DISCLAIMER : Naruto © Masashi Kishimoto
Keputusan Terbaik © Ru Unni Nisa
Warning : Two-shoot, AU, OOC, Alur maju cepat, Don't Like Don't Read
"Italic" Percakapan di telepon
.
.
Part 1
Akademi Seni Konoha adalah neraka bagi siapapun yang memasukinya dan surga bagi yang berhasil keluar.
Bagi orang – orang yang mendengarnya mungkin itu adalah gosip, rumor ataupun hoax. Tetapi, bagi siwa yang berada didalamnya, mereka tidak akan menyangkalnya. Akademi yang dikhususkan untuk murid yang lulus dari SMP dan memiliki bakat serta minta dalam seni, tentu ingin menjadi bagian darinya.
Berbondong – bondong mendaftar dan dengan kepastian 80 persen lebih diantaranya akan ditendang keluar. Entah kriteria apa yang membuat seseorang lulus di Akademi nomor Satu di dunia sekolah seni tersebut.
Jelas saja, Akademi tersebut adalah sekolah seni paling bergengsi yang dapat dipastikan siapapun yang lulus dari Akademi Seni Konoha akan menjadi seorang bintang besar dengan para produser yang akan selalu menempel dan memohon agar menjadi bintang mereka.
Tentu, hal itu bukan hanya karena bantuan dari label nama Akademi, namun sekolah ini juga penuh dengan siksaan bagi siswanya. Dengan setiap hari penuh latihan, praktik, latihan, belajar, latihan dan akhirnya ujian setiap bulannya beserta kawan – kawan sebangsanya. Orang yang melihat ini pasti akan mengira sekolah ini tidak pernah tidur.
Dan itu terdengar menyebalkan.
Sekolah yang penuh persaingan ini terdapat beberapa kelas jurusan untuk seni. Pertama adalah seni rupa dengan berbagai pembelajaran mengukir, desain, warna dan lainnya. Kedua adalah seni musik, yang didalamnya terdapat berbagai pembelajaran mengenai vokal, nada, maupun alat musik. Tari adalah yang ketiga, kelas ini dan kelas peran adalah kelas yang paling banyak muridnya. Dan yang terakhir adalah seni ilusi, kelas yang diisi oleh para siswa yang menyukai dan menginginkan menjadi seorang pesulap dan sejenisnya.
Meskipun terdapat berbagai kelas, semua siwa harus mengikuti semua kelas yang ada, walaupun hanya sebagai pengetahuan.
Tidak hanya itu; kepala sekolah mereka adalah monster.
Benar adanya, ada sebuah gosip yang beredar diantara siswa Akademi, yaitu; Kepala sekolah Akademi Konoha tidak membutuhkan tidur dan makan. Lagipula tak ada yang menyangkal, dengan adanya setiap ujian setiap bulan yang selalu di saksikan langsung oleh kepala sekolah.
Ujian itu bukanlah ujian biasa. Bagi kepala sekolah ujian adalah tiap hari. Dengan adanya lima kelas setiap tingkatan dan saling bergiliran setiap harinya dengan pergantian tingkatan setiap minggu.
Dan inilah yang dihadapi oleh siswa dari kelas seni musik tingkat kedua yang harus berada dalam satu ruangan dan diuji kemampuan mereka. Dengan memperlihatkan kemampuan yang mereka miliki dan kerja keras selama beberapa minggu sebelum ujian bulanan mereka. Hal yang diujikan adalah hal yang biasa di kelas seni musik, bisa vokal ataupun alat musik hasil ciptaan sendiri, orang lain atau memperbaharuinya.
Namun, bukan karena mereka harus berdiri dihadapan kepala sekolah yang membuat jantung mereka berdetak kencang ataupun tenggorokan mereka yang tercekat dan mulut yang mengering. Melainkan ketika mereka mendengar apa yang dikatakan kepala sekolah dihadapan mereka.
.
Naruto Uzumaki adalah murid kelas seni musik tingkat kedua. Sekali lihat, orang – orang akan langsung mengatakan bahwa murid dnegan rambut pirang itu adalah anak bodoh, ribut, nakal dan tidak bisa apa – apa kecuali sebagai beban. Namun, dibalik hal – hal buruk itu semua orang bagian dari Akademi Konoha mengakui bahwa anak itu adalah murid jenius dengan segala hal menciptakan lagu atau menggubah sebuah lagu dengan caranya sendiri.
Namun, murid yang biasanya berisik itu justru diam menatap kepala sekolahnya dengan syok yang berarti. Mulutnya menganga bagaikan seekor ikan yang kekurangan air, gitar yang bawa jatuh dari tangannya perlahan dengan adanya bunyi thud tumpul mengiringi, untungnya tidak rusak. Ia dapat mendengar beberapa temannya tersentak terkejut. Tak tahu sama sekali harus berkata apa. Ia masih mengingat jelas apa yang dikatakan kepala sekolah.
"Saya ulangi, Naruto Uzumaki." Suara baritone kepala sekolah mengisi kesunyian ruangan luas tersebut. "Pulanglah ke rumah." Hening kembali mengisi ruang panas tersebut.
Suara kursi yang digeser sama sekali tak membuat Naruto mengalihkan pikirannya. Seorang guru yang memiliki rambut putih, namun mengejutkannya masih terlihat muda mengatakan sesuatu yang pelan pada kepala sekolah. "Ta-ta-tapi kepala sekolah! A-an-anda tidak bisa melakukan hal seperti itu." Guru memberanikan dirinya.
Kepala sekolah mengangkat salah satu tangannya keatas, langsung membungkam guru tersebut.
"Ini keputusanmu, Naruto Uzumaki."
Suara mutlak tersebut berhasil mengembalikan Naruto yang masih belum bisa berkata apa – apa. Dirinya diminta untuk pulang, bukan ke asrama, melainkan ke rumah, RUMAH! RUMAH! Apa dirinya dikeluarkan? Apa dirinya ditendang keluar karena pertunjukkan dirinya terlalu buruk? Ia akui ia memang sedang tidak konsentrasi, tapi pastinya tidak seburuk itu, bukan?!
"Naruto Uzumaki."
Naruto merasa dirinya hampir mematahkan lehernya ketika ia menatap kepala sekolahnya.
"Kamu tidak sedang konsentrasi. Pikiranmu tidak tertuju pada sekolah. Apa ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?" Kepala sekolah mengatakannya hampir, hampir terdengar baik dan peduli.
"A-a-" Naruto merasa dirinya tidak mampu mengatakan apapun. Pikirannya masih diganggu dengan sebuah kata diotaknya. Dikeluarkan. Dikeluarkan. Dikeluarkan dan tidak pernah kembali.
Terlihat tidak mendengar apa yang ingin dikatakan Naruto, kepala sekolah membuka file berisi informasi Naruto selama ini. Ia membacanya dalam diam, terlihat mengerutkan dahi hingga akhirnya menatap pada Naruto yang masih terguncang gara – gara perkataannya.
"Kamu sudah menggunakan jatah menghubungi keluargamu untuk tingkat keduamu." Pernyataan itu dibalas dengan anggukan pelan dari Naruto. Menutup file tersebut dan menggesernya kesamping. "Bagaimana kalau jatah untuk tingkat ketigamu digunakan hari ini?"
Satu kalimat itu langsung mendapat protes, baik dari murid ataupun guru. Di Akademi Konoha, peraturan sangat ditegakkan dan banyak murid menginginkannya juga untuk menghubungi keluarga dekat mereka.
Dan semua protes tersebut langsung lenyap ketika mereka melihat kepala sekolah mereka kembali mengangkat tangannya. Kepala sekolah sendiri hanya diam menatap lurus pada Naruto yang menatapnya dengan horor. "Hal itu bisa dilakukan, jika pada tahun ketigamu tidak akan bisa menghubungi keluargamu. Kecuali-" Terdapat adanya hening tajam diantaranya. "-hari ini kamu benar – benar ingin pulang."
"Gunakan waktumu. Besok datang ke kantorku dan dengan senang hati mendengar apa keputusanmu."
...
Sore itu, Naruto berdiri bodoh didepan sebuah meja yang terdapat telepon rumah diatasnya. Ruangan itu cukup luas dengan adanya belasan meja dan sekat yang menutupinya.
Ruangan Komunikasi.
Ruangan satu – satunya yang paling diincar kebanyakan murid di Akademi Konoha. Ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk berkomunikasi bagi para siswa dengan keluarga mereka yang berada di luar akademi. Di Akademi Konoha, setiap siswa hanya mendapat satu kali menelpon keluarga setiap tahun. Meskipun Akademi Konoha terdengar sangar menutup muridnya, bukan berarti informas dari luar akan mereka tolak. Akademi Konoha dirancang untuk menggunakan teknologi komunikasi hanya satu arah.
Penjaga ruang komunikasi itu sudah pergi meninggalkannya sendirian tadi. Memberikan privasi luar biasa, karena ia menggunakan kesempatan berkomunikasi dengan akses untuk tingkat ketiga, dimana waktu tidak menjadi masalah selama itu hanya satu kali.
Mengembalikan pikirannnya yang merajalela, Naruto kembali menatap telepon didepannya. Dengan gemetar, Naruto mengangkat tangannya. Dan disertai suara klik ganggang telepon ia angkat dan ia tempelkan di telinganya.
Suara thud pelan berulang – ulang kali, ia dapat merasakan jantungnya berdetak sangat kencang dan ia menelan ludahnya di kerongkongannya yang kering. Menggigit bibir bawahnya, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak membanting ganggang telep-
"Kakak!"
Suara cempreng khas anak – anak itu mengejutkannya, membuatnya hampir menjatuhkan ganggang telepon beserta dirinya sendiri. Namun, ia kenal suara itu. Naruto adik kecilnya yang mungkin sekarang sudah kelas 2 sekolah dasar. Berusaha mendudukan dirinya sendiri pada kursi yang selama ini ia abaikan, ia menjawab salam adiknya.
"Ruko! Ini kakak! Bagaimana kabarmu?" Dalam hati ia berdo'a agar suaranya tidak gemetar. "Tunggu, bagaimana kamu tahu ini kakak?"
Ia dapat merasakan adiknya tersenyum lebar, mungkin persis seperti dirinya. "Hehehe..." Adiknya tertawa malu – malu. "Iya, dong. 'ruko gitu loh!" Ia tertawa sendiri mendengarnya. "Kakak disana bagaimana? Jangan bilang kakak mendapat perempuan cantik, ya?!"
Wajahnya merah padam mendengarnya, bagaimana bisa adiknya yang polos dan masih suci itu sudah mengerti hal seperti itu?! "Naruko! Kamu ini apa – apaan,sih?!" Ia dapat mendengar adiknya kembali terkekeh. "Sudah, kamu ini." Ia menggelengkan kepala.
Adiknya terdengar masih tertawa, namun tiba – tiba terhenti ketika ia mendengar suara yang memanggil adiknya, tapi ia tidak tahu siapa dan apa yang mereka bicarakan. "Tunggu sebentar, kakak! 'Ruko panggil mama, dulu ya!" Dan dengan itu hanya sunyi ia dengarkan dari seberang sana.
Deg...
Ibunya, ia ingat ibunya adalah hal yang membuatnya tidak berkonsentrasi tadi pagi. Sudah seminggu ia bermimpi mengenai ibunya dan merasakan hal yang tidak enak mengenai ibunya. Ia hanya mendengar berita dari ibunya beberapa bulan yang lalu, itupun ibunya sedang sakit dan abangnya harus pulang ke rumah untuk membantu Naruko mengurus ibunya. Ia jadi tidak tega mendengarnya dan ingin segera pulang.
"Naruto?"
Suara itu, suara yang ia dengar dan selalu mengunjungi mimpinya akhir – akhir ini. Mengatakan betapa ibunya rindu dan menyayangi batuh lirih itu membuat perhatiannya kembali pada sekarang.
"Naruto? Apa ini kau, nak? Apa terjadi sesuatu?"
Suara lirih itu membuat Naruto ingin berteriak pada ibunya bahwa dirinya ada disini dan berteriak bahwa dirinya baik – baik saja, mungkin kecuali dengan berita hari ini bahwa dia diperbolehkan untuk keluar dari Akademi Konoha. Segera mengumpulkan kembali pikirannya, Naruto segera menjawab pertanyaan ibunya dengan suara yang gemetar.
"Ma-mama," Naruto berhenti disana, ia mengambil nafas dalam dan berusaha untuk tidak mengluarkan suara yang mengerikan dan membuat ibunya khawatir. "Aku baik – baik saja, mah. Bagaimana dengan mamah? Sudah lebih baik, kan?" Tanyanya berusaha ceria, meski ia tahu itu terdengar bodoh.
Ia dapat membayangkan wajah yang hampir serupa dirinya dan rambut semerah darah itu tersenyum lembut disana. "Mama baik – baik saja. Hanya sedikit pilek." Terdengar suara batuk kecil. "Ada apa, Naruto? Mama kira kamu hanya mendapat jatah telepon satu kali setahun?"
Naruto merasa tidak nyaman dengan kekhawatiran ibunya. "Ya, tapi bukannya sepert-"
"Apa sesuatu terjadi padamu?"
Naruto terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Apakah ia harus berbohong pada ibunya? Atau mengatakan yang sebenarnya? Ibunya pasti akan kecewa mendengarnya dan ia tidak suka hal itu.
"Apa kau ada masalah dengan teman sekelasmu? Atau di sekolah?" Ibunya kembali bertanya dengan penasaran. "Naru?"
Yup, itu dia. Panggilan yang biasa ayahnya gunakan padanya. Hentikan sampai disitu, ia kembali teringat bagaimana pesan terakhir ayahnya di umurnya yang baru saja keluar dari SMP. Mengatakan bahwa dirinya tidak boleh membuat ibunya kecewa ataupun sedih.
"Ap- tidak, mah. Tentu saja tidak." Jawabnya sedikit cepat dan ia dapat merasakan suara gemetar hebat. Dan ia menangis sendiri bahwa dirinya berbohong pada ibunya dan itu terasa sangat mengerikan.
Terdapat hening penuh, membuat Naruto takut ibunya marah dan tidak mau berbicara dengannya lagi. Hingga akhirnya, ia mendengar ibunya menghela nafas antara lega dan pasrah.
"Syukurlah, mama tahu betapa kamu ingin sekali disana, kan?" Ia mengangguk pelan, tidak terlalu peduli ibunya tidak bisa melihatnya. Namun, apa yang dikatakan ibunya benar adanya. Ia sangat suka dengan seni musik, ia mempelajari hal itu dari ayahnya sendiri. "Papamu pasti sangat bangga juga mama disini."
Naruto menangis dalam hati, ia ragu ayahnya benar – benar melakukan hal itu seandainya melihat laporan nilai miliknya.
"Berusahalah sekeras yang kamu bisa, Naruto. Tapi, jangan sampai memaksakan diri, nanti kamu sakit. Mama tahu kamu sudah melakukan yang terbaik. Mama akan menunggu kamu disini untuk menjadi bintang yang bersinar hingga mama silau melihatmu."
Naruto tersenyum melihatnya dan ia segera menghapus setitik air mata yang jatuh ke pipinya. Ia menunggu ibunya kembali mengatakan sesuatu ketika ia mendengar ibunya seperti sedang berbicara dengan seseorang. Namun, Naruto terdiam tak melakukan apapun, pikirannya masih merahukan kalimat ibunya. Benarkah ibu dan ayahnya bangga hanya karena dirinya bisa masuk ke Akademi Konoha?
"Naruto," Sahutan ibunya membuat Naruto kembali mengalihkan perhatian, dan ia membalas sahutan ibunya. "abangmu ingin bicara, nih." Naruto mengerutkan dahi, Kurama? "Mama tahu kamu pasti ingin cerita banyak, tapi sepertinya mama sampai disini dulu. Hati – hati disana, jangan lupa makan, tidur, istirahat, belajar yang rajin dan jangan main – main terus-"
Pesan ibunya terpotong oleh suara seseorang yang terdengar bosan, "Kapan aku bicaranya, mah? Waktunya akan habis untuk nasehat anak nakal itu."
Grr... Kurama menyebalkan.
Ia dapat mendengar keluhan sakit dari Kurama yang sepertinya disikut oleh ibunya. YES! Kena kau, Kurama. Ia tertawa merespon dan mendapat balasan kesal dari abangnya.
"Jangan hiraukan abangmu ini, Naruto." Ia dapat mendengar ibunya masih tertawa. "Tapi, kamu harus selalu ingat bahwa mama baik – baik saja bersama Naruko dan Kurama. Jadi, berusahalah selalu – aduh, iya Kurama sebentar – abangmu sudah tidak sabar bicara denganmu, Naruto. Dasar, brother-complex." Ibunya menggerutu.
"Hati – hati, Naruto. Jangan lupa diri. Papa, mama dan Ruko akan selalu menyayangimu dan mendukungmu, termasuk abangmu yang mengertikan ini."
Ia dapat mendengar abangnya menggerutu dibilang seperti itu, namun sepertinya tidak menyangkal. "Hati – hati, Naruto. Love you."
"Love you too." Naruto menjawabnya dengan pelan dan pastinya tidak ingin membuat Kurama mendengarnya. Ia dapat mendengar ibunya memberikan telepon pada abangnya yang berada di dekat ibunya.
"Dasar ibu – ibu cerewet." Kurama masih menggerutu dibalik telepon. Namun segera menghentikannya, "Kamu masih disana, Naruto?"
Naruto menyindir mendengarnya. Entah kenapa, ia selalu merasa darahnya naik ketika ada Kurama. "Memangnya kamu kira aku bisa pindah kemana, hah?"
"Bodoh..."
Naruto tiba – tiba sadar, ia teringat dengan Sasuke teman sekelasnya. Keduanya, Sasuke dan Kurama sama – sama membuatnya cepat marah, "Siapa yang bodoh, bodoh?"
"Diam bandel, kamu sama cerewetnya dengan mama. Mana sopan santunmu, hah?!" Tanpa mendengar balasan dari adiknya, Kurama sudah lebih dulu memotong. "Dengar, Naruto. Aku tahu kenapa kau menelpon-" Naruto menelan ludahnya gugup, "- jadi jangan pura – pura dan aku ingin kamu jangan khawatirkan mama ataupun Naruko. Semuanya-"
"Terjadi sesuatu?"
"Nah, tenang saja. Abangmu ini yang akan membereskannya. Semuanya aman terkendali, Naruto. Jadi, pastikan kamu jangan membuang waktu dan pikiranmu, dan juga jangan mempermalukan keluarga kita."
Walaupun Naruto mencibir mendengarnya, namun akhirnya tertawa. Rindu dengan dukungan abangnya yang aneh, namun membuat semangatnya bangkira. Bertahun – tahun yang akan datang ia tidak akan lupa dengan hal tersebut. "Tentu, Kurama. Karena aku adalah Naruto Uzumaki!"
Teriakan itu menggema di ruang komunikasi.
...
Ketika beberapa jam sebelumnya, ruangan komunikasi diisi dengan suara tawa yang menyenangkan. Kini hanya tersisa sebuah suara tangisan lirih tertahan yang membuat siapapun ingin pergi dan tidak ingin mengetahui suara menyakitkan tersebut.
Meninggalkan seseorang yang meringkuk, bersandar di dinding pojok ruangan, menundukkan kepala frustasi. Membuat keputusan antara dirinya yang ingin menyerah dan pulang dengan rindu keluarganya atau dengan keputusan kembali melanjutkan perjalanan nerakanya tanpa adanya dukungan dari keluarga hingga ia lulus.
Jauh dalam pemikiran yang dilema, tidak memperdulikan gema sedu yang ia buat dari mulutnya seolah dalam gua.
~oOo~
A/N:
Untuk penyemangat saya dan mengetahui pendapat readers mengenai cerita ini.
Tekan tombol – tombol dibawah ini, ya!
Ru Unni Nisa
Sign Out
Jaa ne~
