First of all, aku tegesin aku tidak terpengaruh dengan berita 1 januari. SAMA SEKALI.

Karena aku sudah membaca banyak sumber tentang kejadian yang sebenarnya jadi ya, me being me.

Still there for my dads, Kim Jongin and Do Kyungsoo.

Meskipun sebenernya, kalopun aku bukan seorang Kaisoo shipper aku bakal gak percaya juga.

Karena apa? Gimmick adalah hal yang biasa dan SM? YG? Nah, they are snakes tho.

Jadi guys, yang ngerasa gak ngefeel atau yang merasa goyah dari Kaisoo, nagajuseyo. LOL.

And yes, I'm not posting angst and doing like nothing happened at January 1st.

THIS IS "TEMPO", my next fict yang menggantikan Unfair! Bagi yang niat baca ya enjoy!

.

.

.

Review juseyo!

.

.

.

"Not good?"

Jongin menggeleng ketika mendengar pertanyaan itu. Ia segera merapihkan rambutnya yang tidak karuan, dan masuk ke dalam paddock krunya. Tes untuk ban yang baru belum membuatnya puas. Masih ada beberapa aspek yang membuatnya tidak yakin jika dia mendapatkan yang terbaik. Kombinasi ban hard dan medium masih belum pas dengan keinginannya. Maklum, sudah bertahun-tahun dia menggeluti dunia balap, dan dia semakin selektif untuk memilih komponen motor dari opsi-opsi yang diberikan krunya.

"Aspalnya tidak sekasar biasanya—mungkin cuacanya berpengaruh. Jadi aku kurang bisa mengendalikan diri di tikungan ke enam." Jawab Jongin.

"Ingin mengganti kombinasi bannya? Atau yang lain?"

"No need, Hyung," Jongin menyesap minumannya sesaat sebelum berucap, "ah, aku baru ingat. Untuk remnya, aku pikir sudah cukup bagus. Mungkin aku hanya perlu penyesuaian di tikungan tajam seperti tikungan ke enam."

"Kau yakin?"

Jongin, yang saat ini sudah mulai melepaskan pakaian balapannya pun mengangguk, "Yes. Overall, semua sudah cukup bagus. Mungkin karena cuaca dan kelembapan udaranya sedang tidak baik. Dan aku sedang tidak baik juga—" ia tersenyum pada kepala krunya tersebut, "aku hanya perlu menyesuaikan, Hyung."

"Baiklah. Kau bisa istirahat, Jongin. Kita harus melakukan perbaikan lagi di bagian belakang motormu—mungkin tiga hari lagi akan selesai."

Jongin mengangguk sekali lagi, "Aku pastikan keadaan tubuhku sudah baik tiga hari lagi, Jongdae Hyung. Terima kasih," dia mendongak ke arah krunya yang lain, "Thank you for your hard work, Guys!" serunya.

Jongdae, kepala kru dari timnya segera pergi menyusul yang lain. Ia masih sesekali mendiskusikan apa yang perlu dibenahi lagi dari motor Jongin. Sebelumnya mereka sudah membicarakan pembaruan dari motor tersebut, dan sepertinya Jongin belum begitu sepakat dengan keputusan dari Jongdae—setelah uji coba selesai.

Jongin sendiri masih sibuk melepas pakaian balapnya—dan mengganti pakaian dengan yang lebih santai. Dia juga membereskan barang-barangnya yang sedikit berserakan di bagian belakang paddock. Ia mulai mengemasi ponselnya, parfum yang juga tidak pernah lupa ia bawa, sekotak rokok beserta pemantiknya, dan beberapa camilan yang juga tidak pernah absen dari tas ranselnya. Dia tahu jika rokok tidak membuat keadaannya lebih baik, tapi hey, dia tidak bisa lari dari itu. Handuk yang ia pakai sebelumnya juga sudah ia masukkan ke dalam tas, dan dia saat ini sedang mencari-cari kunci mobilnya. Sempat ia berbalik arah ke tempat di mana krunya berada dan melambaikan tangan, tapi setelah itu ia pergi.

Ia menghela nafasnya sesaat, merasa bahwa kehidupan atletnya sedang membuatnya jenuh. Musim balap masih dimulai sebulan lagi sebenarnya, dan itu sangat cukup untuknya beserta kru untuk berbenah. Lagipula tinggal sentuhan akhirnya saja yang masih kurang, selebihnya, sudah sangat baik. Musim kemarin Jongin menduduki peringat kedua, tentu saja tahun ini dia mengincar posisi jawara. Musuhnya dari Italia itu masih terlalu tangguh lagipula. Jadi bukan hal yang buruk bagi Jongin untuk melangkah sedikit demi sedikit.

Saat ini dia sedang berada di Jepang, tempat di mana dia dan krunya sedang melakukan riding test untuk updating motor barunya. Markas dari timnya berada di Jepang, dan itu membuatnya sedikit lebih mudah karena hanya menempuh perjalanan sebentar jika dari Korea. Lagipula, setelah riding testnya selesai tiga hari lagi, maka dia bisa kembali ke Korea dan menikmati liburannya yang tinggal sebentar lagi—sebelum ia harus melakukan touring selama enam hingga tujuh bulan lamanya.

Jongin memacu mobilnya untuk kembali ke hotel. Tidak seperti tunggangan mahalnya yang ada di sirkuit, dia hanya memacu sebuah city car yang tidak sebanding dengan pendapatannya selama ini. Ayolah, dia seorang milyarder yang sangat sukses—dan seluruh masyarakat Korea tahu akan hal itu. Tapi hey, itu bukan mobilnya. Mobil yang ia gunakan saat ini adalah mobil yang ia pinjam selama ia berada di Jepang saja. Selebihnya, jika ia kembali ke Korea, ia akan mengendarai sebuah mobil SUV yang berharga cukup mahal. Meskipun terkesan sederhana untuk orang yang berpenghasilan besar seperti Jongin—karena ia sebenarnya bisa untuk membeli sports car seperti yang dimiliki teman-teman atau bahkan rekannya sesame pebalap.

Sesekali Jongin menggumam lagu yang ada diputar di mobilnya. Meskipun dia sedikit kesal karena lagunya bernada malas dan membuat moodnya tidak kunjung naik. Benar, Jongin sedang tidak baik karena masalah ini itu. Sebelumnya dia sempat berdebat dengan Younggi, kepala teknisinya. Dari perdebatan itu tidak mendapatkan hasil yang cukup baik, sehingga mood Jongin makin tidak baik pula. Dan di hari sebelumnya, Jongin sempat bertengkar dengan Hyejoo, kekasihnya yang sudah ia kencani selama satu tahun belakangan. Sudah sering bertengkar sebenarnya, tapi akhir-akhir ini Hyejoo benar-benar mencekiknya—dan itu membuat Jongin sedikit frustasi.

Mobil yang sudah ia kendarai selama hampir 45 menit itu berbelok ke sebuah hotel mewah yang ada di daerah Ibaraki. Dia memilih sedikit lebih jauh dari Motegi, karena sejujurnya dia menikmati perjalanan menuju ke sana. Setelah menitipkan mobilnya ke petugas valet, dia ingin segera bergegas menuju kamarnya. Ia ingin cepat merebahkan badannya yang sudah mulai kaku, dan memejamkan matanya yang sudah mulai berat karena kantuk. Sore itu sangat melelahkan baginya. Lelah untuk badan dan pikirannya sediri.

"Kim Jongin!"

Jongin, yang baru saja masuk ke dalam lobi itu mendengar sebuah suara. Ia menoleh ke arah suara itu. Ia mendapati seorang wanita yang memakai one-piece dress berwarna biru gelap, dan berdiri di sebuah koper. Wanita itu melambaikan tangannya pada Jongin—dan seketika membuat Jongin menghela nafasnya kesal.

"Ah, what the fuck." Gerutu Jongin yang mau tak mau akhirnya berjalan ke arah wanita itu berdiri.

"Sudah ku bilang tidak perlu kemari—"

Wanita itu menjetikkan jarinya di depan wajah Jongin yang kesal, "Cut that crap, Kim Jongin. Sekarang bantu aku membawa barang-barang dan kita ke kamar. Aku lelah Jongin. Aku baru saja terbang berjam-jam."

Ingin Jongin berteriak di saat itu juga, tapi tempat di mana ia berdiri mencegah semuanya. Dengan perasaan yang kesal, Jongin menyeret koper itu, dan membiarkan si wanita membawa tas jinjingnya. Iya, wanita itu adalah Kwon Hyejoo. Hyejoo adalah kekasih Jongin sendiri. Mereka bertemu mungkin sekitar dua tahun yang lalu, ketika Jongin berada di Sepang dan Hyejoo menjadi umbrella girl dari Tonozaki, pebalap yang satu tim dengannya. Karena sama-sama dari Korea, mereka menjadi sering berbincang. Di saat itu Jongin juga tahu bahwa Hyejoo adalah seorang model yang biasa menghiasi cover-cover majalah fashion atau menjadi model brand-brand mahal yang ada di pusat perbelanjaan.

Seperti saat ini, Hyejoo baru saja melakukan penerbangan dari Italia, di mana ia menjadi salah satu model catwalk brand fashion ternama. Dan entah bagaimana ceritanya sudah sampai di Jepang dengan selamat. Memang, semalam sebelumnya mereka berdebat karena ini. Karena kejadian yang saat ini terjadi. Jongin, tidak ingin Hyejoo menyusul ke Jepang karena Jongin secara pribadi ingin berlibur dan menikmati Jepang sendirian. Sedangkan Hyejoo bersikeras untuk menyusul dengan alasan ingin menemani Jongin berlibur. Bukannya Jongin tidak suka, karena biasanya Hyejoo ikut dalam tour—karena saat ini Hyejoo menjadi umbrella girl Jongin sendiri. Tapi Jongin hanya ingin sendirian saja, tanpa teman, dan menikmati kesibukannya seorang diri. Me time. Bukankah terkadang itu perlu jika keadaan sekelilingmu sedang menjepit?

"Kau memesan suite room, 'kan?" tanya Hyejoo pada Jongin yang saat ini berjalan di belakangnya.

Jongin mengangguk, "Iya."

"Good. Aku ingin segera beristirahat, Jongin."

Bangsat. Batin Jongin yang sudah jengah.

Akhir-akhir ini Jongin sudah tidak kuat dengan perlakuan kekasihnya yang semaunya sendiri. Semenjak karier modellingnya berkembang pesat, Hyejoo menjadi berubah. Dia menjadi gadis yang mudah memerintah, tidak mau diatur, boros, dan mudah marah akan sesuatu. Meskipun begitu, Hyejoo tetap menjadi pelarian Jongin jika sedang suntuk. Iya, pelarian. For sleeping—yes, for sex. Selain itu, Hyejoo masih menjadi umbrella girl-nya, dan Jongin masih belum ada keinginan untuk mengganti itu. Karena dengan Hyejoo, timnya tidak perlu membayar biaya tambahan, karena Hyejoo melakukannya dengan sukarela. Yang penting, bagi Hyejoo, status sebagai kekasih Kim Jongin masih melekat tentu membuatnya sangat beruntung—meskipun menjadi umbrella girl. Selain itu, jika ia ikut tour bersama Jongin, dia akan berjalan-jalan dengan gratis. Menguntungkan bukan? Iya begitulah.

Ketika Jongin membuka kamarnya, ia menghela nafasnya dengan kasar. Karena setelah ini dia tahu, segala macam barang-barangnya akan diatur sedemikian rupa, dan singgasananya di hotel akan dikuasai oleh wanita itu. Kesal? Tentu. Tapi paling tidak Jongin ingat, bahwa dengan adanya Hyejoo, dia dapat melampiaskan salah satu rasa suntuknya. They can have sex later: that's his advantage.

.

.

.

Jongin mendecakkan lidahnya kesal. Suara melengking kekasihnya yang menuntutnya ini itu membuatnya jengah. Baru saja 24 jam dia datang, tapi sudah cukup untuk membuat Jongin murka dengan segala macam omong-kosong dari wanita itu. Ia, Jongin, yang saat ini hanya memakai bawahan piyamanya itu lebih memilih untuk keluar dengan sekotak rokok beserta pemantiknya: menghirup udara segar yang ia kotori dengan asapnya sendiri. Kehidupannya serasa membosankan akhir-akhir ini. Ia lebih banyak sibuk dengan kariernya, tidak ada kesibukan yang lain lagipula. Selain karier, dia mungkin hanya sibuk menghabiskan pundi-pundi uang yang sudah ia kumpulkan selama ini. Berkat wajah tampan dan badan yang bagus, Jongin juga mendapatkan keuntungan dari pemotretan majalah, termasuk majalah olahraga yang terkadang membutuhkan model juga.

"Jongin-ah!"

Hyejoo, yang baru saja keluar dari kamar itu berteriak dan membuat Jongin memicingkan matanya. Batang asap yang sudah ia hisap itu tidak mampu membuat keadaan menjadi lebih baik. Yang ada, ia masih dikejar dengan racauan kekasihnya yang makin lama makin tidak jelas itu.

"Kau—"

Dengan wajah bosan, Jongin menjawab, "Apa lagi?"

"Orang tuaku ingin bertemu denganmu, Jongin! Apa sulitnya?" tanya wanita itu dengan nada yang meninggi.

"Aku masih belum menginginkan itu! Aku masih belum ingin ke jenjang itu, Hyejoo! Kau tahu itu!"

"Tapi apa yang kau tunggu? Kau sudah berusia cukup untuk menikah! Dan kau punya harta yang cukup—"

"Enough!"

"Apa lagi yang kau tunggu lagi, Jongin—"

Puntung yang masih menyala itu ia lemparkan ke sembarang arah, dan ia berteriak, "I said enough!"

Wanita itu terperanjat dengan perangai Jongin yang seperti ini. Memang, Jongin adalah orang yang mudah tersulut amarahnya. Tapi melihat Jongin yang berteriak dengan wajah yang memerah dan nafas memburu adalah hal yang tidak biasa. Lelaki itu sejatinya lebih memilih untuk diam daripada bersikap begitu. Dan ya, jika Jongin sudah begitu, maka sebaiknya menyerah saja.

"Jongin—"

"Dengar, Hyejoo-ssi. Aku tidak punya tendensi untuk menikahimu. Sedikitpun. Karena apa? Karena aku tahu kau lebih menginginkan uangku daripada yang lainnya. Dan itu sama berlakunya dengan orang tuamu. Jika saja aku bukan seseorang yang punya uang, apa kau mau melirikku? Tidak bukan? Bahkan ketika kita bertemu, kau selalu memintaku untuk membeli apapun yang kau mau disaat kau sendiri juga punya uang dengan jumlah yang mungkin hampir sama denganku!" Jongin berhenti sesaat; memejamkan matanya sebelum meneruskan ucapannya lagi, "Pergi saja, Hyejoo-ya. Let's break up."

Yang Jongin tahu, setelahnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Tapi Jongin tidak peduli. Dia bahkan membiarkan wanita itu meneriakkan semua sumpah serapahnya. Dia juga membiarkan wanita itu menyeret kopernya dengan susah payah untuk keluar dari kamar itu—yang Jongin berspekulasi bahwa wanita itu akan menginap di kamar lainnya.

Jongin bosan. Setiap bertemu, Hyejoo selalu menuntutnya untuk menikah. Sedangkan Jongin sendiri tahu bahwa Hyejoo bukanlah orang yang tepat. Jongin menginginkan seseorang yang bisa mengubahnya menjadi lebih baik; bukan seperti Hyejoo yang masih mementingkan kebahagiaannya sendiri. Benar, wanita itu lebih memilik untuk memperkaya dirinya dengan uang Jongin yang bisa dikatakan tidak terhingga untuk saat ini. Selain itu, wanita tersebut adalah tipikal wanita yang tidak peduli jika Jongin pergi ke club malam dan memiliki one-night-stand dengan sembarang orang asalkan dia mendapatkan satu set make up mahal atau tas jinjing dengan model terbaru. Iya, Jongin sangat amat tahu akan hal-hal itu.

Merasa bosan, Jongin yang sudah sendirian lagi itu memilih untuk masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan badannya sejenak. Sempat dia mendapati bekas alat pengamannya bekas semalam yang ia buang sembarangan. Ia berdiri dan memungut barang itu dengan wajah yang jijik, meskipun beberapa detik setelahnya mendengus; menyesali nasib anak-anaknya yang ia buang percuma.

"Untung saja Baekhyun Hyung tidak tahu tentang ini—" gumamnya sembari menyebut manajernya yang saat ini berada di Korea.

Langkah Jongin kemudian terhenti, ketika perutnya berbunyi.

"Sialan. Aku belum makan sejak kemarin." Gerutunya dengan kesal karena bertengkar dengan Hyejoo membuat semua energinya berkurang. Termasuk kegiatannya semalam sebenarnya.

.

.

.

Mood Jongin sedang tidak bagus. Telepon terror dari Hyejoo terus ia dapatkan dan Jongin masih tidak punya hati untuk memblokir wanita itu. Karena apa, Jongin masih membutuhkan Hyejoo untuk balapan musim berikutnya. Iya, untuk menjadi umbrella girl-nya nanti. Lagipula bukan ide yang bagus jika berita tentang Almighty Kim Jongin berpisah dengan Model Kwon Hyejoo tersebar di mana-mana. Bukan ide yang bagus. Apalagi saat ini dia sedang tidak di Korea—meskipun esok hari dia harus kembali untuk menyiapkan fisiknya.

"Selamat pagi, Kim Jongin!" sapa Jongdae pada Jongin yang baru saja datang ke paddock miliknya.

"Pagi, Hyung."

"Not good? Your condition?"

Jongin terkekeh, "Aku baik-baik saja, Hyung."

"Baguslah. Kau bisa bersiap-siap sekarang, Jongin. Motor sudah ada di depan dan kau bisa menggunakannya langsung."

Jongin mengangguk. Sedikit semangat di dalam dirinya karena biasanya, dengan memacu kecepatan di sirkuit membuat masalahnya terasa lebih ringan dan lebih baik. Jongin tidak sabar untuk itu.

"—ah, Jongin!" ia yang sudah bersiap untuk mengganti pakaiannya itu kembali menoleh ke arah Jongdae, "Ada yang ingin aku tunjukkan sebentar padamu."

Alis Jongin mengerut, karena setelah mengucapkan hal itu, Jongdae malah menghilang ke arah di mana layar-layar monitor berada. Namun setelahnya, lelaki itu kembali dengan seorang pria—yang Jongin perkirakan lebih muda darinya—dengan kacamata tebal dan papan dada di tangannya. Terlihat ekspresi tidak mengerti dari pria itu, dan ia terlihat terpaksa untuk ikut Jongdae yang saat ini overly excited tersebut.

"Ini kru monitoring kita yang baru. Menggantikan Gabriel." Ucap Jongdae dengan rasa bangga.

Merasa kikuk, Jongin hanya mengedipkan matanya dan mengangguk kecil, "Hmm… okay, Hyung?"

"Kenalkan dirimu—" ucap Jongdae pada pria itu.

"Ah—iya, Hyung," lelaki itu maju dua langkah ke arah Jongin dan kemudian membungkukkan badannya sebentar, "selamat pagi, Kai-ssi. Aku Do Kyungso, kru monitoring baru—" ia mendongakkan kepalanya ke arah Jongin yang saat ini berekspresi kosong, "—please, take care of me…?" ucap lelaki bernama Kyungsoo itu ragu-ragu.

"Oh—ya! Senang berkenalan denganmu, Kyungsoo-ssi. Haha." Ucap Jongin yang diakhiri dengan tawa yang kikuk.

God damn, he's cute. Batin Jongin.

Benar, lelaki itu tersenyum ke arah Jongin dengan pipi yang sedikit memerah—dan Jongin tidak tahu penyebabnya apa. Papan dada itu terdekap di antara tangan dan dadanya. Membuat Jongin berpikir bahwa si lelaki ini akan pergi ke ujian masuk sekolah menengah pertama. Jongin berlebihan: masuk sekolah menengah atas sepertinya lebih pantas.

Mungkin Jongin masih bertahan dengan ekspresi kosongnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya dibuyarkan oleh Jongdae yang langsung menarik Kyungsoo untuk kembali ke ruang monitor lagi. Jongin tersenyum datar, merasa bahwa Jongdae mengamatinya dengan wajah bingung. Ya sebenarnya Jongin lebih dari bingung karena secara tiba-tiba kepala krunya itu mengenalkan Kyungsoo padanya. Memang benar harus begitu, tapi saat ini bukan timing yang pas karena Jongin bahkan belum sadar betul dari tidurnya.

"Oh, aku sebaiknya kembali—" ujar Kyungsoo.

"Ah, ya—" Jongin mengiyakan sebelum akhirnya Kyungsoo meninggalkan dia dan Jongdae berdua, "Dia dari mana?"

"Korea? Tidak menjawab pertanyaanmu 'kah?" Jongdae tertawa sebentar, "Dia dulu bekerja sebagai kru monitor Aprilia, Jongin. Hanya sebentar walaupun semua orang mengangumi kinerjanya. Entah mengapa dia mengundurkan diri dengan tiba-tiba. Ada yang bilang—" Jongdae mencondongkan wajahnya pada Jongin dan berbisik, "Dongwoon melakukan pelecehan padanya."

"Pelecehan?!" seru Jongin yang membuat Jongdae tersentak.

"YA! Bisakah kau—bagaimana kalau dia mendengarmu!"

Jongin mengernyit. Jongdae memukul lengannya dengan cukup keras karena ya, mulutnya yang tidak disaring baru saja. Setelah itu, Jongin memilih untuk pergi mengganti pakaiannya dengan wearpack miliknya yang berwarna hitam diselingi warna merah. Ia bersiap untuk memacu kuda besinya, dan mencoba apalagi yang masih kurang dan masih ingin ia sesuaikan dengan keinginannya.

Ketika sudah dirasa siap, dia berjalan menuju ke tempat di mana motornya berdiri. Sudah banyak kru ada di sana: mungkin ada 10-12 orang. Entah, Jongin sendiri tidak mengabsen siapa saja yang hadir dan siapa saja yang tidak. Dia lebih memilih untuk focus pada Corny, sapaannya untuk motor yang menemaninya sejak musim kemarin. Sebenarnya dia dan timnya sudah merombak hampir 70 persen komponen motornya, tapi selama body dan casing masih serupa, Jongin masih akan menyebutnya Corny.

"Kami akan memantau kondisi motormu selama kau berlatih, Kai-ssi."

Jongin yang saat ini berusaha membetulkan helm -nya itu mendongak, mendapati Kyungsoo yang sudah siap di depan layer monitor. Dia terlihat sangat serius dan membuat Jongin sedikit terkesan. Ayolah, impresi pertama haruslah bagus. Terutama untuk Jongin, yang sudah dikenal perfeksionis akan apapun yang ia lakukan. Di kelas-kelas sebelumnya, Jongin sudah diketahui sangat menuntut krunya untuk menyiapkan apa yang ia mau, dengan sangat amat detail. Maka dari itu, sudah banyak orang yang mengundurkan diri dari jabatan kru tim Kim Jongin hanya karena permintaannya terlalu banyak dan sedikit rumit.

Jongin mengangguk. Lelaki yang saat ini sudah siap dengan pekerjaannya itu tersenyum. Entah, Jongin sendiri belum pernah bertemu sekalipun dengannya. Atau bahkan mendengar namanya. Rekannya, Nam Dongwoon, juga masih ada di tim Aprilia. Tapi, yang jelas, saat ini Jongin menggantungkan kepercayaannya pada Jongdae, karena Jongin tahu, bahwa Jongdae tahu apa yang ia mau.

Tak mau berlama-lama, Jongin segera memacu kendaraannya. Mungkin hanya delapan kali putaran, atau bahkan kurang dari itu. Lagipula dia hanya test riding, dan juga ia merasa sudah cukup puas dengan perubahan yang dilakukan teknisi pada Corny, motor andalannya. Pebalap bernomor 88 itu memutari sirkuit Motegi dengan kecepatan yang sama ketika berkompetisi. Tidak ada yang berbeda, mungkin Jongin sendiri juga menciptakan musuh imajinasi agar sifat ambisiusnya muncul dengan sendirinya.

Setelah 15 menit, Jongin kembali ke paddock. Sudah cukup puas dia dengan performa motornya kali ini. Dia tidak akan banyak protes. Mungkin ia hanya perlu adaptasi lagi dengan kondisi motornya. Tidak apa, dengan begini, Jongin bisa pulang ke Korea dan beristirahat selama tiga minggu sebelum pergi ke tour yang dimulai ke Qatar seminggu kemudian.

"Sudah?" tanya Jongdae.

Jongin mengangguk, "Yup. Tidak ada yang perlu diperbaiki nampaknya. Aku sudah cukup puas, Hyung. Dan aku hanya butuh adaptasi dengan ban yang baru. Selebihnya… sangat amat baik!"

Mood Jongin jauh lebih baik setelah selesai melakukan test riding. Mungkin dengan sedikit memacu adrenalin, Jongin yang grumpy berubah menjadi Jongin yang happy. Sedikit memaksa sebenarnya, tapi kenyataannya kurang lebih begitu.

"Kai-ssi."

Jongin yang baru saja melepas helm-nya itu menoleh. Ia mendapati kru barunya itu sedang berdiri dengan benda-benda yang sama, seperti yang ia lihat beberapa menit yang lalu. Jongin tidak mengerti mengapa lelaki yang baru saja bergabung dengan timnya itu terlihat pemalu. Ia sedikit bisa memaklumi, karena dia baru bergabung dengan timnya untuk pertama kali. Tapi jika diingat-ingat lagi, krunya yang lain tidak seperti itu. Mereka mudah beradaptasi dan tidak tahu malu. Menurut Jongin begitu.

"Iya?" Jongin membalas.

"Apa semuanya baik-baik saja?"

Jongin mengerutkan alisnya sesaat, "Baik-baik saja, Kyungsoo-ssi."

Lelaki itu mengangguk kikuk. Ada sebuah senyuman kecil di bibirnya, "Ah, syukurlah."

Jongin merasa lelaki itu aneh. Datang dan menanyakan semuanya baik-baik saja? Sangat random. Sangat amat random. Tapi bukannya wajar jika kru monitor menanyakan pada Jongin tentang keadaannya? Tapi, bukankah seharusnya Kyungsoo sudah tahu karena dia berada di balik layer monitor? Entahlah, Jongin menganggap laki-laki itu aneh. Benar-benar aneh.

Jongin berlalu. Membiarkan lelaki itu masih berdiri di tempatnya. Jongin tidak peduli lagipula. Yang penting kali ini moodnya sudah kembali dan dia sudah cukup siap untuk memulai tournya yang dimulai bulan depan.

"Kau akan kembali ke Korea esok hari?"

Jongin menoleh. Mendapati Jongdae yang saat ini entah bagaimana ceritanya membawa sebuah piring berisi makanan—memang di sana disediakan makanan juga sebenarnya.

"Ah, iya, Hyung. Aku akan kembali besok. Ada apa?"

"Ajak Kyungsoo."

Jongin terkejut, "Eh? Maksudnya?"

"Kyungsoo harus kembali ke Korea juga esok hari karena dia diwajibkan untuk membawa dokumen-dokumen penting miliknya. Dia harus menyelesaikan administrasi kantor dulu."

"Kenapa harus aku?" tanya Jongin.

"Karena kau kembali esok hari."

"Kau?"

"Seminggu lagi. Aku harus mengurus dokumen milik Kyungsoo juga. Dia hanya kembali dua hari ke Korea sebelum kemari lagi. Kau pasti juga belum beli tiket, bukan?"

Dengan helaan nafas pasrah, Jongin menjawab, "Belum."

"Good. Pastikan membeli dua."

"Dia jadi tanggung jawabku?" tanya Jongin tidak percaya.

"Iya," Jongdae menghela nafasnya sebentar, "Jongin, dia baru saja datang dari Korea kemarin lusa karena aku memaksanya untuk segera mengisi bagian Gabriel. Aku tidak bisa mengantarnya kembali ke Korea karena banyak hal yang harus aku urusi di sini, Jongin. Ayolah."

"Tapi, Hyung—aku di Ibaraki! Dan dia di Motegi. Sedangkan aku juga berangkat ke Seoul dari Ibaraki—"

"Bawa saja dia ke hotel. Mudah 'kan?"

"Hyung!" Jongin mendekatkan telinganya pada Jongdae, "Kalau dia pergi ke hotel bersamaku, pasti dia akan sekamar denganku—kau bilang tadi dia pernah mengalami pelecehan!"

Jongdae mengerjapkan matanya pada Jongin, "Jadi kau sadar jika wajah dan kelakuanmu sedikit mesum?"

"Hyung…"

"Okay, sorry. Tapi dia sepertinya tidak akan merasa masalah dengan hal itu. Kau seorang Kim Jongin!"

"Lalu? Jika aku Kim Jongin?"

"Ya tidak ada bedanya, sih. Tapi kau bawa saja dia. Kau suruh ambil barang-barangnya di Motegi terlebih dulu sebelum kembali ke Ibaraki."

"Hyung—"

"Jongin." Jawab Jongdae dengan nada serius.

Ingin rasanya Jongin menghantamkan helm -nya di wajah Jongdae, yang saat ini tersenyum dengan senyum Pikachu-nya itu. Menyebalkan memang. Tapi mau bagaimana lagi, Jongdae memang seperti itu. Suka memberikan instruksi yang tidak masuk akal dan membuat Jongin pusing sendiri. Meskipun begitu, hanya Jongdae yang sabar menghadapi kemauannya yang berubah-ubah. Iya, memang ada segi positif dan negatifnya. Tentu saja.

Setelah Jongin membereskan semua keperluannya dan berdiskusi dengan semua kru, ia bersiap untuk pulang. Hampir saja dia sukses kabur dari tanggung jawabnya, tiba-tiba Kyungsoo muncul dihadapannya sembari menyesap madu berbentuk stick dan melihatnya dengan wajah polos. Astaga. Jongin lemah.

"Kyungsoo—"

"Iya?" tanya Kyungsoo dengan wajah bingung.

"Hngg—"

Jongin meruntuki dirinya sendiri. Orang yang berdiri di hadapannya itu hanya menatapnya tidak mengerti. Separuh hati Jongin ingin meninggalkan Kyungsoo dengan segala macam urusannya, tapi separuh hatinya merasa tidak tega. Ayolah, Kyungsoo yang begini.

"Kyungsoo-ya!"

Sebuah lengan melingkar di pundak Jongin dan membuatnya tersentak.

Mati aku. Kim fuckin Jongdae.

"Jongin, kau harus mengantarkan Kyungsoo Hyung ke Korea."

Jongin mengerjapkan matanya dan menoleh ke arah Jongdae, "Kyungsoo Hyung?" tanyanya sembari menunjuk ke arah pria yang ada di hadapannya.

"Iya, dia dua tahun lebih tua darimu, Jongin."

AH, CRAP. HE IS OLDER THAN ME. Batin Jongin.

"Mengantarku?" Kyungsoo memiringkan kepalanya sejenak, pertanda bahwa ia tidak mengerti.

"Yes. Jongin akan mengajakmu ke Ibaraki karena ia menginap di sana. Besok kau bisa kembali." Ucap Jongdae.

"Ah, okay…"

Dan dengan sebuah senyuman serta tepukan di pundaknya, Jongin membawa Kyungsoo untuk pergi ke Ibaraki. Ke tempat di mana dia menginap dan kembali ke Korea esok hari.

.

.

.

"Sadly, aku hanya memesan kamar dengan satu ranjang." Keluh Jongin pada Kyungsoo yang sedang memeluk sebuah tas ransel berwarna hijau army di pangkuannya.

"Tidak apa! Aku bisa tidur di sofa." Jawab Kyungsoo ceria.

Jongin tertawa kecil. Kyungsoo lebih ceria daripada yang ia kira. Selama perjalanan menuju Ibaraki, Kyungsoo menceritakan bagaimana ia bisa datang ke Jepang dan bagaimana ia bisa mengenal Jongdae, karena mereka ternyata pernah bekerja bersama ketika masih di Korea dulu.

"Kau sudah berusia 27 tahun dan sudah bekerja di berbagai tempat?" tanya Jongin.

Kyungsoo mengangguk dengan semangatnya, "Aku bekerja di usia yang cukup muda. Karena aku lulus kuliah dengan usia yang lebih muda dari seharusnya."

"Akselerasi?"

"Yup!"

Jongin terkekeh. Ia merasa Kyungsoo mudah untuk bersosialisasi sebenarnya. Tidak seperti tadi, ketika di dalam paddock. Karena ia lebih banyak diam dan menyendiri—ataupun menyibukkan dirinya dengan apa yang harus ia kerjakan.

"Kau cerewet juga ternyata. Aku pikir kau pendiam." Jawab Jongin.

Kyungsoo tertawa kecil, "Aku akan menjadi banyak bicara jika aku sudah nyaman untuk berbicara—Jongin. Jongin? Bolehkah aku memanggil begitu?"

Jongin mengangguk, "Iya, kau boleh memanggilku Jongin saja."

Perjalanan selama 45 menit terasa lebih cepat dari yang biasanya Jongin rasakan. Dia lebih banyak bicara meskipun mungkin 70 persen percakapan adalah Kyungsoo—yang menginisiasi. Mereka berdua berbelok ke arah hotel di mana Jongin beristirahat.

Mereka berdua pergi menuju kamar di mana Jongin beristirahat. Jongin merasa sedikit khawatir dengan ucapan Jongdae sebelumnya. Dia tidak ingin Kyungsoo menaruh kecurigaan padanya, dengan merasa bahwa Jongin akan melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Meskipun Jongin terkadang merasa ingin di saat tertentu, tapi kali ini sedang tidak. Ah, benar. Jongin adalah seorang biseksual dominan. Iya, dia tidak pernah menjadi submisif sekalipun. Sama sekali.

"Aku bisa tidur di sini." Ucap Kyungsoo lemah—yang saat ini sudah mengakuisisi sofa besar di tengah ruangan.

"Nah. Kau bisa tidur di ranjang. Aku yang akan tidur di sofa."

"Jangan, Jongin! Aku yang menumpang di sini!" ucap Kyungsoo panik.

"Apa kau ingin check in di kamar yang lain? Aku bisa memesankannya untukmu."

Kyungsoo menimang sesaat, "Itu ide yang bagus. Tapi aku tidak punya uang untuk itu—" ia menoleh ke arah ranjang kamar itu, "aku akan tidur di ranjang di sebelah kiri, dan kau di sebelah kanan. Bagaimana?" tanyanya pada Jongin yang saat ini berdiri di hadapannya.

Jongin mengerjapkan matanya. Lelaki yang ada di hadapannya itu berdiri dengan jarak sekian senti saja. Jongin menyadari bahwa Kyungsoo memiliki perbedaan tinggi yang signifikan dengannya—karena pucuk kepala Kyungsoo tepat berada di depan hidungnya. Ia terkejut terus terang. Apalagi dengan gossip yang Jongdae utarakan sebelumnya. Karena saat ini Kyungsoo tidak terlihat trauma sama sekali dengan kejadian itu.

"Kau yakin?" tanya Jongin dengan suara lirih.

Kyungsoo mengangguk. Sebelum akhirnya mengerutkan alis dan mengubah ekspresinya menjadi curiga, "Kau mau melakukan apa padaku?" tanya Kyungsoo dengan nada menuduh sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Shoot.

"Oh! A-aku tidak berniat melakukan apapun—benar-benar tidak! Astaga!"

Kyungsoo, yang melihat ekspresi terkejut dan wajah Jongin yang memerah, langsung tertawa dan menunjuk lelaki itu, "Jongin!Kau harus melihat wajahmu sekarang!"

"Ke-kenapa?" tanya Jongin dengan nada ragu.

Kyungsoo menggeleng, "Kau terlihat lucu." Ucapnya dengan senyum lebar melekat di wajahnya.

Kau bahkan lebih lucu saat ini. Batin Jongin yang kemudian membuyarkan lamunannya.

"Ba-baiklah. Kita b-bisa tidur di sana." Jawab Jongin terbata.

Kyungsoo mengangguk, "Aku berjanji untuk tidur menyesak ke arahmu, Jongin-ah."

Jongin menjawab dengan sebuah gumaman saja. Ia membiarkan Kyungsoo sibuk dengan barang-barangnya—yang tidak dipedulikan oleh Jongin. Dia memilih untuk pergi ke balkon hotel dan duduk di depan untuk sekadar mencari udara. Ia memainkan ponselnya sembari mulai mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya. Ia bersenandung dengan rokok yang sudah terselip di ujung bibirnya.

Ia selalu begitu. Merasa bosan dengan keadaan di suatu hari dan ia menghabiskan sisa harinya dengan bersantai. Biasanya dia akan bermain game di ponsel ataupun menonton acara TV—yang sebenarnya Jongin hanya menggulirkan channel-nya saja. Jika merasa bosan dengan semuanya, dia akan pergi ke balkon dan merokok. Biasanya ia hanya duduk dan terdiam, mendengarkan musik di kedua telinganya, dan menghisap asap-asap yang mengotori paru-parunya. Kalau di Korea dia bisa mengganggu sahabat-sahabatnya, kalau di luar negeri begini, tidak banyak yang bisa ia lakukan.

"Kau merokok?" tanya sebuah suara ketika Jongin baru saja menghisap tiga kali.

Jongin menghisap rokoknya sesaat, "Ah, iya. Aku merokok."

Kyungsoo mengerutkan alisnya sebentar, "Iya, memang aku tidak punya hak untuk mencampuri kebiasaanmu, tapi—itu tidak sehat untukmu. Hanya saja—okay, teruskan saja." Ucap Kyungsoo yang kemudian masuk lagi ke dalam kamar.

Ucapan Kyungsoo bernada sindiran. Dan Jongin sangat sadar akan hal itu. Sejenak Jongin merasa tidak mengerti dengan karakter Kyungsoo—karena ia belum tahu dengan sifat aslinya. Sejenak ia pemalu, sejenak ia kekanak-kanakan, dan dia baru saja menampilkan sisi yang menurut Jongin sedikit menyebalkan. Karena Jongin seperti baru dituduh dan didakwa. Tapi sedikit banyak ucapan Kyungsoo benar. Meskipun Jongin memberikan pembelaan yang lain di dalam dirinya sendiri.

Jongin yang masih terdiam di balkon itu kemudian terkejut. Kyungsoo secara tiba-tiba keluar dan mematikan batang rokok yang ada di tangan Jongin. Ia mengambil batang itu dan membuangnya di tempat sampah yang tidak jauh dari mereka. Dengan sebuah senyuman, Kyungsoo menyodorkan sebuah madu yang terbungkus dengan bentuk stick. Sama dengan apa yang Kyungsoo konsumsi beberapa jam sebelumnya.

"Kalau kau membutuhkan madu itu lagi, aku masih punya banyak."

Senyuman itu membuat Jongin terdiam. Biasanya dia akan marah dengan perlakuan seperti ini. Tapi entah mengapa, ia hanya terpaku dan menatap Kyungsoo dalam diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena semua terjadi dengan cepat. Dan Kyungsoo saat ini tersenyum di hadapannya—dengan sangat manis hingga Jongin merasa lemas.

"Kau harus menguranginya, Jongin."

Dan Jongin merasa kehidupannya tidak akan membosankan seperti biasanya.

.

.

.

"Maaf, Jongin. Tapi aku tidak bermaksud untuk begitu." Ujar Kyungsoo dengan nada bersalah.

Mereka sudah di bandara Ibaraki pagi itu. Bersiap untuk kembali ke Korea di penerbangan ketiga di hari itu. Jongin yang duduk dengan sebuah kopi di tangannya itu menghela nafas. Mungkin itu permintaan maaf Kyungsoo untuk yang kedua puluh kalinya pagi itu. Memang, ketika mereka baru bangun dari tidur, terjadi sebuah insiden yang membuat Jongin terkejut. Tidak benar-benar terkejut sebenarnya.

Iya, beberapa jam sebelumnya Jongin terbangun dengan sebuah pucuk kepala mendarat tepat di bawah hidungnya. Aroma chamomile yang sangat kuat menusuk ke hidung Jongin. Awalnya ia bermaksud untuk berteriak dan protes, tapi ketika melihat Kyungsoo tertidur dengan lelap, membuat Jongin tidak tega. HEI! Iya, Jongin tahu mereka strangers. Tapi entah mengapa Jongin melakukan hal itu. Bahkan selama beberapa menit ia memilih untuk memandangi wajah Kyungsoo yang sedang tertidur. Terlihat sangat polos dan tenang. Tidak seperti wajah Hyejoo yang membuat Jongin selalu emosi dan bersiap untuk marah.

"Tapi punggungku sakit, Hyung." Ucap Jongin.

Kyungsoo panik, "Benarkah? Yang mana?" ucapnya seraya memegang punggu Jongin yang sudah ia tending akrena panik—ia terkejut karena ia tidur bersama Jongin dan berada di dalam pelukan Jongin.

Jongin tertawa puas, "Harusnya kau melihat wajahmu, Hyung. Kau sangat lucu!"

"Jongin!"

Jongin tertawa lagi, dan mengacak-acak rambut Kyungsoo yang tebal itu, "Kau yakin lebih tua dariku?" tanyanya.

"Iya. Kau butuh bukti?" tanya Kyungsoo dengan nada menantang.

"Tidak, tidak perlu."

Jongin terkekeh dengan wajah Kyungsoo yang kesal itu. Lagipula ia tidak menyangka akan akrab dengan Kyungsoo dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan tidak jarang mereka membicarakan apa yang mereka sukai, dan apa yang tidak mereka sukai. Ada banyak kesamaan, meskipun Jongin merasa Kyungsoo sedikit banyak bersifat bossy—sama seperti Jongin sebenarnya.

"Apa yang akan kau lakukan jika sudah sampai di Korea?" tanya Jongin.

"Pulang ke rumah. Mencari apapun yang aku butuhkan, lalu terbang lagi ke Jepang besok lusa."

"Di mana rumahmu, Hyung?"

"Goyang, Gyeonggi-do."

Jongin mengangguk. Ia kemudian terdiam, karena tidak tahu harus bertanya apalagi. Ia lebih memilih untuk menyesap kopinya dan melihat ke sembarang arah. Sebelum akhirnya ia merasa ada seseorang yang memanggilnya sehingga memaksanya untuk menoleh.

"Jongin?"

Hyejoo.

Jongin menghela nafasnya, "Apalagi?"

"Kenapa kau tidak membalas pesanku atau mengangkat teleponku? Aku mencarimu ternyata kau sudah check out dari hotel—"

"Kita sudah berakhir, apa kau lupa?" tanya Jongin enteng.

Wanita itu sedikit banyak menampakkan amarahnya, dan Jongin tidak peduli dengan keributan yang menjadi pusat perhatian beberapa orang di sana.

"Tidak! Aku tidak mau itu terjadi, Jongin!"

"Terlambat, Hyejoo-ssi. Lagipula, selama kau pergi, aku sebenarnya berkencan dengan orang lain."

Hyejoo mengerutkan alisnya, "Apa? Kau—kau berselingkuh?"

Jongin mengangguk enteng. Ia mendekatkan badannya lelaki yang ada di sampingnya—yang sebenarnya bingung setengah mati dengan apa yang terjadi di hadapannya.

"Kenalkan, dia Do Kyungsoo. Kekasihku yang baru, dan pengganti dirimu."

"Mak-maksudnya?"

"Dia umbrella girl—bukan! Dia umbrella boy-ku yang baru."

Ketika Jongin menoleh ke arah Kyungsoo dan tersenyum, Jongin tahu dia berada di posisi yang sulit. Kyungsoo mendelik ke arahnya, merasa terkejut dengan drama yang baru saja diciptakan oleh Jongin, pebalap motor yang sedari tadi menyita perhatian orang-orang di bandara—dan bahkan harus berhenti beberapa kali untuk memberikan tanda tangan. Dan terlebih lagi, Kwon Hyejoo, yang sudah dikenal sebagai kekasih dan umbrella girl dari Jongin berada di sana.

Mendengar orang-orang di sekelilingnya berbisik, Jongin mengeratkan rangkulannya pada Kyungsoo dan berkata, "Hyung, sorry. Aku akan melakukan apapun untukmu setelah ini."

Kyungsoo menghela nafasnya sesaat. Jika ia tidak berada di depan Hyejoo, maka dia akan baik-baik saja—dan akan menghajar Jongin tentu saja. Namun keadaannya berbeda. Benar-benar berbeda sehingga Kyungsoo tidak tahu harus berbuat apa selain tersenyum ke arah Hyejoo dan membiarkan Jongin menyusupkan hidung ke arah lehernya.

.

.

.

TBC.


"Kim Kai and Kwon Hyejoo broke up their relationship because Kai has an affair?!"

Raungan Baekhyun membuat Jongin berjengit. Beberapa saat yang lalu Baekhyun menginvasi apartment-nya disaat Jongin masih tertidur. Baru pagi tadi peristiwa itu terjadi dan siang harinya Jongin sudah menjadi pusat perhatian. Dia menyadari itu. Dia adalah atlet sekelas Kim Yuna atau Park Jisung yang sangat terkenal di Korea. Namun gossip kali ini membuat reputasinya sedikit turun. Iya, benar-benar sedikit sehingga komentar negatif tentangnya mendapat 12 ribu upvotes.

"Jongin! Apa yang ada di otakmu?" tanya Baekhyun dengan kesal.

"Aku terpaksa, Hyung!" bela Jongin.

"Siapa yang dimaksud para jurnalis?" Baekhyun sejenak membuka laman berita yang ada di ponselnya. Terlihat bagaimana Jongin yang memakai masker tertutup sedang menggandeng seseorang yang dengan wajah tertutup masker dan topi sedang berjalan di bandara Incheon, "Ini? Siapa dia?"

"Kyungsoo. Do Kyungsoo."

"SIAPA?!" teriak Baekhyun lagi.

"Kru monitor pengganti Gabriel."

"Kau benar-benar berkencan dengannya?!"

Jongin menggeleng, "Itu hanya akal-akalanku saja sebenarnya. Hyung, kau tahu sendiri bagaimana sikap Hyejoo padaku—dan kau sendiri tidak menyukainya. Aku melakukan itu karena Hyejoo tidak mau berpisah denganku. Dan ya, shit happened."

"Astaga, Jongin—kau baru berpisah denganku selama seminggu dan semua ini terjadi?"

"Aku tidak tahu harus melakukan apa dan hanya Kyungsoo Hyung yang ada di sana, jadi—"

"Di mana dia sekarang?"

"Siapa? Hyejoo?"

"Kyungsoo, of course!" teriak Baekhyun dengan decibel tinggi.

"Di rumahnya. Aku mengantarkannya pulang tadi siang."

Baekhyun menghela nafasnya, "Kau tahu rumahnya, 'kan?" Jongin mengangguk, "Kau harus mengiyakan apa yang dikatakan media."

"Ya? Aku?"

"Iya! Tentu! Di mata publik kau dan Kyungsoo berkencan sekarang! Jika kau berkata tidak, maka semua akan menuduhmu bohong! Lagipula bukti di bandara sudah sangat cukup jelas dan bahkan ada saksi jurnalis Korea yang berada pada satu ruang tunggu denganmu selama kejadian—"

Jongin menghela nafasnya, "Did I fuck everything up?"

Baekhyun memutar kedua bola matanya, "Yes, you did."

Jawaban Baekhyun baru saja membuat Jongin ingin muntah saja.


Ah, by the way. Yang pengen baca Kaisoo atau ship yang lain versi receh, follow IG ku yak, di kimholydae.

NGAHAHAHAHAHAHAHAHA I'M SHAMELESSLY PROMOTING MYSELF LIKE A BABO PERSON WQWQ

ANNYEONG!