Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Our Family © Haruno Aoi
Warning: AU, OC, OOC, TYPO(S)
Author's Note: Saya ucapkan terima kasih banyak kepada reviewers dan readers fic saya yang berjudul Our Twins, Our Hero, Our Baby, Our Son, Our Home, Our Pain, dan Our Babies. Our Family merupakan sekuel dari Our Home. Karena besok saya sudah kuliah lagi, jadi dipublish sekarang, hehe. Saya benar-benar berterima kasih kepada kalian semua, yang bersedia membaca fic-fic sederhana saya, yang membuat saya senyum-senyum sendiri karena reviewnya. Pokoknya saya ucapkan terima kasih kepada kalian semua, yang mungkin tidak kalian sadari telah menyalurkan semangat kepada author amatir kayak saya, hoho. Maaf bila selama ini ada yang kurang berkenan di hati. Maaf juga karena di fic ini OC lebih dominan. Jangan sungkan-sungkan memberikan kritik dan saran. See ya…
Okelah, langsung saja…
.
.
.
-II- Our Family -II-
.
.
.
Musim semi di awal bulan April. Yuki menuruni tangga dengan semangat. Hari ini dimulainya tahun ajaran baru. Ia sudah mengenakan seragam celana panjang berwarna hitam, lengkap dengan blazer yang senada. Begitu menginjakkan kaki di lantai satu, ia langsung menuju meja makan yang berada satu ruangan dengan dapur.
"Pagi, Ma… Pa…" sapanya riang seraya mengecup pipi Mama Hinata yang sedang meletakkan masakannya di meja makan. Setelah itu ia menduduki kursi yang biasanya, di sebelah kiri Yukiko dan berseberangan dengan Hinaka. Pagi ini ia tiba di ruang makan lebih awal dibandingkan dua saudara perempuannya.
"Pagi juga…" balas Hinata disertai senyum lembutnya.
Sementara Sasuke hanya menggumam sebagai balasan, namun ia tersenyum tipis di balik lembar surat kabar yang menutupi sebagian wajahnya.
"Tumben bangun sendiri tanpa dibangunin…?" celetuk Sasuke sembari melipat korannya.
"Soalnya mulai hari ini aku murid SMP," jawab Yuki dengan mata berbinar seusai meminum sedikit susu rendah lemaknya. Saking senangnya sampai tidak bisa tidur, lanjutnya dalam hati.
Yukiko bergabung ke meja makan dengan menggandeng Hinaka. Sebelumnya ia membantu Hinaka yang mulai hari ini menjadi murid SD. Yukiko juga memakai seragam senada dengan Yuki, tetapi bermodel sailor lengan panjang dengan rok lipit seperti yang dikenakan oleh Hinaka. Mereka bertiga memang menuntut ilmu di sekolah elit yang terdiri dari TK, SD, SMP, dan SMA—jadi selain lambang sekolah yang sama, seragam mereka di setiap musim juga serupa, bedanya untuk TK dan SD seragam murid laki-laki di musim tertentu dilengkapi celana pendek.
Sasuke biasa mengantarkan ketiganya karena kantornya searah dengan sekolah mereka, selain itu Hinata yang menjadi guru TK di sana juga berangkat bersamanya. Setelah lahir anak ketiga, Sasuke pernah melarang Hinata untuk menjadi pengajar di TK—yang merupakan cita-cita tunggal istrinya sejak kecil. Tetapi, sejak Hinaka masuk TK dan Hinata jadi tidak ada kegiatan di rumah, Sasuke memberikan izinnya. Ternyata harapan Hinata terkabul, suaminya yang terkadang plin-plan itu memang bisa berubah pikiran.
Hinaka duduk di sebelah kanan Mama, dan Yukiko menduduki kursinya sembari mencubit gemas pipi Yuki. Adik kembarnya yang sedang manyantap sarapan itu membalasnya dengan mengacak rambut hitam kebiruannya yang sepanjang bahu. Selanjutnya Yukiko yang harus menyesal setelah rambutnya megar kayak rambut singa jantan. Ia mengambil cermin kecil dan sisir dari dalam tas hitamnya, kemudian merapikan rambut sekaligus poni ratanya yang tebal.
"Yuu jelek…" ledek Hinaka seraya menjulurkan lidah dari seberang meja. Bocah perempuan berambut biru tua sepunggung itu memang tidak senang jika kakak kesayangannya diganggu, meskipun itu adalah Yuki yang merupakan saudara kembar Yukiko.
Yuki mendengus. Hanya punya satu adik, tetapi belum pernah sekali pun ia dipanggil 'kakak'. Ia juga ingin berasa menjadi aniki seperti teman-temannya.
"Awas kamu ya…" ancamnya geregetan, "Nanti boneka singamu kusembunyikan."
"Mama…" rengek bocah berusia enam tahun tersebut, mata bulannya tampak berkaca-kaca, "Papa…" Poni ratanya turut bergoyang ketika mengalihkan tatapan memelasnya ke Papa Sasuke yang menduduki kursi tunggal di ujung meja. "Neechama…" Hinaka belum menyerah untuk mendapatkan pembela.
"Mulai lagi deh…" dengus Yuki yang menerima tatapan menusuk dari tiga pasang mata di sekitarnya, dan senyum penuh kemenangan di wajah Hinaka. Ia memelototi Hinaka setelah tiga orang di sekitarnya kembali disibukkan dengan makanannya masing-masing. Adik perempuannya itu hanya cemberut dan tak gentar membalas tatapan mata hitamnya yang tajam. Ia lalu menggerakkan tangan kanannya untuk memberi Hinaka isyarat 'potong leher'.
"Itaiii…!" pekik Yuki yang mendapatkan hadiah berupa jitakan dari Yukiko. Ia memang salah karena mengajarkan yang kurang benar pada adik perempuannya. Namun, ia jadi merasa bahwa hidup ini sangat tidak adil. Semuanya membela Hinaka, siapa dong yang akan membelanya? Bukannya ia satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga ini? Hm, kali ini Yuki terlalu berlebihan karena manjanya kambuh.
Sasuke dan Hinata melanjutkan sarapannya dengan tenang, sudah biasa dengan suasana ramai di rumah mungilnya. Hinaka yang duduk di seberang Yuki malah tersenyum lebar. Yukiko yang sudah menghabiskan makanannya, meminum susu cokelatnya seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Berbeda dengan Yuki yang suka susu dengan rasa original, Yukiko lebih menyukai susu rasa cokelat, sedangkan Hinaka menggemari susu rasa strawberry yang senada warna favoritnya. Jadi, di dapur mereka selalu ada tiga kemasan susu dengan rasa berbeda, dimana Sasuke mempunyai selera yang sama dengan Yuki dan Hinata satu selera dengan Yukiko.
Sebelum berangkat ke sekolah, Yuki tidak boleh lupa memberi makan kelinci-kelinci peliharaannya.
.
.
.
Sasuke menghentikan laju mobil hitamnya di depan halaman utama salah satu sekolah elit di kota tempatnya tinggal, dimana anak-anaknya menjadi pelajar dan istrinya menjadi pengajar. Tanpa turun dari mobilnya, Sasuke memberikan kecupan sayang pada tiga perempuan yang paling disayanginya selain ibunya. Ia melirik Yuki yang bertampang masam di jok belakang saat satu per satu penumpang mobilnya keluar.
"Mau kucium juga?" goda Sasuke diikuti seringainya.
"Ogah!"
Yuki langsung keluar dari mobil papanya dan berjalan melewati gerbang mendahului tiga sosok perempuan yang masih melambaikan tangan. Ia sempat menengok ke belakang saat mendengar deru halus mobil Sasuke, yang menandakan bahwa mobil sedan itu sudah melaju. Yah, sebenarnya Yuki hanya sok jual mahal pada papanya; malu-malu tapi mau—padahal Yuki senyum-senyum di balik selimut tebalnya setelah Sasuke menciumnya secara diam-diam di malam hari karena mengira dirinya sudah terlelap.
Di sekolah pun Yuki juga sok cool. Mantan sekretaris OSIS SD itu memang sudah terkenal akan sikap tenangnya. Karena ia juga anggota dari klub sadou atau upacara minum teh yang tidak hanya diikuti oleh murid SD, namanya sering dielu-elukan oleh para siswi—bahkan dari jenjang TK sampai SMA. Boleh dibilang Yuki adalah salah seorang dari para siswa yang menjadi idola di sekolahnya. Ia sangat beruntung karena dikaruniai karisma layaknya papanya, beserta otak jenius dan fisik yang menarik.
Sepertinya Yuki akan tetap bergabung dalam klub yang sama hingga SMA nanti, atau mungkin ia juga akan mengikuti ekskul seni karena ia gemar menggambar. Entah ia akan kembali turut serta dalam kepengurusan OSIS atau tidak selama SMP dan SMA.
Di tengah lamunannya, Yuki sedikit tersentak ketika Yukiko menarik lengannya dan mengajaknya berjalan lebih cepat. Ia menyempatkan menoleh ke arah Mama dan Hinaka yang berjalan dengan bergandengan tangan menuju gedung TK dan SD yang berdampingan. Mereka adalah ibu dan anak yang kompak, malahan warna dan gaya rambut keduanya sama.
"Jangan lamban, welcome ceremony hampir dimulai," kata Yukiko yang masih menarik tangan Yuki.
"Aku bisa jalan sendiri, Yukiko," ujar Yuki tanpa melepas cengkeraman kakak kembarnya di pergelangan tangannya.
Bahkan panggilan Yuki untuk Yukiko berubah ketika berada di sekolah. Ia juga melarang Yukiko memanggil namanya dengan disertai embel-embel jika sedang bersama teman-temannya.
.
.
.
"Neechan~" rengek Yuki ketika memasuki kamar Yukiko yang bernuansa biru seusai makan malam. Meskipun kembar, Yukiko dan Yuki memiliki selera yang berbeda—kamar Yuki didominasi warna kuning. Kamar Yukiko menyejukkan dan membuat Yuki betah, tidak seperti kamar Hinaka yang menurutnya seakan mampu membuatnya sakit mata dengan warna pink dimana-mana.
Yuki membawa kotak berlapis kertas kado warna biru muda di kedua tangannya. Selain itu, di atas kotak yang lumayan besar tersebut terdapat beberapa amplop warna-warni yang terlihat seolah hampir berjatuhan seiring pergerakan Yuki.
Yukiko yang awalnya sedang belajar hanya menggeser kursinya menghadap arah datangnya Yuki tanpa beranjak dari posisi nyamannya.
"Apa itu?" tanyanya penasaran.
Yuki meletakkan barang yang dibawanya dengan sedikit dibanting di atas tempat tidur Yukiko. Ia kemudian duduk bersila, diikuti Yukiko yang menduduki tempat di seberangnya. Tanpa bertanya lagi, Yukiko sepertinya sudah bisa menebak isi dari amplop-amplop beraroma harum tersebut.
"Ditembak lagi?" Yukiko tersenyum menggoda, dan hanya dibalas dengusan oleh Yuki. Ia kemudian membuka amplop yang berwarna orange lembut, "Hikari?"
"Aku nggak kenal," ujar Yuki tak acuh.
"Kaori?" gumam Yukiko setelah membaca sekilas sepucuk surat yang ia keluarkan dari amplop berwarna hijau muda.
"Siapa lagi?" desis Yuki. Ia menunjukkan wajah masamnya saat Yukiko terkikik geli. "Gantiin aku nolak mereka dong…" pintanya, "Neechan kan kembaranku…"
"Baaaka…" Yukiko mengatakannya dengan nada jenaka seraya menertawakan adik kembarnya yang sejak menjadi murid SMP sudah beberapa kali mendapatkan surat cinta. Tiba-tiba pandangannya tergugah oleh kotak yang masih terbungkus rapi—sebenarnya warnanya yang membuatnya tertarik.
"Ini kotak apa, Yuki-chan?"
"Untuk Neechan," jawab Yuki, yang kemudian tersenyum misterius sebelum mengatakan lanjutannya dengan suara yang dibuat-buat, "Dari Kei."
Sekilas pipi Yukiko tampak merona dan ia jadi salah tingkah, membuat Yuki mati-matian menahan tawa. Pasti Kei akan memberikannya langsung pada Yukiko jika tidak ada latihan mendadak klub sepak bola sepulang sekolah, Yuki menjelaskannya pada kakak kembarnya. Tadi Yuki pulang lebih terlambat dari Yukiko karena piket, sehingga Kei yang beda kelas menitipkan kotak biru itu padanya.
Kei adalah pemuda ceria berambut pirang yang merupakan salah seorang sahabat Yuki sejak SD, karena selain pernah sekelas juga sama-sama menjadi pengurus OSIS. Bahkan Yukiko juga pernah satu kelas dengannya, karena Yukiko memang selalu sekelas dengan Yuki. Selain itu, Kei adalah pemuda jail yang seakan bisa muncul secara tiba-tiba dan kapan saja di dekat Yukiko—entah hanya untuk menyapa maupun mengusik kegiatan makan siangnya.
Yukiko tidak langsung membuka kotak berlapis kertas kado berwana biru muda polos tersebut. Ia hanya memandanginya, entah apa yang dipikirkannya. Mungkin ia masih keheranan karena hari ulang tahunnya masih sekitar lima bulan yang akan datang. Lagipula, mau-maunya si pemuda pirang membawa kotak seukuran itu ke sekolah…?
"Harusnya Neechan daftar jadi manajer klub sepak bola SMP, karena sekarang Kei anggota tim inti." Yuki tahu benar kalau Yukiko adalah pecinta sepak bola. "Terus, Kei juga suka kucing kayak Neechan. Aku sampai nggak berani masuk rumahnya karena banyak kucing." Yuki bergidik ngeri seusai mengatakannya.
Sebenarnya Yukiko sudah mengetahui semuanya sebelum diberi tahu oleh Yuki.
"Atau… Rei?" goda Yuki disertai kerlingan mata.
Jika ditanya siapa Rei, maka jawabannya; Rei adalah pemuda berambut merah dengan pembawaan tenang yang juga seangkatan dengan mereka. Ia satu ekskul dengan Yukiko di klub bela diri. Di usianya yang masih belia, ia terlihat dewasa karena sikap tenangnya. Ia juga menjadi pemain cadangan tim basket SMP karena lebih fokus pada kegiatan klub bela diri. Keluarganya memiliki beberapa dojo terkenal yang diperuntukkan semua cabang bela diri; seperti aikido, judo, karatedo, kempodo, kendo, dan lain-lain.
"Hayooo… kucing atau rakun?"
Bantal besar langsung melayang ke wajah Yuki. Tanpa memedulikan ledekan adik kembarnya yang jail, dengan hati-hati Yukiko membuka kotak yang kata Yuki diberikan padanya.
Yuki langsung terbelalak melihat isi dari kotak tersebut; boneka kucing putih berbulu panjang dan lebat, terlihat cantik dan menggemaskan. Namun, tidak demikian di mata Yuki yang boleh dibilang phobia kucing—padahal ia hanya pernah digigit hewan berambut lebat tersebut satu kali saat usianya lima tahun. Dengan cepat Yuki melompat dari ranjang dan segera menjauh ketika Yukiko mendekatkan boneka kucing itu padanya. Yukiko menyeringai dan malah mengejarnya yang berlari ke arah pintu.
"Jangan mendekat…!" pekik Yuki yang berhasil keluar dari kamar Yukiko. Ekspresi wajahnya tampak mengenaskan, ditambah keringat dingin yang mulai mengalir. "Aku aduin ke Mama sama Papa lho kalau Neechan sudah pacar-pacaran…!" ancamnya sambil merapat di dinding karena Yukiko kian mendekat.
"Kamu sendiri… gimana sama Himeka?" balas Yukiko sembari terkikik dan semakin menyudutkan Yuki, "Kata Himeka, kamu selalu cemberut padanya, padahal kadang kamu bisa senyum ke cewek lain. Himeka jadi sedih, lho…"
"Urusai…!" seru Yuki dengan nada gugup setelah berhasil meloloskan diri, dan ia tidak bisa mencegah munculnya rona merah yang sempat menghiasi tulang pipinya. Ia segera memasuki kamarnya yang berada satu lantai dengan kamar Yukiko—kamar Hinaka dan kamar orang tuanya berada di lantai satu. Sebelum menutup pintu kamarnya, Yuki menunjukkan isyarat 'potong leher' pada Yukiko yang masih menyeringai geli.
.
.
.
Suatu pagi di hari Minggu, seusai sarapan Hinaka berniat menemui Sasuke yang sedang nonton TV di ruang tengah. Rambut lurusnya yang dikuncir kuda bergoyang cepat ketika berlari menghampiri Sasuke yang duduk di sofa.
"Ada apa, hm?" tanya Sasuke saat Hinaka berdiri di hadapannya sambil mengatur napas.
"Kemarin kan Neechama ngajakin Hina nonton pertandingan basket SMP…"
Sasuke masih mendengarkan apapun yang akan dikatakan oleh putri bungsunya dengan sabar. Ia juga senang memperhatikan setiap gerak-gerik Hinaka ketika berbicara.
"Kakak-kakak tim cheers cantik-cantik, lho…" lanjut Hinaka dengan semangat, "Kalau sudah besar, Hina juga mau jadi cheers…"
Sasuke meraih Hinaka dan didudukkan di pangkuannya. "Boleh… Hina kan cantik…"
Hinaka tertawa riang seraya mencium kedua pipi Papa.
"Eh, eh, mana boleh…?" sahut Yuki yang lewat di belakang sofa dengan kelinci putih di gendongannya, "Hina kan pendek…" ledeknya sembari mendekat, membuat Hinaka menggembungkan pipinya. "Lihat tuh, sudah pendek, gendut lagi…"
Dan Yuki sukses mendapatkan gigitan di lengannya. "Argh…! Hina beringas banget sih… pantes hewan kesukaannya singa…!"
Yuki menurunkan kelinci gemuknya sebelum membalas dengan kenakalan lainnya; ia mencubit kedua pipi chubby Hinaka dengan gemas sampai adik perempuannya itu kesulitan bicara dan memukuli lengannya.
"Papa… Yuu jahat…" rengek Hinaka dengan mata berkaca-kaca sambil mengelus kedua pipinya yang terlihat semakin tembam. Ia lalu kembali ke pangkuan Papa saat mendapatkan juluran lidah dari Yuki. Tiba-tiba saja Hinaka tersenyum lebar dan batal menangis setelah Papa membisikkan sesuatu di telinganya. Ia melihat ke sekitarnya, Yuki sudah meninggalkan ruang tengah. Dengan semangat Hinaka berlari ke halaman samping melalui pintu geser kaca. Ia menggendong seekor kucing gemuk berambut putih, cokelat, hitam—dengan warna putih yang mendominasi—yang kebetulan mampir di halaman rumah dan segera membawanya ke Yuki.
Yang selanjutnya bisa ditebak…
"Hwaaa…!" Suara teriakan dan derap langkah lebar Yuki membahana di rumah berlantai dua tersebut, "Mamaaa…!"
.
.
.
Ada waktu tertentu saat Sasuke sekeluarga menonton film bersama di akhir pekan. Kali ini yang mereka tonton adalah film animasi bergenre fantasy yang digemari oleh Hinaka. Film yang diputar dalam setiap kesempatan memang ditentukan secara bergiliran, dan malam ini adalah giliran si bungsu Hinaka.
Sasuke dan Yuki duduk di karpet, sementara tiga anggota keluarga lainnya—yang semuanya bergender perempuan—menduduki sofa. Beberapa kali Sasuke mencomot kue keju buatan Hinata yang dikuasai oleh Yuki, dan terkadang terlihat pemandangan dimana Yuki akan menjauhkan toples kaca dalam dekapannya dari jangkauan papanya. Ayah dan anak sama saja, pikir para perempuan di belakang keduanya sambil geleng-geleng kepala.
"Hina ngantuk…" keluh Hinaka yang menyandar pada Mama. Padahal tadi ia yang paling semangat untuk menonton film terbaru yang dibelikan oleh Papa.
"Mm… Hina…" bisik Mama di telinga Hinaka. Ia melanjutkan perkataannya setelah Hinaka membalas tatapannya, "Hina senang tidak kalau… punya adik?"
"Adik?"
Suara Hinaka membuat tiga manusia lainnya menajamkan telinganya. Sasuke bahkan mengecilkan volume speaker yang berdiri di kanan kiri TV flatnya.
"Hina akan punya adik…?"
Seketika Sasuke menoleh tanpa sempat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Yukiko langsung menegakkan badannya yang semula menyandar dan memandang Mama dengan kening mengernyit. Sementara Yuki terbatuk-batuk karena tersedak kue kering yang masuk mulutnya.
Hinata gelagapan sembari mengalihkan perhatian kepada mereka secara bergantian. "Ka..kalian… terlihat tidak senang…?"
Sasuke megap-megap untuk beberapa saat sebelum berhasil mengeluarkan suaranya, "Ja..jangan bilang kalau kau…"
Apa salah kalau Hinata mengandung bayi lagi? Bukannya masuk akal kalau Sasuke dan Hinata punya banyak anak? Sasuke kan suka mengkonsumsi tomat, jadi jangan heran. Tahu khasiat tomat, kan? Pasti ada alasannya mengapa tomat juga dinamakan pomme d'amour atau 'apel cinta'. Ehem, yang jelas khasiatnya sangat baik bagi pria.
Detik berganti menit. Yuki adalah manusia pertama yang bersorak senang. Masih ada harapan ia dipanggil 'kakak' oleh adiknya. Sama seperti Hinaka, laki-laki maupun perempuan bagi Yuki tidak masalah, asalkan ia bisa mendengar panggilan yang sangat diinginkannya. Semoga saja keinginan Yuki bisa terkabul.
"Aku harus nelpon Ojiichan sama Obaachan…!" seru Yuki kegirangan sambil berlari menuju meja telepon.
Kalau Yukiko ingin menambah adik perempuan. Karena mempunyai saudara seperti Yuki yang terkadang nakal dan jail, ia jadi tidak ingin punya adik laki-laki lagi.
Sasuke mengulum senyum ketika menghampiri Hinata. "Hah… sudah kubilang jangan bekerja," katanya, "Ujung-ujungnya kau harus berhenti lagi."
Hinata langsung memeluk suaminya. Ia menyembunyikan wajah meronanya di dada bidang Sasuke untuk menekan luapan perasaan bahagianya agar tidak kelepasan memekik kegirangan. Wajahnya semakin memerah karena mendengar godaan dari putra-putrinya, ditambah suara riang ayah dan ibu mertuanya melalui telepon yang sengaja diloudspeaker oleh Yuki.
Kalau pun bayi kembar lagi juga tidak masalah bagi Sasuke. Masih tersedia kamar yang cukup untuk masing-masing dari mereka. Tetapi, sepertinya Sasuke harus membeli mobil baru dengan kapasitas lebih besar dari mobil sedan hitamnya.
"Kok mendadak ingin jeruk, ya…?" gumam Hinata.
"Akan kubelikan," ujar Sasuke setelah melepas pelukannya.
"Tapi aku ingin lihat Sasuke-kun manjat pohon jeruk."
"Eh?"
Dengan kata lain, Hinata ingin Sasuke memberinya buah jeruk yang langsung dipetik dari pohon. Malam-malam begini? Memangnya pohon jeruk milik siapa? Di halaman depan rumah mereka memang ada pohon, tetapi pohon mangga. Itu pun sepertinya belum berbuah lagi. Kira-kira siapa ya di antara teman Sasuke yang punya pohon jeruk?
Yak, perjuangan masih berlanjut!
.
.
.
Selesai…
.
.
.
Terima Kasih
February 19, 2012
CnC? RnR?
