Disclaimer: I do not own Naruto and anything related to it.
Beware of OC-centric and family-drama-ish fic. Saya tahu seharusnya saya melanjutkan dulu fic saya yang lain, tapi ide ini tidak mau hilang dari pikiran saya malah minta dituliskan. Really can't help it. Hope you enjoy!
Entah mengapa, aku sering kali bertanya-tanya tentang satu hal yang sama pada diriku sendiri.
Biasanya kulakukan ketika sedang tak ada kegiatan apapun, entah itu saat setelah pulang dari akademi atau saat waktu istirahat di akhir pekan. Namun sayangnya, justru paling sering kulakukan tanpa sadar tiap kali sedang berada di tengah suatu aktivitas, terutama yang membuatku bosan. Saat itu terjadi pikiranku akan mengawang-awang, melamun, dan bertanya-tanya. Kulakukan terus hingga akhirnya ada orang lain yang memecahkannya.
Berkat itu, di akademi aku sering ditegur Konohamaru-sensei karena selalu terdistraksi—atau apapun itu saat sensei sedang mengajar. Sensei bilang aku harus bisa tetap fokus atau lemparan shurikenku tak akan pernah tepat sasaran, atau malah diriku yang akan jadi sasaran. Begitu sering sensei menegurku sampai-sampai hampir semua anak di kelas menertawaiku, mengejekku, dan mengataiku bodoh serta tidak pantas menjadi anak dari ayahku.
Cih, memangnya apa yang mereka tahu tentang ayahku. Dasar anak-anak bodoh.
Biasanya aku tak pernah meladeni mereka. Toh, aku tahu lama-lama mereka pun akan bosan dengan itu. Namun entah mengapa sepertinya telah menjadi hobi mereka untuk terus menggangguku. Membuatku kesal—meskipun tak pernah kutunjukkan karena aku tahu itulah yang mereka inginkan: membuatku marah dan melakukan sesuatu yang buruk pada mereka, lalu mereka akan mengadu pada sensei, dan akhirnya sensei akan memberi tahu orangtuaku.
Dan akhirnya apa yang mereka inginkan itu pun terkabul. Hari itu suasana hatiku sedang tidak baik. Mereka lalu mengganggu dan mengataiku. Alhasil aku meninju satu persatu wajah mereka hingga membiru dan menangis merajuk pada sensei.
Cengeng.
Hari itu pula aku hanya mendapat cemilan untuk makan malam.
Itulah sebabnya aku tak pernah punya teman. Bagiku, tak ada teman selain keluargaku dan mungkin beberapa kerabat dekat keluargaku. Setidaknya, aku tak pernah punya teman yang seumuran denganku. Mereka selalu menggangguku. Mereka semua iri padaku.
Padaku yang anak Hokage keenam.
Memangnya aku peduli? Meskipun aku bangga pada ayahku, bukan berarti hanya karena ayah adalah seorang hokage semata!
Saking irinya, hingga mereka semua percaya bahwa aku sebenarnya bukanlah anak kandung orangtuaku. Aku hanyalah anak angkat yang dibuang oleh orangtuaku yang sebenarnya. Karena itulah, pikir mereka, aku pantas dikata-katai. 'Anak buangan', kata mereka.
Awalnya aku tak pernah menanggapi semua bualan itu karena aku yakin 100% bahwa aku adalah anak kandung orangtuaku. Aku tahu.
Hingga suatu hari, satu pertanyaan itu merasuki pikiranku.
'Benarkah?'
Dan mulai sejak itulah pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Membuatku sering terdistraksi. Membuatku sering melamun. Membuatku sering ditegur oleh Konohamaru-sensei di akademi saat pelajaran tengah berlangsung.
'Benarkah aku ini memang anak kandung orangtuaku?'
Terutama saat akhirnya aku menyadari bahwa seberapapun aku berusaha, tak kutemukan sedikitpun kemiripanku dengan ayahku, Uzumaki Naruto, sang hokage keenam, maupun dengan ibuku, Uzumaki Sakura, sang kunoichi medis terbaik di Konoha.
Setidaknya masih secara fisik, untuk saat ini.
.
.
.
Solicitous
by Yuuto Tamano
.
.
Solicitous: (adj) Disposed to solicit; eager to obtain something desirable, or to avoid anything evil; concerned; anxious; careful.
.
.
.
Uzumaki Hikaru menatap lingkaran sempurna berwarna merah pada sebuah batang pohon yang berada cukup jauh darinya dengan teliti dan seksama. Kedua kelopak matanya menyipit, mempersempit luas iris mata hitam kelamnya. Pikirannya tengah berkonsentrasi, dahinya berkerut, dan setetes keringat mengalir jatuh dari pelipisnya.
Ia berdiri tegak sedikit menyamping. Pada jari-jarinya terselip 3 buah gagang kunai bermata tajam. Lalu tak lama kemudian, kunai-kunai itu satu persatu meluncur pesat dari tangannya. Hanya dalam beberapa detik kunai-kunai itu telah tertancap pada batang pohon yang tadi menjadi sasarannya; 2 buah tepat menancap di lingkaran merah, sedangkan sebuah lainnya melenceng ke bawah.
"Cih," ketusnya, melihat hasil lemparan kunainya.
"Usaha yang bagus, Hikaru-kun," ucap Konohamaru-sensei sambil menepuk bahunya dan tersenyum. "Setidaknya ada 2 buah yang tepat sasaran. Berikutnya kau harus lebih berkonsentrasi lagi."
Bocah berusia 12 tahun itu hanya membalas dengan seulas senyuman, namun kedua alisnya masih berkerut. Ia masih kesal. Kenapa semua yang ia lakukan tak pernah sempurna? Ia bertanya dalam benaknya. Hal itu benar-benar membuatnya frustrasi. Dalam benaknya pula ia merencanakan untuk mengadakan latihan privat setelah pulang dari akademi. Ia harus bisa menjadi lebih baik lagi dari ini.
Lebih fokus. Lebih kuat.
Sebuah batu kerikil mengetuk kepalanya dengan keras. Hikaru mengutuk pelan lalu mengusap kepalanya yang cukup terasa sakit. Huh, lagi-lagi ia sempat terdistraksi, dan inilah akibatnya. Ia lalu menatap tajam si pelempar kerikil tersebut.
"Lihat aku! Aku akan membuat semuanya tepat sasaran. Tidak sepertimu, Anak Buangan!" seru seorang bocah lelaki berambut cokelat jabrik. Sebuah google menghiasi dahinya.
Lagi-lagi si Kurama Kenji sialan itu.
"Hei, Kenji-kun, tidak baik melempar kerikil dan mengatai Hikaru-kun seperti itu..." keluh Konohamaru, meski sang sensei sudah terbiasa dengannya.
Kenji mengabaikan senseinya. Dengan mencondongkan bahunya dan melangkahkan sebelah kakinya ke depan, ia mengayunkan kunai-kunai di tangannya. Tiga buah kunai itu melesat dengan cepat hingga menancap tepat pada lingkaran merah yang menjadi sasarannya.
Kenji sungguh merasa puas dengan hasilnya. Teman-temannya di akademi pun menyorakinya, merasa kagum padanya. Ia mendengus bangga. Semua itu pantas baginya yang merupakan seorang prodigi di akademi. Pantas bagi dirinya yang akan menjadi sang Hokage di masa depan. Ia tertawa sumringah. Sang hokage keenam pun pasti akan merasa bangga padanya.
Ia lalu menatap Hikaru dengan pandangan mengejek. 'Apa kau lihat tadi? Sampai kapanpun kau takkan bisa melakukan apa yang kulakukan!' adalah apa yang disiratkan oleh pandangannya. Namun dahinya berkerut ketika sang bocah berambut hitam menyebalkan itu malah membalikkan badannya, tidak menanggapi. Merasa geram, Kenji bermaksud menyerang Hikaru, sebelum akhirnya tangan Konohamaru-sensei menggenggam bahunya.
"Hebat sekali, Kenji-kun! Seperti apa yang kuharapkan dari murid terbaik di akademi Konoha ini!" serunya bangga namun tatapannya memberi sebuah peringatan, 'Jangan bertingkah, atau aku akan menghukummu'.
Kenji menghela napasnya menyerah. Toh, ia sudah cukup puas bisa mempermalukan Hikaru seperti itu.
Ia tak habis pikir mengapa seorang Hikaru—yang menurutnya lemah dan tidak pernah fokus—harus memiliki wajah yang cukup tampan sehingga diidolai anak-anak perempuan seusianya dan, yang paling penting, harus menjadi anak sang hokage keenam, figur yang sangat diidolakannya. Ia ingat betapa Hokage-sama begitu memanjakan Hikaru; terlihat sekali dari persediaan senjata miliknya yang berlimpah dan kelakuannya yang arogan—plus anti-sosial.
Namun yang paling tak bisa ia terima terjadi beberapa bulan lalu. Ketika Hokage-sama tumben-tumbennya mengunjungi akademi, hanya untuk memuji dan menomorsatukan Hikaru, padahal yang saat itu berhasil menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan dan melakukan lemparan sempurna adalah dirinya, Kurama Kenji, sang prodigi di akademi. Itu sangat tidak adil. Baginya justru dirinya yang pantas diperlakukan seperti itu oleh Hokage-sama, bukan Hikaru.
Dan berpikir juga bahwa istri Hokage-sama—ibu Hikaru—adalah kunoichi medis terbaik didikan Hokage kelima, makin membuatnya geram.
Sangat. Tidak. Adil.
Maka saat itulah pertama kalinya ia mengatai Hikaru sebagai 'anak buangan'. Ia yakin kalau sebenarnya Hikaru memang bukanlah anak kandung Hokage-sama dan istrinya. Lagipula, setelah diperhatikan lebih teliti lagi pun tak ada kemiripan fisik antara Hikaru dan orangtuanya—bila dibandingkan dengan adiknya.
Apalagi ada rumor di antara para orangtua murid akademi bahwa dulu Hokage-sama pernah mengangkat seorang anak, atau setidaknya itulah yang dapat ia simpulkan saat mencuri dengar percakapan antara ibunya dan beberapa ibu yang lainnya. Yah, walaupun memang saat itu ia cuma dapat mendengar kata-kata seperti 'lahir', 'Hokage-sama', 'rambut hitam', 'berbeda', 'melindungi', dan 'anak angkat', tapi ia tetap percaya dengan apa yang telah berhasil disimpulkannya (meskipun ada beberapa kata yang tidak ia mengerti, tapi ya sudahlah).
Dan ia tidak akan pernah puas mengatai Hikaru 'anak buangan'. Ia percaya suatu saat nanti di masa depan kebenarannya pasti akan terungkap.
Kemudian Hokage-sama akan berubah menjadi sangat bangga padanya. Lalu saat dirinya telah menjadi genin atau chuunin nanti, Hokage-sama akan mengangkatnya sebagai murid satu-satunya. Layaknya sang Hokage yang pernah diangkat sebagai murid oleh sang legendaris, Jiraiya-sama.
Cita-citanya untuk menjadi Hokage terhebat yang pernah dimiliki Konoha akan menjadi kenyataan!
::::::
Sore itu langit terlihat cerah kemerah-merahan, menandakan bahwa bintang-bintang akan hadir menghiasi langit malam desa Konoha.
Terlihat pula di jalanan desa tersebut warga-warga yang menutup tokonya dan ada pula yang tengah berjalan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Shinobi-shinobi dengan lambang kebanggaan Konoha terikat pada dahi mereka juga tak kalah sibuknya; beberapa ada yang tengah melompat-lompat dari atap ke atap dengan kecepatan tinggi untuk mencapai kediaman masing-masing, namun sebagian besar shinobi tersebut memilih untuk berjalan kaki sendirian ataupun bersama rekan-rekan.
Termasuk di antara mereka yang berjalan kaki adalah para calon shinobi Konoha atau anak-anak yang masih mengenyam pendidikan di akademi ninja. Semuanya pulang dengan antusias. Mereka berlari dengan cepat karena ingin segera sampai di rumah dan memberi tahu orang tua mereka apa saja yang sudah mereka capai di akademi, mengingat ujian genin akan mulai sebulan lagi.
Anak-anak itu begitu bersemangat, kecuali seorang anak lelaki bernama Uzumaki Hikaru.
Hikaru hanya berjalan dengan tenang, terkadang menendang beberapa buah kerikil di jalanan yang terlihat di pandangannya. Yah, saat ini ia memang cukup sensitif dengan kerikil-kerikil tersebut.
Ia kembali mengusap kepalanya, masih merasa kesal.
Menghela napas sejenak, ia masukkan kembali kedua tangannya pada saku celananya. Kali ini ia mencoba berjalan dengan langkah yang agak lebar menuju ke rumahnya, kediaman Hokage. Sesekali menatap beberapa orang yang dilewatinya, menghentikan mereka-mereka yang tadi menatapnya dengan pandangan aneh, bahkan terkadang sampai berbisik segala. Entah apa yang mereka bisikkan, ia tak mau tahu dan tak peduli.
Ia sudah terbiasa dengan sikap beberapa warga Konoha, terutama para shinobinya, yang seperti itu padanya. Meski awalnya ia merasa heran, tapi toh ibunya pun berkata untuk mengabaikan saja orang-orang yang seperti itu.
Hikaru mematuhi apa yang dikatakan ibunya, dengan ditambah sedikit tatapan balik darinya, terkadang tatapannya itu pun ia berikan setajam-tajamnya.
Yah, ibunya tak perlu tahu soal 'perlakuan tambahannya' itu.
Kurang dari beberapa menit kemudian, Hikaru telah tiba di kediaman—sekaligus kantor—Hokage. Sambil memberi salam pada beberapa shinobi yang dikenalnya, ia meneruskan langkahnya menelusuri sebuah lorong terbuka di sebuah taman besar yang membatasi wilayah kantor dan wilayah tempat tinggal Hokage, hingga tiba di depan sebuah gerbang kayu bertuliskan 'Uzumaki'.
"Aku pulang!" ucapnya kemudian, sambil melangkah masuk ke dalam gerbang.
Terciumlah olehnya wangi kaldu daging yang baru dimasak. Hikaru menyeringai. Ramen lagi ya...
"Selamat datang, Hikaru-kun!" sahut seorang wanita yang muncul tiba-tiba dari arah dapur. Ia tampak bersinar dengan kilau merah muda yang berakhir di pinggangnya, kedua iris emerald cerah, dan apron putih erat memeluk di tubuhnya. Uzumaki Sakura, wanita tersebut, segera memeluk dan mencium kening Hikaru.
Bocah laki-laki itu mengeluh, "Ibu..."
Sakura tersenyum kemudian melepaskan Hikaru. Diacak-acaknya helai-helai rambut berwarna hitam milik anaknya, yang kontan cemberut karenanya. Ia pun berkata, "Hikaru-kun, kau lelah kan? Ibu sudah menyiapkan air panas untukmu mandi. Setelah itu bantu ibu menyiapkan makan malam, ya?"
Hikaru mengangguk, lalu melepaskan geta yang tadi dipakainya. Ia tersenyum melihat ibunya yang berjalan kembali ke dapur. Sebuah pemandangan yang cukup jarang melihat sang ibu telah ada di rumah sore hari seperti ini. Biasanya ibunya baru pulang dari pekerjaannya di rumah sakit ketika matahari baru saja terbenam, membuatnya mau tak mau harus membantu menyiapkan makan malam agar selesai tepat ketika ayah mereka pulang sekitar pukul 8 malam. Karena itu, melihat sang ibu yang pulang lebih cepat dari biasanya membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi di rumah sakit.
Baru saja ia hendak bertanya ketika tiba-tiba saja ia merasakan ujung bajunya ditarik.
"Aniki..." sapa sebuah suara di belakangnya.
Ia menoleh dan mendapati sosok anak laki-laki berusia 6 tahun menatapnya dengan kedua iris emerald cerahnya. Anak tersebut menguap sejenak dan menggosok kedua matanya. Jelas sekali terlihat bahwa dia baru saja bangun dari tidur siangnya. Seperti biasa.
"Kenapa, Minato?" balas Hikaru tenang.
Rasa kantuk mendadak hilang dari wajah Minato seketika suara rendah kakaknya terdengar olehnya. Senyum lebar pun terpampang di wajahnya itu dan kedua matanya turut menyipit. Pada pipi gembulnya tampak lesung pipit yang menambah keimutannya. Saat ini anak itu benar-benar bagaikan cerminan ayahnya. "Selamat datang, Aniki!" serunya.
Hikaru tersenyum tipis. Ia hanya menepuk kepala pirang Minato lembut.
"Hei, hei, Aniki!" lanjut Minato masih tampak antusias, "hari ini jadi kan mau melatihku jurus kagebunshin? Kalau iya aku akan segera ganti baju sekarang! Aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat bisa jurus itu dan memamerkannya pada ayah! Pasti ayah akan—"
"Minato," potong Hikaru, "hari ini kita tidak bisa latihan. Aniki harus membantu ibu menyiapkan makan malam."
Wajah bocah berambut kuning pirang itu tampak kecewa. "Eeh? kenapa? Sekarang kan masih jam 4 sore?" kedua mata emeraldnya melirik jam yang tergantung di dinding. "Biasanya Aniki baru bantu ibu jam 6-an kan?"
"Hari ini pengecualian. Ibu pulang lebih awal."
"Tapi Aniki kan sudah janji..."
Hikaru menggeleng.
"Tapi aku maunya hari ini..."
"Tidak bisa, Minato. Pokoknya hari ini tetap tidak bisa."
"Tapi, tapi,"—tuk—"aaw..."
Minato mengelus dahinya yang baru saja disentil kakaknya. Ia cemberut, mengetahui secara tersirat bahwa jika kakaknya melakukan itu berarti argumen telah berakhir dan ia harus menuruti apa yang dikatakan kakaknya. Ia lalu menggembungkan pipinya, masih merasa kecewa. Entah kenapa ada sesuatu dalam diri sang kakak yang membuatnya tak bisa menentang. Apakah semua kakak di dunia ini memang seperti itu?
Entahlah. Ia tidak tahu. Tapi Hikaru adalah kakak yang sangat baik...dan keren. Jadi tidak masalah baginya.
Minato kembali tersenyum lebar.
Hikaru menatap senyuman itu. Senyuman tipis turut terbentuk di wajahnya. Kemudian ia mengacak-acak rambut jabrik Minato dan segera melangkah pergi menuju kamarnya.
Dalam perjalanannya ia kembali bertanya-tanya. Ia pun menghela napas dalam. Melihat sosok adiknya, melihat senyum adiknya, tak dapat dipungkiri bahwa ada rasa iri yang hinggap di sudut hatinya. Rasa iri itu semakin lama semakin besar, membuatnya kesal.
Minato adalah kebalikan dirinya. Secara fisik, Minato mirip ayahnya—rambut kuning, mata sipit, dan senyuman terlebar yang pernah ia lihat tertera di wajah seseorang—dan juga mirip ibunya—iris hijau emerald, kulit putih namun tidak pucat, dan dahi yang agak lebar—dengan kata lain Minato adalah gabungan sempurna dari kedua orangtuanya. Meski secara karakter, Minato cenderung lebih mirip ayahnya.
Sedangkan dirinya? Kulit putih pucat, iris mata dan helai rambut hitam kelam, serta postur tubuh yang lebih tinggi dari anak-anak seumurannya. Bahkan garis-garis wajahnya pun entah mirip siapa.
Secara karakter ia pun tipe yang cool, tenang, dan tidak banyak bicara—sangat bukan ayah dan ibunya.
Darimana ia mendapatkan itu semua?
Hal itulah yang membuatnya frustasi. Juga membuat sebuah keraguan tumbuh di hatinya. Meski ia menyayangi Minato, namun melihat adiknya itu baginya terasa seperti menambahkan garam pada luka yang masih berdarah. Apalagi jika melihat adiknya tengah bersandingan dengan ayah dan ibunya. Ada sebuah rasa ngilu yang tak dapat ia jelaskan di hatinya. Ia merasa seperti bukan bagian dari mereka.
Ia takut. Ia takut jika hal ini terus berlanjut, suatu saat nanti ia akan berubah menjadi membenci Minato. Apalagi saat ia mengetahui bahwa dirinya hanyalah anak angkat.
Sadar akan apa yang tengah dipikirkannya, Hikaru segera menggelengkan wajahnya, hendak menghilangkan semua pikiran negatif yang menghantui benaknya.
Dan sejak kapan ia telah berdiri di dalam kamarnya sendiri seperti ini?
::::::
Makan malam hari itu tergolong mewah bagi keluarga Uzumaki.
Ternyata Sakura tak hanya menyiapkan ramen kesukaan suami dan anak-anaknya, tapi juga sepanci sukiyaki dengan daging sapi dan sayur-sayuran yang lengkap. Sang Hokage lalu bertanya, sambil mengisap kembali ludahnya yang tak sadar mengalir keluar dari mulutnya, apa ada sesuatu yang tengah dirayakan, karena dirinya tidak ingat apa yang spesial dari hari ini. Mungkinkah hari itu adalah hari ibu? Karena ia sering lupa hari ibu jatuh pada tanggal berapa.
Namun Sakura, seorang kunoichi medis merangkap seorang dokter di rumah sakit Konoha, sekaligus istri tercinta Hokage-sama, hanya menggelengkan wajahnya dan tertawa. Hari itu bukanlah hari ibu—Naruto menarik napas lega—dan memang bukan hari spesial atau apapun. Tapi pagi itu Sakura dan rekan-rekannya di rumah sakit berhasil menyelamatkan 2 orang ANBU yang terluka parah saat menjalankan misi di Ame dan, paling istimewanya, berhasil menjalankan operasi untuk memisahkan dua orang bayi yang terlahir sebagai kembar siam. Dua hal tersebut merupakan kesuksesan besar dalam karir Sakura, maka hari itu ia sengaja pulang cepat untuk menyiapkan makan malam spesial sebagai perayaannya. Merayakan bersama keluarga memang merupakan hal paling menyenangkan bagi wanita berambut merah muda itu.
Naruto tentu saja menyambut antusias keberhasilan sang istri. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menghabiskan banyak sekali makanannya—suatu kemampuan spesial yang hanya dimiliki sang Hokage keenam. Minato pun juga tak kalah gembira dari ayahnya. Dia meloncat-loncat, memeluk ibunya, dan tak berhenti bicara sambil menghabiskan ramennya—suatu kemampuan spesial yang hanya dimiliki Uzumaki Minato, meski Sakura sangat tak menyukai itu dan sangat bersusah payah menyuruh Minato agar dapat duduk makan dengan tenang.
Sementara Hikaru tetap kalem menyantap sukiyakinya. Namun senyuman cukup lebar berkali-kali terlukis di wajahnya dan tawa cukup renyah berkali-kali pula ia keluarkan melihat kegaduhan yang disebabkan oleh ayah dan adiknya pada makan malam hari itu.
Intinya, seluruh anggota keluarga Uzumaki tampak bergembira. Seluruh keluh kesah yang ada dalam diri masing-masing anggota keluarga di hari itu lenyap entah kemana.
Ketika malam semakin larut dan semuanya telah memasuki kamar masing-masing, hanya Hikaru satu-satunya yang tidak merebahkan dirinya di kasur dan menutup matanya untuk bersiap-siap memasuki alam mimpi. Ia malah mengenakan kembali pakaian ninjanya, memasukkan beberapa kunai dan shuriken pada kantungnya.
Malam itu, ia pergi keluar untuk berlatih sendirian.
Angin cukup dingin berhembus melewati dirinya saat ia tengah berlari menyusuri jalanan sepi Konoha. Terkadang melompat dari atap ke atap untuk mempercepat pergerakannya. Tempat tujuannya adalah sebuah distrik perumahan di ujung selatan Konoha yang tak berpenghuni dan sepertinya sudah sangat lama ditinggalkan oleh penghuninya. Sudah 2 tahun terakhir ini tempat itu menjadi arena latihan favoritnya.
Ia memilih tempat itu karena kesunyian dan kebebasannya. Entah kenapa tak pernah ada seorang pun warga Konoha selain dirinya yang pernah masuk ke tempat itu. Malah sepertinya mereka berusaha menghindarinya. Hal itu cukup dapat dimaklumi karena ketika Hikaru pertama kali menemukan dan mengeksplorasi tempat itu, 'distrik berhantu' adalah kesan yang spontan terlintas di benaknya. Di setiap rumah penuh dengan jejaring laba-laba dan struktur-struktur kayu yang hancur akibat dimakan rayap. Jalanan banyak yang rusak, pohon dan tanaman lainnya menjalar liar kemana-mana, dan hanya sedikit lampu yang masih bertahan.
Orang lain yang melihatnya pasti akan langsung kabur terbirit-birit, tak ingin ada mahluk yang tidak diinginkan muncul di hadapannya. Namun, anehnya Hikaru sama sekali tak merasa takut sedikit pun. Ia malah semakin penasaran ingin menemukan apa saja yang disembunyikan oleh 'distrik berhantu' itu.
Hanya dalam waktu beberapa minggu saja ia berhasil membersihkan distrik itu, walau cuma sedikit, tapi setidaknya menjadi lebih enak dipandang. Ia juga memasang banyak sekali target latihan di berbagai tempat yang menjadikan seluruh area distrik itu sebagai arena berlatihnya.
Jika ada waktu luang, siang dan malam Hikaru habiskan di tempat tersebut. Melatih dirinya sendiri apapun yang diajarkan di akademi untuk mempertajam kemampuannya. Terutama melatih konsentrasi dan fokusnya yang selalu saja menjadi kekurangannya sejak ia pertama kali mengenyam pendidikan di akademi, apalagi diperparah oleh kebiasaannya setahun belakangan ini yang sering melamun.
Telah kokoh dalam benaknya sebuah pemikiran bahwa ia harus menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya dan menjadi lebih kuat dari siapapun.
Agar dirinya tak lagi diremehkan. Agar dirinya dapat membuktikan bahwa mereka semua salah. Agar dirinya dapat diakui oleh siapapun yang tak mengakui dirinya sebagai anak dari Hokage keenam, ayah kandungnya.
Ia sangat yakin akan hal itu.
Seketika tiba di arena berlatihnya, Hikaru segera menggunakan jurus Kagebunshin untuk mengklon dirinya. Klon-klon yang berjumlah 10 orang itu segera menyerang seluruh boneka jerami yang menjadi target latihannya dengan tendangan, pukulan, dan lemparan kunai serta shurikennya. Seratus boneka jerami tak lama kemudian telah menjadi bulan-bulanannya. Sebagian besar hanya tertancap kunai dan shuriken di titik vital, meski banyak juga yang meleset, dan beberapa jatuh ke tanah berkat tendangannya.
Klon-klon tersebut lalu menghilang saat Hikaru yang asli telah menempatkan kedua kakinya di tanah. Ia lalu melihat stopwatch dari sakunya dan bergumam, "sembilan menit tiga puluh dua detik dan 10 kagebunshin. Masih banyak lemparan kunai dan shuriken yang meleset. Tapi setidaknya ada sedikit perkembangan dari latihan sebelumnya..."
Kedua alisnya berkerut. Ia seharusnya bisa lebih baik dari ini. Ia masih terlalu lama—
Sebuah kunai tiba-tiba melesat dengan cepat menuju ke arahnya. Hikaru segera melompat untuk menghindar, namun kunai tersebut masih dapat menggores lengan kanannya. Ia mengerang kesakitan.
Siapa itu?
"Selalu menjadi kekuranganmu ya, konsentrasimu itu. Dan kamu juga harus melatih lagi insting kepekaanmu, Hikaru-kun," sahut sebuah suara berat di hadapannya.
Kemudian muncul secara tiba-tiba di hadapannya, seorang pria dengan helai-helai rambut keperakan yang begitu kontras dengan gelapnya malam. Wajah pria itu tertutup sebagian, hanya menyisakan mata kanannya yang memandang malas. Hikaru mengerutkan kedua alisnya sambil tetap berusaha menahan laju darah segar yang mulai mengalir dari lengannya. Meskipun posturnya tampak tenang, namun benaknya begitu panik. Kenapa pria ini bisa ada disini!?
"Kakashi-sensei..." sahutnya, menatap tajam pria berusia kepala empat yang berseragamkan jounin itu.
Meskipun Hikaru memanggilnya dengan embel-embel sensei, Hatake Kakashi bukanlah gurunya dalam hal apapun. Ia hanya mengikuti bagaimana kedua orangtuanya memanggil mantan guru mereka itu. Pria itu pun juga sama sekali tidak keberatan dipanggil seperti itu, katanya panggilan itu membuatnya merasa muda. Sehingga akhirnya, baik Hikaru maupun Minato terus memanggilnya dengan panggilan tersebut.
"Yo, Hikaru-kun!" sapa Kakashi. Ia pun lalu berjongkok, mengambil alih lengan Hikaru yang terluka itu dan memeriksanya, "tenang saja. Ini bukan luka yang dalam," ujarnya sambil mengambil segulung perban dari kantung ninjanya dan melilitkan perban itu pada luka itu untuk menghentikan pendarahannya. Namun, belum setengah berjalan, Hikaru menarik cepat lengannya itu dari genggaman sang pria.
"Aku bisa melakukannya sendiri!" sergah Hikaru sambil melanjutkan lilitan perban pada lengannya hanya dengan sebelah tangannya. Setelah selesai, ia kembali menatap tajam Kakashi, "daripada itu, apa yang sensei lakukan disini? Bagaimana sensei bisa menemukanku di tempat ini?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu, Hikaru-kun—" balasnya datar namun tegas, terlihat dari bagaimana tatapan sang mantan guru dari Hokage keenam itu pada Hikaru, "apa yang sedang kaulakukan disini tengah malam begini?"
Sejak Hikaru dan Minato lahir, Kakashi sudah sangat menyayangi kedua bersaudara Uzumaki itu dan juga dekat dengan mereka. Ia mengenal mereka berdua sangat baik untuk ukuran orang yang tidak tinggal bersama dalam satu atap. Karena itu, ketika ia tak sengaja melihat sosok Hikaru yang melompat dari atap ke atap menuju ke suatu tempat yang ia tak ingat pernah dikunjungi oleh dua bersaudara itu—apalagi di tengah malam begini—ia langsung tahu bahwa ada yang tak beres dengan si sulung Uzumaki itu.
Ia hanya tak menyangka bahwa Hikaru berlatih di tempat seperti ini.
Tak kunjung mendapat jawaban dari bocah beriris hitam legam itu, Kakashi malah kembali bertanya, "Apa jangan-jangan setiap malam kau selalu berlatih sendirian di sini? Apa Naruto dan Sakura tahu tentang ini?"
Lirikan sekilas dari iris hitam itu sebelum dibuang kembali sedikit banyak menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ia pun menghela napasnya dalam.
"Kau harus segera pulang, Hikaru-kun, kalau Sakura tahu tentang ini—"
"Ibuku tak akan tahu tentang ini!" potong Hikaru cepat. Kini kedua matanya kembali menatap tajam Kakashi. "Dan kaupun juga tak akan memberitahunya tentang ini!"
Melihat determinasi dan perintah tak sopan dari anak itu padanya bukannya mengundang amarah dirinya, melainkan rasa geli. Kakashi pun tertawa renyah sambil memegang perutnya, membuat Hikaru mengangkat kedua alis tipisnya.
What a boy...
"Haha! Baiklah, aku mengerti! Aku tak akan memberi tahu ibumu tentang ini, tapi ada satu syarat—" mata kanannya pun menyipit seiring dengan ucapannya, "—yaitu kau akan membiarkanku mengawasi latihanmu ini setiap malam."
Hikaru mengernyit, tak menyangka akan mendapat syarat seperti itu.
"Bahkan," lanjut Kakashi, "tidak hanya mengawasi, tapi aku juga akan melatihmu secara personal."
Jika tadi ia mengernyit, maka kini ia terbelalak, suatu ekspresi yang tak pernah ia tunjukkan di depan orang lain, termasuk orangtuanya, hingga sekarang. Kakashi hanya menatapnya geli.
"Bagaimana? Kau mau kulatih atau ibumu tahu tentang semua latihan rahasia ini?"
Jika pilihannya begitu, tentu saja bocah itu tahu apa yang akan ia pilih.
"Terserah kau saja," jawabnya, sambil memalingkan wajahnya.
to be continued
