Minna! Aku balik lagi nih !
Kali ini AKu bikin cerita romance tapi tragedy, bisa di bilang cerita ancurlah.. T,T *pundung di pojokan
Len : Hoy, Author, kalo pundung terus, kapan ceritanya mulai?
Rin : Nih, Author*nyodorin jeruk
Semangat,ya!
Aish,Rin baik banget…oh, jangan terlalu formal gitu dong..
Rin,Len : Haii,,Baka nii-san!
Summary : "Akan kulakukan apapun untuk kalian semua. Hanya ini satu-satunya cara untuk menebus kesalahanku." "Tidak! Jangan lakukan itu, Miku! Kau bisa saja mati!" Cerita tragedy romance pertamaku, maaf kalo ceritanya gag bisa hidup. Tapi aku sendiri suka cerita ini.
Disclaimer : gag perlu tanya lagi vocaloid udah jelas-jelas punya crypton and Yamaha. kalo vocaloid punya saya,hancur sudah mereka.
Warning : cerita jelek,gag memenuhi EYD,hati-hati kalo baca,kalo nekat baca,mending siap-siap muntah(?)
Someone POV
Untuk apa aku hidup. Aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Tuhan bersikap sangat tidak adil kepadaku. Tuhan sudah mengambil segalanya dariku. Aku sudah kehilangan orang yang kucintai, aku sudah kehilangan cahaya yang selalu menerangiku ,bahkan impianku pun kandas di tengah jalan.
Untuk apa aku harus hidup. Kenapa aku harus selalu hidup menderita seperti ini? Kenapa harus aku yang mengalaminya? Semua ini terasa sangat memuakkan. Aku benar-benar sudah merasa bosan untuk hidup. Tapi, entah kenapa aku jadi merasa takut untuk meninggalkan dunia ini. Kalau saja mereka tidak muncul, aku pasti tidak akan merasa takut untuk meninggalkan dunia ini.
Normal POV
"Konnichiwa~" Suara seorang gadis memecahkan keheningan. Dengan riang, gadis itu berlari masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu dipersilahkan oleh si penghuni ruangan serba putih itu.
"Len-kun~!Apa kabar? Kenapa murung begitu?"
Gadis itu meletakkan barang bawaanya di meja. Rambut twintailnya bergoyang kesana kemari mengikuti langkah itu menatap wajah lawan bicaranya dengan tatapan sendu. Gadis itu diam sejenak lalu menyeret kursi kesamping ranjang dan duduk dengan manis di sana.
" Rin? Kau Rin,kan?"
Gadis itu tersentak kaget. Dia tidak menyangka pemuda itu bisa melupakan suaranya begitu saja. Apalagi,pemuda itu malah menyebutkan nama seorang gadis yang terbaring koma di Rumah Sakit,membuat gadis itu tertunduk dalam sambil menahan air matanya.
"Bukan,Len-kun. Ini, aku. Miku." Gadis itu menjawab dengan lirih. Menatap pemuda yang sedang duduk diatas ranjang sambil menahan rasa sakit di hatinya.
"oh," Pemuda itu merespon dengan singkat. Membuat Miku semakin merasakan sakit di hatinya. Dia meremas ujung rok sekolahnya.
"Apa kau lapar, Len?" Miku berusaha berbicara dengan tenang, tampak sedikit nada kekecewaan dalam suaranya. Pemuda itu hanya diam saja. Miku memalingkan wajahnya,menatap ke arah foto yang diletakkan di atas meja. Foto seorang gadis honey blonde yang sedang tertawa bahagia.
"Tadi malam, aku bermimpi tentang Rin."
Pemuda honey blonde itu menolehkan wajahnya. Miku melirik pemuda itu sebentar lalu melanjutkan perkataanya.
"Rin memarahiku habis-habisan. Dia bilang aku bodoh. Hanya karena aku tidak sanggup membuatmu memakan makanan yang kau bawa. Benar-benar aneh." Miku memaksakan senyumannya. Dia sadar, percuma saja tersenyum. Karena pemuda itu, tidak mungkin bisa melihat senyumannya,
"Kau memang bodoh, Miku. Aku sudah kehilangan segalanya. Tapi kau malah menahanku untuk tetap hidup di dunia busuk ini." Pemuda honey blonde itu memegang perban yang menutupi matanya,lalu merematnya kuat-kuat dan menariknya hingga lepas.
Miku sedikit terkejut melihatnya. Dia tidak menyangka ,pemuda itu akan melakukannya lagi. Miku bangkit dari kursinya dan bergegas menarik tangan pemuda itu dari perbannya.
"Hentikan, Len!" Miku menggenggam tangan pemuda itu erat-erat. Air mata Miku sudah tidak tertahankan lagi. Dengan terisak-isak, Miku menarik tangan pemuda itu kuat-kuat dan menggenggamnya lebih erat.
"Lepaskan, Miku!"Pemuda honey blonde itu menyentak tangan Miku. Tapi Miku tetap bertahan,dia menggenggam tangan pemuda itu terus.
"Tidak akan! Sudah cukup, Len! Hentikan!" Miku berteriak nyaring, membuat Len tersentak kaget dan diam. Suasana mendadak jadi hening, Hanya terdengar suara isakan tangis Miku.
"Pergilah, Miku.."
"Tidak!"
Miku menjatuhkan tubuhnya disamping ranjang pemuda itu. Dia melepaskan genggaman tangannya perlahan. Tangisnya semakin hebat. Miku meremat dadanya kuat-kuat sambil menundukan kepala. Air mata terus mengalir dari sudut matanya yang sedikit membengkak. Menetes sedikit demi sedikit dan membuat rok sekolahnya basah.
Pemuda honey blonde itu sedikit gusar. Tangannya meraba-raba udara yang kosong,berusaha mencari sosok sang gadis yang sedang menangis histeris. Miku menatap pemuda itu miris. Rasa sakit di hatinya sudah sampai pada puncaknya. Miku bangkit dari keterpurukannya,dan menhapus air matanya dengan ujung seragam sekolahnya.
"Kalau itu maumu… Baiklah.. Aku..Aku pergi, Len." Miku membalikkan badannya dan mengambil tas sekolahnya yang tergeletak di atas meja. Rambut twintailnya yang memiliki panjang tidak wajar itu,menyapu tangan sang pemuda honey blonde yang tetap meraba-raba udara yang kosong.
"Tidak, Miku! Dengarkan perkataanku dulu, Miku!" Si pemuda honey blonde itu bersusah payah turun dari ranjangnya. Tangannya bergerak-gerak menyapu udara yang kosong. Langkahnya sangat kacau tak berarah. Miku menatap pemuda itu dengan hati yang semakin hancur. Tangannya bergetar saat memutar knop pintu.
"Jangan pergi, Miku. Aku mohon… Maaf, kan, aku Miku..Maaf.." Pemuda itu berjalan perlahan mendekatinya. Miku menggelengkan kepalanya perlahan.
"Akulah yang salah. Aku tidak seharusnya memaksamu untuk melakukan sebenarnya tidak kau inginkan. Maafkan aku atas ketidakpekaanku ini, Len." Miku memberikan senyumannya yang sedikit dipaksakan. Mata teal aquanya menulusuri setiap gerak-gerik pemuda itu.
"Tidak, Miku. Aku mohon, tetaplah disini." Pemuda itu kini berada dihadapan Miku, hanya saja, pemuda itu belum menyadari keberadaan Miku.
"Maafkan aku, Len. Aku harus pergi. Ini pertemuan terakhir kita. Aku janji." Miku meremat knop besi yang ada di genggamannya. Pemuda itu semakin panik. Tanganya dengan liar menyapu udara di hadapannya. Tangannya berhasil menyentuh rambut twintail gadis itu. Tapi belum sempat dia menemukan pemiliknya,gadis itu sudah memutar knop pintu dan terdengar suara pintu yang terbuka.
"Maafkan aku, Len… Sayonara… Arigatou,Len…" Miku berlari keluar ruangan,meninggalkan pemuda honey blonde yang terus meneriakkan namanya. Hati Miku sudah hancur untuk mendengar suaranya. Miku terus berlari, tidak peduli berapa banyak orang yang sudah ditabraknya, tidak peduli ke mana kakinya akan membawanya, Miku terus berlari.
BRUKK!
Miku mengaduh pelan, apa yang ada dipikirannya saat ini terasa berputar-putar di kepalanya. Miku memegangi kepalanya yang terasa sedikit sakit. Miku mencoba untuk bangun, tapi ternyata pusing yang di rasakannya saat ini membuatnya kesulitan untuk bangun.
"Lho,Miku,ya?"
Miku menengadahkan kepalanya,menatap sosok orang yang sedang mengulurkan tangannya. Miku menyambut uluran tangannya. Terasa sangat lembut dan hangat. Pandangan Miku masih agak kabur, caranya berjalan masih sedikit sempoyongan. Orang itu menuntun Miku untuk duduk di bangku terdekat dengan mereka.
"Kau baik-baik saja,Miku?"
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing. Memangnya yang kutabrak tadi apa?"
Miku memegangi kepalanya. Perlahan-lahan pandangannya mulai jelas. Dia menggelengkan kepalanya perlahan. Berusaha mencari titik kesadarannya.
"Itu," Orang itu menunjuk sesuatu disampingnya. Miku hanya bisa cengo melihat apa yang di tabraknya. Sebuah papan spanduk Rumah Sakit, heh? Pantas saja Miku sampai terhuyung-huyung seperti saat Meiko mabuk.
" Lalu, kau menjenguknya lagi,Miku?"
Miku mengangguk perlahan. Mata teal aquanya menatap lemah pada orang yang ada dihadapannya. Rambut toscanya sama dengan milik Miku,mata teal aquanya yang teduh,dan jemarinya yang lentik sedang mengusap kepala Miku perlahan.
"Kenapa kau pulang duluan? Tidak biasanya kau begitu," Pemuda itu menatap miris pada saudaranya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Miku menjitak kepala pemuda itu dengan gemas.
"Memangnya tidak boleh kalau aku mau pulang duluan?" Miku menghadiahi pemuda itu dengan death glarenya. Pemuda itu memegangi kepalanya yang sakit.
"Bagaimana bisa aku melayani pasien kalau kau terus menghancurkan syaraf memoriku, Miku!" pemuda itu balas menatap Miku dengan ditambahi death glare.
"Salahmu sendiri, sok jadi dokter di usia semuda itu, Mikuo." Miku menjitak kepala adiknya lagi. Mikuo mengaduh kesakitan dengan lirih.
"Bisa berhenti mukul kepalaku nggak, sih?" Mikuo menatap sinis pada kakaknya. Dua mata teal aqua saling beradu.
"Mau kugantung di jemuran lag i,hah?" Mendengar kata di gantung, Mikuo langsung kicep. Dia tidak berani menyahut perkataan kakanya yang sudah setingkat dengan banchou. Terdengar impossible bila mengingat wajah Miku yang manis dan imut, rambut yang diikat twintail seperti anak-anak dan lemah bila berhadapan dengan pemuda honey blonde.
"Maaf-maaf," Mikuo memohon maaf pada kakaknya. Bisa-bisanya harga diri seorang dokter hilang di hadapan seorang banchou. Apalagi dia kakanya sendiri.
"Oh, iya. Apa dia sudah mau makan?" Mikuo menepuk seragam dokternya yang sedikit berdebu lalu duduk di samping kakaknya. Miku hanya menggeleng perlahan sambil menundukkan kepalanya. Mentupi setitik air mata yang jatuh dari sudut matanya.
Mikuo menatap kakanya dengan ekspresi keheranan. Miku si banchou berubah menjadi Miku si cengeng ? Ayolah, Miku tidak akan menangis seperti ini kalau dia belum benar-benar hancur. Mikuo menyenderkan kepala kakaknya di dadanya yang bidang. Memeluk Miku dengan sangat lembut.
"Aku sudah putuskan, Mikuo."
Mikuo mengangkat sebelah alisnya. Dia belum sepenuhnya mengerti bagaimana keadaan kakaknya saat ini. Mikuo mengelus kepala Miku perlahan.
"Akulah, yang akan melakukannya."
Tangan Mikuo terhenti begitu saja. Iris teal aquanya membulat. Mikuo sangat terkejut, wajahnya berubah jadi pucat pasi. Tanpa sadar, keringat dingin menetes dari dahinya.
"Jangan, Miku!" Mikuo menjauhkan tubuh Miku dari pelukannya. Mikuo memegang lengan Miku yang ramping tapi berisi. Miku hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak hanya setitik,tapi mengalir begitu saja. Air mata Miku menetes mengenai telapak tangannya yang tertelungkup diatas pangkuannya.
"Kalau kau melakukannya, kau bisa mati,Miku!"
Mikuo meneriakki Miku tepat di depan wajahnya. Miku hanya membuang muka. Sekeras apapun Mikuo menghalanginya,watak banchou Miku akan mematahkannya begitu saja. Miku menatap wajah pasien-pasien Rumah Sakit tempat Mikuo bekerja dengan lemah. Mungkin apa yang dilakukannya adalah tindakan bodoh,tapi akan lebih bodoh lagi kalau Miku hanya berpura-pura tidak tahu.
"Bukan hanya 1 yang mereka butuhkan, tapi lebih!" Mikuo menggoyangkan tubuh Miku. Berharap Miku sadar akan tindakan gilanya. Tapi,tekad Miku sudah terlanjur bulat. Miku akan melawan kematian demi nyawa orang yang disayanginya.
"Miku!"
"Tidak, Mikuo. Miku sudah lama mati. Yang ada dihadapanmu saat ini bukanlah Miku."
Miku bangkit dari kursi, tapi langkahnya terhenti saat Mikuo menarik pergelangan tidak memberikan respon apapun, tatapannya tetap lurus menatap kedepan. Mata teal aquanya menelusuri setiap sudut halaman rumah sakit. Seolah-olah sedang mencari sosok yang tidak mungkin tampak sebelum Miku mati.
"Tapi, Miku…"
"Kau mau melakukannya dengan tanganmu sendiri atau aku yang akan melakukannya sendiri?" Mata teal aqua Miku menatap sosok pemuda biru yang sedang membawa sekantung es krim berjalan menyusuri jalan setapak Rumah Sakit. Pemuda biru itu menyadari sedang diperhatikan, dia menoleh sambil melambaikan tangannya kearah Miku. Pemuda itu berlari mendekat, Miku menghepaskan genggaman Mikuo dengan sekali sentakan.
"Kau harus tutup mulut, Mikuo. Atau aku yang akan membungkam mulutmu untuk selamanya." Miku berlalu meninggalkan Mikuo yang diam terpaku.
"Konnichiwa,Mi..eh?" Perkataan pemuda itu terhenti saat Miku melewatinya begitu saja. Pemuda itu keheranan dengan tingkah temannya yang satu ini. Tanpa pikir panjang lagi,pemuda itu mendekati Mikuo yang sedang melakukan headbang di kursi taman. Bibirnya seperti komat-kamit mengucapkan sumpah serapah untuk dirinya sendiri.
"Apa yang terjadi dengannya, Mikuo?" Pemuda biru itu duduk di samping Mikuo. Mikuo tersentak lagi saat Kaito membuat kata-kata Miku terngiang kembali dikepalanya. Mikuo menggeleng perlahan sambil mengangkat bahu. Pemuda itu tidak bertanya lagi. Dia sibuk dengan es krim di genggamannya saat ini.
"Kau mau menjenguk Len,Kaito?" Mikuo mengalihkan pembicaraan sambil menghela nafas.
"Ya, aku juga mau menjenguk Rin." Kaito menyodorkan es krim rasa negi kesukaan duo Hatsune. Tapi, Mikuo malah menolaknya. Kaito sedikit kebingungan dengan tingkah Mikuo yang tumben menolak sesuatu yang berunsur negi.
"Sudah kau temukan orangnya?"
"Ya, untuk mereka berdua, orang itu rela mati." Mikuo memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut. Kaito melonjak girang, membuat es krim di tangannya tumpah begitu saja. Mikuo hanya melirik sekilas lalu bersikap acuh tak acuh. Kaito semakin heran dengan perubahan tingkah Miku yang tadi melewatinya begitu saja dan Mikuo yang acuh tak acuh pada es krimnya. Padahal, biasanya Mikuo tak segan-segan untuk menendang Kaito yang sering menumpahkan es krimnya.
"Kau kenapa?"
"Lebih baik kau bergegas, Kaito. Masih ada sisa waktu sebelum orang itu mati di tanganku. Ucapkan selamat tinggal dan terimakasih padanya." Mikuo menatap telapak tangannya yang agak pucat. Kaito menepuk bahu pemuda itu perlahan,
"Katakan padaku siapa orang itu." Mikuo menggeleng perlahan. Dia menundukkan kepalanya lagi. Kaito yang memang IQnya rada-rada tengkurep cuma bisa menatap Mikuo dengan ekspresi keheranan.
"Orang itu tidak pernah jauh dari kalian. Carilah sendiri, aku tidak bisa mengatakan hal ini pada siapapun. Ini rahasia pihak Rumah Sakit." Mikuo bangkit dari bangku taman dan pergi sambil membawa papan spanduk dengan muka masam. Kaito semakin heran dengan tingkahnya.
Sementara itu, di lain tempat. Seorang gadis twintail sedang menatap gedung rumah sakit dari kejauhan. Matanya terus menerus menatap gedung itu lekat-lekat. Menanamkannya di memorinya yang paling dalam. Dan menandainya sebagai tempat perpisahan,
Gadis itu memalingkan tubuhnya perlahan,tampak setitik air mata mengalir dari sudut matanya. Langkahnya sedikit di percepat,dengan berat hati gadis itu mengucapkan kata perpisahan pada dirinya sendiri.
"Kau sudah berjuang,Miku. Ini semua kau lakukan demi mereka. Bukan untuk siapapun. Kematianmu,tidak boleh sampai teringat oleh mereka. Yang perlu kau lakukan hanyalah melakuakan semuanya sesuai skenariomu. Drama sudah di mulai dari sekarang,"
Yey! Udah selesai! Udah selesai!
Rin : heh,chan! Kenapa aku biasa koma kayak gitu? Kalo ceritanya selesai, berarti koma selamanya, dong?
ah,iya,ya. Maafkan aku soal itu, Rin.
Len : dasar bobdoh, tinggal buat chapter berikutnya saja. Gitu aja, kok, susah.
huwaa! Kau pintar,Len!
Rin : Nah,tanpa banyak bicara, kami tunggu reviewnya. Oh,iya. Ada pesan dari author.
Kalo gag ada review,berarti ceritanya cuma sampai disini. ...
Miku : nah, kalo gitu, aku saja yang tutup obrolan kali ini. Berhubung author lagi gantung Len di pohon cabe, Rin yang lagi pundung, sama chara-chara yang belum muncul, aku mengucapkan terima kasih, sudah mau membaca dan mereview cerita gag becus ini.
Dadah! ^,^/
REVIEW PLEASE..
