Disclaimer: Baik KHR maupun cover story bukan milikku. Katekyo Hitman Reborn milik Amano Akira, penulis tidak mengambil keuntungan material dalam penulisan fanfik ini
Warning: AU, canon divergence, OOC, OC, typo, etc
Rating: T
Pairing: 1896, etc
Genre: Romance, Adventure
WHITE LILY OF THE MOON
By
Sky
Sebuah cerita dongeng yang sering dibacakan kepada anak-anak sebagai cerita pengantar tidur selalu dimulai dari sebuah kalimat 'pada suatu hari dan diakhiri dengan ucapan 'pada akhirnya mereka hidup dengan bahagia', namun apakah sesungguhnya sebuah cerita harus memiliki permulaan serta akhiran dimana semua karakter di dalamnya mendapatkan akhir yang bahagia? Jawabannya adalah tidak. Mungkin, sebuah cerita pada awalnya dimulai dengan kalimat 'pada suatu hari' ataupun 'pada suatu ketika' pada paragraf pertama, namun perlu diketahui kalau semua cerita tidak selalu berakhir dengan hidup bahagia dan bersama-sama layaknya cerita fiksi yang penuh akan khayalan. Sebagai contohnya adalah kisah ibu tiri dari Putri Salju dalam dongeng Putri Salju dan tujuh kurcaci. Mungkin Putri Salju mendapatkan akhir yang bahagia bersama dengan pangeran yang ia idam-idamkan, lalu bagaimana dengan ibu tiri yang jahat itu? Apakah ia mendapatkan akhir yang bahagia seperti pemeran utama? Jawabannya adalah tidak, sang Ibu tiri yang jahat tersebut tidak akan mendapatkan akhir yang bahagia. Oleh karena itu, tidak semua cerita memiliki akhir yang bahagia dan tidak semua karakter yang ada dalam buku cerita juga berakhir dengan bahagia. Bahkan, ada beberapa yang berakhir mengenaskan dengan tragedi yang selalu membayang pada diri mereka.
Semuanya itu sangat jelas, dan untuk ukuran seorang anak yang baru saja menginjak angka 10 tahun dua bulan lalu Yukimura Nagi pun mengetahui akan hal itu. Bahwa tidak semua karakter dalam sebuah cerita memiliki akhir yang bahagia, semua yang tertulis selalu menunjukkan keuntungan menjadi orang baik dan kerugian menjadi orang jahat. Lantas gadis kecil itu berpikir, apakah dirinya merupakan salah satu dari karakter dalam cerita yang akan memiliki akhir penuh dengan tragedi? Atau mungkin memiliki akhir yang bahagia? Gadis kecil itu tak bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya tersebut. Nagi tidak tahu apakah hidupnya adalah bagian dari sebuah cerita dan ia adalah seorang karakter dalam cerita tersebut, dan ketidakpastian tersebut terlihat jelas ketika ia menghadiri pemakaman sang Ibu.
Setelah bertahun-tahun dirinya hidup dengan seorang Ibu dan Ayah tiri yang terus mengabaikannya, ia tak tahu harus merasa bagaimana setelah satu dari kedua orang tersebut pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Haruskah Nagi merasa sedih karena Ibu yang meninggalkannya itu adalah sosok wanita yang sudah membawanya ke dunia ini? Atau mungkin Nagi harus merasa senang karena dengan begitu ia bisa merasakan kebebasan dari kekangan sang Ibu, dan bisa juga Nagi tidak merasakan apa-apa karena baginya sang Ibu dan dirinya – meski keduanya tinggal di bawah atap yang sama– tidak lebih dari dua orang asing yang saling menghiraukan satu sama lain. Bila Nagi harus memilih, maka jawaban terakhirlah yang akan ia pilih, dan itulah yang terjadi sekarang ini.
"Kasihan sekali, padahal usianya masih sangat muda."
"Aku dengar ia meninggal secara tidak wajar. Mungkin suaminya lah yang membunuhnya untuk mendapatkan harta warisannya."
"Bukankah Mayumi memiliki seorang anak?"
"Entahlah, siapa peduli. Wanita itu adalah sosok pelacur yang sempurna, berkedok sebagai wanita terhormat namun pada kenyataannya ia malah tidur dengan laki-laki lain di balik punggung suaminya. Kurasa apa yang ia alami itu benar-benar patut untuk ia terima."
"Bagaimana dengan anaknya? Siapa itu namanya? Nagi-chan atau sesuatu."
Dan semua omong kosong yang Nagi dengar dari mereka semua itu hanya sementara mengena dalam hatinya. Nagi masih terlalu kecil untuk mencerna semua perkataan itu, namun ia bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti akan maksud mereka. Di hadapan Nagi, orang-orang ini akan bertingkah layaknya sebagai teman dekat dan memberikan simpati, tetapi ketika Nagi membalikkan tubuhnya maka mereka akan mengolok-olok mendiang ibunya. Nagi tahu kalau sang Ibu bukanlah orang suci yang seratus persen tak memiliki kesalahan, yang ada malah sebaliknya dan tak jarang Nagi pun sedikit membenci sosok wanita yang ia panggil sebagai Ibu tersebut. Berkat sang Ibu, Nagi tidak memiliki kebebasan, dan berkat sang Ibu lah Nagi menjadi seorang individu pemalu yang tak berani menatap bayangannya sendiri baik itu di belakang tubuhnya maupun dari balik kaca. Menyedihkan.
"Namaku adalah Hibari Yusuke, sepupu dari Ayah kandungmu. Kau Yukimura Nagi, bukan? Mulai saat ini namamu adalah Hibari Nagi, kau akan tinggal bersamaku di Namimori!"
Sepeninggal sang Ibu untuk selamanya, Nagi mendapati dirinya bertemu dengan sepupu dari Ayah kandungnya untuk yang pertama kali ketika upacara pemakaman Ibunya pun selesai. Waktu itu Nagi yang masih belum beranjak dari depan altar pemakaman pun hanya bisa duduk bersimpuh di sana, dengan wajah yang tak memiliki ekspresi apapun serta dengan sepasang mata violet miliknya menatap bingkai foto milik sang Ibu yang ada di altar. Kimono hitam yang ia kenakan pada tubuh kecilnya tersebut memberikan gambaran kalau Nagi tengah berduka, namun pada kenyataannya gadis kecil itu tidak tahu apakah duka atau perasaan lainnya lah yang tengah ia rasakan sekarang ini. Perasaannya bercampur aduk. Semuanya terjadi begitu cepat sampai-sampai Nagi tak mampu mencernanya dengan baik.
Ketika kondisinya yang berada di ambang ketidakpastian itu tengah bergulir, Nagi mendapati seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas hitam menghampirinya dan duduk bersimpuh di sampingnya. Nagi tidak tahu siapa laki-laki tampan yang kelihatan begitu kaku tersebut, ia menganggap mungkin laki-laki ini adalah satu dari beberapa teman mendiang Ibunya yang diundang oleh Ayah tiri Nagi untuk menghadiri upacara pemakaman sang Ibu. Entahlah, Nagi tidak tahu dan lebih tepatnya tidak ingin mencari tahu melihat semua itu bukan lagi menjadi urusannya.
Hanya saja, ada satu hal yang tidak Nagi prediksikan sebelumnya terjadi pada waktu itu. Sosok laki-laki yang Nagi anggap sebagai teman Ibunya itu ternyata adalah sepupu dari Ayah kandung Nagi yang entah dimana keberadaannya saat ini, dan tanpa ada angin maupun hujan laki-laki yang benama Hibari Yusuke itu memberi nama baru bagi Nagi dan menyuruhnya untuk tinggal bersama dirinya di Namimori, sebuah kota kecil yang Nagi ketahui sangat jauh dari Tokyo tanpa meminta persetujuan dari Nagi sendiri.
Nagi ingat benar kalau dirinya langsung memasuki masa keterkejutan karena itu, namun gadis kecil memiliki alasan dibalik semuanya sangat masuk akal karena ini pertama kali terjadi pada dirinya. Seseorang yang mengakui dirinya sebagai Paman dari Nagi menyuruhnya untuk tinggal di Namimori tanpa mendengarkan penolakan maupun persetujuan dari Nagi. Gadis kecil itu hanya duduk termenung seraya menatap sosok laki-laki itu dalam diam, dengan sepasang mata berwarna violet terbuka sedikit lebar.
Gadis itu ingin menganggap apa yang ia alami hari itu sebagai mimpi buruk dan akan menghilang setelah ia terbangung, namun nyatanya semua itu bukanlah sebuah mimpi belaka, karena pada keesokan harinya ia menemukan Hibari Yusuke berada di dalam rumahnya yang kosong bersama dengan beberapa pelayan yang mengemasi semua barang-barang milik Nagi. Ayah tiri Nagi tidak bisa berkutik dibuatnya, dan Nagi memiliki spekulasi kalau laki-laki itu tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan Nagi sepeninggal istrinya yang merupakan Ibu kandung Nagi. Artinya, Nagi tidak memiliki pilihan apapun kecuali mengikuti kemauan dari Hibari Yusuke.
Setelah mengganti piyama yang ia kenakan dengan gaun musim panas berwarna putih dan mengenakan sepatu flat dengan warna senada, Hibari Yusuke pun langsung menggandeng Nagi untuk memasuki mobil yang sudah ia persiapkan sebelumnya dan mereka berdua pun meninggalkan kota Tokyo untuk menuju Namimori.
Dan di sinilah Nagi sekarang ini, tinggal di sebuah mansion besar bergaya tradisionalis Jepang bersama dengan keluarga Pamannya yang hanya berjumlah dua orang. Dari apa yang Hibari Yusuke infokan pada Nagi, ia akan tinggal bersama dengan anaknya karena ia sendiri akan jarang berada di rumah.
Sepertinya aku adalah satu-satunya perempuan yang tinggal di tempat sini, pikir Nagi kepada dirinya sendiri. Gadis kecil itu sudah mengganti gaunnya dengan sebuah kimono indah berwarna biru indigo dimana pattern kupu-kupu berwarna lembut terpetak di bagian bawahnya. Nagi tidak tahu kalau keluarga Hibari adalah sebuah keluarga yang tradisional di masa yang modern sekarang ini, namun melihat gadis kecil itu tidak memiliki opini tersendiri mengenai sosok keluarga yang sekarang ini menjadi keluarganya ia pun meninggalkannya sendiri. Terlebih, Nagi sendiri tidak merasa keberatan untuk mengenakan pakaian semacam kimono maupun yukata ketika berada di dalam rumah.
Nagi terlahir dari sebuah keluarga bangsawan dan terhormat dari sisi Ibu dan Ayahnya. Meski Nagi tidak mengetahui siapa Ayahnya karena baik sang Ibu dan keluarga lainnya selalu bungkam ketika gadis itu bertanya mengenai keberadaan serta identitas Ayah kandungnya, ia dibesarkan oleh sang Ibu layaknya seorang Nona muda. Setiap hari ia selalu mendapatkan pelajaran tata krama, dan tiap waktu luang yang Nagi miliki selalu diisi oleh pelajaran lainnya. Karena itu Nagi tidak akan menyuarakan protes sedikit pun ketika sang Paman yang mengadopsinya tersebut menekankan nilai-nilai moral serta ketradisionalan pada kepala Nagi ketika mereka sampai di kediaman keluarga besar Hibari, ia sudah terbiasa akan hal itu dan menerima hal yang baru serta tidak terlalu berbeda dari apa yang Nagi terima pun mudah untuk membuatnya beradaptasi.
Tatapan kedua matanya pun beredar dari satu sisi ke sisi lain ketika mengamati kamar pribadinya tersebut. Tersenyum kecil, gadis itu pun kini beranjak dari tempat tidurnya untuk menghampiri sebuah rak buku yang telah ia isi dengan buku-buku kesayangan yang ia bawa dari Tokyo. Jari telunjuk tangan Nagi pun mengedari dari punggung satu buku ke yang lainnya sebelum ia berhenti pada sebuah buku bersampul kulit berwarna biru indigo yang ada di barisan rak kedua. Buku tersebut ia ambil perlahan dan kini mendapatkan perhatian lebih dari Nagi.
Itu bukanlah sebuah buku cerita bergambar maupun buku baru yang terbit di era ini. Dari sampul kulitnya saja Nagi sudah tahu betapa tua usia dari buku itu, mungkin lebih dari seratus tahun atau bahkan lebih. Sebuah buku tua yang sudah usang dan seharusnya tidak menarik perhatian siapapun itu malah menarik perhatian Nagi begitu saja ketika ia pertama kali melihatnya dua minggu yang lalu. Nagi mendapatkan buku tersebut dari sebuah toko barang antik di Tokyo ketika pengasuhnya mengajaknya jalan-jalan, waktu itu ketika mereka melewati toko tersebut tiba-tiba saja Nagi merasakan sesuatu yang menyuruhnya untuk masuk ke dalam toko barang antik tersebut, dan dari sanalah Nagi menemukan buku tersebut, hal pertama yang menarik perhatian Nagi. Gadis itu belum sempat membacanya karena sang Ibu tidak pernah meninggalkannya sendiri maupun memberikannya waktu luang, dan kejadian beberapa hari yang lalu dimana Ibunya meninggal pun menarik semua perhatian Nagi sehingga ia pun hanya mampu menyimpan buku ini sampai ia bisa membacanya pada waktu yang tepat. Dan Nagi rasa sekarang ini adalah waktu yang tepat bagi Nagi untuk membaca buku tersebut, melihat ia tidak memiliki kegiatan apapun malam ini selain beristirahat. Setelah Hibari Yusuke mengantarkan Nagi pada ruangan yang akan menjadi kamar pribadi milik gadis itu, ia pun meninggalkan Nagi sendirian karena ada sebuah pekerjaan yang harus ia selesaiakan. Dan Nagi pun sama sekali tidak keberatan ditinggalkan sendirian di sana, melihat Nagi sudah terbiasa.
Setelah mengambil tempat duduk yang nyaman di samping pintu yang shoji yang terbuka dan menghadap ke arah kolam ikan koi yang ada di hadapannya, Nagi pun menyandarkan punggungnya pada sisi dinding sebelum ia meletakkan buku bersampul kulit berwarna biru indigo di atas pangkuannya.
Ada rasa penasaran yang menjalar pada diri Nagi kala kedua matanya menatap sampul kosong nan polos buku tebal itu. Sebuah sensasi aneh adalah apa yang menuntun Nagi untuk memilih buku ini ketika ia berada di toko barang antik waktu itu, seperti ada tarikan gravitasi yang menjerat gadis itu untuk masuk ke dalamnya dan ia pun tak kuasa untuk menolaknya. Ia belum pernah menemui buku sepolos ini, seperti buku harian maupun catatan pribadi dan kalaupun buku itu adalah catatan pribadi milik seseorang lalu kenapa bisa Nagi menemukannya di dalam toko barang antik? Sebuah pertanyaan besar itulah yang mengiringi pemikiran Nagi, dan ia pun mulai merasakan ketidaksabaran untuk membukan, ia harap isinya berupa cerita yang menarik seperti novel dan sebagainya.
Ketika Nagi membuka buku tersebut pada halaman pertama, hal pertama yang Nagi lihat adalah halaman yang penuh akan tulisan tangan seseorang. Tulisannya sangat rapi dan artistik serta ditulis menggunakan tinta berwarna hitam legam, dan dari tanggal yang tertera di sana Nagi melihat buku ini sudah ada sejak 150 tahun yang lalu. Wow, ia benar-benar menemukan sebuah buku yang berharga dari milik seseorang di masa lalu.
Sepasang mata violet milik Nagi pun menelusuri tulisan demi tulisan, ia membaca kata pengantar yang tertulis di sana.
Menulis buku ini adalah bukan pilihan pertama yang akan aku ambil bila aku menginginkannya, namun seseorang yang sangat aku cintailah yang membujukku untuk melakukannya, dan untuk membuatnya senang aku pun melakukannya. Mungkin kau bingung siapa aku sebenarnya, si Penulis buku misterius bersampul biru indigo yang polos dan tak ada judul maupun nama pengarangnya. Buku ini bukanlah buku sembarangan, karena dalam buku ini aku menuliskan semua pengetahuan yang aku miliki mengenai ilusi dan api kehidupan, khususnya api kehidupan kabut yang mampu menciptakan imajinasi menjadi kenyataan dan kenyataan menjadi imajinasi.
Api kehidupan itu bukanlah api biasa yang akan kau temui dalam kehidupan sehari-hari meski mereka selalu bersemayam pada diri makhluk hidup. Api kehidupan itu selalu menuntun jalan mereka yang bernyawa, selalu ada, namun keberadaannya hanya bisa dirasakan serta digunakan oleh beberapa individu terpilih saja. Mungkin kau –pembaca buku ini– ragu akan apa yang aku tuliskan itu, kau pasti menganggapku gila karena sudah menuliskan hal yang bertele-tele dengan kesan memaksamu untuk percaya. Jangan khawatir, kau tak perlu mempercayaiku karena pada dasarnya kau sudah melihat kalau api kehidupan itu nyata.
Kau pasti penasaran akan tulisan dari paragraf di atas, bukan? Rasa penasaranmu terjawab dan aku memberimu selamat. Kau bisa menggunakan api kehidupan dan api kehidupan utama yang kau miliki adalah berjenis kabut, sama seperti milikku. Kalau kau bisa membaca tulisan dalam bukuku ini, maka kau cukup bertalenta untuk menggunakan api kehidupan jenis kabut. Karena hanya mereka yang memiliki bakat serta tipe api utamanya adalah kabut yang bisa membaca buku ini, dan mereka yang tak masuk ke dalam kategori di atas hanya akan melihat buku ini ditulis dengan bahasa aneh yang tak dapat dibaca. Kalau kau masih tidak percaya, silakan kau perlihatkan kepada orang lain dan pinta mereka untuk membaca, lihat apakah mereka mampu melakukannya.
Namaku adalah Daemon Spade, dan aku akan menjelaskan api kehidupan kabut serta membimbingmu menjadi ilusionist tingkat atas melalui buku ini.
Daemon Spade, Penjaga kabut pertama dan kedua dari keluarga Vongola
Nagi bisa merasakan ketidakpercayaan serta aneh ketika ia sampai pada bagian terakhir pada halaman buku yang ia baca. Ia tidak mengerti apa itu api kehidupan yang dituliskan oleh Daemon Spade ini, lalu ia juga tidak tahu harus percaya apa tidak ketika si Penulis buku ini menuliskan kalau orang-orang yang memiliki bakat untuk menjadi seorang ilusionis saja yang bisa membaca buku ini. Seperti karangan hoax dan penuh akan tipu daya, begitulah yang Nagi pikirkan ketika ia mengusap nama si Pengarang yang tertera di sana.
Buku yang menarik, pikir Nagi. Namun belum tentu nyata.
Gadis itu memiliki alasan yang besar mengapa ia tidak harus mempercayai ucapan yang pengarang itu tuliskan pada bukunya. Tetapi, Nagi tidak serta merta menutup buku itu begitu saja karena pada dasarnya ia merasa sedikit tertarik akan isi dari halaman selanjutnya. Oleh karena itu, Nagi pun membalik buku tersebut ke halaman selanjutnya. Dan di sana ini bisa melihat begitu banyak tulisan serta diagram yang digambarkan oleh Daemon Spade, ia tak sabar untuk membaca apa yang tertulis di halaman kedua dari buku ini.
Hanya saja, ketika Nagi akan membaca kalimat pertama yang tertulis di halaman kedua mengenai api kehidupan, sebuah ketukan kecil yang berasal dari luar pintu kamarnya pun membuat perhatian Nagi berpindah.
"Nona muda, sudah saatnya untuk makan malam. Tuan besar dan Tuan muda sudah menunggu Anda di ruang makan," ujar orang yang mengetuk pintu kamar Nagi tersebut, dari suara serta cara memberitahukan informasi tersebut Nagi bisa menebak kalau orang itu adalah salah satu pelayan dari keluarga Hibari.
"Baik," jawab Nagi dengan suara pelan namun cukup keras untuk didengar oleh pelayan tersebut.
Setelah ia memberikan pembatas buku pada halaman yang nanti akan ia baca, Nagi pun meletakkan buku milik Daemon Spade tersebut di bawah bantal tempatnya tidur agar tidak ditemukan oleh siapapun selain dirinya. Ia harap apa yang ditulis oleh Daemon adalah benar, bahwa tidak ada yang bisa membaca tulisan dalam buku itu kecuali mereka yang memiliki bakat untuk menggunakan api kehidupan jenis kabut. Tapi, Nagi ragu kalau ada orang yang percaya akan penjelasan abstrak seperti tadi.
Karena ia tak ingin membuat Hibari Yusuke dan puteranya menunggu Nagi lebih lama lagi, gadis kecil berambut biru indigo itupun langsung beranjak dari tempatnya duduk sebelum menutup pintu shoji yang mengarah ke luar tempat kolam koi dan taman berada. Setelah merapikan kimono yang ia kenakan, gadis itu pun berjalan keluar dari dalam kamarnya untuk menuju ke ruang makan yang Hibari Yusuke tunjukkan padanya siang tadi.
Rumah kediaman keluarga Hibari tersebut adalah rumah yang sangat besar, Nagi yakin kalau ia tidak menyemak penjelasan Pamannya ketika mereka melakukan tur siang tadi mengenai tempat ini pasti ia akan hilang di dalamnya. Rasanya lucu memang, tapi Nagi selalu buruk bila disuruh untuk mengingat arah. Tak ingin berpikiran yang aneh-aneh, ia terus melanjutkan perjalanannya sampai kedua kakinya tersebut membimbingnya untuk memasuki ruang makan. Dan di ruang makan yang bergaya Jepang tradisional dan berukuran cukup besar itu, Nagi melihat dua orang sudah berada di sana dan sama-sama mengenakan Yukata rumah berwarna hitam. Kedua laki-laki itu meskipun memiliki paras yang hampir sama meski dibedakan oleh usia yang jauh langsung menoleh ke arah Nagi yang baru saja memasuki ruangan itu, hal tersebut membuat Nagi sedikit gugup dan sebisa mungkin tidak menampakkan kegugupannya kepada mereka berdua. Gadis itu mencoba untuk tersenyum, namun yang ada senyuman itu malah terlihat sangat kikuk dan aneh, membuat anak laki-laki yang duduk di sisi kanan dari Hibari Yusuke mendengus pelan seraya memejamkan kedua matanya kembali.
"Nagi," ujar Paman Nagi dari tempatnya duduk, pria paruh baya yang masih terlihat tampan tersebut menyuruh Nagi untuk mengambil tempat duduk di samping kirinya, tepat berseberangan dengan anak laki-laki berambut hitam yang mendengus tadi.
"Maaf membuat Paman Yusuke menunggu," ujar Nagi dengan suara kecil, kedua pipi putihnya pun masih bersemu merah meski yang menatapnya kini hanya Yusuke.
"Tak apa, kau tidak terlambat sedikit pun. Cepatlah ambil tempat duduk dan kita bisa memulai makan malam bersama!" perintah Yusuke untuk sekali lagi. Ia menghiraukan dengusan yang keluar dari sosok puteranya.
Nagi tahu kalau anak laki-laki yang duduk berseberangan dengannya itu tidak menyukai keberadaannya, hal ini bisa dilihat bagaimana anak itu memberinya tatapan ganas nan dingin ketika Nagi mengambil tempat duduk di tempat itu. Gadis itu tak akan menyalahkannya andaikata remaja laki-laki itu membencinya, karena bagaimana pun Nagi adalah orang yang asing yang dipungut oleh Paman Yusuke, keberadaannya kurang lebih tidak diharapkan oleh remaja itu. Perasaan rendah diri yang selalu muncul dalam dirinya pun kini bertambah semakin besar, membuatnya tak berani untuk mendongakkan kepalanya maupun menatap ke arah Paman Yusuke maupun putera Paman Yusuke. Ia benar-benar seperti seorang pengecut, mencoba bersembunyi dari balik bayangannya sendiri meski ia tahu apa yang ia lakukan itu tidak akan memiliki hasil apapun.
Gadis itu meremas rok kimono yang ia kenakan dari balik meja tempatnya duduk, dan suasana sepi ketika mereka makan malam bersama pun sama sekali tidak membantu rasa gugupnya. Nagi menemukan suasana di keluarga Hibari ini benar-benar kaku dan serasa tidak nyaman, rasanya Nagi ingin sekali pergi dari tempat itu untuk kembali ke dalam kamarnya. Hanya saja, melakukan apa yang pikirannya perintahkan tersebut sama sekali tak bisa ia lakukan melihat tatapan Paman Yusuke dan remaja laki-laki yang merupakan sepupu Nagi tersebut tak pernah beranjak dari Nagi sendiri.
Untuk menghindari perasaan tidak nyaman yang Nagi rasakan sejak tadi, gadis berambut biru indigo itu pun mengalihkan semua perhatiannya kepada hidangan yang tersaji di atas meja. Semua yang tersaji di sana terlihat begitu lezat serta bercita rasa Jepang sekali, kecuali satu hidangan yang Nagi ketahui merupakan makanan khas orang luar negeri. Makanan yang terbuat dari daging sapi yang Nagi ketahui bukan makanan orang Jepang asli itu terlihat begitu aneh berada di antara masakan oriental yang tersaji di sana, namun sebagai gadis pendiam yang tak berani melontarkan opininya secara lugas Nagi pun memendam pendapatnya sendiri untuk dirinya. Mungkin saja salah satu dari pasangan Ayah-Anak ini menyukai makanan itu, sehingga pelayan pun menghidangkan humbergear daging itu di atas meja. Dalam hati Nagi mengulum senyum, dan untuk memulai makan malam pada bagiannya ia mengambil sesendok sup miso dan memulai untuk memakan porsi yang sudah ia ambil dengan hati-hati.
"Bagaimana kau menemukan ruanganmu, Nagi? Apa kau menyukainya?" Suara dari Hibari Yusuke pun tiba-tiba memecah keheningan yang sudah tercipta sejak 15 menit lalu ketika Nagi memasuki ruangan tersebut.
Gadis berambut biru indigo itu pun memberikan anggukan sekalian menawarkan senyum kecil, sedikit kegugupan yang ia miliki pun sebisa mungkin ia tutupi.
"Aku menyukainya, Paman Yusuke. Terima kasih sudah mengizinkanku untuk tinggal di sini," jawab Nagi dengan suara kecil dan lembut. Sejak kemarin ia belum sempat mengucapkan terima kasih kepada laki-laki ini, sosok yang mengaku dirinya sebagai keluarga Nagi dan mengizinkannya untuk tinggal di tempat ini.
"Kau adalah keluarga, Nagi, sudah semestinya kau tinggal di sini. Kalau Ayahmu ada di sini, aku rasa ia akan sependapat denganku."
Jawaban dari kepala keluarga Hibari tersebut membuat Nagi memiliki pertanyaan besar dalam dirinya, mengenai jati diri dari sang Ayah yang merupakan sepupu dari Yusuke. Bahkan, ucapan itu pun tak hanya menarik perhatian Nagi saja, putera dari Yusuke pun juga ikut memberikan tatapan penuh tanda tanya kepada sang Ayah meski ia masih menampakkan ekspresi netral.
Dua tatapan yang berasal dari Hibari Nagi –merupakan nama legal Nagi sekarang ini, Yusuke memaksa Nagi untuk menerima marga itu– dan pewaris keluarga Hibari itu sama sekali tak digubris oleh Yusuke, kelihatannya laki-laki itu masih terlalu enggan untuk memberikan informasi kepada Nagi mengenai Ayah kandungnya. Nagi sendiri tak bisa memaksa Yusuke untuk memberitahunya, mungkin suatu saat nanti ia akan mengetahuinya, tapi bukan saat ini.
"Buatlah dirimu senyaman mungkin tinggal di rumah ini. Karena aku akan jarang berada di rumah yang dikarenakan pekerjaanku, kau bisa menanyakan apapun kepada Kyouya bila kau tidak mengerti mengenai tempat ini," kata Yusuke.
Kyouya yang dimaksud di sini pasti adalah remaja laki-laki yang memberikan tatapan dingin baik kepada Paman Yusuke dan Nagi sendiri, putera dari Paman Yusuke yang tengah duduk bersebarangan dengan Nagi. Mendapatkan tatapan seperti itu membuat Nagi meneguk ludahnya dengan susah, ia harap remaja yang terlihat liar namun elegan tersebut tak akan menyerangnya begitu saja.
"B-Baik, Paman," sahut Nagi dengan sebisanya.
Karena tak ada lagi topik pembicaraan yang digulirkan di sana, mereka bertiga pun kembali melanjutkan makan malam yang tertunda tersebut dalam atmosfer kaku yang tercipta dari kedua Hibari asli di sana. Nagi tahu kalau satu jam ke depan akan menjadi waktu yang sangat panjang baginya, dan ia harap ia tidak akan merasa terlalu lelah secara emosi ketika kembali ke kamar tidurnya. Nagi masih memiliki sebuah buku untuk ia baca.
AN: Terima kasih sudah mampir dan membaca fanfik ini
Author: Sky
