a/n: entah kenapa saya kepengen rewrite cerita ini. mungkin karena saya ngerasa banyak typo dan deskripsi yang minim hahaha. anyway, sebetulnya fanfic ini sama aja kayak the reversed butterfly -tokoh utama masih sama- hanya saja ada original chara lain yang saya ikut sertakan dan beberapa storyline saya ubah abis-abisan... and somehow i feel kayaknya jauh lebih suram daripada sebelumnya, deh.
first of all, saya mau minta maaf karena ngerewrite cerita ini. apalagi buat yang menunggu-menunggu chap terbarunya—kalau ada, ya. hahaha. bagi yang gamau ketinggalan updet, follow aja atuh ini fanfic /halah /elungapainmbak
bagi yang sekiranya merasa alergi, monggo klik back ya. kritik, saran, dan pendapat selalu saya tunggu. anyway, happy reading!
.
Aku bingung
Kala semua ini berlangsung—
.
.
Re: The Reversed Butterfly © shouta-warrior
Dynasty Warriors © KOEI
.
.
—Mengapa hanya aku yang mengerang dalam remang?
.
...
Masa kecilku itu benar-benar suram.
Aku masih ingat tatapan orang-orang disekitarku dulu setiap kali mereka melihatku. Aku masih ingat, aku masih ingat. Mata-mata mereka seakan menganggap diriku adalah benda tabu nan terkutuk, mata-mata yang mengatakan hal yang sama: dasar anak setan!
Hhh.
Kupikir aku memang pantas disebut demikian. Semua ini gara-gara iris mataku yang berwarna merah pekat seperti darah, dan kulitku yang putih pucat seperti jenazah... Ya, rupaku memang terlihat aneh dan tidak 'biasa' dengan orang-orang kebanyakan. Karena kulit putih pucatku ini, aku tak bisa berlama-lama berjemur di bawah sinar matahari atau akibatnya kulitku akan terasa memerah seperti terbakar—satu alasan tambahan bagi mereka, orang-orang di sekitarku, untuk membenciku.
Karena hal inilah, terkadang aku membenci diriku ini. Bukan salahku kalau sosokku seperti ini. Bukan, bukan, dan bukan!
Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini!
...Kh.
Aku juga masih ingat, anak-anak yang sebaya denganku pasti selalu bergidik ngeri tiap kali melihatku. Mereka akan berlari tunggang-langgang atau melempariku batu saat tatapan mereka bertemu dengan tatapanku. Padahal aku tidak berniat untuk membuat mereka takut.
Gara-gara aku, Ayah dan Ibu selalu dihina oleh orang-orang sekitar. Tapi, mereka tidak pernah berbalik memusuhi orang-orang brengsek itu. Ayah dan Ibu hanya diam dan tersenyum kecil, seolah-olah menganggap perkataan orang-orang itu hanyalah omong kosong belaka. Padahal, aku tahu...
...Dalam hati, Ayah dan Ibu pasti menyesal dan merasa terkutuk karena punya anak sepertiku. Ayah dan Ibu memang tidak pernah menunjukkan perasaan mereka secara terang-terangan padaku, tapi—tapi aku bisa menebaknya.
Sakit, sakit sekali rasanya. Kenapa hidupku harus seperti ini?
Kenapa aku tidak bisa seperti anak-anak lain, tertawa renyah menikmati masa kecil?
.
.
Suram, ya?
Kubilang juga apa sejak awal. Semua orang mengucilkanku—kecuali Ayah dan Ibu, hanya mereka yang masih memperlakukanku sewajarnya, karena itu aku sangat sayang pada keduanya—seakan mereka semua berkonspirasi untuk mengucilkanku.
Seperti saat ini.
Sore hari adalah waktu yang aman bagiku untuk keluar—pada siang hari, aku terbiasa berdiam dan meringkuk di kamarku—karena cahaya matahari tidak segila saat siang hari. Aku kini duduk di tepi sungai yang ditumbuhi rerumputan hijau, dengan pandangan melamun ke permukaan sungai. Melihat bayangan diriku terpantul di sana—si bocah terkutuk, Li Hongxue.
Memandangi bayangan diriku yang terpantul membuat amarah dan kekesalanku meluap hingga rasanya kepalaku seperti ingin meledak. Aku benci dengan pantulan di sungai itu; aku benci pada diriku!
Maka kukepalkan tanganku, kemudian mengayunkannya ke pantulan diriku yang berada di permukaan sungai, berharap agar bayangan terkutuk itu lenyap. Tetapi, aku salah. Bayangan itu tetap ada!
"Enyahlah kau! Enyah!" geramku sembari mengayunkan tanganku berkali-kali, berusaha melenyapkan pantulan diriku. Percuma, bayangan terkutuk itu masih ada – dan kini ekspresi bayangan itu sama sepertiku saat ini. Bayangan itu seolah berujar balik padaku: kau adalah aku dan aku adalah kau—kita sama-sama menyedihkan, bodoh!
Ya... Menyedihkan. Aku, si bocah terkutuk yang dikucilkan orang-orang sekitar, tanpa teman pada sore hari ini. Sendirian.
Khhh.
Aku—Aku terbiasa menikmati waktu bermainku sendirian. Aku terbiasa menyantap cemilan hangat namun terasa dingin di lidahku sendirian. Aku terbiasa melakukan segalanya tanpa bantuan siapapun sendirian. Aku terbiasa menikmati kesendirianku, walau itu menyedihkan, menyesakkan, dan menyakitkan.
"Aaaah—hei, ah maksudku, aduh!—uh, h-halo!"
Lamunanku buyar seketika. Kusadari kehadiran seseorang yang juga duduk di tepi sungai, cukup jauh dariku. Kukerling sekilas, si anak laki-laki berambut cokelat kenari dan bermata cokelat keemasan. Anak itu terlihat kikuk saat melihatku, tapi sorot matanya penuh dengan rasa keingintahuan.
Aku mendengus pelan. Hah, si anak aneh itu rupanya. Iya, dia benar-benar sering sekali bertemu dengannya, dan dia sering sekali menyapaku meski aku tak menyapanya balik. Kupikir, kupikir—dia menyapaku karena merasa kasihan padaku; Li Hongxue yang selalu sendirian ke manapun ia pergi. Lagipula, dia itu anak keluarga terkemuka di Wujun ini. Pastilah dia ingin sok bersimpati padaku, belagu!
Kutatap anak laki-laki berambut cokelat kenari itu dengan sinis, kemudian kembali memandang kosong ke depan. Dasar, memangnya aku peduli?
"A—Aaah..." Anak itu sepertinya bingung mau berkata apa. "O—Oh, ya! H-Hei, langit pada saat sore hari itu indah ya...?"
Krik krik. Sekali lagi, aku hanya menatapnya dengan sinis sebelum akhirnya aku kembali memandang ke depan. Anak itu kenapa sih? Mau cari ribut denganku? Coba saja kalau berani!
"Nggg..." Ah? Apa ini? Kupikir nyali anak itu menciut lantaran kutatap sinis sebanyak dua kali. Hah, dasar anak aneh! "Ah! Tidakkah menurutmu indah, langit senja itu?"
Kutatap sekali lagi anak itu dengan sinis. Ia tersenyum lebar kepadaku. Tapi, kali ini aku menatapnya lebih lama daripada sebelumnya, membuat senyuman anak itu memudar dan ekspresi bocah itu kelihatan lebih kikuk daripada sebelumnya.
Aku mendengus pelan. Sepertinya aku harus meladeninya. Kasihan juga, sih. "Maumu apa?" ujarku sinis.
"Heh?" Ia terlihat kebingungan.
"Jangan pura-pura tuli. Kau mendengarku, 'kan?"
Hening sesaat.
"Aaaaah..." Ia sepertinya kebingungan merangkai kata-kata. "Aku—aku hanya ingin menyapamu, kok! "
Aku tertawa rikuh. "Anak aneh. Kau menyapaku tiap hari."
"Me-memangnya tidak boleh? Aku 'kan hanya ingin menyapamu, tidak bermaksud apa-apa."
Aku tertegun. Benar kalau dia hanya ingin menyapaku, bukannya sok bersimpati padaku?
Tenggorokanku tercekat. Ingin kukeluarkan suaraku, tapi rasanya seperti ada yang mengganjal. Kurasakan kedua mataku sedikit memanas... Bukan, bukannya aku ingin menangis. Entah mengapa aku merasa senang. Senang sekali.
Aaah, rasanya bodoh karena aku sudah menduga yang tidak-tidak. Ingin aku meminta maaf atas kelakuan tidak sopanku, tapi—
"Waaah! Kupu-kupu hitam!"
Lamunanku lagi-lagi terbuyar gara-gara suara si anak berambut cokelat kenari itu. Kulihat ia menunjuk ke arah kupu-kupu bersayap hitam yang terbang. "Wah! Jarang-jarang ada kupu-kupu yang hitam pekat seperti ini!" ujar anak itu riang. Anak itu berusaha meraih si kupu-kupu, bahkan mengejarnya. Tapi kupu-kupu itu jauh lebih cepat daripada langkah kaki anak itu.
Kupu-kupu hitam itu kini terbang ke arahku. Entah atas gagasan apa, aku mengangkat telunjuk tanganku dan kemudian si kupu-kupu hitam mendarat di telunjukku. Kudengar si anak berambut cokelat kenari itu mendecak kagum dan perlahan-lahan mendekatiku.
"Wuah, hebatnya!" decak anak itu dengan penuh kagum. Anak itu kemudian mendekatkan wajahnya pada si kupu-kupu hitam, "Bagaimana caramu mendekati—Yaaah! Kupu-kupunya pergi!"
Si kupu-kupu hitam yang tadinya hinggap di tanganku, kini malah kembali terbang menjauh dan menghilang dari pandangan kami berdua. Mungkin karena ia takut kepada anak itu, ya?
Anak berambut cokelat kenari itu terlihat begitu kecewa, ekspresinya itu sangat lucu! Membuatku tiba-tiba saja tertawa geli. Padahal aku tidak tertawa kencang, tapi ia menoleh padaku dengan keheranan. "Apa? Kenapa?" tanyanya bingung.
Namun aku tidak merespon apa-apa, masih tertawa geli. Seandainya aku berkaca di cermin, mukaku pasti terlihat aneh.
"Ah, sudahlah." Anak itu nampak sedikit kesal melihatku tertawa. "Tidak kusangka kau bisa tertawa, ya."
Aku menghentikan tawaku. Apa yang barusan ia bilang? Enak saja! "Hei, aku juga manusia! Manusia biasa! Jadi tentu saja aku bisa tertawa!" balasku sengit.
"Ya, aku tahu, kok. Kamu 'kan sama seperti yang lainnya," sahut anak itu kalem, membuatku diam seribu kata. Baru kali ini... Ada orang yang berkata seperti itu padaku...
"D-Darimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?" balasku agak tergagap.
Anak itu kemudian menatapku dengan semangat, namun tatapan terasa lembut sekali bagiku. "Karena aku sama sepertimu."
Hah? Sama dari mana? Dia tidak memiliki wujud yang mengerikan sepertiku, kok!
Dia melanjutkan, "Aku juga tidak punya teman, dan aku juga tertarik padamu – maksudku, kau selalu dibilang aneh oleh orang-orang, padahal sebenarnya tidak, 'kan? Aku juga begitu, aku selalu dibilang kalau pemikiranku terlalu rumit! Padahal, orang-orang yang mengataiku seperti itu sesungguhnya berpikiran dangkal!" jelasnya panjang lebar. "Sama seperti kupu-kupu hitam tadi. Kalau saja ada anak atau orang lain yang melihatnya, pasti ia akan menganggap kupu-kupu hitam itu kupu-kupu aneh dan terjelek, padahal tidak juga! Itu semua membuktikan, kalau pikiran orang-oranglah yang terlalu dangkal! Andai saja mereka mau membuka pikiran mereka dan mengamati kupu-kupu hitam tadi dengan saksama, pasti mereka tidak beranggapan jelek seperti sebelumnya."
Aku tercengang sesaat. Hebat, tidak kusangka dia bisa berceloteh seperti itu... Sepertinya dia bukan seperti anak-anak seumuranku pada umumya , ya?
Anak itu terlihat salah tingkah. Kuperhatikan pipinya bersemu merah. "A—Aduh! Sepertinya aku banyak omong, ya!" celetuknya pasrah, dan menggaruk-garuk kepalanya .
Aku menggeleng. "Tidak, kok. Kau benar. Hei, kukira kau anak kaya yang hobi sok berbelas kasihan pada orang-orang semacamku," tambahku dengan nada yang menyindir.
Anak itu kembali menggaruk-garuk kepalanya. "Err, tidak, kok—lagipula, keluargaku tidak kaya-kaya amat," ujarnya salah tingkah. Ah, dia mencoba untuk bersikap rendah hati? Dasar anak aneh. "Oh iya, kita belum kenalan!" Anak itu menepuk dahinya, kemudian mengulurkan tangannya, hendak menjabatku. "Namaku Lu Yi! Salam kenal—uh, aku lupa—namamu siapa?"
Aku mengernyitkan alis. Dia benar-benar serius? Tapi, toh kujabat juga tangannya. "Li Hongxue. Panggil saja aku Hongxue." ujarku berusaha ramah. Aku berusaha tersenyum, tapi sepertinya terlihat aneh. Soalnya, Lu Yi melihatku dengan mata kelinci seperti itu. Apa aku benar-benar jelek saat tersenyum?
"Ah! Hongxue! Iya, salam kenal! Semoga kita bisa jadi teman yang baik." Lu Yi menyunggingkan senyumnya. Ah, sepertinya Tuhan memang maha adil – tidak semua orang mengucilkanku. Ada juga yang menganggapku sama seperti yang lainnya...
...jujur saja, aku merasa terharu. Sangat terharu.
