Shintarou mengoleskan selai kacang di sekitar roti yang baru saja dipanggangnya. Mesin pemanas kopi yang tersimpan tidak jauh darinya ia abaikan sejenak. Toh, mesin itu akan berhenti secara otomatis nantinya, tidak khawatir akan meledak gara-gara kopinya terlalu lama dipanaskan. Selesai dengan beberapa roti panggangnya dan menyimpannya di atas piring, Shintarou membawanya ke arah konter. Meletakannya sebentar sedangkan dirinya kembali membawa dua cangkir kecil lalu menuangkan kopi yang sudah dipanaskan tadi.

Begitu kembali melihat meja konter, Shintarou tertegun.

Piringnya sudah hilang, lengkap dengan roti-rotinya.

"Morning, Shin,"

Ah, rupanya diambil seseorang. Kepalanya terangkat, menyunggingkan seulas senyum simpul begitu melihat Seijuuro sudah berjalan menuju meja makan. Tentu dengan piring roti selai yang dibuatnya tadi, setelah itu meletakannya di atas meja. Tidak jauh dari segelas susu cokelat hangat yang sudah disiapkan Shintarou sedari tadi.

"Morning, Sei." Shintarou berhenti tepat di samping laki-laki berambut merah itu, menatapnya sejenak. Well, terkadang melihat penampilan Seijuuro di pagi hari dengan kameja abu yang lumayan besar di tubuhnya—kameja miliknya, tentu saja—juga sweater putih yang tersampir di sekeliling bahunya, membuat Shintarou ingin menyerangnya kapan saja.

Tapi tidak untuk saat ini. Mengingat bayi yang tengah dikandung pemuda itu.

Astaga, Shintarou jadi ingin tertawa.

"Jangan melamun, tuan berkacamata," sindiran tak langsung itu membuat Shintarou mendengus kecil, juga geli. Ia mencondongkan tubuh cepat dan memberikan satu kecupan singkat di bibir tipis Seijuuro.

"Jangan lupa obatmu, Sei," juga tidak lupa memperingatkan, "kau selalu lupa untuk meminumnya. Ah, atau mungkin kau pura-pura lupa?"

Rongga di kedua mata Seijuuro berputar, pupilnya mengikuti Shintarou yang berjalan kembali, menarik kursi di depannya, lalu duduk di sana. Meletakan dua cangkir kopi di hadapannya, dan satu lagi untuknya.

"Aku benci obat berwarna merah itu," dengus Seijuuro, untung saja ia tidak mengucap kata itu untuk dirinya sendiri. "Selalu membuatku mual,"

Shintarou menghela napas pelan. "Sei, asam folat bagus untuk kandunganmu,"

"Oh! Baiklah, tuan dokter, kau mulai lagi dengan ceramahmu,"

"Kalau kau tidak suka dengan pilnya, setidaknya kau harus mengonsumsi bayam, atau lobak cina, atau bisa juga kacang polong—"

"Aku benci kacang polong,"

"Aku tahu itu, biji bunga matahari?"

"Memangnya kau pikir aku ini hamster?"

"Kalau begitu minum obatnya."

Seijuuro selalu tidak suka ketika gerakan Shintarou terkadang lebih cepat darinya. Entah sejak kapan pria tinggi itu sudah memberikan dua butir pil berwarna merah untuknya, lengkap dengan gelas tinggi yang sudah tersimpan di samping cangkir kopinya. Ya, memiliki suami seorang dokter seperti Midorima Shintarou terkadang merepotkan juga. Terlebih jika sudah cerewet soal kandungannya, juga mengenai kesehatan.

"Kau menyebalkan, Shin." Sindir Seijuuro sekali lagi, kali ini dengan penekanan. Meski satu tangannya tetap mengambil butir pil di tangan Shintarou, melahapnya cepat, lalu menegak air putih yang sudah disiapkan Shintarou untuknya. Ugh, rasanya menjijikan,Seijuuro membantin sebal. Perutnya terasa mual.

"Jika hal itu bisa membuatmu dan janinmu sehat, kurasa itu sepadan," sahut Shitarou tanpa sadar, namun begitu iris merah-emas Seijuuro mengerling ke arahnya jenaka, ia menambahkan, "yang tadi itu refleks keluar dari mulutku, Sei. Dan jangan melihatku seperti itu."

Huh, Seijuuro tahu, suaminya ini masih saja menyimpan sifat tsundere-nya, meski tidak separah dulu. Dan mendengar hal semacam tadi keluar dari bibir Shintarou, mau tak mau Seijuuro dibuat senang olehnya. Walaupun Seijuuro sendiri tidak akan mengatakannya secara gamblang di depan Shintarou.

"Oh, ya," sadar akan satu hal yang dilupakannya, Shintarou kembali membuka suara, "kau tidak membangunkan Chi—"

"Papa."

Dua orang dewasa itu serentak menoleh, Seijuuro ke arah belakang, sedangkan Shintarou mengintip dari bahu Seijuuro. Mendapati bocah kecil bersurai abu dengan tatapan datarnya—namun Shintarou tahu binar di matanya kesal—berdiri tidak jauh dari mereka. Tangan mungilnya mengusap kedua matanya yang masih terlihat sayu. Sepertinya rasa kantuk masih menyerang seluruh saraf tubuh kecil itu.

"Pagi, Chihiro," Seijuuro memutar tubuhnya sedikit, membiarkan bocah itu berlari kecil ke arahnya lalu memeluknya singkat, dan setelahnya mengambil tempat duduk di satu sisi yang lain. Samping kanan Seijuuro, sedangkan samping kirinya Shintarou.

"Kenapa papa tidak membangunkanku," bukan pertanyaan, sesungguhnya. Tapi lebih menuju ke pernyataan. Chihiro mengambil gelas berisi susu cokelat di depannya, lalu menegaknya pelan. Dalam hati bersorak mengakui bahwa susu yang dibuatkan Shintarou memang selalu enak.

"Ah, maaf," kekehan kecil keluar dari bibir Seijuuro, "tanyakan Otousan-mu yang tidak membangunkanku lebih pagi."

Kali ini iris abunya mendelik ke arah Shintarou. Meminta penjelasan. Pria berambut hijau itu mengutuk dalam hati karena terkadang tatapan anaknya yang satu itu bisa mirip seperti Seijuuro. Tajam, juga mengintimidasi.

"Aku heran kenapa kalian berdua ini sering kali mem-bully-ku." Ujar Shintarou akhirnya sambil memebetulkan letak kacamata. Tidak menghiraukan Seijuuro dan Chihiro yang menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Karena Otousan itu tsundere?"

Crack!

Ah, nyaris saja kacamata Shintarou pecah. Astaga, darimana anaknya yang datar ini mendapatkan kata nista seperti itu?

"Sei, jangan lagi memberinya cerita yang aneh-aneh,"

Seijuuro tidak menggubrisnya. Ia malah sibuk mengusap puncak kepala Chihiro yang sedang makan roti panggang buatan Shintarou dengan lahap. Sesekali bahunya berguncang pelan dan tawa kecil terdengar setelahnya.

"Aku hanya menceritakannya dongeng pengantar tidur," balas Seijuuro tak acuh. Tangannya kini mengambil roti panggang bagiannya. "Benar 'kan, Chihiro?"

Chihiro mengangguk, selai kacang membuat wajahnya belepotan. "Papa selalu menceritakan masa-masa pacaran dulu dengan Otousan,"

Shintarou mematung. Ya Tuhan, Sei!

"Juga masa-masa ketika kau masih bayi," celetuk Seijuuro kemudian.

"Un!" Chihiro mengangguk, "tentang Otousan yang kadang salah membuat susu botol,"

"Juga tentang tidak bisa memakaikan popok untukmu,"

"Dan membuatku menangis ketika Otousan berusaha melucu di depanku, mungkin wajah Otousan membuatku takut sehingga tangisku malah semakin keras,"

"Shin yang selalu tersenyum sendiri di depan anaknya ketika tertidur tenang,"

"Lalu akan kembali memasang wajah datar begitu Papa memergoki Otousan yang senyum-senyum sendiri,"

"Bahkan—"

"Baiklah," satu tangan Shintarou terangkat, sedangkan tangannya yang lain menutupi sebagian wajahnya. "Tidak perlu dilanjutkan, aku mengerti. Kalian menang kali ini."

Seijuuro menyeringai, Chihiro tersenyum. Sama-sama lebar.

Shintarou meringis pelan.

"Ayo Chihiro, habiskan sarapanmu, bus sekolahmu akan datang sebentar lagi."

.

.

.

"Sweet Pieces"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Sweet Pieces © Alice To Suki

Pair : MidoAka (Midorima x Akashi)

Warning : M-Preg. Shota!Mayuzumi. Two-shoot.

.

Special request for our beloved Neechan.

.

.

Pictures 1 : Father, Papa, and Son

.

.

Seijuuro melangkah pelan kembali ke dalam rumah setelah melepas kepergian Chihiro.

Saat masuk ke dalam rumah, Seijuuro melihat Shintarou tengah duduk di sofa ruang tengah sambil membaca koran dan akhirnya ia juga memutuskan untuk duduk di sebelah pemuda bersurai hijau tersebut, hitung-hitung sekarang mereka bisa berduaan saja tanpa ada gangguan.

"Shin," panggil Seijuuro.

"Hmm, ada apa, Sei?" tanya Shintarou tanpa mengalihkan pandangannya dari koran tersebut.

"Oh, jadi koran itu lebih menarik ketimbang aku? Bahkan kau bertanya tanpa melihat wajahku,"

Shintarou menghela napas seraya menutup halaman koran lalu meletakan koran tersebut di atas meja yang ada di depannya. Entah kenapa Seijuurou jadi sensitif kalau sedang mengandung seperti ini.

"Maafkan aku, Sayang," tanggap si surai hijau sambil mengelus helaian rambut Seijuuro yang berada di sebelahnya. Halus seperti biasanya dan Shintarou menyukainya. Ralat, dia menyukai semua hal dari pemuda tersebut.

Seijuuro hanya merespon dengan bibir yang cemberut dan mengembungkan pipi kanannya karena kesal. Shintarou yang melihat itu hanya bisa menahan senyum karena melihat wajah kekasihnya sangat manis ketika sedang sensitif seperti ini.

"Ada apa tadi Sei memanggilku?" Ulangnya.

Tidak menjawab tetapi Seijuuro langsung meletakan kepalanya di atas paha Shintarou dan menjadikannya bantal.

"Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau berduaan saja denganmu,"

"Benarkah? Jadi Sei ingin bermanja-manjaan denganku?"

"Shin, belum berangkat kerja?" Tanya Seijuuro mengalihkan pembicaraan.

"Belum. Mungkin nanti sekitar jam sebelas dan sekarang masih jam tujuh tiga puluh,"

"Untunglah. Jadi aku bisa berbaring di sini agak lama,"

"Sei, hormonmu sedang melonjak, ya?"

"Memangnya kenapa kalau hormonku melonjak?"

"Tidak, hanya saja tumben-tumbenan kau bersikap manis seperti ini,"

"Mumpung hanya kita berdua. Memangnya tidak boleh?"

"Kapan aku mengatakan tidak boleh? Aku menyukaimu saat seperti ini, Sei," ucap Shintarou sambil mengelus helaian rambut itu sekali lagi dan Seijuuro tampak menikmati setiap gerakan jemari Shintarou di atas kepalanya. Jujur saja, sentuhan Shintarou yang seperti itu membuatnya dapat tenang dan rileks.

"Sudah tujuh bulan. Waktu berjalan dengan cepat, ya, Shin?" tanya Seijuuro dengan senyum simpul.

"Kau benar," jawab sang dokter kali ini dengan senyum tipis, membalas senyuman kekasihnya. "Dan kau benar-benar harus menjaga kesehatan karena usia kandungan di atas tujuh bulan itu rawan. Banyak bayi yang akhirnya lahir prematur di kisaran usia tersebut,"

"Selalu saja paranoid seperti itu. Aku bisa menjaga diriku dan bayi ini sebaik mungkin,"

Shintarou menghela napasnya, "Baiklah, aku percaya padamu." Ia menjawab seperti itu karena ia tahu tidak ada gunanya melawan Seijuuro.

Seijuuro itu keras kepala, begitupun dirinya dan jika salah satu di antara mereka tidak ada yang mau mengalah, dapat dipastikan argumen-argumen tadi akan berujung menjadi pertengkaran. Lagipula Shintarou sebisa mungkin menghindari pertengkaran. Selain karena ia tidak suka bertengkar, kondisi Seijuuro juga sedang rentan. Lonjakan emosi yang berlebihan dapat berakibat buruk pada janinnya nanti.

Seijuuro terkekeh kecil. "Aku suka dirimu yang seperti itu, Shin," Tidak ada nada ejekan di dalamnya. Semuanya ia ucapkan dengan tulus tanpa paksaan.

"Tapi aku tidak suka saat kau keras kepala seperti tadi, Sei,"

"Oh, ayolah! Aku tahu kau tidak sungguh-sungguh mengatakannya,"

"Kenapa kau bisa berpendapat seperti itu?"

"Karena kau menyukai semua yang ada pada diriku ini. Benarkan? Ayo mengaku saja, Shin," goda Seijuuro disertai senyuman jahil.

Semburat merah tampak di wajah Shintarou. Perkataan Seijuuro tadi telak mengenai dirinya. Yang dikatakannya benar. Shintarou menyukai semuanya. Mulai dari atas sampai bawah, dari luar hingga dalam, Shintarou menyukainya. Err, luar dan dalam? Terdengar sedikit ambigu, eh?

Helaian rambutnya, paras dengan ekspresi tidak mau kalahnya, matanya, suaranya, keegoisannya serta yang lainnya telah membuat Shintarou jatuh hati dan tidak rela kalau sampai melihat pemuda yang satu ini jatuh ke tangan orang lain.

"Ah, lihat! Wajahmu memerah, manis sekali,"

"Oke, oke, aku mengaku. Yang kau katakan itu benar, Sei. Aku menyukai semuanya tentangmu,"

"Oh! Shin, jujur sekali," Tanggap Seijuuro seraya tersenyum senang, "Ngomong-ngomong, Shin, sudah memikirkan nama untuk anak kita nanti?"

"Belum menemukan yang cocok walaupun banyak pilihan yang sempat terlintas,"

Seijuuro mengangguk paham, "Hmm... begitu, ya," kemudian melanjutkan, "Masih ada dua bulan lagipula. Kita dapat memikirkannya bersama-sama. Kau, aku dan mungkin Chihiro juga,"

Seijuuro pun memegang perutnya dan mengelusnya dengan perlahan sembari menutup kedua matanya untuk membayangkan bagaimana rupa sang bayi nantinya. Apakah akan lebih mirip dengan Shintarou? Atau akan mirip dengan dirinya? Ah, Seijuuro rasanya sudah tidak sabar menanti. Begitu pun Shintarou dan terutama Chihiro.

Chihiro sangat antusias menunggu kelahiran sang adik, walaupun mukanya sendiri selalu menampakkan ekspresi datar yang acuh. Seijuuro tahu kalau anaknya yang satu itu tidak pandai mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan.

"Ah!" Pekik Seijuuro tiba-tiba.

Shintarou yang mendengar Seijuuro pun terkejut. "Ada apa? Ada yang sakit, Sei?" Tanya dokter itu khawatir.

Seijuuro menggelengkan kepalanya, "Tidak ada apa-apa. Aku cuma kaget bayinya menendang tiba-tiba," jawabnya dengan senyum polos.

Pria berkacamata itu pun turut meletakan tangannya di atas perut Seijuuro dan tidak lama, ia juga merasakan tendangan yang sama. Seulas senyum pun terlukis di wajah dokter muda tersebut.

"Sepertinya dia akan menjadi anak yang kuat dan juga sehat," ucap Shintarou.

"Aku setuju. Kuat sepertiku, tentu saja,"

"Ah! Jangan bilang kalau akan ada Seijuuro ketiga di rumah ini setelah dirimu dan Chihiro,"

Seijuuro tertawa, "Benar, dan kami semua akan sangat senang apabila dapat menggodamu setiap hari, tuan berkacamata,"

"Meladeni kalian berdua saja sudah membuatku kewalahan,"

"Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, Shin sayang,"

"Ya, kau benar," jawab Shintarou.

"Oh, iya, jam berapa kau akan pulang kerja?"

"Eh? Seperti biasa, tentu saja. Jam enam atau paling telat jam tujuh. Ada apa kau menanyakan hal itu?"

"Hanya ingin memastikan. Jangan pulang terlalu malam,"

"Memang kenapa kalau aku pulang malam?"

"Aku akan merindukanmu,"

Ah, sisi ini yang paling Shintarou suka dari Seijuuro. Sisi yang mirip seperti seorang anak kecil. Dan melihat cara bicara Seijuuro sekarang, tampaknya ia memang jujur mengatakan hal tersebut. Shintarou ingin tertawa saat melihatnya.

"Aku hanya akan bekerja sekitar tujuh sampai delapan jam, Sei,"

"Tujuh jam itu setara dengan empat ratus dua puluh menit atau dua puluh lima ribu dua ratus detik, Shin. Itu lama dan aku pasti merindukanmu,"

Astaga, Tuhan! Seijuuro yang egois seperti ini kadang membuat jantung Shintarou berdetak dengan cepat. Juga ingin membuatnya tertawa, meski Shintarou tahu ia tidak akan melakukannya secara lepas. Bisa-bisa Seijuuro marah besar.

"Baiklah," Shintarou menghela napas pelan, lalu mengembuskannya keras. Kelima jari besarnya sengaja ia letakan di sepasang iris Seijuuro. Menutupi kedua matanya, membuat pandangannya menjadi gelap. Namun di sisi lain memberinya kehangatan.

Shintarou mencondongkan tubuhnya, sedikit menggeser tangan yang berada di kening Seijuuro lebih ke bawah, memberikan akses lebih luas untuk bagian keningnya. Hingga di detik berikutnya ia memberikan satu kecupan di sana, agak lama. Hingga beberapa detik kemudian, Shintarou terkekeh geli, nyaris tidak terdengar.

"Aku juga akan merindukanmu."

.

.

.

"Ah, Papa."

Well, Chihiro memang tidak seperti anak kecil kebanyakannya. Bocah abu itu lebih senang berucap tenang memanggil namanya dibanding berteriak, seperti beberapa orang temannya. Tapi Seijuuro lebih suka yang seperti itu, membuat semua orang tidak akan ada yang memperhatikannya.

Sore itu, ketika Seijuuro tengah bersantai—juga merasa sepi—di rumahnya, ia mendapat telepon dari pihak taman kanak-kanak tempat sekolah Chihiro, mengabari mereka tidak bisa mengantarnya pulang karena bus pengantarnya berada dalam masalah. Sehingga pihak sekolah meminta orang tua murid untuk menjemputnya, juga tidak lupa dengan permintaan maafnya.

Seijuuro merasa tidak masalah dengan hal itu. Lagipula, ia keluar pun masih bisa menggunakan pakaian yang biasa. Dengan kameja hitam dan celana berwarna putih, terlebih karena menutupi perutnya. Dan ia itu laki-laki, perutnya tidak akan membesar terlalu pesat seperti seorang ibu hamil.

"Papa, kita tidak akan langsung pulang?" Chihiro bertanya dengan nada nyaring, satu tangan mungilnya tergenggam dengan erat pada tangan Seijuuro.

"Kita akan mampir ke suatu tempat, sayang," sahut Seijuuro halus, ditambah dengan senyum simpulnya. Ya, hanya pada anaknya ia akan bersikap seperti itu, termasuk Shintarou. Lalu selebihnya, buat mereka tunduk dan takut padanya. Setidaknya itu yang dipikirkan laki-laki berambut merah itu.

Seijuuro tertegun sejenak.

Oh, tidak. Ia lupa. Seharusnya ia mengirimi Shintarou pesan singkat. Berkata bahwa dirinya dan Chihiro berada di luar sebentar. Ia tahu Shintarou tidak akan pulang cepat, tapi terkadang pria itu bisa melakukannya.

Ah, tidak akan menjadi masalah, batin Seijuuro akhirnya. Shintarou itu dokter. Mungkin akan sibuk di rumah sakitnya menangani beberapa pasien. Ya, selama Seijuuro pulang lebih cepat dan tidak menimbulkan masalah. Memang, kapan terakhir kalinya ia membuat masalah? Seingatnya Seijuuro itu selalu benar, bukan? Oh, satu hal yang pasti, Seijuuro lupa membawa ponsel.

"Papa,"

"Eh?" Seijuuro tersentak pelan, setelah itu menunduk. Menatap dalam sepasang mata bulat anaknya. "Ada apa?"

"Kita akan ke mana?"

"Hmm … "

Chihiro menunggu, berharap mendapatkan jawaban pasti.

"Ah," satu jari Ayahnya terangkat, "Chihiro, kau tahu kan tanggal tujuh Juli nanti Otousan-mu ulang tahun?"

Si bocah kecil mengangguk antusias. Mengingat setiap malam ia selalu berharap bahwa hari itu akan cepat datang nanti. Berharap untuk mengucap kata yang selama ini ingin diucapkannya di depan Shintarou.

"Itu dia," satu tangannya mengacak surai abu Chihiro, meremas kepalanya jengkel. "Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan ketika Otousan-mu ulang tahun nanti?"

Dan Chihiro tak perlu jawaban lebih. Ia jelas mengetahuinya.

.

.

.

Begitu pintu rumahnya terbuka, Seijuuro dikejutkan akan satu hal.

Shintarou berdiri di sana. Menunggunya.

Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, wajah yang lelah, keringat mengalir di pelisnya, dan rambut hijaunya yang sedikit berantakan. Iris hijaunya tidak sama seperti tadi pagi, tidak terlihat teduh seperti biasanya, dan terlihat lebih tajam.

Seijuuro tahu, Shintarou marah.

"Shin—"

"Kenapa kau tidak mengirimku pesan?" nada suaranya sedikit terpatah-patah, menahan segala emosi yang mengganjal dadanya. Seijuuro tertegun ditempatnya. Tidak biasanya Shintarou berkata dengan nada seperti itu padanya.

"Ponselku tertinggal," jawab Seijuuro lugas, juga datar. Sedangkan satu tangannya yang masih menggenggam tangan Chihiro mulai mengerat dengan sedikit getar di sana.

Shintarou mengacak rambutnya frustasi, "Sudah kubilang jangan pernah meninggalkannya, Sei!"

"Shin—"

"Perlukah kukatakan kalau aku begitu cemas tadi?! Telepon tidak diangkat dan begitu aku menghubungi ponselmu, kau juga tidak mengangkatnya!"

"Dengar dulu, Shin—"

"Sei, kau sedang hamil! Menapaki tujuh bulan, apa kau tidak sadar bahwa kandunganmu itu rentan terhadap kesehatanmu? Apa kau tidak berpikir apa yang akan terjadi nanti? Apa kau tidak sadar bahwa bisa saja dirimu itu—"

"Shin!"

Ucapan Shintarou terhenti begitu saja ketika kedua tangan dingin Seijuuro menempel di kedua pipinya. Menangkupnya denga erat. Bahkan Shintarou bisa merasakan kesepuluh jemari Seijuuro tertanam di setiap helai rambutnya. Gemetar. Tangan itu gemetar. Begitu pula dengan sorot di kedua iris dwi warnanya, khawatir. Dan sedikit ketakutan.

Shintarou memejamkan kedua matanya. Menghirup oksigen sebanyak mungkin.

Tenang. Ia harus tenang. Ia harus mengontrol emosinya. Ya Tuhan! Mengapa ia bisa sampai hilang kendali seperti ini?!

"Maaf," ucap sang dokter akhirnya, menyesal. Ada getar di sana, terselip dalam nada bicaranya. Ia lupa, sungguh. "Maaf, Sei—"

"Otousan, Papa,"

Mereka berdua serentak menunduk, tidak menyadari bahwa Chihiro sudah berdiri di antara mereka berdua. Kepala kecilnya menengadah, menatap sepasang iris berwarna di atasnya. Ia mengangkat kedua tangan kecilnya. Ada kotak kecil tersimpan di sana. Berhiaskan pita berwarna perak dibungkus kertas berwarna hijau. Cantik.

Shintarou mengerjap bingung. "Chihiro?"

"Selamat ulang tahun, Otousan!"

Shintarou diam tak berkutik.

Empat kata itu kembali terngiang dalam benaknya.

'Selamat. Ulang. Tahun. Otousan.'

Seijuuro tersentak. "Tunggu, Chihiro itu—"

"Terima kasih."

Untuk yang kesekian kalinya, Seijuuro tak tahu sudah sebanyak apa Shintarou memotong setiap ucapannya. Namun Seijuuro tak marah. Ia tak merasa kesal. Terlebih begitu Shintarou mengambil posisi berjongkok, menarik Chihiro lebih dekat, lalu mendekapnya hangat. Membenamkan wajahnya di bahu sang bocah kecil abu. Tersenyum dibaliknya, Seijuuro tahu itu.

"Maaf jika membuat Otousan cemas, tapi kami berdua membeli ini untuk hadiah ulang tahunmu. Aku memilihnya bersama Papa."

Seijuuro mendesah pasrah. "Chihiro, sudah kubilang kalau hadiahnya diberikan tanggal tujuh Juli nanti."

—Dan Shintarou tertawa pelan.

.

.

.

To Be Continued


A/N:

Alice & Suki: Hyahooo~! Kembali lagi dengan Suki dan Alice disini!

Dan ini request dari Neechan kami. Neechan terus semangat buat tes-tesnya, ya! Kami berdua selalu berdoa yang terbaik buat Neechan! *kibas-kibas pom-pom*. Gomen udah nungguin lamaa, karena harusnya fic ini di publish kemarin malem QvQ.

Kami berdua bingung mau komen apa, soalnya ini fic Mpreg kami yang pertama... jadiii, masih agak gitu deh X"D /apaan/.

Akhir kata kami ucapkan,

Review, please! *wink*

PS : Ada epilog-nya lho~ *bisik-bisik*


Epilog

Seijuuro merasa seseorang tengah menatapnya. Tepat di belakangnya.

Kepalanya menoleh perlahan, dan, ya—Shintarou, menempelkan punggungnya pada sandaran tempat tidur, kedua tangan tersimpan di atas pangkuannya, saling bertautan. Sepasang iris hijau jade-nya berbinar tajam, namun Seijuuro masih bisa melihat kilatan cemas, meski hanya melintas sesaat.

Seijuuro mengancingkan kancing teratas kamejanya, menutup lemari, setelah itu berjalan menuju tempat tidur. Sisi sebaliknya dari tempat Shintarou. Mencoba mengabaikan Shintarou—yang sepertinya masih menatapnya secara intens—dengan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah.

"Ya, aku tahu kau marah, Shintarou," suara Seijuuro memecah keheningan. Shintarou meliriknya sebentar lalu mengambil posisi yang sama, berbaring.

"Tidak," helaan napas kecil terdengar, "seharusnya aku minta maaf untuk soal tadi, Sei. Kau tahu aku hanya—"

Lagi. Kalimat itu tak pernah selesai, untuk saat ini. Jemari telunjuk Seijuuro tersimpan di bibirnya, memintanya diam tanpa kata. Dan lewat kilatan dwi warna Seijuuro yang selalu disukainya selama ini, Shintarou mengerti. Jangan katakan apa-apa dulu.

"Ya, ya, tuan berkacamata," kedua bola matanya terpejam, tenang. Ia tak membantah ketika dua lengan Shintarou meraih tubuhnya lebih mendekat hingga dada mereka saling menempel.

Seijuuro meringis kecil, "Shintarou, jangan buat bayiku tertekan seperti itu,"

"Ah, maaf," pelukannya sedikit melonggar, namun tidak melepaskan. "Sei,"

"Hm?"

"Jangan seperti tadi lagi,"

"Apa ini? Kau memerintahku?"

"Bukan," tambah sang dokter cepat, "maksudku—ya, aku tahu kau mengerti. Aku minta jangan lakukan lagi yang tadi."

Tak ada jawaban. Tak ada bantahan.

Shintarou mendekap tubuh kecil itu lebih dalam lagi.

"Kupikir jantungku akan berhenti berdetak."

"Oh! Kau berlebihan, Shin."