Collateral Beauty
x
x
x
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Loosely based on movie Collateral Beauty [2016]
x
x
x
"Cinta. Waktu. Kematian. Ketiga abstraksi ini menghubungkan setiap manusia di bumi. Segala sesuatu yang kita dambakan, segala sesuatu yang tidak kita miliki, segala sesuatu yang akhirnya kita beli, sesungguhnya terjadi karena pada akhirnya kita merindukan Cinta, kita berharap memiliki lebih banyak Waktu, dan kita takut akan... Kematian."
xxx
n/b : titik-titik panjang menandakan jeda dalam dialog. kalimat italic menandakan ucapan dalam hati/pikiran. tidak mengacu pada agama dan kepercayaan apa pun. alur cepet dan mengambil konsep yang kurleb sesuai dengan filmnya. enjoy reading!
xxxxx
Pagi itu, Ino Yamanaka baru saja selesai mandi ketika hujan deras mengguyur kota Konoha tanpa peringatan. Riuh-rendah suara kucuran air yang membentur atap terdengar cukup bising di apartemen Ino yang lengang. Dengan handuk tebal yang masih melingkupi tubuh polosnya, Ino duduk di sofa dekat jendela, memandangi rintik-rintik hujan yang membasahi permukaan kaca seraya mengeringkan rambutnya.
Raut wajah Ino tampak murung, seperti langit Konoha yang tengah mendung. Kesedihan menyelimuti dirinya seperti kabut tebal. Setelah kepergian satu-satunya orang yang paling ia cintai seumur hidupnya, hanya rasa kehilangan yang begitu dalam dan perihnya luka batin menyayat jiwa yang Ino rasakan dalam hidupnya. Ino Yamanaka telah kehilangan anaknya, dan ia tak peduli bila harus kehilangan segalanya.
Kaos lengan panjang yang tampak kebesaran dan celana panjang berbahan jeans menjadi wardrobe pilihan Ino hari itu. Rambutnya yang masih agak basah dibiarkan tergerai hingga pinggang. Wajahnya tetap terlihat cantik menawan meski hanya diolesi krim pelembab. Hujan mulai reda ketika Ino mengenakan trench coat tebal warna khaki dan sneaker tanpa tali bersol ringan, bersiap menuju ke suatu tempat.
Ting. Bunyi berdenting terdengar nyaring di koridor yang sepi, diikuti pintu lift yang terbuka lebar. Seorang pria bertubuh tegap keluar dari dalam lift dan menyapa Ino ketika wanita itu hendak mengunci pintu apartemennya.
"Selamat pagi, Yamanaka-san," katanya dengan nada ramah diiringi senyuman sehangat mentari.
"Selamat pagi, Sai." Ino hanya mengangguk pelan, berusaha bersikap ramah pada sang tetangga yang menghuni kamar flat di sebelahnya. Hanya ada lima kamar di lantai tiga gedung apartemen yang ditempati Ino. Selain dirinya dan Sai, Ino tak tahu apakah kamar lain di lantai tersebut berpenghuni atau kosong.
"Kau akan tetap pergi keluar saat hujan seperti ini?" tanya Sai seraya mengayunkan langkah menghampiri Ino. Raut cemas tercermin di mata pria itu, sebuncah kekhawatiran yang tak dibuat-buat. Sejumput perhatian yang menurut Ino sama sekali tak diperlukan dilakukan orang asing seperti Sai karena dirinya tak menginginkan perhatian dari siapa pun.
"Bukan urusanmu!" Ia bisa saja berkata demikian dengan gertakan serta tatapan sinis, dan Sai mungkin tidak akan mengganggunya lagi atau berpura-pura menunjukkan kepeduliannya. Tapi... Jauh di lubuk hatinya, entah mengapa, kehadiran Sai di dekatnya sedikit banyak mampu mengisi relung-relung kosong sanubarinya.
Setelah kematian anaknya, saat Ino menutup hatinya rapat-rapat, mengurung presensi dari hiruk pikuk dunia, mengasingkan diri dari semua orang, melebur dalam kesepian, hanya Sai yang tetap berada di dekatnya, meski Ino kerap kali mengabaikannya. Tapi Sai, dengan caranya sendiri, mampu mencairkan kebekuan hatinya... walau hanya setitik.
Ino hanya merespon pertanyaan Sai dengan mengangkat bahu dan langsung beranjak menuju lift tanpa berkata apa-apa. Ino merasa tak perlu menjelaskan apa pun pada orang asing yang kebetulan bertetangga dengannya dan Sai pun cukup tahu diri untuk tidak mengganggu privasi Ino Yamanaka yang penuh misteri.
xxxxx
Rintik hujan tak lagi turun ketika Ino menaiki undakan berbatu, menuju sisi taman yang berbatasan dengan danau. Suasana taman kota terlihat lengang selepas hujan. Hanya ada pasangan muda yang sedang jogging mengitari taman dan seorang kakek bersama cucunya yang sedang mengajak peliharaan mereka jalan-jalan.
Ino menghampiri bangku kosong yang menghadap ke danau. Duduk di sana sambil memandang ke arah danau dengan tatapan kosong. Ino biasa melakukan hal tersebut selama berjam-jam, duduk diam menyendiri, berteman dengan sepi, berharap eksistensinya sirna tanpa arti.
"Mungkin aku takkan pernah terbiasa dengan hal itu... Kenangan akan seseorang yang pergi untuk selamanya."
Sebuah suara menghempaskan Ino dari kehampaan. Ino tampak sangat terkejut mendapati seorang pria yang mengenakan setelan dan mantel serba hitam duduk santai di sebelahnya, memandang ke arah danau. Gestur pria itu menyiratkan seakan-akan ia sudah berada di sana cukup lama. Aneh. Padahal Ino yakin sekali tidak ada siapa pun di sekitar situ selain dirinya.
Kemudian pria itu beralih pada Ino, menatapnya dalam-dalam dengan sepasang bola mata sekelam malam dan melanjutkan perkataannya.
"Setiap kali aku berpikir bahwa aku sudah bisa merelakan kepergiannya, berdamai dengan rasa duka yang begitu dalam... Seseorang pasti akan mengungkit kembali momen-momen indah tentangnya, kembali menyebut namanya... Itu sangat membunuhku... Tentang bagaimana orang-orang meninggal... Tentang bagaimana..."
"STOP!!! JANGAN TERUSKAN LAGI!!!" Sontak saja Ino langsung bangkit. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya tampak gemetar, entah karena takut atau marah dengan perkataan pria aneh tersebut.
"Si-siapa kau?? Ke-kenapa kau bisa tahu??"
Ino tak habis pikir kenapa pria aneh itu bisa mengetahui persis tulisan dalam surat yang ditulisnya beberapa waktu lalu.
"Mungkinkah dia mencurinya??? Ah, tidak! Seandainya dia mencurinya, kenapa dia bisa tahu kalau aku yang menulisnya. Aku bahkan tidak menuliskan nama dan alamat rumahku! Jadi kenapa dia bisa tahu???"
"Menurutmu bagaimana aku bisa tahu?" Pria itu balik bertanya. Tatapannya tak beranjak dari Ino. Entah kenapa Ino merasakan ngeri yang tak terelakkan di balik sikap santai yang diperlihatkan pria itu.
"Jangan konyol! Aku mengirimkan surat pada Kematian. Tak mungkin ada seseorang yang akan..." Ino tak meneruskan kalimatnya. Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. Hawa dingin seketika menyergapnya, mengalirkan gelombang ketakutan ke seluruh urat nadinya.
"Jangan-jangan... Ah, tidak! Tidak mungkin. Tidak mungkin kau..." Ino terlonjak kaget ketika pria itu berdiri dan berjalan menghampirinya. Ia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih bertuliskan 'Kematian' di bagian depannya.
"Tentu saja aku tahu isi suratmu, Ino Yamanaka," ujar pria itu seraya menyodorkan amplop tersebut kepada Ino.
"Aku adalah 'Kematian'. Atau kau bisa memanggilku Sasuke kalau menurutmu 'Kematian' itu terlalu menyeramkan."
xxxxx
Ino mengambil surat tersebut, kemudian meremas-remasnya dan melemparkannya ke tanah. "Omong kosong!!! Mana mungkin kau adalah Kematian??!! Jelas-jelas wujudmu seperti manusia biasa!!! Aku tidak akan semudah itu percaya dengan tipuanmu!!!" sungutnya.
Ino lantas bergegas meninggalkan tempat itu, berupaya menyelamatkan pikiran rasionalnya dan meyakinkan diri bahwa semua itu halusinasi belaka.
Setelah beberapa langkah, Ino menoleh ke belakang dan tidak ada siapa pun di sana. Wanita berambut pirang itu pun menghirup napas lega. Ternyata ia hanya memang berhalusinasi. Sejak awal tidak pernah ada Sasuke, pria yang mengaku-ngaku sebagai 'Kematian'. Ino mengalihkan pandangannya kembali ke depan dan tiba-tiba...
"Hei!" Sasuke tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. Pria itu mengernyit dan menatap Ino dengan tajam. "Bersikaplah sopan! Aku sudah repot-repot datang menemuimu, tapi kau malah pergi begitu saja!"
"Tidak! Tidak mungkin! Kau tidak nyata!"
"Apa maksudmu? Tentu saja aku nyata! Aku adalah 'Kematian'. Aku ini nyata, senyata oksigen yang kau hirup agar tetap hidup!" Sasuke tampak tersinggung dengan omongan Ino. "Kau sendiri yang mengirim surat padaku, kenapa sekarang kau malah mengingkari keberadaanku?! Dasar manusia bodoh!"
Ino berdiri mematung, terkesiap mendengar perkataan Sasuke barusan. Sasuke benar. Dia memang bodoh. Ino Yamanaka sudah menjadi orang bodoh, sebab hanya orang bodoh yang menulis surat pada 'Kematian', memohon pada sang 'Kematian' agar mencabut nyawanya, sehingga ia bisa bersama-sama lagi dengan anaknya dan tidak hidup tersiksa seorang diri di dunia yang fana ini.
"Apakah kau ada di sini untuk membawaku pergi?"
"Apakah kau sebegitu inginnya mati?"
"Anakku adalah segalanya bagiku. Aku sudah kehilangan dirinya... Aku sudah kehilangan segalanya... Aku..."
"Cukup!"
Sasuke langsung menginterupsi sebelum Ino sempat menyelesaikan kalimatnya. Langkahnya terayun mendekati Ino, memperpendek jarak di antara mereka. Sasuke berdeham pelan lalu berkata, "biar kujelaskan satu hal padamu... Aku adalah 'Kematian', bukan malaikat pencabut nyawa. Jangan samakan aku dengan mereka."
Sesuatu yang ajaib terjadi ketika Sasuke mengangkat tangannya dan mengarahkannya ke wajah Ino. Tangan pria itu menembus kulitnya, seperti asap putih yang menguap di udara. "Aku adalah abstraksi... Tak berwujud. Tak tersentuh. Itulah alasannya kenapa kehadiranku di sini sama sekali takkan mengancam nyawamu."
"Lantas untuk apa kau datang menemuiku?" Ino terdengar kecewa. Sesungguhnya ia lebih berharap malaikat maut yang mendatanginya, bukan pria 'Kematian' bernama Sasuke yang 'tembus pandang' seperti roh gentayangan. "Tunggu dulu!! Roh gentayangan?! Jangan-jangan sebenarnya dia hantu yang sering mengusili orang??!!"
Sasuke mendengus sebal. "Aku bukan hantu," sahutnya seolah bisa mendengar langsung suara pikiran Ino. "Sighhh~ Manusia memang mahluk primitif," gumam pria itu.
"APA KATAMU?? PRIMI..."
"Bukan apa-apa!" Sasuke langsung menyela ucapan Ino. "Sudah cukup... Tak perlu membahas tentang eksistensiku... Aku ke sini untuk membalas suratmu secara langsung, Ino Yamanaka." Sasuke kembali merogoh saku mantelnya dan menyodorkan sebuah amplop putih pada Ino.
Ino mengambilnya dengan hati-hati. Matanya membelalak ketika amplop putih itu sudah berada dalam genggamannya. Amplop tersebut adalah amplop yang sama yang tadi dibuang olehnya. Namun anehnya, amplop bertuliskan 'Kematian' itu masih rapi dan tersegel rapat persis seperti saat pertama kali Ino memasukkannya ke kotak surat.
"Kau menyinggung tentang bertukar nyawa dalam suratmu. Nyawamu untuk nyawanya... Kau berharap menggantikan tempatnya, sehingga ia tetap hidup di muka bumi ini," ujar Sasuke seraya menatap Ino lekat-lekat.
"Kau tidak berhak bernegosiasi denganku atau siapa pun perihal nyawa orang lain termasuk nyawamu, Ino Yamanaka." Angin berhembus cukup kencang ketika Sasuke memaparkan penjelasannya. Imej tegas dan serius terpancar dari raut muka dan nada bicara pria itu.
"Setiap mahluk hidup yang ada di alam semesta ini adalah kepunyaan-Nya. Hanya Dia yang berhak menentukan segalanya, termasuk hidup dan matinya seseorang... Tuhan sudah mengatur semuanya, semua hal yang terjadi dalam hidupmu akan berjalan sesuai kehendak-Nya. Kau tidak bisa..."
"CUKUP!!! AKU TIDAK MAU MENDENGAR OCEHANMU!!!"
"Kau sama saja dengan mereka!!! Sok menasihatiku tentang rencana Tuhan dan sebagainya... 'Ino, kau harus merelakannya... Kepergian anakmu adalah kehendak Tuhan, kau harus menerimanya... Apakah kau pernah mendengar kisah tentang seorang ayah dan anaknya di sebuah taman bunga? Kisah yang menggambarkan nyawa orang yang kita cintai ibarat sekuntum bunga yang paling indah di taman tersebut. Kau tahu cerita itu kan, Ino?'... AKU SUDAH MUAK MENDENGAR SEMUA ITU!!!"
Ino mengungkapkan seluruh uneg-unegnya, duka lara yang ia rasakan, pedihnya rasa kehilangan sang belahan hati. Semua beban yang menyandera pikiran, seluruh amarah yang bersarang di hati dan nestapa yang mendekam jiwa, semuanya meluap dalam kepedihan yang membara. Tidak ada yang memahami dirinya. Tidak ada yang benar-benar peduli dengannya. Semua orang sama saja. Semuanya. Bahkan 'Kematian' sekali pun.
x
x
x
to be continued
x
x
x
Holaaa~ Long time no see. Alhamdulillah~ akhirnya saya bisa mampir ke sini lagi setelah sekian lama. Hehehe.
Baru mulai nulis lagi setelah hiatus, jadi maap-keun kalo bahasanya rada berantakan (biasanya juga berantakan sih, hehe) I'm lack of imagination juga, jadinya ngambil ide dari film.
Lagi-lagi multi chapter, tapi ndak banyak kok. Tadinya pengen dibikin one-shot, eh taunya panjang banget, belum lagi ditambah notes yang juga gak kalah panjang. Wkwkwk. Maap-keun yaa kebiasaan ngalor ngidul masih mendarah daging :D
Yowis, feel free to critic and review yaa, Fellas. Thanks anyway :)
