedangkan Suzy berwarana cokelat madu—hanya karena rambut mereka panjangnya sama-sama hampir selutut. Luhan juga merindukan saat-saat Yoona memaksa minum anggur hanya karena kalah bermain batu kertas gunting, padahal ia tak pernah kuat minum lebih dari satu cangkir saja. Membuatnya perlu digotong untuk masuk ke dalam kamarnya di paling jauh dari taman ini. Luhan tersenyum miris. Rasanya teralalu kebas untuk menangis, entah mengapa tidak ada air mata yang muncul.
Seseorang masuk dari pintu yang baru saja di lalui Luhan. Jonghyun, sang penasihat kerajaan masuk dengan kepala tertunduk. Ratu Yuri menatapnya, seolah dia adalah harapan satu-satunya.
"Kenapa, Jonghyun?" Suaranya kosong, meskipun sebagai seorang Ratu, ia adalah tipe yang akan menghunus pedangnya pada lawan sebelum menyerah. Kini ia hanya merasakan kehampaan, seolah kekalahan menggantung di udara dan menyelubungi mereka seperti kepompong.
"Kenapa Jonghyun!" Padahal ia sudah berdoa, siang dan malam, pagi dan sore. Ia selalu berdoa. Tapi para dewa tetap meninggalkannya, menjauh karena kalah dari dewa-dewa Alteroz.
"Jonghyun, kau harus mencari kapal!" Mata Sang Ratu berkilat karena air mata mulai menetes. "Bawa Luhan menuju Manzu atau Churran sekalian." Ia menatap penasihat kerajaan itu penuh harap. Ia tak ingin membunuh mimpi-mimpi akan hidup kerajaan ini.
"Sudah terlambat, Yang Mulia." Penasihat kerajaan itu tidak tersenyum. "Pasukan Alteroz telah memblokir seluruh jalan keluar. Mereka akan sampai tiga hari lagi." Demi mendengar itu, bahu Sang Ratu melorot.
Dan tanpa sadar, Luhan terduduk hampa ke kursi berlapis emas dan beludru di bawahnya.
.
.
.
.To Be Continued.
Note:
1Zhufin: serupa dengan Hanfu dari China (karena aku membayangkan Manzu seperti China)
2Hanshin: serupa hanbok (Sagol adalah Korea dan aku tidak tahu apa yang merasukiku sampai memberinya nama seperti Sagol :v)
3Samzhou: serupa Cheongsam dari China
#EXO_OT12#
Review please
