Halo semuanya. ^_^

Kali ini aku kembali membawakan sebuah cerita bergenre western. Latarnya adalah Inggris tahun 1796. Sebenarnya aku buat FF ini sebagai pelampiasan karena jengkel dengan para pembenci ginger (orang yang memiliki rambut merah) sekaligus mencoba pair MinaKushi :3

OK, jadi selamat membaca

Disclaimer: Masashi Kishimoto, aku tak mengambil keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: Western live, rasis detect, OOC, typo(s) karena nggak melalui tahap editing etc.

Happy Reading~~

*…

Britania, 13 September 1783

"Mau ke mana kau, Minato?"

Pemuda berambut pirang berantakann yang dipanggil itu menatap ayahnya dengan pandangan datar dan kemudian ia tersenyum kecil. "Mencari angin. Udara di sini terlalu memuakkan."

Tanpa menungu persetujuan dari sang ayah, ia segela membanting pintu dan keluar dari rumah penginapan yang disewa ayahnya. Bau alkohol yang menguar di rumah itu membuat lambungnya bergejolak, akan tergoda ia untuk memuntahkan kembali makan malamnya jika tetap berkeras untuk tinggal.

Kepalanya mendongak, menatap bulan yang tengah mencapai fase sempurnanya malam ini. Senyum lembut kembali tersungging di wajahnya yang menawan.

"Ah, aku mendapat firasat akan terjadi hal yang baik malam ini."

…*…

Langkah kakinya membawa sosok Minato Namikaze pada hutan-hutan yang tak pernah dimasukinya tatkala kapal sang ayah mendarat di negeri berjulukan Negeri Penyihir ini. Matanya menjelajah penuh rasa ingin tahu, meneliti sebegitu banyaknya tanaman dan tumbuhan yang belum pernah dilihatnya di Spanyol, tanah kelahirannya.

Namun penjelajahan itu terpaksa berhenti saat sayup-sayup ia mendengar tangis seorang gadis dari tempat yang jauh.

"Siapa itu?" tanyanya dengan suara lantang, tapi tak ada satupun suara yang menjawabnya.

Termakan rasa ingin tahu, ia berjalan mengikuti arah suara tangisan itu. Hingga akhirnya ia mendapati dirinya tengah berdiri di balik sesemakan sembari menatap punggung seorang gadis yang tengah terisak dengan posisi berlutut, seolah tengah berdoa.

Gadis itu memiliki rambut merah panjang yang teronggok di tanah sekitarnya. Dari kulit leher yang sedikit tersibak, Minato dapat menemukan kulit sewarna mutiara tersembunyi. Sang gadis tampak mengenakan gaun klasik berwarna hitam gelap.

Gaun duka?

Ingin hati ia mendekatinya, tapi bagaikan terikat sihir tak kasat mata, ia tak mampu. Gadis itu memiliki pesona yang membuatnya tak dapat melangkahkan kakinya. Ia hanya bisa mengamati sosok menawan itu dari belakang saja tanpa dapat melakukan apapun.

Cahaya keperakan rembulan mengenai surai merah darah sang gadis yang Minato taksir usianya masih empat belas tahun—tiga tahun lebih muda darinya, memberikan kilauan yang tampak memesona. Tubuh gadis itu bergetar pelan, mencoba menahan tangis yang hendak pecah menjadi raungan keputusasaan.

"Ayah… mengapa kau meninggalkanku, Ayah," lirih suaranya terdengar.

Minato tertegun, tampaknya sang gadis memiliki masalah berat yang tak dapat ia bayangkan. Ingin hati ia bertanya, 'Mengapa kau menangis, Nona?' tapi kakinya masih terantai pada tanah di mana ia berdiri.

"Aku tak sanggup jika harus menghadapi dunia ini sendirian tanpamu. Aku belum mampu mengurus Nagato dan Karin sendirian, Ayah," lirihnya. "Ayah, sebegitu cintakah kau pada Ibu hingga secepat ini kau menyusulnya dan meninggalkan kami sendirian?"

Tiba-tiba saja gadis itu berbalik. Dapat Minato lihat air mata yang menetes di pipi pucat remaja itu, menambah kesan eksotis pada wajahnya yang rupawan.

Bersyukurlah Minato karena tubuhnya terlindung oleh rimbunnya sesemakan, jika tidak tentulah gadis itu telah terkejut melihat sosoknya.

"Ini akhirku," sang ginger berbisik pelan. Entah sejak kapan di tangan kanan gadis itu telah tergenggam sebuah pisau. Ia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi. "Ini adalah akhir dari kekalahanku."

'Apakah ia akan bunuh diri?' pikir Minato panik. Ia sudah hendak berlari keluar dari tempat persembunyiannya dan menahan gerakan nekat sang gadis. Tapi langkahnya terhenti saat ternyata pisau itu terayun ke tempat yang tak diduga.

SRET!

Beberapa helai kain berwarna hitam jatuh ke tanah, jumlahnya terus bertambah dengan semakin banyaknya gaun yang dikoyak.

Kini gaun duka gadis berambut merah darah itu hanya tinggal sepanjang lutut, ia bahkan mulai menyobek bagian lengan yang memanjang dan mengoyaknya.

Dengan napas yang terengah-engah, ia berteriak. "Ini adalah akhir kekalahanku! Dan mulai saat ini, akan kubuktikan jika aku adalah seorang pemenang! Akan kubuktikan jika aku mampu! Aku bisa!"

Mata biru gadis itu tampak berkilat tajam, dipenuhi oleh kepercayaan diri yang begitu besar.

Minato dibuat terpesona melihatnya. Melihat ketangguhan yang ditawarkan oleh gadis.

Pemuda itu tersenyum pelan. "Jika sudah dewasa kelak, aku akan menjemputmu Nona ginger. Akan kupastikan aku akan membawakanmu kebahagiaan jika hari itu telah tiba," lirihnya sebelum berbalik dan pergi. Bagaimanapun juga esok ia harus kembali berlayar dan meninggalkan tanah Britania.

Sebelum sosok sang gadis benar-benar tak dapat ia tangkap lagi, ia berbalik dan mengamati surainya yang merah panjang.

Ah, Minato benar-benar telah terpikat kepadanya…

…*…

Britania, 16 April 1786

Kushina menghela napas panjang. Sungguh, ia benar-benar nyaris gila menghadapi kurva perdagangan batu bara yang bertumpuk di hadapannya.

Mungkin ia satu-satunya gadis berusia tujuh belas tahun yang rela menghabiskan waktunya untuk memperkirakan langkah selanjutnya dalam usaha perdagangan dan bukannya berlatih berdandan seperti kebanyakan gadis bangsawan lainnya.

"Kak…" sebuah suara lirih seorang gadis menyapanya dari balik pintu bersamaan dengan terdengarnya ketukan di sana. "Bolehkah aku masuk ke dalam?"

"Tentu saja Karin, masuklah," jawab Kushina sembari merapikan jas yang dikenakannya. Ia tak mau terlihat kacau di depan adik-adiknya.

Wajah manis seorang gadis kecil bersurai merah melongok masuk dengan wajah khawatir. Di belakang sang gadis yang berusia sembilan tahun itu, tubuh seorang anak laki-laki mungil berusia lima tahun tampak menyembul gugup. "Kau tak makan siang, Kak?" tanya gadis itu pelan.

"Maafkan aku, Karin. Kurasa aku tak dapat makan bersama kalian. Ada beberapa pekerjaan yang mesti aku rampungkan sekarang juga," bisik Kushina sambil membelai surai merah kedua adiknya.

"Kau tampak kelelahan akhir-akhir ini, bersantailah sedikit, Kak," nasehat Karin sambil duduk di salah satu kursi di ruangan itu dan mengamati tumpukan dokumen di meja kerja kakaknya—yang dulu adalah meja kerja milik sang ayah. "Aku tahu pekerjaan Kakak banyak. Mengurus pertambangan, perkebunan, politik, relasi dan lain-lain. Tapi aku juga mengkhawatirkan kesehatan Kakak."

Kushina mulai meragukan usia adik perempuannya. Apa benar anak sok tahu itu masih berusia sembilan tahun? "Aku akan baik-baik saja, Karin. Yakinlah," katanya tegas.

"Tapi kau…"

"Aku memang tak banyak memiliki waktu luang beberapa hari terakhir. Tapi kau bisa pegang janji jika aku tak akan sakit, OK?"

Karin masih tampak meragukannya. "Aku pegang janjimu."

Kushina tersenyum puas mendengarnya. "Anak baik." Gadis bangsawan itu kembali menghadap meja kerjanya. "Oh ya, aku mungkin tak akan bisa menamani kalian bermain untuk beberapa minggu ke depan. Jadi Karin, aku menitipkan Nagato padamu. Kau mau kan?"

"Tentu saja," jawab gadis itu riang sambil menggenggam tangan adik laki-lakinya protektif. "Oh ya, aku datang juga mengantarkan titipan dari Kak Izuna. Dia bilang ini akan membuat Kakak kembali bersemangat," kata gadis itu polos sambil mengulurkan sebuah kertas potongan koran pada Kakaknya.

"Izuna? Kapan dia datang?"

"Tadi pagi. Tapi saat aku menyuruhnya masuk dan berkata jika aku akan memanggil Kakak turun, dia menolak dan malah memberikan ini padaku."

Kushina mengernyit heran, namun sedetik kemudian ia mulai tersenyum. "Terima kasih."

…*…

Spanyol, 13 April 1786

Pewaris tunggal keluarga Namikaze, Minato Namikaze, dinyatakan resmi mengundurkan diri dari daftar ahli waris keluarga bangsawan sekaligus pedagang tersebut.

Hingga berita ini diturunkan, masih belum ditetapkan siapakah calon pewaris gelar bangsawan keluarga yang menjadi penasehat pribadi keluarga kerajaan dalam beberapa ratus tahun terakhir ini.

"Mengingat Minato Namikaze adalah satu-satunya putra yang dimiliki Lord Namikaze, ditakutkan dengan kejadian ini akan menimbulkan pertumpahan darah di kalangan keluarga besar," jelas juru bicara keluarga Namikaze.

"Aku tak mau kebebasanku dibatasi. Aku tak ingin memberikan ikatan semu pada wanita yang tak kucintai dan membuatnya menderita. Itu saja," itulah yang dikatakan Minato Namikaze saat ditanyai seputar mundurnya ia dari posisi ahli waris. "Hidupku adalah keputusanku. Mungkin banyak orang yang berpikir jika aku kalah dengan mengambil langkah ini. Tapi mereka salah, aku menang. Karena dengan ini aku bebas menjalani hidupku."

Keputusan ini mendatangkan banyak pro dan kontra di antara masyarakat. Namun yang jelas mundurnya Minato Namikaze dari posisi calon penasehat kerajaan akan membawa banyak perubahan. Tatanan kepemerintahan yang bertahan selama beberapa abad akan mengalami pergeseran. Dan ini akan membawa dampak yang cukup besar bagi Spanyol.

Kushina meremas kertas itu. "Uh, Minato Namikaze… dia saja mampu menentang takdirnya. Mengapa aku tidak?" ia berkata pada dirinya sendiri.

"Aku masih belum kalah. Aku tidak akan pernah kalah. Dengan ini aku menang," gumamnya sambil menatap gunungan tugas yang menumpuk di hadapannya. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. "Kenapa kini aku yang mengeluh? Bukankah ini adalah jalan yang aku pilih sendiri?" tanyanya entah pada siapa.

"Hah, Izuna, kau memang selalu tahu apa yang paling aku butuhkan. Terima kasih," bisiknya pada sosok sulung Uchiha yang entah berada di mana.

Lalu diambilnya kertas koran yang tadi diberikan adiknya dan dikecupnya perlahan. "Dan… terima kasih pula untukmu, Minato Namikaze. Aku berdoa semoga kau tak pernah menyesali keputusanmu. Dan…semoga suatu saat nanti kita dapat bertemu, aku ingin menyampaikan rasa terima kasih ini padamu."

…*…

Britania, 24 Desember 1796

Mikoto melirik gelisah tiap tamu yang datang. Matanya terus mencari-cari sosok sang sahabat yang memiliki surai berwarna mencolok. Ia khawatir kali inipun gadis Uzumaki itu enggan untuk memenuhi undangannya.

"Kau mencariku, Mikoto?" suara riang seorang gadis dari balik punggungnya sukses membuat Mikoto terlonjak.

Dilihatnya seorang 'pemuda' yang mengenakan pakaian formal dan topi yang menutupi seluruh rambutnya tengah tertawa lebar. "Oh, Kushina. Kau benar-benar mengagetkanku," bisik Mikoto sambil menarik topi yang dikenakan sahabatnya, membiarkan surai merah menyala panjang terekspos keluar. Diamatinya penampilan sang sahabat yang tampak lebih menyerupai laki-laki dibandingkan perempuan. "Aku setengah berharap akan melihatmu datang mengenakan gaun yang kukirimkan minggu lalu, tapi tampaknya itu hanya harapan kosong."

"Hahaha, aku merasa lebih nyaman dengan pakaian ini. Lagipula sudah tiga belas tahun aku tak mengenakan pakaian perempuan. Aneh rasanya jika tiba-tiba harus berubah."

Mikoto mengangguk paham. "Ah, ternyata sudah tiga belas tahun ya sejak kematian Lord Uzumaki," Mikoto berbisik dengan wajah sedih. "Sejak ayahmu meninggal, kau benar-benar berubah, Kushina. Selain meninggalkan semua gaunmu, tiba-tiba saja kau jadi lebih pendiam dan jarang bergaul dengan kami lagi."

"Maksudmu bergaul dengan MEREKA?" Kushina mendengus kesal sambil menunjuk segerombolan gadis yang tengah berbisik-bisik tak jauh dari mereka. Tanpa diberitahupun Kushina tahu jika para Lady itu pasti tengah membicarakannya. "Aku hanya malas menjadi objek caci-maki mereka saja. Toh Ayah, yang selalu memaksaku untuk bergaul dengan mereka, sudah tiada. Jadi aku tak perlu memaksakan diri lagi."

"Tapi tetap saja… aku kesepian. Tak ada lagi teman yang bisa aku ajak bicara saat pesta-pesta seperti ini," bungsu keluarga pedagang Uchiha itu menggembungkan pipinya. "Dan aku sangat senang kau mau datang malam ini, sungguh."

"Mana mungkin aku tak datang di acara pertunangan sahabatku sendiri kan?"

Raut wajah sedih kembali menghantui wajah ayu Mikoto Uchiha.

Katakan sajalah jika Kushina bukan gadis yang peka, tapi ia pasti sadar jika ada yang tak beres dengan sikap sahabat terbaiknya. "Ada apa, Mikoto?"

"Aku takut," gumam gadis itu sambil menunduk. "Aku memang sudah lama tahu jika hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Tapi aku tak siap menerimanya.

"Pertunangan ini… aku bahkan belum mengetahuinya seminggu sebelum pesta ini diadakan. Orang tuaku tak pernah mengatakan jika ini akan terjadi secepat ini. Tiba-tiba saja saat makan malam, Ayah berkata jika ini adalah waktu yang tepat. Aku tak bisa menolaknya. Karena bagaimanapun juga akhir kehidupan seorang wanita tetaplah sebuah pernikahan."

"Lalu apa yang kau takutkan?"

"Aku takut jika semuanya akan lepas kendali dan aku tak akan sanggup mengatasinya," bisik Mikoto lirih. "Aku takut jika aku gagal membangun pertunangan ini hingga tahap pernikahan dan mempermalukan Ayah. Dan yang terutama… aku takut jika aku berbeda dengan yang selama ini ada dalam benaknya…"

Kushina tersenyum pelan. Krisis menjelang membangun hubungan serius, hal yang biasa dialami oleh semua wanita. "Kau itu wanita yang anggun dan keibuan. Sosok terbaik untuk dijadikan istri. Mana mungkin pria itu tak menyukaimu," Kushina langsung memberikan opininya. "Kalau aku laki-laki, aku juga pasti sudah jatuh cinta padamu dan melamarmu."

"Terim kasih, Kushina. Tapi… aku tetap saja berpikir jika mungkin sebaiknya aku tetap melajang saja."

"Kau bicara apa, Mikoto?" tanya Kushina sambil memegang lengan sahabatnya lembut. "Bukankah kau sendiri yang selama ini berkata jika kau ingin segera mengakhiri masa lajangmu?" tanyanya pelan.

Mikoto mengangguk pelan. "Ya. Namun bayanganku berbeda dengan kenyataan yang ada. Kupikir aku akan diberikan waktu untuk mengenal siapakah calon suamiku. Aku akan diberikan kesempatan untuk belajar jatuh cinta kepadanya. Tidak seperti ini."

"Lalu, bagaimana dengan calon mempelaimu sendiri?"

"Aku belum pernah bertemu dengannya. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir," bisik Mikoto pelan sambil menundukkan wajahnya yang ayu menawan. "Dia adalah sepupuku, namanya Fugaku Uchiha. Sejak sepuluh tahun yang lalu ia mengikuti sebuah pelayaran ke negeri baru dengan kawannya dan tak pernah sekalipun ia kembali ke Inggris. Hari ini adalah hari kepulangannya dan Ayah berencana untuk menjodohkanku dengannya hari ini juga."

Kushina terdiam mendengar cerita sahabatnya. "Hah, keegoisan orang tua. Aku bersyukur Ayah dan Ibu tak pernah memaksaku seperti itu, dulu."

Mikasa tertawa miris mendengar celoteh sahabatnya. "Di zaman ini, kebahagiaan terbesar bagi wanita adalah dengan menikahi pria yang derajatnya lebih tinggi. Bagiku dan keluargaku yang hanya cabang tak berguna dari keluarga Uchiha, menjadikan putri bungsunya sebagai first lady keluarga inti adalah kehormatan besar, Kushina."

"Tetap saja aku tak mengerti."

"Mikoto!" suara berwibawa itu membuat perbincangan dua lady itu terhenti, seorang pria tua berperawakan tegap dengan rambut sehitam arang berjalan mendekati mereka, Kushina mengenalinya sebagai ayah Mikoto. "Di sini kau rupanya. Cepat ke pintu utama, Fugaku akan segera tiba."

"Ba-baik, Ayah," jawab Mikoto. Dia dan ayahnya sempat membungkuk sedikit pada Kushina, tata krama pada orang yang derajatnya lebih tinggi, bagaimanapun derajat Kushina sebagai duchess jauh lebih terhormat dibandingkan mereka yang hanya pedagang.

'Kolot sekali,' pikir sang gadis bersurai merah. 'Ah, Mikoto belum mengembalikan topiku.'

Kushina hanya mampu menghela napas panjang. Topinya dibawa pergi Mikoto, dengan apa kini ia harus meyembunyikan rambut jahenya? Pasti sebentar lagi bisik-bisik tak mengenakkan akan sampai ke telinganya.

"St, bukankah itu Lady Kushina Uzumaki? Apa yang dipikirkannya sampai datang ke acara ini menggunakan pakaian seperti itu?" seorang gadis pirang berbisik pada kawannya dengan suara yang cukup keras.

Ah, baru saja Kushina memikirkannya, hal itu sudah terjadi.

"Jangan keras-keras. Bisa gawat jika dia sampai dengar! Bagaimanapun dia adalah seorang duchess tahu!" gadis di sampingnya menyahut pelan, takut terdengar oleh Kushina.

"Tapi rambut merahnya itu lho! Aku tak habis pikir mengapa ginger sepertinya diperbolehkan menjadi seorang duchess. Apa yang dipikirkan oleh sang Ratu ya?"

"Oh, itu karena hanya dia dan dua adiknya saja kan yang tersisa dari keluarga Uzumaki," bisik si rambut coklat. "Ia pikir daripada membiarkan posisi duke kosong dan memungkinkan terjadinya perebutan kekuasaan, maka lebih baik membiarkan Lady Uzumaki—yang saat itu masih berusia empat belas tahun—menduduki jabatan duchess."

"Huh, gadis itu membuat darah bangsawan Inggris jadi tercemar! Ini semua terjadi karena Lord Uzumaki memutuskan untuk menikahi si Penyihir asal Scotlandia itu kan? Karena keputusan gilanya menikahi wanita berambut merah itu, maka banyak anggota keluarga Uzumaki yang melepaskan diri."

Kushina tetap berjalan dan memutuskan untuk mengacuhkan mereka. Dia sudah kenyang mendengar ocehan macam itu. Dan dia sudah terlalu malas untuk menimpalinya.

Bukan salahnya memiliki rambut berwarna merah panjang, jika boleh memilih, maka dulu ia akan meminta surai coklat seperti milik ayahnya. Namun sayang, gen ibunyalah yang lebih mendominasi warna rambutnya.

Ayahnya adalah seorang duke yang cukup ternama, ia mencintai petualangan dan gemar menjelajah daerah-daerah di seluruh Inggris untuk memenuhi hasrat ingin tahunya. Dan di salah satu perburuannya di Skotlandia, ia bertemu dengan Mito. Seorang wanita ayu yang tinggal di dalam hutan. Penyihir, itulah julukan yang diberikan gereja pada Mito. Dan label itulah yang membuat Mito itu mengungsikan dirinya di dalam hutan.

Duke Uzumaki yang jatuh cinta pada sosok Mito akhirnya membawa wanita ayu itu ke London dan menikahinya. Menahan segala hujatan dan tekanan yang dialamatkan padanya, mereka akhirnya dikaruniai lahir tiga orang anak. Kushina Uzumaki, Karin Uzumaki dan yang terakhir Nagato Uzumaki.

Dan ketiganya mewarisi rambut api ibunya.

Sayang, usia Mito sangatlah pendek. Tak lama setelah putra pertama dan terakhir mereka lahir, wanita itu menghembuskan napas terakhirnya. Dua tahun kemudian Lord Uzumaki menyusul istrinya akibat penyakit jantung.

Kushina menghela napas panjang. Hidup di zaman ini bukanlah hal yang mudah. Semua orang memandang sebelah mata rambut merahnya. Mengatainya penyihir, tak memiliki jiwa, pembawa kesialan atau apapun yang mampu membuat Kushina muda naik darah dan mengamuk—dan tanpa disadari itulah yang membuat namanya kian jelek. Mereka tak pernah memikirkan bagaimana perasaan Kushina.

Namun Kushina tak akan lari hanya karena ejekan bodoh mereka. Ia tak mewarnai rambutnya ataupun memotongnya pendek. Ia justru memanjangkannya, seolah menantang para bangsawan sombong itu. Kushina sudah bersumpah, ia tak akan lari lagi.

Ia muak jika terus kalah dari hinaan mereka, maka dia akan membuktikan jika pada akhirnya ialah sang pemenang.

Gadis itu menggelengkan kepala. Bukan saatnya kembali mengenang masa lalu di pesta yang diadakan sahabatnya. Sungguh tak sopan.

Keramaian yang terjadi di pintu masuk membuatnya tertarik.

"Ah, sepertinya rombongan pedagang Fugaku Uchiha sudah tiba," gumam Kushina.

Tak perlu waktu lama baginya untuk menebak siapakah gerangan Fugaku Uchiha di antara kerumunan pria yang baru datang. Seorang pria berwajah serius dengan rambut gelap disisir ke belakang, pasti orang itu. Dilihatnya ayah Mikoto tengah memperkenalkan sang gadis pada pria itu yang disambut pria dengan mencium punggung tangan Mikoto.

Kushina cukup puas melihat rona merah di pipi sang sahabat.

'Mungkin belum terlambat bagimu untuk belajar jatuh cinta padanya, Mikoto,' bisik gadis itu dalam hati. Ia sudah hendak berbalik dan meninggalkan rumah itu andai saja sebuah lengan kekar dengan tidak sopannya mengalungi pundaknya.

"Izuna?" tanya Kushina sambil menyingkirkan tangan kakak sulung Mikoto dari pundaknya. "Berhentilah bersikap sok akrab padaku."

"Huh, kau itu sudah kuanggap seperti saudara laki-lakiku sendiri, Kushina," jawab pemuda itu sambil mencubit hidung sang gadis gemas.

"Kau tak menemani Mikoto di sana?" tanya Kushina sambil menunjuk Mikoto yang tengah bercakap singkat dengan tunangannya di dekat pintu menggunakan dagunya.

Izuna mengernyit melihat pemandangan itu. "Tidak. Aku sedang menjaga jarak dengan Ayah. Kau tahu, dia akan terus-terusan memaksaku menikah jika aku berada dalam radius sepuluh meter darinya."

"Menikah? Kau? Dengan siapa?"

"Dengan… yah, kau tak perlu tahu lah," jawab Izuna panik sambil memalingkan wajahnya salah tingkah. Namun Kushina tak peduli, toh Izuna memang terbiasa bertingkah aneh. "Yang lebih penting, apa kau tak tertarik mencari satu atau dua pria yang baik untukmu di pesta ini, Lady Kushina Uzumaki?"

Kushina memutar matanya mendengar panggilan formal yang Izuna lemparkan. "Tak ada laki-laki yang cukup baik untukku."

"Hahaha, seleramu terlalu tinggi, Kushina," tawa Izuna. Dirangkulnya pundak Kushina akrab dan diarahkannya gadis itu pada sekumpulan pria yang tengah dikerubungi wanita. "Pilihlah satu pria di sana, usianya mungkin sekitar dua atau tiga tahun lebih tua darimu. Pas sekali bukan?"

"Tak biasanya kau menyuruhku menikah, ada gerangan apa?"

Izuna menelan ludah mendengar pertanyaan Kushina. "Huh, kau terlalu curiga padaku, Kushina," lalu ia menunjuk seorang pemuda bersurai coklat yang sedang mengobrol dengan seorang gadis pirang. "Bagaimana kalau dia?"

"Terlihat seperti tipe playboy."

"Jangan menilai buku dari sampulnya, Kushina," dengus pemuda itu kesal. "Kalau yang bersurai merah muda itu?"

"Aku tak mau punya anak berambut pink."

"Ok, aku akui rambut merah muda memang bukan pilihan terbaik. Kalau yang berambut perak?"

"Dia orang Russia? Lewat."

"Dasar rasis," keluh Izuna putus asa sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari sosok pemuda yang mungkin memenuhi kriteria pangeran Kushina. Dia menemukan seorang pemuda pirang yang tampak kelelahan dikerubungi sebegitu banyak wanita. "Ah, bagaimana dengan yang pirang itu? Dia tampaknya bukan tipe playboy, tidak punya rambut merah muda dan sepertinya bukan orang Rusia, bagaimana?" tanyanya puas.

Kushina mengernyitkan alis melihat pemuda pirang itu. "Hm, tidak jelek juga. Tapi… kupikir ia tak akan mau dengan gadis sepertiku."

"Oh, ayolah Kushina. Kau cantik, menarik, bangsawan dan kaya. Apa yang kurang darimu?"

Kushina berputar dan menampilkan dirinya. "Rambut merah, penampilan laki-laki, sikap buruk. Apa yang lebih dariku?"

"Kau punya tubuh yang seksi, kau tahu?"

Jitakan keras itu langsung terarah ke ubun-ubun Izuna. Dan mereka tertawa. Hanya saja Kushina tak merasakan jika di balik tawa keras Izuna, terdapat sedikit kepahitan.

…*…

"Hei, Fugaku, kau tampaknya berhasil menggaet seorang gadies cantik, eh," Minato bertanya sambil merangkul sahabatnya yang tengah berbincang akrab dengan seorang gadis yang wajahnya sebelas dua belas dengan si Uchiha itu.

Fugaku mendengus tak suka. "Minato, kenalkan dia adalah sepupu sekaligus tunanganku, Mikoto Uchiha," kata Fugaku. "Dan Mikoto, kenalkan dia adalah rekanku sesama pedagang dan penjelajah samudra. Bisa dikatakan jika ia adalah seorang bangsawan dari Spanyol, Namikaze Minato."

"Sebenarnya mantan bangsawan kalau kau ingin tahu," tawa pemuda itu riang.

Mikoto mengernyitkan alisnya tak mengerti. "Mantan bangsawan?"

"Yup," jawab pemuda pirang itu bersemangat. "Aku melawan perintah ayahku dan dia mengusirku dari rumah. Masih baik ada Fugaku yang mau megajakku berlayar ke dunia baru. Jika tidak, sekarang aku pasti sudah menggelandang di Spanyol."

Mikoto merasa tak memiliki hak untuk bertanya lebih banyak.

Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada sahabat yang kini tengah bercanda kelewat akrab dengan kakaknya.

"Itu…Izuna?" tanya Fugaku sambil mengikuti arah pandang Mikoto. "Sepuluh tahun tak melihatnya, dia tetaplah Izuna yang aku kenal. Siapa gadis di sampingnya itu?"

"Ah, dia adalah Lady Kushina Uzumaki. Pengganti Lord Uzumaki. Kau ingat, dulu kau menghadiri pengangkatannya bersama Ayah."

"Oh, gadis pemarah itu. Ya, ya, ya, aku ingat. Dia satu-satunya gadis yang kukenal yang senang berburu dan memanah itu," gumam Fugaku sembari menggali kembali ingatan masa lalunya. "Sepintas kupikir tadi dia adalah seorang laki-laki yang memanjangkan rambutnya. Harusnya aku ingat jika hanya tiga orang ginger yang mungkin datang ke pesta seperti ini. Dan hanya satu di antaranya yang bisa bersikap senatural itu pada Izuna."

Minato ikut mengamati sosok yang tengah sejoli itu perbincangkan. Hatinya berdebar keras. "Dia…"

…*…

"Miss, apakah anda sudi berdansa denganku?"

Suara ramah itu sukses membuat Kushina menghentikan pertengkaran bodohnya dengan Izuna. Gadis itu menoleh dan mendapati sosok pirang yang sepintas lalu sempat memikat ujung hatinya berdiri di hadapannya sambil tersenyum ragu.

"Wow, Kushina. Mungkin malam ini Amor sedang menyertaimu," kata-kata asal Izuna sukses menghadiahkan satu tinjuan lagi di pundak sang Uchiha. Sebelum Kushina sempat memberikan beberapa hadiah lain padanya, pemuda itu segera berlari menjauh sambil tertawa-tawa puas. "Kirimi aku undangan kalian ya!"

"Izuna bodoh!" teriak Kushina dengan wajah yang sedikit memerah. Demi apa sahabatnya itu harus mengungkit-ungkit hal bodoh di hadapan pemuda yang baru ditemuinya.

"Jadi, bagaimana, Miss?" tanya si pirang lagi meminta kepastian akan ajakannya.

Kushina memutar mata bosan. "Jadi apa yang kau incar dariku? Tahtaku atau hartaku?" tanyanya tanpa basa-basi lagi.

Biasanya hanya ada dua alasan seorang pria mengejarnya. Jika tidak mengincar kedudukan sebagai seorang duke, tentulah harta yang menjadi incarannya.

"Hm, aku hanya seorang petualang. Yang aku cari bukan harta kekayaan ataupun tahta yang mengikat. Aku hanya senang mencari sesuatu yang eksotis…" katanya sambil tertawa riang. "…sepertimu."

Kushina merona. Tapi harga dirinya tak semudah itu mengakuinya.

"Aku tak percaya."

"Terserah jika kau tak mempercayainya," jawab Minato sambil tertawa lebar. "Perkenalkan, namaku Minato Namikaze."

Mata Kushina tak mampu untuk tak terbelalak mendengar nama itu. Dia mengenali nama itu, ya dia mengenalinya. Meski hanya berdasarkan koran dan desas-desus dari para rekannya, ia yakin ia mengenali nama itu. "Minato Namikaze? Kau Minato Namikaze?" tanyanya tak percaya.

"Ya, itulah aku."

"Kau pewaris keluarga Namikaze yang pergi mengarungi lautan karena menolak dijodohkan sepuluh tahun lalu?" tanya Kushina tak yakin sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Tak mungkin…," lirihnya. Ia masih meragukan apakah pemuda—yang ia perkirakan masih berusia tiga puluh tahun ini—adalah orang yang menginspirasinya untuk tak terikat hukum dan peraturan? Apakah pria inilah yang secara tak langsung merupakan sosok penolong baginya yang tengah terpuruk dulu.

Minato tertawa medengarnya. "Aku senang jika kau mengenaliku, Miss. Jadi, bisakah anda mengenalkan nama anda?"

Tangan Kushina terulur. Mungkin ia bisa sedikit menaruh kepercayaan pada pria ini.

…*…

Izuna terdiam sambil memperhatikan Kushina berdansa dari atas balkon. Gadis itu tampak sedikit kaku dengan gerakannya, wajar saja, mungkin ini adalah kali pertama ia berdansa selain dengan ayahnya.

Perasaan itu kembali bergejolak, tapi ia tak mau membiarkan perasaan itu memenuhi dirinya. "Apapun asal Kushina bahagia," gumam pemuda itu lirih.

"Apa yang kau lakukan di sini, Izuna?"

Suara berat itu membuat Izuna malas menoleh. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan di sini, Ayah?"

"Ayah ingin bicara denganmu."

"Tidak sekarang," elak Izuna sambil bersiap meningggalkan balkon tempat huniannya tadi. Sungguh, ia malas mengulang kembali pembicaraan dengan sang ayah yang hanya akan berbuntut debat saat ini.

"Persiapan pelamaran Lady Kushina Uzumaki akan dilakukan akhir pekan," pria itu tetap berkeras untuk bicara. "Aku harap kau sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya."

"Aku tak akan mempersiapkan diri untuk apapun. Karena aku tak akan pernah melamar Kushina."

Lord uchiha itu mendengus mendengar kekeras kepalaan sang putra. "Jadi apa yang kau inginkan? Membiarkan keluarga kita hancur begitu saja termakan oleh hutang?"

"Mana aku peduli. Toh, itu semua salahmu sendiri, Ayah," Izuna berbalik menatap sang ayah dengan tatapan penuh kebencian. "Kau yang menghabiskan uang keluarga untuk berjudi dan berfoya-foya, maka tak heran jika sebentar lagi keluarga kita hancur!"

"Aku tak akan membiarkan itu terjadi."

Kesabaran Izuna habis sudah. "Ya, kau memang tak akan membiarkannya!" teriaknya marah. Bersyukurlah suara musik jauh lebih keras dibandingkan suaranya, jika tidak, maka pastilah kini mereka akan menjadi pusat perhatian pesta. "Karena kau masih ingin terus berfoya-foya, kau menjual putrimu sendiri untuk menambah harta! Dan masih belum cukup, kini kau ingin menjualku juga?! Dengan menawarkan seorang pemuda sebagai calon suami Kushina, kau berharap dapat mengeruk kekayaannya?! Tidak, itu tidak akan terjadi, Ayah."

"Aku melakukan ini juga demi kepentinganmu."

"Penipu," tukas Izuna kasar. Dibawa tubuhnya menjauhi pria sialan—yang secara kebetulan merupakan ayah kandungnya sendiri. Ia benar-benar tak habis pikir pada obsesi pria itu akan harta dan tahta.

Lord uchiha menatap punggung sang anak tanpa ekspresi. "Apapun yang kau katakan, kita tidak bisa membatalkan acara lamaran itu. Mau tak mau kau harus memperistri wanita itu juga."

"Jangan harap."

Izuna memandangi sosok gadis yang menjadi topik pembicaraannya dengan tatapan sedih. Sungguh, ia sangat mencintai gadis itu. Bahkan sebelum ayahnya mulai mengungkit-ungkit soal lamaran, ia sudah beribu-ribu kali berpikir untuk meminang gadis itu.

Tapi di balik segala cintanya, ada perasaan yang lebih kuat. Perasaan yang mampu menahan segala obsesinya untuk mengikat gadis itu dalam ikatan pernikahan. Dan itu adalah…

…rasa ingin membahagiakan sang gadis.

Ia tahu, Kushina pasti tak akan bahagia jika bersama dengannya. Kata-kata 'Kau adalah sahabatku yang terbaik setelah Mikoto,' atau 'Aku ingin memiliki kakak sepertimu,' sudah kelewat sering diucapkan gadis itu di hadapannya. Dan kata-kata itu sudah lebih dari cukup untuk mematahkan obsesinya.

Ditatapnya sang gadis yang masih sibuk berdansa. Ah, gerakannya kini sudah semakin membaik. Minato Namikaze pastilah orang yang sangat hebat hingga bisa melatih Kushina—yang kepribadiannya selalu dianggap bagaikan kuda liar—berdansa.

Mungkin pemuda itulah yang ditunjuk takdir untuk bersama Kushina.

Izuna menunduk. Kecewa.

"Ah, sekarang apa yang harus aku lakukan?"

…TBC…

Rencananya ini akan jadi 2 chaper, tapi nggak tahu ya~~

Oh ya, makasih sudah baca dan tolong kasih komentar soal FF ini, kritik sekeras apapun aku menerimanya asal dibarengi saran.

Sampai jumpa!