Kazoku by Shara Sherenia
Disclaimer: NAOTO ITU PUNYA SOUJI!!! ...Eh, maksud saya...P4 itu punya Atlus...dan Akira itu punya Silvermoon Arisato...cerita ini punya saya!!
Chapter 1: Happiness
Pria berambut abu-abu itu menghela nafas lega sembari meletakkan pena tintanya dan menaruh lembaran berkas terakhir di atas tumpukan di mejanya. Ia menyandarkan punggungnya yang lelah ke kursi dan melepaskan kacamata bacanya. Tangannya naik ke atas kepala, memijat keningnya yang yang terasa berat karena terlalu banyak berpikir. Di saat ia letih seperti ini, yang ia dambakan adalah secangkir kopi hangat, kudapan lezat, dan...
"Souji?"
...kehadiran istrinya tercinta.
Souji mengangkat wajahnya dan melihat sang istri memasuki ruang kerjanya. Ia membawa nampan berisi camilan biasa—secangkir kopi hangat dan sepiring wafel yang baru matang. Pria itu menegakkan punggungnya lagi dan mengambil minumannya, sementara wanita berambut biru gelap itu meletakkan kudapannya di atas meja.
"Sudah selesai?" tanya wanita anggun itu, menatap tumpukan berkas yang sudah rapi diperiksa.
"Ya...kalau tahu pekerjaan sebagai jaksa itu mengharuskan untuk bisa memeriksa berkas-berkas sebanyak ini, aku tidak mau mengambil jurusan hukum waktu kuliah dulu..." keluh Souji setelah meminum kopinya seteguk.
Wanita itu malah tertawa. "Lho, kan kamu yang bersikeras bilang kalau kamu mau mencoba membantu pekerjaanku?"
"Iya, kau dan pekerjaanmu sebagai detektif," sang jaksa mencibir. "Mana Akira? Sudah tidur?"
"Sedang nonton televisi di ruang tamu. Hari ini juga dia bersemangat sekali..."
"Iya, karena Mama Naoto-nya tercinta ada di rumah, jadi dia berusaha sebaik mungkin menghabiskan waktu bersamamu supaya bisa menggantikan saat-saat kamu tugas keluar kota dan tidak pulang-pulang."
Wajah Naoto memerah. "Maaf..."
"Tidak usah minta maaf," Souji menyendoki sirup mapelnya supaya merata ke seluruh wafel. "Aku tahu kau dan sifat penuh keadilanmu memang susah dipisahkan. Aku juga memilih pekerjaan ini supaya mengerti perasaanmu kan..."
"Iya tapi..." sang detektif wanita itu menunduk sedih, "...seandainya aku ini ibu rumah tangga biasa, pasti aku bisa meluangkan lebih banyak waktu dengan Akira...juga denganmu."
"Kalau kau ibu rumah tangga biasa, kau pasti akan cepat gendut dan aku tak mau menikahimu."
Naoto mengangkat sebelah alisnya. "Soalnya kamu menghabiskan banyak waktu di rumah, jadinya gampang gemuk. Kurasa aku lebih suka kamu punya pekerjaan dan tetap kurus, seperti saat ini," jelas Souji dengan senyum usil.
Wanita berambut biru gelap itu tertawa mendengar penjelasannya. "Dasar..."
"Besok ada tugas keluar kota lagi, 'kan? Bisa pulang sebelum acara reuni?" tanya Souji sambil melahap wafelnya.
"Aku tak menjamin apa-apa, tapi akan kuusahakan. Bagaimanapun, aku tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk berkumpul dengan yang lainnya..." sahut Naoto mantap.
"Baguslah...jangan memaksakan diri."
"Kau juga."
Keduanya bertukar senyum. Souji meraih pipi istrinya, mengisyaratkan agar ia mendekat. Naoto, sebagai istri yang baik, patuh dan mendekatkan wajahnya. Saat wajah keduanya semakin dekat, dan bibir mereka hampir bersentuhan, tiba-tiba saja...
"Mamaaaaaaa!!!"
Detektif wanita itu langsung mendorong wajahnya dari suaminya. Keduanya memandang ke arah pintu dan menemukan anak laki-laki berusia tak kurang dari tujuh tahun berdiri di ambang pintu. Rambutnya sedikit berantakan, piyamanya sedikit kebesaran di badannya, dan tampangnya polos.
"Akira...ada apa?" tanya Naoto, menghampiri putra semata wayangnya itu.
"Mau itu juga..." Akira menunjuk wafel di meja Souji, yang baru setengah dimakan.
"Iya, iya...akan Mama buatkan..."
"Atau," Souji menyela, "Akira duduk di pangkuan papa dan makan wafel ini sama-sama. Mau?"
Bocah yang lebih mirip dengan ibunya itu mengangguk senang dan langsung berlari ke arah ayahnya. Souji membiarkan anaknya itu duduk di pangkuannya dan menyuapinya dengan wafel. Naoto menggelengkan kepala, luluh melihat wajah imut Akira.
"Mama juga mau?" Akira menawarkan.
"Mau, kalau Akira yang menyuapkan," sahut Naoto menggoda.
"Kalau begitu sini, biar Akira bisa nyuapin..."
Souji tertawa, tapi toh dia memberikan sendoknya kepada Akira. Naoto mengangkat bahu dan berjalan mendekati meja kerja suaminya lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti permintaan putranya yang lucu itu, karena tak ada yang tahu kapan dia akan meninggalkan bocah itu selamanya, resiko sebagai detektif yang selalu menantang bahaya. Walau ia selalu berusaha untuk terus berjuang hidup demi buah hatinya dengan Souji itu.
Malam itu dilewati keluarga kecil yang bahagia itu bersama, sebelum sang ibu meninggalkan rumah pagi-pagi sekali untuk menjalankan pekerjaanya.
