Raburetā

Chara selalu milik Masashi Kishimoto Sensei.

Raburetā milik MetamorphoQueen.

Warning : AU, OOC, Sho-Ai (BL), Typo's, alur lompat-lompat dan monoton.

Pairing : SasuNaru

Don't like, don't read. Risiko ditanggung para pembaca.

Selamat membaca ...

.

.

.

Mengerutkan keningnya, Naruto menatap tak mengerti ke arah sahabatnya; Sakura, yang sedari tadi tampak mencuri-curi pandangan dari sela-sela buku di rak. Wajah berkulit putih milik gadis berambut senada dengan kelopak bunga musim semi tersebut nampak bersemu kemerahan. Tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang menggelayuti hati dan pemikirannya, siswa kelas dua SMA ternama di Konoha itu pun akhirnya mencoba mengikuti arah pandangan sahabat sedari TK-nya tersebut. Tak perlu menunggu lama, jawaban dari rasa penasarannya pun segera terjawab. Di sana, tepatnya di seberang sana; seorang pemuda berseragam sama dengannya tampak tengah duduk di kursi perpustakaan seraya membaca sebuah buku tebal dengan seriusnya.

"Begitu rupanya," menggumam dengan begitu pelannya agar hanya terdengar oleh dirinya sendiri, Naruto menganggukkan kepalanya, paham. Mengulas senyum tipis, pemuda bermarga Namikaze-Uzumaki itu pun melangkahkan kakinya secara perlahan ke arah pintu keluar; memutuskan diri untuk meninggalkan sahabatnya dengan kegiatannya—yang tampaknya masih akan memakan waktu yang cukup lama.

Menghentikan langkahnya tepat di palang pintu, siswa berambut pirang jabrik itu pun untuk sejenak menengokkan kepalanya ke arah di mana objek pandangan sahabatnya berada. Memperhatikan sosok itu dengan begitu lekat, senyuman penuh keyakinan pun tersungging pada kedua sudut bibirnya. Tertegun untuk sesaat ketika pandangannya tanpa sengaja bersibobrok dengan iris senada langit malam sang objek—yang secara tiba-tiba mengangkat pandangan, Naruto pun kembali meluruskan leher dan kepalanya. Dan tanpa menunggu apa pun lagi, dengan mantap Naruto melangkahkan kedua kakinya; berlalu dari ruangan berisi penuh buku tersebut.

.

.

.

Naruto tahu sahabatnya kini tampak bingung menatapnya. Puluhan cokelat batangan beraneka merek, lembaran surat berserakkan dan beberapa tangkai mawar beragam warna yang tampak tersimpan acak di atas meja belajarnya; pastilah cukup membuat gadis bersurai merah jambu di hadapannya untuk menautkan kedua alis.

Merasa tak ingin lebih lama lagi membuat gadis itu merasa bingung, dan tak ingin lagi menunda niatan baiknya, Naruto pun menggerakkan tangan kanannya ke arah tempat kosong di sebelah tempatnya duduk; guna meminta sahabatnya tersebut untuk sama-sama duduk di pinggir tempat tidurnya.

"Kau memintaku datang ke rumahmu untuk memamerkan semua ini padaku?" bertanya dengan skeptis dan diiringi suara dengusan tidak senang, gadis itu lebih memilih mendudukkan dirinya di kursi belajar.

"Bukan begitu, Sakura-chan," membalas pertanyaan skeptis Sakura dengan kalem, Naruto kemudian menyunggingkan cengiran kecil pada bibirnya. "Aku ingin membantumu."

"Membantu?" Sakura membeo, heran.

Menganggukkan kepalanya, pemuda bermata secerah langit siang di musim panas itu pun menunjuk benda-benda yang berada di atas meja belajarnya. "Itu semua adalah hadiah dan pemberian dari orang-orang yang sepertinya menyukai," jelasnya.

"Aku sudah tahu," sambung Sakura, dengusan kembali terdengar.

"Aku belum selesai bicara, Sakura-chan," Naruto menatap gadis tersebut gemas.

"Memangnya apa lagi yang akan kau katakan? Kau cuma ingin pamer saja, kan?"

"Ayolah, Sakura-chan ... biarkan aku bicara, oke?"

"Cepatlah, kalau begitu," Sakura menyilangkan kedua lengan di depan dada. "Aku ada urusan penting yang harus kukerjakan."

"Menjadi stalker si Uchiha itu, kan?" goda Naruto tepat sasaran, sukses membuat gadis bermarga Haruno di hadapannya bersemu dan sedikit salah tingkah.

"Dari mana ka—maksudku ... apa maksudmu?"

Sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan garang dari sahabat kecilnya, pemuda bersurai pirang itu justru menyeringai kecil. "Aku mungkin memang tampak tak peduli dan tidak peka dengan keadaan, Sakura-chan. Tapi, pengecualian untukmu dan orang-orang terdekatku. Aku ... walaupun mungkin memang terbilang terlambat, aku tahu kau sedang jatuh ha—tidak, kau jatuh cinta pada pemuda bernama Uchiha Sasuke itu."

Tertegun, Sakura menatap dirinya cukup lama. Hingga, akhirnya suara decakkan terdengar lolos dari bibir gadis beriris emerald tersebut. "Bisakah kau berhenti menyebutnya dengan sebutan pemuda. Kau seumuran dengannya, Baka."

"Hmph ... lalu?"

"Lalu, apanya?" tanya Sakura balik, sama sekali tak menangkap apa yang ingin dimaksudkan sahabat berkepala pirangnya.

Menggelengkan kepalanya lemah, Naruto menatap Sakura dengan mulut terkatup, gemas.

"Apa sih?"

"Kapan kau akan berusaha mengungkapkan perasaanmu padanya?"

"Huh?"

"Ya ampun ...," Siswa kelas dua SMA itu memijit ujung pangkal hidungnya, mendramatisir. "Ke mana kecerdasanmu, Sakura-chan? Kenapa kau sampai tidak menangkap hint yang kuberikan?"

"Hint? Apanya yang hint?" Sakura mengedipkan matanya, bingung.

"Surat, cokelat dan bunga, Sakura-chan," jelasnya dengan nada gemas yang kentara sangat jelas.

"K—kau ingin aku ...," gadis itu menunjuk benda-benda yang dimaksudkan dengan jari telunjuknya dan kemudian menunjuk dirinya sendiri dengan gerakan kikuk.

"Hu-um ...," menganggukkan kepalanya antusias, Namikaze muda itu menyengir lebar. "Kau berhenti hanya menjadi stalker dan pengagum siswa Uchiha itu, Sakura-chan. Cepat, ungkapkan perasaanmu. Dia idola sekolah juga, kan?"

Mengembang-kempiskan hidungnya secara berkali-kali, sang Haruno mendelikkan matanya. "Kutegaskan padamu, Naruto ...," Sakura mengacungkan jari telunjuknya pada Naruto. "Aku. Bukan. Stalker." tekannya pada setiap kata.

"..."

"Naruto, kau mendengarkanku, kan?" tanya Sakura dengan mata menyipit, saat tak mendapatkan tanggapan apa pun dari sang pemuda berkepala pirang.

"Memangnya ... kau mau aku meresponmu bagaimana, Sakura-chan?"

Tak menjawab, hanya suara desahan lelah yang dikeluarkannya.

Keheningan pun menggantung untuk semantara waktu di antara mereka berdua.

"Naruto, dengarkan aku," Sakura membuka suaranya setelah cukup lama menutup mulutnya rapat. "Aku sangat menghargai dan juga ... ehm, takjub dengan inisiatif dan kepedulianmu padaku," senyuman disunggingkannya. "Tapi, semua tak semudah itu, Naruto. Seperti yang kaubilang, dia ...," gadis itu mengerutkan keningnya, "apa maksudmu dengan dia juga idola?"

"Ya, sama sepertiku, dia juga idola."

"Narsis seperti biasa, Naruto," cibirnya, sebal. "Tapi ini bukan waktunya aku untuk mendebatkan hal itu padamu. Aku ingin kau tahu ... mengungkapkan perasaan itu tak sesederhana itu."

"..." Naruto hanya diam, memperhatikan.

"Perlu keberanian dan mental yang kuat akan adanya penolakkan. A—"

"Jadi, kau takut ditolak, Sakura."

Bukan pertanyaan yang Naruto ungkapkan, melainkan pernyataan. Pemuda beriris sapphire tersebut menatap lekat sahabatnya yang kini tampak menundukkan kepalanya setelah perkataannya disela begitu saja.

"Sakura-chan ... sekarang kau yang dengarkan aku," Sang Namikaze muda bangkit dari posisi duduknya yang nyaman, kemudian melangkahkan kedua kakinya mendekat ke arah Sakura, dan tangan kanannya pun digunakannya untuk mengangkat dagu sahabatnya; agar matanya dapat menatap iris emerald gadis tersebut. "Tentang apa yang akan terjadi nantinya, kita semua sama sekali tak ada yang tahu. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Sakura-chan."

"..."

"Berusaha dan kemudian ditolak akan lebih baik daripada hanya diam dan menjadi sta—pengagum saja," Senyuman hangat terulas indah pada wajah berkulit kecoklatannya. "Walaupun pasti sakit, setidaknya kau akan mendapatkan jawaban akan perasaanmu padanya. Dan bila memang kemungkinan terburuk itu akhirnya terjadi, kau bisa memutuskan untuk terus maju atau mundur dari perasaanmu."

Sakura menggelengkan kepalanya berkali-kali, sukses membuat Naruto menurunkan tangannya. "Naruto, ak—"

"Kau itu perempuan hebat, Sakura. Kau cerdas, baik dan manis," Naruto menatap Sakura lembut. "Aku yakin banyak yang menyukai dan mengagumi dirimu. Jadi, ada kemungkinan 'kan ... kalau dia pun sebenarnya selama ini menyukaimu."

"Kau serius, Naruto?" Ada harapan besar yang tersirat dari pengucapannya.

"Ya." jawab Naruto, tanpa terselip sedikit pun keraguan di sana.

Menundukkan wajahnya untuk sejenak, gadis itu pun kembali mengangkat wajahnya dengan disertai senyuman lebar. "Kau memang benar, Naruto. Arigatou ...,"

"Jadi?" Naruto bertanya, menunggu jawaban akan kepastian dari sahabatnya.

"Aku akan berusaha," jawabnya mantap.

"Syukurlah, kalau be—"

"Tapi, kau harus membantuku, Naruto," sela gadis itu, serius dan penuh harap secara bersamaan.

"Huh?"

"Aku ingin kau membuatkanku sebuah surat cinta," pintanya semangat dengan mata berbinar menatap pemuda pirang di hadapannya.

Sementara, Naruto yang mendapati tatapan sahabat merah mudanya tersebut seketika mulai merasakan perasaan yang tidak mengenakkan dirinya. Entah kenapa, Naruto yakin akan terjadinya suatu kejadian yang merepotkan dan tak diinginkan akan menimpa dirinya dalam waktu dekat ini.

'Mungkin aku saja yang terlalu paranoid sendiri. Kali ini aku hanya sedikit terlibat, bukan benar-benar terlibat. Jadi, aku tak akan terkena masalah seperti biasanya. Iya, 'kan?'

Berpikir positif, putera ke-dua dari tiga bersaudara itu mencoba menepiskan perasaan tidak mengenakkan yang menghampirinya.

"Naruto ... kenapa diam saja? Kau mau, kan?"

Menggaruk pipinya kaku, Naruto pun menganggukkan kepala pirangnya pelan. Dan, pekikkan senang yang lepas dari bibir Sakura pun; menjadi awal mula Naruto untuk berjibaku dengan gulungan kertas dalam keranjang tempat sampahnya malam ini.

.

.

.

Brak ...

Suara pintu yang digebrak secara kasar membuat Naruto berjengit. Menengokkan kepalanya ke belakang, Naruto mendapati sesosok pemuda berambut oranye kemerahan dengan seringai lebar yang tampak menghiasi wajah berkulit putihnya. Menghujamkan tatapan tajam, sang Namikaze tengah pun mendengus pelan, sebelum akhirnya kembali memfokuskan dirinya pada kegiatan yang beberapa jam belakangan ini dilakoninya.

Sementara, sosok pemuda bersurai oranye kemerahan—yang tak lain adalah adiknya sendiri— itu tampak tak senang dengan respon yang didapatkannya dari Naruto. Tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun terlebih dahulu, pemuda itu dengan langkah elegan memasuki kamar bernuansa oranye terang tersebut.

"Apa yang sedang kau kerjakan, Naruto?" bertanya dengan nada yang terdengar arogan, mata beriris rubby miliknya menatap tak penuh arti pada gulungan kertas yang tampak menumpuk dalam keranjang sampah yang ada di sudut ruangan. Mengangkat naik sedikit alis yang berwarna senada dengan rambut jabrik sebahunya, sosok itu pun kemudian menyipitkan matanya tajam.

"Surat cinta, huh?"

Ucapan berbau pertanyaan dan pernyataan yang diungkapkan pemuda itu pun seketika menghentikan gerakan tangan Naruto; yang sedari tadi aktif menggoresi kertas putih polos dengan pensil mekaniknya.

Menggerakkan kepalanya ke arah samping kanannya secara patah-patah, hidungnya pun bergesakkan dengan ujung hidung pemuda berusia dua tahun di bawahnya yang kini tampak memasang seringai—setan— andalannya dengan begitu lebar.

"Uchiha Sasuke? Dari namanya kuyakin dia adal—"

"Kyuubi ...," mendesis, Naruto memicingkan matanya. "Bukankah seharusnya sekarang kau masih ada di lokasi pemotretan, hmph?"

"Aku malas, dan kemudian membatalkan satu jadwal pemotretan. Kenapa? Mau menceramahiku lagi tentang pentingnya profesionalisme kerja, eh?" Sang adik sama sekali tampak tak terpengaruh dengan aura hitam yang yang menguar bebas dari tubuh kakak ke-duanya itu. Tatapan meremehkan dan seringai menantang terpatri jelas pada wajah berkulit putihnya.

Mendesah lelah, Naruto menggelengkan kepalanya lemah, benar-benar merasa tak habis pikir dengan tingkah seenaknya sang adik—yang notabenya merupakan salah satu model dan aktor terkenal tersebut.

"Percuma, mulutku sudah terlalu sering berbusa menerangkan hal yang sama," Naruto melengkungkan bibirnya ke bawah dan kemudian mengerucutkannya. "Toh, hanya sekedar masuk lubang telinga kanan dan langsung keluar dari lubang telinga kirimu."

"Bagus, bila akhirnya kau sadar juga," Kyuubi menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

Naruto mendengus dan memutar kedua bola matanya, jengah.

"Kembali ke soal surat," Kyuubi mengarahkan telunjuk kanannya; menunjuk kertas yang teronggok manis di atas meja. "Jadi, orientasimu selama ini adalah seorang lelaki."

Plak ...

"Awww ... sakit, Baka!" pekik pemuda berparas rupawan tersebut, setelah sebelumnya mendapatkan hadiah sebuah geplakkan dari tangan sang kakak dengan kerasnya. Mengelus permukaan kepalanya yang terasa berdenyut, mata beriris rubby-nya menyipit.

"Itu untuk mulut lebarmu yang sering berbicara asal tanpa pernah mengenal penyaringan kata terlebih dahulu," jelas Naruto dengan nada puas.

"Baka ... semenjak kapan mulut berbibir seksiku berkenalan dengan saringan," Pemuda yang semenjak TK sudah menghabiskan hidupnya di depan kamera itu meringis. "Sama sekali bukan levelku."

"Hmph ... sebahagiamu sajalah." Putera tengah Namikaze tersebut berkomentar malas.

"Ya ... memang sebahagiaku. Jadi, cepat jawab. Kau gay?"

"Menurutmu?" Naruto benar-benar merasa malas untuk menanggapi tuduhan dari adik kesayangannya tersebut.

"Iya," jawab Kyuubi tanpa ragu sedikit pun. Dan, Kyuubi segera menjauhkan diri dan kepalanya dari jangkauan tangan kakaknya yang bergerak secara cepat untuk kembali menghadiahinya sebuah geplakkan. "Kenapa kau mesti marah? Aku kan hanya menjawab pertanyaanmu dengan jujur."

"Ya, saking jujurnya aku ingin melemparkanmu dari balkon kamarku sekarang juga, Kyu—maksudku Kurama-sama." terangnya dengan nada mencibir.

Bergidik, pemuda berpiyama biru tua polos itu merasa merinding mendengar nama panggungnya lolos dari bibir sang kakak ke-dua. 'Terasa mengerikan dan menjijikkan sekaligus,' batinnya.

"Sebaiknya kau segera keluar dari kamarku, Kyuu," titah Naruto, merasa tak ada gunanya untuk meladeni adiknya lebih jauh. Lagi pula, dirinya harus segera menyelesaikan tugasnya untuk menulis surat cinta.

"..."

Tak memedulikan akan ketiadaan respon dari sosok tersebut, dirinya lebih memilih membaca ulang surat yang sudah hampir setengah jadi dibuatnya. Hingga, akhirnya—

"Sebenarnya siapa Uchiha Sasuke itu? Walaupun terdengar aneh, apa itu sebenarnya nama seorang wanita? Kau bukan benar-benar seorang penyuka sesama jenis, kan?"

—pertanyaan beruntun yang dilontarkan Kyuubi menarik kembali fokusnya. Sangat jarang sekali untuk adiknya yang terkenal superior di kalangan orang kebanyakan tersebut melontarkan lebih dari satu pertanyaan.

"Jadi, kau tidak mau menceritakannya padaku, Naruto?"

"..."

"Kau lebih memilih aku terus berpikiran yang tidak-tidak tentangmu, begitu?"

"..."

"Baiklah kalau begitu, itu artinya bukan salahku bila aku te—"

"Kyuubi ...," Naruto menatap Kyuubi, horror. "Setan apa yang merasukimu sehingga kau menjadi cerewet dan kepo seperti ini?"

'Kepo? Bahasa dari mana lagi itu?' membatin, kini giliran Kyuubi yang memilih untuk diam. Kedua matanya menatap malas Naruto.

"Atau ... sebenarnya kau membatalkan pemotretan karena sakit?"

"Tidak lucu sama sekali, Baka." komentarnya, malas mendengar kakaknya terus berkicau—sama sekali tak menyadari bahwa dirinya lah yang memulai.

"Aku tidak sedang melucu, tapi aku mengkhawatirkanmu, Kyuu," akunya dengan nada dan tatapan yang menyakinkan.

"Terserahlah," pemuda itu mendesah sejenak dan kemudian tanpa ancang-ancang segera melompat ke atas tempat tidur; membaringkan tubuhnya dan mengabaikan tatapan tajam dari Naruto.

"Hentikan kebiasaanmu itu, Kyuubi. Tempat tidurku lama-lama pasti ambruk," titahnya, memperingatkan.

"Aku akan tidur di sini bersamamu," Kyuubi menyeringai dengan menyebalkannya, "Naruto Nii-chan."

"Tidak!" Bangkit dari posisi duduknya, dengan sigap pemuda berambut pirang tersebut berjalan ke arah tempat tidurnya dan kemudian mencoba mengangkat tubuh adiknya. "Kau bangunlah, aku tidak ingin seranjang dengan anak yang tidurnya tidak bisa diam. Sana ... kau pindah ke kamar Nagato Nii-san saja."

"Tidak mau," sang adik bersikukuh dan semakin menahan tubuhnya agar bisa lebih tenggelam dalam empuknya tempat tidur bersepray oranye bergradasi hitam tersebut. "Nagato tidurnya masih ngiler dan suka kentut sembarangan. Pokoknya aku tidur bersamamu, aku akan jadi gulingmu untuk malam ini."

"ARRRGGGHHHH ... BANGUN, KYUUBI!"

"TIDAK MA—"

"NARUTO! KYUUBI! INI SUDAH MALAM! JANGAN MENTANG-MENTANG TOU-SAN DAN KAA-SAN SEDANG BERADA DI THAILAND, KALIAN BISA SEENAKNYA DI RUMAH ...," suara teriakan lain terdengar dari lantai bawah, "AKU AKAN MELIBURKAN SASAME DAN SHIHO BILA KALIAN TERUS BERISIK."

"KAMI MENGERTI!"

Tak ingin mendengar lebih jauh ultimatum dari sang sulung Namikaze, kedua saudara itu menyahut kompak. Saling berpandangan, senyum miris pun mereka sunggingkan. Tak perlu melihat secara langsung, Naruto dan Kyuubi sama-sama yakin bahwa mahasiswa tingkat akhir itu kini tengah menyeringai dengan begitu puasnya.

"Gara-gara kau, Kyuu," desis Naruto begitu pelan, nyaris berbisik.

Sedangkan Kyuubi, pemuda itu hanya mengedikkan bahunya tak peduli, dan kemudian menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Menghela napas pasrah, Naruto pun kembali ke arah meja belajarnya dengan wajah yang tertekuk.

.

.

.

Melirik sejenak wajah tidur kakaknya yang nampak begitu damai, Kyuubi menyunggingkan seringai lebar. Tangannya bergerak cekatan menggoreskan rangkaian kata pada kertas putih polos yang terletak di atas meja. Suara kekehan tawa tertahan terdengar lolos dari bibirnya dengan begitu pelannya.

"Khufufu ... akhirnya selesai juga."

Pemuda beriris rubby itu pun segera melipat kertas tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna biru muda— setelah sesaat sebelumnya mengeluarkan isi surat yang asli— dan selanjutnya kembali meletakkan amplop tersebut kembali ke tempatnya; di atas tumpukan buku-buku.

"Aissh ... seandainya saja kita satu sekolah, aku pasti akan mendapatkan hiburan seru," bergumam pelan, Kyuubi mensejajarkan kertas surat asli milik kakaknya dengan bibirnya dan kemudian menggigitinya, gemas. "Kau begitu bodoh dan ceroboh, Naruto. Karena itu ... selamat menikmati kejutan dari Kurama-sama, Nii-chanku tersayang. Khufufu ..."

.

.

.

To be—bersambung ...

.

.

.

A/N.

Cuma mau bilang, semoga terhibur dengan fict sederhanaku ini.

Sign,

MetamorphoQueen

Perumnas Springhill, 18/05/15