Sudah lama saya pengen membuat fict dengan genre hurt/comfort multichap, baru terealisasi sekarang.
Yosh, semoga kalian suka ^^
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Soba ni Iru Kara belongs to me
Warning: setting AU, little OOC, typo(sorry), terinspirasi dari drama korea 'Thank You', tapi dengan alur cerita yang berbeda.
.
.
.
Soba ni Iru Kara
Chapter 1: Beginning
-.-
Naruto berhasil menemukan dua kardus besar kosong di gudang. Ditenteng di satu tangan, berjalan cepat sambil menunduk melewati para pekerja pabrik yang melihat gelagatnya. Ruang dokter pabrik ada di ujung gedung utama, tersembunyi dari kebisingan, tapi strategis untuk ditemukan. Naruto tak akan merindukannya lagi.
Seminggu bekerja, dan dia resmi dipecat. Surat dari petinggi pabrik siang tadi dengan jelas menyuruhnya untuk segera mengundurkan diri. Rasanya kebas, seperti terbanting, ingin marah, tapi tak punya tempat yang tepat.
Apa yang salah? Ia merasa sudah mengikuti prosedur yang ada. Apa hanya karena sindrom hyperaktif-nya yang sulit dikendalikan hingga melubangi kulit seorang pekerja yang meminta balsem karena pegal? Atau menggores pisau bedah pada jari yang meminta dibalut karena luka?
"Aku tidak bisa mengambil resiko ini. Lebih baik kehilangan satu dokter daripada harus menerima banyak komplain dari para pegawaiku, Naruto-san." Kata sang direktur siang itu, bahkan tanpa melihat matanya.
Naruto tidak diberikan pilihan, hanya putusan yang harus siap di ambil, "Ya, aku mengerti."
Dan, whuss... angin sore dengan cepat datang. Berhembus memasuki jendela ruang dokter pabrik yang hampir kosong dari properti medis.
Naruto mengambil troli kecil, meletakkan dua kardus besar dan dua kopor khusus medis di atasnya. Sejenak, ia menoleh pada ruangan yang hanya menerimanya seminggu kemarin. Ia tersenyum, melihat sinis pada tiga kardus ukuran sedang yang berada di samping meja periksa, baru datang tadi.
Yah, besok posisinya benar-benar diganti.
Pemuda yang belum lulus dari fakultas kedokterannya itu kemudian mendorong trolinya, melewati koridor tertutup yang dingin. Pabrik sepatu ini adalah yang ke tujuh. Yang ke delapan hampir mustahil diperoleh di Konoha lagi. Ia harus pindah. Demi skripsi, demi titel 'dokter' yang dibanggakan ayahnya.
Ia mengambil ponselnya dari saku, menekan beberapa tombol sebelum menempelkannya pada telinga.
"Paman, aku butuh tiket ke Mizu... sesegera mungkin. Arigato."
Klik. Sambungan terputus.
^^Soba ni Iru Kara^^
"Kau memecatnya?" gadis itu terbelalak tak percaya memperhatikan pacarnya yang tetap memandang ke depan di belakang setir mobilnya.
"Ya." Tegas dan datar.
"Aku tak percaya Kau tega melakukannya, Sasuke-kun..."
"Aku tak punya pilihan lain." Masih tanpa mengalihkan pandangannya.
"Kau bisa memberikan kesempatan sekali lagi, kan? Apa yang tidak bisa dilakukan Uchiha sepertimu?" gadis itu bersikeras, alisnya berkerut dengan ekspresi kecewanya yang tetap cantik.
"Jangan naif. Separuh pegawaiku akan mengambil cuti, pabrikku tersendat saat permintaan pasar meningkat. Aku kehilangan banyak uang dan kemudian tak bisa 'membelimu', bagaimana? Kemungkinan yang tidak menyenangkan bukan?" Sasuke memberikan rayuan dalam bentuknya yang khas. Mengambil kesempatan untuk menoleh demi mendapati ciuman dari wajah pacarnya yang terlalu dekat dalam jangkauannya.
"Ah!" Sakura menjauhkan diri, menutupi bibirnya yang kena serangan kilat. Wajahnya dengan cpeta merona. "J-ja-jangan bercanda!" matanya lalu terpejam, kepalanya bersandar di sandaran kursinya.
"Dia teman baikku, Sasuke-kun..."
"Dan aku pacarmu, berhenti bicara tentang dia. Aku lapar." Suara Sasuke melembut, meski tak tersenyum.
"Kalau begitu jangan bilang 'membeliku', bilang dengan versi lebih manis. 'Menikahimu' lebih baik, lalu…" pacarnya mengoceh dan Sasuke mendengarkannya sambil lalu.
Ia menggerakkan setirnya ke kiri, menuju restoran favoritnya demi memuaskan perutnya yang lapar.
Sore sudah habis dari tadi. Matahari sempurna dipeluk bumi, tak terlihat lagi. Langit gelap yang menidurkan warna lain serupa rangkaian biru-gelap-indigo-gelap, diacuhkannya.
Sengaja. Untuk melupakan semua masa lalu demi masa yang tak pernah ia perhitungkan. Ditelan waktu, dihapus jarak. Benarkah?
Di tempat yang jauh dari sana, yang memilih dikelilingi air, seorang wanita berjalan. Melalui jalan utama yang membuatnya dekat dengan dermaga. Sebuah kapal mendekat, kapal dagang. Terlihat dari karang-karang dan besinya yang kecoklatan, hampir menyerupai rapuh karena terlalu sering mengangkut beban. Tapi itu hanya tekstual.
Langkahnya berangsur cepat. Kapal tak pernah membuatnya merasa aman. Tergesa-gesa, berlari di jalan tanah yang diapit persawahan. Kodok-kodok menyambutnya dengan seruan kawin bersahut-sahutan.
Wanita itu melihat jam di pergelangan tangannya. Jam makan malam hampir tiba, dan ia tak mau membuat anak dan ayahnya khawatir. Roknya melambai mengikuti gerak kakinya yang tak mampu berlari lebih cepat lagi.
"Kaa-san..." suara kecil itu datang dari samping. Di lahan sawah yang gelap tanpa penerangan, gadis kecil berambut pendek tersenyum lebar padanya.
"Cho! Ya Tuhan, apa yang Kau lakukan disana?" Hinata membawa dirinya memasuki pematang. Menarik seorang gadis kecil yang ternyata memegang seekor kodok.
"Jii-san bilang, dia ingin makan ayam. Cho tak bisa menemukan ayam liar di sini, Kaa-san. Jadi, Cho menangkap ini."
Kwook...
Cho menyodorkan si kodok pada sang ibu yang membulatkan matanya. Tidak mendapat reaksi lain, Cho mengangsurkan kembali kodok jantan yang masih mengembang-kempiskan tenggorokannya. Tangan Cho kotor terkena lumpur yang juga menempel di beberapa bagian bajunya. Kakinya? Coklat seperti karamel hitam.
"Kau anak yang baik, Cho. Tapi jika Kau keluar malam-malam menangkap kodok lagi, papa beruang akan menangkapmu, Kau mau?"
"Tidak." Tegas.
Hinata tersenyum, mengusap kepala putrinya yang manis, "Anak pintar."
Keduanya berjalan pulang dalam terang yang sulit dijangkau. Cho bersenandung dengan riang, tidak melepaskan katak yang ia tangkap meski hewan amphibi itu terus melakukan perlawanan. Tubuh kecilnya melompat-lompat, bergerak bagai kincir angin.
Dan tiba-tiba ia berhenti, melepaskan genggaman tangannya dari ibunya, "Kaa-san, janji nanti ini dimasak ya?" Hinata otomatis juga berhenti, menoleh ke belakang hanya untuk menyerah pada sepasang mata bundar berseri nun polos yang menatapnya dengan permohonan.
"Siap, Kapten." Hinata meyakinkan, menambahkan panggilan yang paling disukai oleh anaknya.
Cho tertawa, melompat lagi, lalu berteriak kegirangan, "Yatta!" lagu tak dikenal kemudian mengalun dari mulut kecilnya, "Kapten menangkap kodok YA! Kapten hebat sekali, YA! Siapa dia ooo siapa dia, dialah Kapten CHO yang pemberani…"
Pematang mereka tinggalkan, berdua berjalan beriringan. Cho tetap bernyanyi, sesekali suara kodok bersahutan dari kejauhan. Desanya yang tenang, kehidupannya yang cukup bahagia, orang-orang yang ia sayangi ada dalam jangkauannya. Hinata tidak akan pernah berpikir untuk mengubah keadaan ini.
Kecuali secara ekonomi, tentu ia ingin lebih baik.
Langit di atas mereka menggelap, membiarkan berjuta bintang unjuk sinarnya malam ini. Hari pertama di bulan kedua tahun ini, sinar terang di titik terbulat langit memantulkan cahaya matahari di belahan bumi lain.
Bulan baru telah datang.
Wujudnya pun sedikit berubah. Bagai lukisan cat air yang tersamar di dalam gelas kaca.
Mungkin, kehidupan baru juga akan menyapa mereka.
^^Soba ni Iru Kara^^
Masih bersambung…
A/N: file ini sudah mengendap di kepala saya semenjak dua tahun lalu, gila baru ditulis sekarang. Ahaha, menertawai diri sendiri atas kebodohan saya, haiiiiissssh.
Nah, meski terinspirasi dari drama korea 'Thank You', alurnya beda kok, sungguh ^^. Saya lebih terinspirasi pada pengambilan settingnya yang pedesaan gitu. Soalnya jarang-jarang drama korea set-nya di alam yang terpencil.
Afeksi antar tokoh kayaknya akan terlihat chapter depan #kokkayaknya? Hahaha
Jadi, saya minta review-nya yah, minna…
Review dalam bentuk apapun saya terima kok. Mau ngasih konkrit, silakan. Mau ngasih komentar-kritik-saran, monggo. Mau ngasih flame, dozo. Mau ngasih duit, nanya rekening saya dulu di PM #taboked.
Salam
Aiko fusui
