Memory is a way of holding onto the things you love, the things you are, the things you never want to lose.
(The Wonder Years)
Jepang, abad ke-21.
Hidup itu tidak hanya sekedar bernapas. Memang, karena kita bernapas—maka kita hidup.
Namun, terkadang kita bisa sesak karenanya.
Menyesakkan. Sangat.
"…Masamune-dono,"
Kututup telingaku. Kurasakan keringatku turun dari leherku. Desau angin menyibak di sela-sela rambutku. Napasku yang mengalir dari dalam diriku—keluar menuju udara bebas.
Sentuhan ringan di lenganku, menghanyutkanku menuju tempat dan waktu—yang kurindu.
Genggaman hangat di jemariku, membawaku ke kehidupanku yang lain. Lama. Lama sekali.
"Date-san, kau baik-baik saja?"
Jemari yang melingkar di tanganku merosot—lalu lenyap. Semilir yang berhembus di kulitku menghilang—digantikan udara dingin mengigit yang tak kenal ampun.
Aku terlempar kembali ke ruangan kelas yang ramai, penuh udara kehidupan, meskipun dinginnya seperti musim dingin di luar sana.
Seisi kelas dan guru di depan ruangan memelototiku dengan kedua bola mata mereka.
Ya, dua. Tidak sepertiku.
Sake itu tumpah. Gelas itu pecah.
Aku menggelepar di lantai, mencengkeram dadaku yang terbakar oleh racun kebencian.
Kebencian seorang wanita.
Ia tersenyum, puas.
"Sekarang, biar adikmu yang menjadi pewaris keluarga ini. Kau—brengsek tidak berguna, bermata satu. Matamu cuma satu! Pewaris keluarga ini haruslah manusia yang mampu! Manusia macam apa kau pula?"
"Ibu—kenapa…?"
"KAU—ANAK BRENGSEK—MATAMU CUMA SATU!"
"…Ibu…"
"MATI! KAU LEBIH BAIK MATI! MATI! MATIIIIIIII!"
Riuh—lalu hening.
"Masamune, kau baik-baik saja?"
Aku kembali terlempar ke koridor sekolah, yang dipenuhi dengan irama kehidupan murid-murid dan udara yang lain. Udara yang kuhirup seketika berubah. Tidak lebih baik.
"Aku nggak apa-apa, Kojuuro," jawabku, asal. Laki-laki di sebelahku mengerinyitkan dahinya.
"Bohong," tukasnya, "Kau berkeringat dan pucat. Napasmu putus-putus. Kau sakit?"
Kugelengkan kepalaku. "Aku mimpi di siang bolong. Mimpi jelek. Lupakan saja," racauku.
Kojuuro menggelengkan kepalanya.
"Bisa gawat kita nanti. Kau ingat, minggu depan klub kasti akan melaksanakan latihan di lapangan sekolah? Kita harus berebut dengan klub sepak bola kalau ingin menggunakan lapangan. Bagaimana jadinya kalau kapten klub kasti tidak mampu berebut dengan klub sepak bola? Bisa-bisa mereka yang dapat."
Aku membalasnya dengan cengiran kecil.
Detik itu tiba. Detik itu berhenti.
Dua sosok murid yang sedang asyik bercakap-cakap di koridor mencuri perhatianku.
Yang satu mengenakan bandana hitam, dengan kaus motif loreng tentara dalam kemeja seragamnya. Aku mengenalnya—ia senior kelas tiga yang mengikuti klub sepak bola sekaligus klub koran sekolah. Yang satu lagi, pemuda berambut cokelat terang—si ketua klub sepak bola.
"Itu—Sanada Yukimura, kelas 2-2, kapten klub sepak bola," desis Kojuuro—nada suaranya menyiratkan ketidak-senangan. "Pastikan kau menang dalam merebut lapangan sekolah dengannya, Masamune." Aku mengedikkan kepala sedikit, isyarat 'ya'.
Saat aku dan Kojuuro berjalan melewati mereka, pemuda tersebut menatapku—lurus.
Masamune-dono.
Aku tercekat. Udara dingin mengaliri tubuhku.
Si pemuda meneruskan obrolannya dengan si bandana sambil tertawa-tawa.
Stasiun kereta api, pukul tiga sore.
Kurapatkan jaketku, mencoba menutup tubuhku dari serangan hawa dingin bulan November.
Kuketuk-ketukkan ujung sepatuku, mengikuti irama musik yang menyembur dari headphone di telingaku. Menunggu kereta berikutnya tiba. Terkantuk-kantuk. Nyaris mati bosan.
Perlahan, kucoba merasakan udara yang tadi.
Kuhirup napasku dalam-dalam. Mencari aroma yang familier. Aroma yang memenuhi seluruh inderaku bagaikan garam di laut. Aroma yang jauh—namun tidak asing. Menghirup kehidupanku yang lain. Yang lama. Yang terlupakan.
Kupejamkan mataku, mencoba mengukir pemandangan yang lama tak kujumpa.
Masamune-dono.
Dia di sini. Dia di sini. Dia ada di sini.
Sesosok pemuda—hanya berjarak beberapa langkah dariku—sedang menatapku lurus.
Si kapten klub sepak bola.
Tatapannya menembus bagian dalam kepalaku, terus mengalir bagaikan arus listrik menuju saraf-sarafku yang menegang.
Kepalaku berputar, mataku nanar. Keringatku mengucur deras.
Aku tidak mampu bertahan lagi, aku sempoyongan.
Ia nampak terperangah, dan menghambur ke arahku.
"DATE-SAN?"
Aku roboh, menghantam tanah.
"Masamune-dono, Masamune-dono,"
"Apaan, sih? Kau ini dari tadi berisik amat."
Sepasang lengan melingkar di tubuhku—melingkupiku dengan kehangatan.
Seketika, aroma yang familier itu menyusupiku. Jiwaku belingsatan seperti siput yang disiram garam. Bergolak, namun nyaman.
"…Yukimura…?"
Ia tidak menjawab, makin mengeratkan dekapannya. Kemudian berbisik—lirih.
"…suka…Masamune-dono...suka."
Aku berpaling. Kugigit bibirku. Tidak membalas pelukannya.
Aroma itu masih ada. Udara itu masih ada.
Kubuka mataku—yang tinggal satu—dan kutemukan sesosok orang yang tadi.
Figurnya dengan jelas tergambar di ingatanku. Jelas—sejelas dirinya yang muncul di hadapanku saat ini.
"Date-san—kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa?" tanyanya, seraya meraih kain basah yang tertempel di leherku.
Aku mengerang pelan. Belakang kepalaku nyeri. Pasti terantuk saat aku jatuh tadi.
"Aku…di mana?" kataku, setelah pandangan mataku fokus dan mampu melihat sekitar dengan lebih jelas.
"Kamarku. Ini rumahku. Tadi kau pingsan di stasiun, jadi aku membawamu ke sini," jawabnya.
"Kau membawaku sampai ke sini? Kau ini bodoh atau apa?" kataku, heran.
"Aku hanya tidak tega membiarkanmu tergeletak di sana—dan di sekitar stasiun tidak ada rumah sakit atau klinik. Yang paling dekat, ya, rumahku. Bagaimana lagi."
"Serius, kau aneh banget,deh."
"Kau seharusnya berterima kasih."
"Iya, iya. Makasih."
"Kok, judes begitu? Date-san, kau ini benar-benar menyebalkan."
Kenapa jadi panas begini? Aku sendiri tidak mengerti.
Aku bangkit dari tempat tidur, menyambar tasku yang ada di meja.
"Mau ke mana?" tanyanya, kaget.
"Pulang. Aku malas berurusan denganmu. Lagipula, minggu depan aku harus merebut lapangan darimu. Jangan harap dengan menolongku kau bisa mengambil lapangan dengan todongan balas budi atau semacamnya kepadaku."
Aku terhuyung, terseok-seok.
"AWAS!"
Ia menangkapku sebelum aku kembali menghujam lantai.
Sentuhan tangannya mengalirkan darah di pembuluh darahku yang macet.
Udara itu kembali memenuhi seluruh rongga dadaku.
"Date-san, jangan sok kuat. Kalau kondisimu seperti ini—"
"Biarkan aku pulang. Aku tidak apa-apa."
"Tubuhmu dingin sekali. Kau tidak mungkin tidak apa-apa."
"Aku…"
Dengan kekuatan entah dari mana, ia membuatku tersungkur di tempat tidurnya.
"Kau tidak bisa begini. Aku akan mengikatmu di ranjang kalau perlu."
"S atau M? Kedengarannya sih, kau S."
"Sialan kau. Aku serius. Tubuhmu tidak baik. Kau hipotermia."
Udara itu. Melingkupiku dengan rapat. Aku merindukannya. Atmosfir lama yang muncul kembali setelah lama mengendap di dasar relung jiwaku.
Kuulurkan lengan-lenganku meraihnya. Menggenggamnya erat.
"Date-san? Apa—"
"…biarkan aku seperti ini. Sebentar saja. Just a minute."
Degup jantungnya berlomba dengan jantungku. Bisa kurasakan aroma kehidupanku yang lain—yang lama, kembali menguar. Seolah yang sudah lama mati menjadi hidup kembali.
"Lepaskan bajumu."
"APA?"
"Kau dengar. Aku hipotermia, katamu. Suhu tubuhku menurun drastis. Sebelum aku mati, setidaknya—please."
Ia nampak kesal, namun tidak berdaya.
"Ya sudah, daripada aku membiarkanmu mati di rumahku. Bisa-bisa aku dituduh membunuhmu hanya karena berebut lapangan sekolah."
Ia melepaskan kemejanya—dan kemejaku.
Suhu tubuhku kembali normal menjelang malam. Keringatku berhenti. Perasaanku jauh lebih enak.
"Tubuhmu mulai hangat. Sepertinya ini manjur," gumamnya. Aku mendengus.
"Sanada, aku mau pulang. Aku sudah baikan."
"Date-san, jangan. Sebaiknya kau bermalam di sini dulu. Besok saja. Nanti kau ambruk lagi di tengah jalan."
"Masamune-dono. Jangan. Aku tidak ingin kehilanganmu. Kumohon. Jangan pergi. Tetaplah di sini. Masamune-dono, tolonglah. Masamune-dono."
Aku kembali terperangah. Kepalaku berdenging. Rasanya telingaku mulai soak.
Tanpa dapat kutahan-tahan lagi, kusambar ia ke pelukanku.
Menghirup udara yang kurindukan ini dalam-dalam—memenuhi tubuhku.
Memenuhi jiwaku. Jeritan jiwaku yang teredam oleh waktu.
Tanpa terkendali, aku mulai meracau. Dadaku sesak oleh kerinduan dan haru.
Kueratkan pelukanku. Dorongan-dorongan dalam diriku meraung liar.
"Yukimura…Yukimura…Yukimura…"
"Date-san…?"
"Yukimura…Yukimura…!"
Sedetik kemudian, ia menyebut sesuatu dari mulutnya.
Kata-kata yang lama terkubur—namun tidak lekang oleh waktu—dalam memoriku.
"Masamune-dono."
Ia membalas pelukanku yang terlalu erat.
Aku tidak ingin melepaskannya. Aku tidak ingin melepaskannya. Aku tidak ingin melepaskannya.
Aku memang tidak ingat entah kapan pastinya aku pernah mengalami hal-hal itu dengannya, namun aku mengingatnya.
Mengingat semua hal yang pernah kulewatkan dengannya.
Bukan waktu yang kuingat, namun apa yang terjadilah yang kuingat.
Aku ingat semuanya.
Jepang, abad ke-15
"Tanganmu dingin."
"Iya, lah. Aku habis pegang salju."
"Jangan dibiarkan, nanti tanganmu mati rasa, bagaimana?"
Ia meraih tanganku, dan meniupnya. Napasnya yang hangat serasa membakar organ dalamku.
"Nanti kau tidak bisa memegang pedang lagi, bagaimana?"
Aku tahu kata-katanya tidak bermaksud menyerangku, namun aku terlanjur tersinggung.
Kutepiskan tanganku.
"Jadi, kau hanya menganggapku sebagai lawan tanding saja di medan tempur. Sebaiknya kita tidak usah saja bertemu lagi—selain di peperangan. Kau hanya melihat diriku yang sedang mengenakan baju zirah dan pedang saja," kataku, tanpa belas kasihan.
Ia nampak sangat terpukul atas ucapanku, dan wajahnya memancarkan rasa sedih yang mendalam.
Kubalikkan badanku, melangkahkan kakiku. Mengusir diriku pergi dari hidupnya.
Sepasang lengan menyambarku dari belakang, mencegahku pergi.
"Masamune-dono. Jangan. Aku tidak ingin kehilanganmu. Kumohon. Jangan pergi. Tetaplah di sini. Masamune-dono, tolonglah. Masamune-dono. Maafkan aku. Maafkan aku. Maaf. Maaf…"
Bisa kurasakan punggungku basah. Air mata berjatuhan dari wajahnya. Basah. Hangat.
Pedih. Sakit.
Aku berpaling. Kugigit bibirku. Tidak membalas pelukannya.
Aku tidak bisa pergi darimu. Begitu pula kau.
Kau sudah menjadi bagian dari diriku.
Tak terpisahkan—dan tak akan kubiarkan terpisahkan.
Oleh siapapun, apapun, bagaimanapun, kapanpun, dimanapun.
We do not remember days; we remember moments.
(Cesare Pavese)
