The Fallen Angels

Kaisoo

1. Claim


...the devil was once an angel.


Malaikat. Adalah makhluk abadi yang suci dengan jiwa bersinar terang. Penuh kasih dan kebaikan. Berjalan dalam aturan serta ketaatan. Makhluk surga yang mengemban tugas-tugas suci dari-NYA.

Sementara...

Iblis.

Adalah wujud metamorfosa dari malaikat yang jatuh. Akibat mengingkari altruisme dan tunduk pada egoisme. Makhluk abadi dengan sifat pemberontak. Memalingkan wajah dari-NYA. Melakukan hal-hal di luar repertoar malaikat, adalah alasan-alasan mengapa mereka terkutuk dan dibuang. Segala sifat yang dimiliki ialah bertentangan dengan malaikat. Lalu sebagai perlawanan pada kerajaan surga, dibawah kerajaan Lucifer— Iblis tertinggi, yang sedianya adalah makhluk surga yang telah jatuh— para Iblis mengemban tugas untuk menorehkan noktah pada jiwa-jiwa manusia, menuntunnya pada dosa yang menyesatkan, hingga menjual jiwanya pada Neraka.

Yah.. tugas seperti yang kulakukan saat ini.

Manusia dengan jiwa murni. Hampir tak bercela dengan sedikit noda. Adalah objek sarat tantangan dalam membuktikan kreadibilitas bagi Iblis tingkat rendah hingga suatu saat hal itu dapat membuatnya menjadi iblis tingkat tinggi dengan kemampuan yang lebih tinggi. Meskipun memang akan membutuhkan waktu berabad-abad lamanya.

Seperti yang kukatakan, tantangan. Anak manusia laki-laki yang terbaring lemah di atas ranjangnya ini memiliki jiwa begitu murni sehingga aku kesulitan membelokkan hatinya. Dan sialnya, tampaknya aku sudah mengawalinya dengan rekor yang buruk setelah aku sudah menempeli anak manusia ini selama satu bulan lamanya namun dia belum goyah sedikitpun. Iblis yang lain mengatakan, manusia paling murni—yang tersulit— paling lama bisa mereka rusak jiwanya dalam waktu dua minggu. Dan aku mulai berpikir bahwa jiwa anak manusia ini mungkin yang terlezat di antara yang terlezat yang belum pernah dihadapi kaumku. Karenanya aku tidak akan mundur. Jika dia tidak juga terpengaruh dengan cara persuasif dalam wujud manusiaku, maka opsi terakhir adalah menggunakan kemampuan makhluk abadiku sebagai iblis, walaupun bagian menyebalkannya hal itu dapat mengundang risiko yang lain. Walau begitu, apapun akan kulakukan untuk mendapatkan jiwa ini, karena poin tambahannya adalah, anak manusia ini akan mati tidak lama lagi setelah tubuhnya terus digerogoti penyakit mematikan. Dan, hmm...dengan jiwa semurni itu sudah bisa dipastikan para malaikat dengan amat bersuka cita akan menyambutnya di kerajaan surga. Kalau sudah begitu bagaimana mungkin aku melepaskannya? Tentu saja tidak. Aku akan merusak jiwanya hingga saat-saat terakhir. Aku akan mencuri jiwa ini dari para malaikat dan mempermalukan mereka.

Lantas, berkedok sebagai pasien yang memiliki nasib yang sama. Berubah dalam wujud manusia yang ringkih dan lemah, satu bulan aku menjadi teman sekamarnya di rumah sakit. Iblis amatir umumnya akan bertanya mengapa aku melakukan cara persuasif dalam wujud manusia, namun Iblis berpengalaman pasti sepakat bahwa metode ini adalah cara terbaik supaya tidak menarik banyak perhatian— menggunakan kemampuan iblis hanya akan memberitahu keberadaan kita pada makhluk abadi lainnya. Seperti yang kubilang, itu akan memancing risiko yang lain.

"Kau yakin tidak ingin menggunakannya?"

"Tidak. Dan kau juga tidak seharusnya memiliki benda ini." Jawabnya sembari menjauhkan plastik kecil berisi serbuk putih di dalamnya, yang kutawarkan padanya. Benda ini dapat membunuhnya perlahan, hasilnya, perbuatan tidak menyayangi diri sendiri bisa mengotori jiwanya, setelah itu akan lebih mudah mempengaruhinya. Itu rencana sederhanaku.

"Hei... Tubuhmu akan kembali bugar dan bahkan kau bisa keluar dari tempat ini setelahnya. Lihat aku, setelah menggunakan ini tubuhku membaik dan dokter memastikan aku bisa pulang besok." Dustaku. Kudorong lagi benda itu padanya. "Istri dan anakmu sudah membuangmu karena penyakitmu ini. Bagaimana kau bisa diam saja diperlakukan semenanya?" Menatapnya sarat simpati, aku menunjukkan bahwa aku juga terluka untuknya.

Wajahnya yang pucat menggeleng. "Mau bagaimana lagi, penyakitku sudah menimbulkan banyak masalah pada mereka. Aku bisa mengerti. Jadi Kyungsoo, tolong jauhkan benda itu dariku." Ujarnya, menyebut nama wujud manusiaku.

Lihat? Aku sudah mengalami banyak kesulitan untuk menyeret jiwanya pada kegelapan.

Menghampiri lalu duduk di sisi ranjangnya, aku menyentuh lengannya lembut. "Kalau begitu, gunakan ini demi untuk menemui anakmu." Menyerang salah satu kelemahannya bukan lagi yang pertama, tetapi dia masih memberi penolakan dengan menggeleng sedih padaku, justru ia memandangku seolah akulah yang menyedihkan. Namun tentu aku tidak terpengaruh. "Bukankah kau bilang ingin melihat anakmu untuk terakhir kalinya? Yah, aku tidak ingin memaksamu, tapi aku ingin membantumu karena aku mengerti apa yang kau rasakan."

Dia tersenyum lemah, kini terlihat mencoba menghiburku. "Terimakasih. Tapi aku tidak bisa menemuinya dengan cara yang salah." Tanggapnya, kukuh.

"Memangnya kau akan melakukan kesalahan apa? Ini bisa membuatmu sehat kembali." Aku tak kalah bersikeras.

"Hanya sesaat, Kyungsoo. Setelah Itu benda itu akan membunuhmu. Itu salah. Sama saja dengan kau membunuh dirimu sendiri." Bantahnya berusaha meyakinkanku dengan sungguh-sungguh.

"Bukankah kita akan mati juga?" Tuntutku.

"Tapi bunuh diri adalah cerminan dari keputusasaan. Dan kita tidak seharusnya menyerah begitu saja terhadap hidup kita."

"Apa itu berarti kau masih percaya bahwa kau bisa sembuh dengan hanya berbaring seperti ini?" Ini. Manusia ini membuatku mulai muak.

"Aku masih menjaga harapanku terlepas dari takdir seperti apa yang akan aku hadapi."

"Tidak, DIA dan mereka sudah mengkhianati harapanmu, kau tahu?!" Tanpa sadar emosi kemarahan membuncah, membuatku berseru padanya.

Dia terdiam memandangku datar, sebelum bertanya "Kyungsoo. Siapa yang mengkhianatimu?"

Pertanyaan itu menembus jantungku. Memaksaku terpaku. Amarah serta benci merasuk ke setiap aliran darah. Sifat dasar Iblis dalam sekejab menguasaiku—

"Maafkan aku jika aku menyinggungmu. Aku tidak bermaksud. Sungguh."—yang langsung direspon penyesalan oleh anak manusia ini.

Sialan.

Aku tersenyum. Mengembalikan kebijaksanaan palsuku pada ekspresi topeng manusiaku. "Haruskah kubuang saja benda ini?"

Anak manusia ini tampak semakin sedih. Meraih tanganku lalu menggenggamnya ia berkata. "Maafkan aku."

Sialan!

Aku meninggalkan ranjangnya lalu kembali ke ranjangku yang tak jauh darinya. Anak manusia itu terus memanggil nama wujud manusiaku sembari mengucapkan maaf seperti sederet mantra, yang tak kupedulikan.

Sialan. Sialan. Sialan. Anak manusia sialan!

Tidak ada pilihan. Begitu malam melelapkan para anak manusia, demikian kesunyian menjadi latar belakang di dalam ruangan yang gelap, aku melepas aura Iblisku walaupun masih dalam wujud manusia. Menghampiri anak manusia teman sekamarku yang tengah tertidur pulas lalu mendekatkan bibirku ke telinganya.

"Hei..." Menggunakan kekuatan Iblisku, aku berbisik lembut, mengirimkan sebuah sketsa mimpi erotis ke dalam tidurnya. Sementara tanganku menyentuh pahanya, mengelusnya semakin ke atas. Ada banyak cara yang dapat mengotori jiwa manusia, salah satunya ialah saat manusia bersetubuh dengan makhluk neraka. Kugunakan cara ini karena manusia paling rentan pada nafsu mereka, terlebih pada mereka yang telah lama kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi. Aku memang bukan iblis wanita, tapi aku bisa meniru kemampuan succubus maupun incubus dalam hal ini.

Manusia sukar melawan kekuatan bisikan iblis. Itulah yang kutahu. Dalam lelapnya, anak manusia ini menggerakkan pinggulnya gelisah, dengan ragu menggesekkan miliknya ke tanganku.

Mudah.

Sebentar lagi jiwanya akan gelap. Seru kepalaku.

"Ya...begitu terus." Bisikku mesra sembari menggosok miliknya yang mulai menonjol keras. Sementara cuplikan erotis terus dipentaskan dalam mimpinya. "Setelah ini, dimana kau ingin memasukkannya?" Keningnya mengernyit, merespon gusar dalam suara rengekan tersiksa. Dia mencoba melawan.

Seringaiku tersungging, meremehkan perlawanannya. Mungkin seharusnya aku tidak perlu membuang-buang waktu dan menunggu selama satu bulan. Seharusnya sudah kulakukan ini sejak awal.

"Tidak apa-apa... Tidak apa-apa... Ini hanya mimpi... Kau aman di dalam mimpimu... Tidak ada yang salah dengan bermimpi..." Memaksanya pasif, tanganku menyelip masuk di antara piama, meremas miliknya diatas celana dalamnya. Dia terkesiap, namun lebih rileks. Sepertinya rasa berdosa dan bersalah itu mulai lenyap dari alam bawah sadarnya.

Sebentar lagi... Sebentar lagi...

"Hei, haruskah kubeli saja langsung jiwamu?" Kekehku. Rasanya menjadi sangat menarik. "Kau akan mendapatkan seks yang luar biasa. Aku akan menyembuhkan penyakitmu. Setelah itu kau bisa bertemu dengan anakmu. Aku juga akan membuat istrimu kembali padamu. Bagaimana?" Tawarku antusias.

Namun, rasa antusias itu hanya bertahan sekejap. Tidak semudah yang kuperhitungkan, tawaranku justru membuatnya kembali melawan. Keningnya mengernyit, matanya berusaha terbuka, dan tangannya mengepal kuat, bersikeras mengenyahkan pengaruh suara iblisku. Jika anak manusia ini berhasil bangun maka pengaruh iblisku akan lenyap.

"Apa yang kau takutkan? Para malaikat berpaling darimu. Dan DIA tidak menyembuhkan penyakitmu. Akulah yang datang untuk menyelamatkanmu..." Yakinku padanya. "Terimalah... lalu aku akan memberimu lebih banyak... Lebih banyak dari yang kau butuhkan... Bagaimana?" Hanya dengan sekali anggukan atau ia mengiyakan langsung, maka artinya ia telah menyetujui perjanjian yang kutawarkan, demikian jiwanya menjadi milikku—milik neraka.

"Per...gi." Desis anak manusia ini merespon.

Aku terpaku pada keteguhan hatinya. Namun hanya sejenak sebelum aku merasa harga diriku sebagai Iblis terluka telah bisa dilawan sejauh ini. Aura berwarna ungu berpendar seperti asap halus di sekitar tubuhku ketika aku melepaskan seluruh kemampuan iblisku untuk memancing keluar nafsu dan jiwa gelap yang ada di dalam diri setiap manusia— yang terkubur dalam oleh kemurnian jiwanya dalam kasus anak manusia laki-laki satu ini— kemudian aku berdiri dan menaiki tubuhnya.

"Well... Well... Well... Lihat apa yang kita temukan di sini." Sebuah suara yang terdengar seperti mengutip kalimat dari salah satu adegan film aksi, serta merta muncul menyela dari belakangku.

Dan berbicara tentang menggunakan kemampuan Iblis pada jiwa murni akan menarik banyak perhatian dan memancing risiko yang lain, inilah yang kumaksud. Aku menoleh, dan sebelum aku sempat membalasnya, sosok pria– memiliki wajah rupawan yang eksotis, tinggi, bermata tajam, kulit warna tembaga, mengenakan setelan hitam— yang langsung bisa kukenali aura dari pengelompokan jenisnya, kembali berkata;

"Ternyata hanya seorang bocah lima tahun. Seorang malaikat yang telah jatuh dan menjadi makhluk neraka." Dia meneleng kepala padaku, memandang saksama dengan mata sendu menyiratkan sinisme, yang mengejek. "Iblis tingkat rendah." Tambahnya.

Para makhluk abadi yang tak terhitung jenisnya di bumi dan di langit, tidak butuh mengkonfirmasi golongannya jika bertemu dengan makhluk abadi lainnya, sebab makhluk abadi bisa mengenalinya hanya dengan merasakan aura dan aroma makhluk yang lain. Jadi tidak heran dia bisa mengetahui bahwa aku seorang iblis terlepas aku menggunakan wujud manusia. Meskipun demikian, tetap saja aneh jika dia mengetahui—sedikit– lebih banyak tentangku. Dan berbicara tentang umur, aku tidak benar-benar seorang bocah lima tahun seperti yang dikatakannya. Tubuhku adalah tubuh dewasa. Hanya saja, kelahiran pertamaku adalah sebagai seorang malaikat, menjalani kehidupan itu selama tiga tahun sebelum aku jatuh. Lalu menjalani kehidupan baruku lagi sebagai iblis, baru selama dua tahun. Karena itu aku tergolong sebagai iblis muda sekaligus tingkat rendah berdasarkan umur dan minimnya pengalaman.

Aku turun dari tubuh anak manusia mangsaku, memandang pada sosok pengganggu dengan kegelapan Iblisku. "Malaikat dengan segala aturan-aturan pretensiusnya, semestinya tidak membuat mereka ikut campur." Sindirku.

Berjalan ia mendekati anak manusia mangsaku yang masih terjebak dalam mimpi erotis, sementara aku menyesuaikan dengan menjaga jarak darinya, insting iblisku mengetahui pasti bahwa malaikat ini adalah jenis tingkat tinggi yang tak akan bisa kulawan. Dia mengusap wajah anak manusia itu dengan telapak tangan, melepaskan pengaruh iblisku darinya, sehingga kerutan di kening si anak manusia itu sirna lalu kembali tertidur pulas.

"Peraturan juga memberi pengecualian tertentu pada hal dan peristiwa tertentu."

"Lucu sekali ketika kalian akan membiarkannya mati begitu saja."

"Semua manusia pasti akan mati."

Tipikal malaikat, dengan kearifan dan propagandanya. Membuatku muak.

"Dia milikku!" Geramku menegaskan kepemilikan pada anak manusia mangsaku.

"Tidak. Kaulah yang milikku." Sanggahnya.

Penegasan kepemilikikan yang lebih kuat dari milikku, terpaksa memaku tubuhku terdiam. Bajingan. Dia menggunakan kekuatan malaikat dalam kata-katanya padaku. Membuat tubuhku menjadi berat hanya untuk mengubah diri kembali pada wujud iblisku.

Berjalan mendekat dia berdiri sekitar tiga meter dariku. "Melenyapkan segelintir iblis rendah tidak akan menyebabkan banyak masalah. Lucifer juga tidak akan berduka hanya karena hal itu. Sebaliknya, keuntungan bagiku karena melenyapkan mantan malaikat yang telah membunuh rekannya."

"Dia yang mengkhianatiku!" Refleks. Bantahku nyalak. Bajingan malaikat itu sekarang menyerangku dengan menggores luka yang kubawa dari kehidupan malaikatku.

Aneh. Malaikat bukan tipe konfrontatif. Membenci kekacauan dan pertentangan. Jika harus memusnahkan makhluk neraka, mereka akan langsung melakukannya, sebagai salah satu tugas yang dielu sebagai tugas mulia. Tapi apa yang dilakukan malaikat satu ini?

Oh. Otakku baru saja memproses kilat. Memberi pencerahan mengenai hal ini. Percakapan dengan Baekhyun, makhluk neraka kenalanku kembali dipamerkan dari ingatanku.

"Jiwa murni yang kau temukan itu ada di utara? Kau akan pergi ke sana? Kalau begitu berhati-hatilah, tidak banyak iblis tingkat rendah yang berani berburu di sana, karena salah satu anjing penjaganya dikenal memiliki sifat sadistis terhadap para iblis. Namanya adalah Kai, jangan sampai kau memancingnya keluar. Dan juga jangan berharap iblis tingkat tinggi penjaga daerah itu akan membantumu jika kau tertangkap para malaikat, karena tidak akan ada yang peduli pada nasib iblis amatir."

Diakah? Si Kai itu?

"Dyo." Ucapnya menyebut namaku. Yang membuatku bertanya-tanya lagi, apakah makhluk abadi tingkat tinggi juga bisa mengetahui nama dan wajah makhluk abadi lainnya? "Kisah heroikmu telah menjadi populer di kalangan kami."

Oh.

Kisahku?

Sesungguhnya hanya kisah murahan tentang seorang malaikat muda yang jatuh cinta pada seorang anak manusia, membuka jati dirinya pada yang dicintai dan menjalin sebuah hubungan terlarang diam-diam namun akhirnya diketahui oleh salah satu sahabat malaikatnya yang kemudian berjanji akan merahasiakannya, malangnya sahabatnya lalu diam-diam melaporkannya pada malaikat tertinggi sehingga karena dikuasai oleh amarah dan rasa dikhianati ia lantas membunuh sahabatnya tersebut. Cerita seorang malaikat jatuh cinta pada anak manusia berakhir dengan dikutuknya sang malaikat ke neraka dan dihapusnya ingatan si anak manusia tentang sang malaikat.

Itukah yang malaikat ini ingin ungkit?

Cih!

Cerita murahan itu tidak lagi berpengaruh padaku setelah menjadi iblis. Cinta yang kumiliki untuk anak manusia itu, sudah pudar. Karena iblis tidak merasakan cinta. Yang tersisa hanyalah dengki yang dilahirkan dari pengkhianatan mantan sahabatku.

"Apa kau ingin memberiku semacam katarsis?" Seringaiku tajam padanya, "Sayang sekali karena aku tidak membutuhkannya. Jadi menyingkir dari sini."

Alis tebalnya terangkat, dengan peranggainya yang tenang ia memandangku heran. "Sejauh yang kuingat para makhluk neraka menyebutku si anjing sadis utara. Jika aku pergi hanya karena iblis rendah menyuruhku maka itu akan bertentangan dengan kisah-kisah yang beredar. Tidakkah itu akan mengubah jalannya cerita?"

Dia, adalah Kai.

Malaikat sialan.

Aku menggeram. Mudah tersulut amarah juga adalah salah satu sifat dasar iblis. Dan aku tidak berbeda dengan iblis lainnya. Dua sayap hitam berkepak dari punggungku, bersamaan bulu-bulu hitam berjatuhan di sekitarku, cakar hitam panjang menyeruak dari kuku-kuku tangan, mata merah menenggelamkan mata manusiaku. Menunjukkan wujud asli, aku menciptakan api merah di sekitarku dengan dipenuhi hasrat ingin membakar malaikat di hadapanku. Tidak peduli dia malaikat tingkat tinggi atau bukan, aku akan menyingkirkannya.

"Kau tahu kau tidak bisa melakukannya." Ujar Kai seolah mendengar isi pikiranku. "Iblis tingkat rendah tidak akan mampu melakukannya."

Aku menggertakkan gigi. Lalu mengibas tanganku berkali-kali, melempar bola-bola api merah beserta api berbentuk panah ke arahnya, namun api-apiku lenyap begitu saja tepat di depan matanya tanpa ia harus melakukan sesuatu yang berarti.

Apa yang ingin kubuktikan? Iblis tingkat rendah lainnya pasti akan segera lari menyelamatkan diri begitu berhadapan dengan malaikat tingkat tinggi seperti Kai. Tetapi aku masih tetap bertahan bahkan saat seranganku tidak bisa menyentuhnya sedikitpun. Apakah karena aku sangat menginginkan jiwa anak manusia itu? Ataukah hanya keangkuhan sifat iblis yang menahanku?

Aku tidak ingin lari. Hanya itu yang kurasakan.

Aku melompat terbang ke arah Kai, membungkus tanganku dengan api merah. Aku akan membakarnya dengan tanganku sendiri. Tekadku. Namun tekadku lenyap secepat apiku yang padam, dia menepis tanganku tanpa perlindungan kekuatan malaikatnya saat aku mengincar jantungnya. Akan tetapi aku tak sudi menyerah, menggunakan tanganku yang lain yang terbungkus api, aku berhasil memukul dadanya, keras, justru tanganku yang terasa panas. Semua seranganku tidak mempan, tidak menimbulkan cidera segorespun pada tubuh Kai.

Sia-sia. Sial!

Aku segera mundur. Menatapnya nyalak tetap tak ingin mengalah.

Helaan napas terdengar bosan. Kai menatapku ironi. "Api-mu tidak mempan padaku, 'nak." Ejeknya.

Entah karena koherensi kalimat-kalimat provokatif yang terus menghujam harga diriku sehingga memancing sesuatu dari dalam diriku, atau karena ada faktor lain yang tidak kumengerti, tetapi serta merta seluruh tubuhku terselubung api hitam, dan di atas telapak tanganku terbentuk bola api hitam bergejolak dengan panas yang bahkan bisa kurasakan tanganku sendiri. Aku mengangkatnya, memperhatikannya terkejut sekaligus takjub. Kulihat malaikat itu juga mengernyit waspada, dan hatiku bersorak karena api hitam ini berhasil melenyapkan pandangan meremehnya padaku. Aku mengangkat api hitam ini, memamerkan pada Kai dengan sombong, tetapi belum sempat kulemparkan, sebuah cahaya kilat melesat ke arahku lalu dalam sedetik sebuah tali cahaya membelit kencang tubuhku. Aku jatuh menggeram tak bisa bergerak. Api hitam di tubuhku lenyap. Kakiku menjadi lemas. Dan malaikat Kai—sialan—ini menerjang ke atas tubuhku. Aku memberontak saat malaikat ini mencoba mengikatkan tali berbentuk cahaya lainnya ke kedua pergelangan tanganku.

"Mengapa jiwamu begitu gelap." Gumamnya, lebih seperti bermonolog.

Bodoh!

"Iblis hanya memiliki kegelapan!" Raungku, terus berusaha melepaskan diri. Dan cahaya yang mengikatku mulai menyakiti tubuhku. Rasanya seperti terbakar. Namun berbeda dengan panas api milikku. Dan kemudian tali cahaya itu menyegel kekuatan iblisku.

"Seharusnya sudah kumusnahkan sejak dari tadi." Sesalnya. "Kau adalah makhluk neraka yang berbahaya." Kai mengangkat tangannya ke udara, lalu muncul sebuah pedang runcing dari cahaya, membuatku gemetar di bawahnya. Apakah aku akan mati?

Makhluk Abadi. Adalah makhluk yang tidak akan mati hingga tiba pada hari penghabisan dunia. Namun begitu, tetap saja makhluk abadi bisa dibunuh oleh makhluk abadi lainnya yang lebih kuat. Kekuatan abadi hanya bisa dibunuh dengan kekuatan abadi. Dan aku? Malaikat bernama Kai ini bahkan belum menggunakan kekuatan malaikatnya saat menghadapiku, tapi aku sudah dibekuk seperti ini. Jadi, dengan sekali hujam oleh pedang cahayanya di jantungku, maka aku akan langsung menjadi debu. Tetapi, apa yang kulihat berikutnya, kemudian menyangsikan hal itu. Dengan tatapan yang tiba-tiba berubah sendu sarat kelembutan bercampur bingung itu... Benarkah dia masih ingin membunuhku?

Sesuatu telah menahannya, ia terpaku gusar di atas tubuhku. Mata mengernyit penuh gejolak. Seolah ia sedang terjebak perang batin yang dahsyat, yang telah berani menghantam ideologinya sebagai seorang malaikat. Ada apa dengan malaikat ini?

Pedang cahaya itu lenyap. Dalam kebingungan yang tersisa, Kai menyingkir dari tubuhku. Lalu tanpa mengatakan apapun, dia menciptakan sebuah pusaran cahaya besar di dinding, menarik lenganku lalu melemparku ke dalam cahaya menyilaukan itu.

Berikutnya, aku terjatuh di pinggir jalan ramai dengan tubuh manusiaku. Tak ada manusia lain yang memperhatikan, tentu saja, dengan teleportasi kilat itu siapa yang akan menyadari bahwa aku terlempar dari tempat lain. Dengan kebingungan yang kini melandaku, aku berdiri, memperhatikan tubuhku yang tak lagi terikat. Mengapa dia melepaskanku? Mengapa malaikat yang tidak pernah melepaskan iblis yang tertangkap olehnya justru melepaskanku? Mengapa dia melakukannya?

Tubuhku menggigil. Sikap malaikat sadis itu justru lebih menakutkan dari pedangnya yang beberapa saat lalu hampir menghunusku.


Continued...


–*–

.

.

FIKTIF.

Ide cerita ini muncul saat beberapa waktu lalu saya baca novel pinjem dari temen dengan niat mau mengasah otak untuk mulai nulis lagi. Saya lupa judulnya karena novel itu gak sampek selesai saya baca juga, tapi novelnya menceritakan kisah seorang succubus. Tadinya habis baca novel, saya mau lanjutin ngetik Red Void, memang saya lanjutin, sampek sekitar 2k saya ketik, tapi otak saya gak konsen karena kepikiran terus sama ide dari hasil baca novel yg tak simpen di otak saya. Jadi, saya memilih skip dulu Red Void, lalu nulis fanfict ini. Niatnya mau dibuat oneshoot, tahu2 nyampek 11k+, jadi saya bagi jadi 4 chapter.

Dan, dan... Kenapa Red Void belum juga saya update, itu karena sejak akhir tahun hingga awal tahun sampai beberapa bulan lalu saya mengalami banyak kejadian yg gak bisa saya sebutkan karena bisa-bisa nanti saya dibilang buka aib. Tapi saya aktif di sosmed, tetep nyetalk EXO, tetep ngehebring, karena itu salah satu yang bisa menghibur saya dari carut marutnya dunia tsaaah xixiiiii

Saya sudah mulai menulis lagi, tapi otak yang terlanjur karat susah diajak kompromi dengan niat, jadinya lambat. Untuk yang baca dan nunggu Red Void, maafin keleletan saya :")