Hai! Aku IchiHitsuRuki, Author baru! Panggil aja HitsuRuki! Aku bikin cerita ini dari cerita yang menurutku bagus! Dengan judul asli sama seperti judul ini. Aku sudah bilang gini, jadi aku tak menerima flame!

WANTED:

OOC banget, gaje!

Disclamer:

Bleach pastinya punya Tite Kubo!

Chapter 1
Jangan Pasung Cintaku, To You I Belong

Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Rukia Kuchiki, adalah gadis teraneh yang pernah ada. Bagaimana tidak, seorang gadis yang hanya menambatkan biduk cintanya hanya pada satu dermaga hati saja, meski banyak dermaga yang dihamparkan di hadapannya dengan pantai yang lebih indah sekalipun.

Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino dan menolak banyak kopi lain yang ditawarkan kepadaku - Espresso, Coffee Junket, Coffe Mocha, Iced Vanilla Latte Espresso, Coffee Frappuccino, Tiramisu Latte, Cafe Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis kopi lainnya.

Sesungguhnya, bukan karena aku tidak kepingin. Bukan. Tapi bagiku, minum kopi bukan semata untuk memenuhi selera lidah. Namun lebih pada citarasa yang telah melekat pada lidah. Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada Cappuccino. Aku jatuh cinta padanya. Dan aku tidak mungkin berpaling pada kopi-kopi lainnya.

.

Rukia tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya untuk Ichigo. Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.

"Belum pulang juga anak itu?" tegur Mama.

Rukia hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Ichigo. Dan yang paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.

"Sudah jam berapa ini..."

"Ini kan malam Minggu, Ma," kilah Rukia sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo dari kulkas.

"Malam Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam Minggu. Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya."

"Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu. Kuno. Ya lain, dong," ujar Rukia berkelakar.

Mama mencibir. "Botol yang keberapa itu?" tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa tidak senang.

"Kenapa sih, Ma? Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!"

"Anak itu suka minum, ya?"

Rukia membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa. "Kata teman-teman arisan Mama, temanmu Si Ichigo itu tukang minum. Tukang begadang. Tukang kebut-kebutan."

"Tukang minum apa dulu. Ya, kalau minumnya softdrink sampai segentong juga kan tidak apa-apa, Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa. Kalau tidak dilakukan selagi muda, kapan lagi dong, Ma? Apa mesti kalau sudah jadi kakek-kakek?" bela Rukia seraya beranjak berdiri. Dia baru ingat kalau Ichigo masih menunggu di luar.

"Huh, kamu ini! Dibelaaa terus Si Ichigo. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana boleh kamu menggantungkan diri pada orang yang tidak punya masa depan? Mau makan apa kamu nanti? Mau makan batu, apa?" tukas Mama sengit.

Rukia hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang cerewet. Rukia sadar, siapa pun akan menilai Ichigo sebagai anak berandalan. Sebab cowok itu kelewat apatis. Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi Rukia, hal itu bukan merupakan citra buruk selama semua itu dilakukan sebagai trend anak muda belaka. Toh, selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang negatif. Malah, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang secuil pun kepadanya.

Ya, mungkin Mama benar. Ichigo tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa peduliku? pikir Rukia. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok? Hari esok pasti menjanjikan cerita yang berbeda dengan hari ini. Dan Rukia merasa hari-hari yang akan dilaluinya masih panjang.

"Lama banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya," goda Ichigo, menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.

Rukia tersenyum.

"Nih, minum sampai mabuk!" Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Ichigo.

"Mamamu marah lagi, ya?" tanya Ichigo.

"Kok tahu? Nguping, ya?"

"Tidak usah nguping juga kedengaran dari sini, Ru. Suara Mamamu itu bisa sampai ke bulan kalau lagi ngedumel."

Rukia terkikik. Dicubitnya lengan Ichigo dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk memancing tawanya.

"Jangan terpengaruh Mamamu ya, Syan? Aku cinta banget sama kamu!" ujar Ichigo, mendadak jadi serius.

Rukia tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta? Cintakah aku kepada Ichigo? Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sampai detik ini, yang dia tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Ichigo. Itu saja.

"Aku juga sayang kamu, Go!" ujar Rukia akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh di hatinya.
Ichigo menggenggam tangannya.

"Walaupun aku tidak naik sedan seperti Renji?" tukasnya.

"Hei, hei! Memangnya aku cewek matre apa?" Rukia melototkan matanya. "Aku tuh, suka dibonceng sama motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut saja."

"Tapi, aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu."

"Ya amplop! Kok, kamu mendadak jadi Mama kedua, sih?"

"Aku takut perasaanmu kepadaku akan luntur karena terpengaruh Mamamu..."

"Dih, memangnya baju apa pakai luntur-luntur segala," Rukia bergurau. "Eh Go, maksud Mama kan baik juga sebetulnya," ujar Rukia lagi, mencoba berpikir dewasa.

"Baik?" Ichigo mencibir. "Berusaha memisahkan kita, itu kamu katakan baik?"

"Mama tidak sepicik itu. Mama hanya tidak ingin melihat aku bergaul dengan cowok urakan. Nah, kamu harus introspeksi, dong! Perbaiki sikap dan tingkah kamu. Mulai sekarang jangan suka ngebut. Jangan suka merokok. Jangan suka begadang. Itu saja. Begitu lho, maksud Mama."

Ichigo menghela napas. Sementara Rukia hanya memilin-milin tepian roknya sebagai pengusir keterdiaman mereka. Enam bulan sejak perkenalan mereka di orientasi kampus sudah mampu menautkan dua kutub hati yang berbeda. Ichigo dengan kebengalannya akibat broken home, dan Rukia yang tumbuh berkembang dalam didikan Budha yang saleh.

"Aku pulang dulu ya, Ru?" pamit Ichigo setelah meneguk minumannya sampai tandas. "Sudah larut malam."

Rukia mengangguk. "Pamitkan aku pada Mamamu, ya?"

"Langsung pulang ya, Go?" pesan Rukia mewanti-wanti.

"Oke. Aku mampir sebentar ke Shinjuku, tapi. Kalau tidak, nanti aku dibilangin sombong lagi. Mentang-mentang sudah punya pacar sehingga melupakan teman lama," jawab Ichigo sambil menaiki motornya dan memasang helm. "Eh... ada yang kelupaan."

Ichigo turun dari motornya dan membuka helm. Dihampirinya Rukia yang anggun berdiri dengan denimnya. Cup. Sebuah kecupan singgah di dahi Rukia.

"Met bobo, ya? Have a nice dream, " bisiknya lembut.

"Jangan kebut-kebutan malam ini lagi, ya?"

Ichigo mengedipkan matanya. Sesaat kemudian motor pun menderu dan meninggalkan Syanda dengan lambaiannya.

Di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, Rukia semalam-malaman tidak dapat memejamkan matanya lagi. Itulah kecupan pertama yang dirasakannya dari seorang cowok. Kecupan dari Ichigo. Cintanya yang pertama.

.

Rukia menguap lebar sementara HP-nya masih menempel di telinganya. Juga suara Rangiku yang seperti cucakrawa itu membujuknya supaya kuliah hari ini.

"Cuma Kewiraan kok, Ru. Masuk sajalah," bujuk Rangiku di seberang sana.

"Justru karena cuma Kewiraan saja aku jadi malas."

"Ya ampun... kujemput, deh!"

"Bukan soal jemput menjemput..."

"Apa perlu aku sewa motor trail untuk menjemputmu?"

"Hei, ngeledek kamu, ya?" didengarnya suara Rangiku terkekeh.

"Habis, susah amat sih bikin kamu insyaf buat kuliah."
"Aku lagi tidak enak badan nih, Ran. Asli, tidak tahu kenapa pikiranku hari ini tidak karuan." Rukia memijit pelipisnya. Bukan, bukan kepalanya yang pening. Tapi, dia merasakan sesuatu yang janggal pagi ini.

"Kalian bertengkar tadi malam?"

"Tidak."

"Atau, Mamamu yang cicit-cuwit itu lagi ngedumel soal Ichigo?"

"Termasuk. Tapi, ah tauklah. Aku titip catatan saja, ya? Mau, kan?" bujuk Rukia. "Aku tahu kamu teman yang terbaik sedunia."

"Dih, kalau ada maunya..." Rukia terkekeh. "Boleh saja, Ru. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Asal kamu tahu saja. Teman yang baik perlu disuap agar lebih baik lagi. Sepotong burger dan segelas es krim di McDonalds bolehlah. Hehehe."

"Ember." Rukia turut terkekeh. "Cingcai-lah."

"Oke. Hati-hati di rumah ya, Non? Nanti sore aku ke rumahmu. Salam buat tukang balapmu itu."

Bip.

Telepon diputus. Rukia menggeliat. Kalau bukan karena dering telepon Rangiku, tentu dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Dan, masih bermimpi tentang Ichigo!

Hei... apa mimpinya tadi malam? Rasanya bukan mimpi yang indah. Buktinya, dia bangun dengan badan yang basah oleh keringat dan rambut acak-acakan.

Mimpi buruk, keluhnya dalam hati. Semoga saja cuma mimpi. Dan semoga saja perasaan tidak enak yang bermain dalam hatinya saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mimpinya tadi malam.
Rukia beranjak ke dapur. Dibukanya tutup wadah kopi dan dituangkannya tiga sendok kopi instan pada cangkirnya.

Kring-kring-kring.

Telepon berdering lagi. Namun kali ini telepon rumah. Tapi beberapa saat kemudian terhenti. Tentu sudah diangkat oleh Yachiru, adiknya. Perlahan Rukia menuang air panas dari dispenser setelah menabur krimer dan mengaduk-aduknya.

"Ru... telepon untukmu," ujar Yachiru di muka dapur. Wajahnya kelihatan agak pucat.

"Dari siapa?"

"Suara perempuan. Tapi sudah kututup."

"Lho, bagaimana sih kamu ini?" seru Rukia, tidak jadi meneguk cappuccino yang sudah berada di pelepah bibirnya.

"Ka-katanya... Icchi berada di panti rehabilitasi 'Soukyoku!" jawab Yachiru terbata-bata.

Rukia tercekat. Panti rehabilitasi 'Soukyoku? Siapa pun tentu tahu tempat seperti apa itu. Tapi kalau Ichigo masuk ke panti itu... Ah, salah apa Ichigo? Panti itu kan, tempat untuk merawat mereka yang kecanduan dan terlibat pemakaian obat-obat terlarang-narkoba?

"Pe-perempuan itu tidak bi-bilang apa-apa lagi, Yachiru?" tanyanya nyaris tanpa ekspresi.

"Tidak. Katanya cuma menyampaikan permintaan Icchi untuk memberitahumu," jawab Yachiru sambil duduk di hadapan Rukia. "Sebetulnya Icchi itu nyabu atau tidak, sih?"

Rukia menggeleng lemah.

"Kamu yakin dia bukan junkies?" tanya Yachiru lagi kurang yakin.

"Aku tidak tahu!" Rukia bangkit berdiri. Memijat keningnya kemudian. Dia benar-benar shock.
Yachiru menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ichigo... ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Ichigo hanya ikut terjaring operasi penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai narkoba. Tapi Ichigo? Rukia membatin galau. Dia kenal betul siapa Ichigo Kurosaki. Tukang balap yang setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi kalau teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin Ichigo juga ikut-ikutan walau cuma sedikit?

"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin!" desis Rukia berulang-ulang. Matanya mulai membasah. Bibirnya bergetar menahan tangis.

"Tapi, Icchi kan perokok?" bantah Yachiru.

"Aku harus ketemu Ichigo!" Rukia meninggalkan Yachiru yang masih menatap kakaknya dengan pandangan heran.

Siapa pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Rukia mau menggantungkan hatinya pada cowok bengal yang tidak ketahuan ke mana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu kalau di balik semua sikap buruk Ichigo ternyata ada sebongkah emas murni. Dan Rukia-lah yang tahu di mana emas itu tersembunyi.

Cuma Rukia yang tahu.

.

"Waktu Nona cuma tiga puluh menit," pesan satpam yang mengantar Rukia ke ruang tamu panti rehabilitasi 'Soukyoku'. Ternyata panti rehabilitasi ini juga dilengkapi dengan beberapa aparat keamanan. Rukia agak bergidik tatkala melihat beberapa penghuni yang juga sedang menerima tamu. Badan mereka kurus kering dan tatapan mereka hampa. Ah, Ichigo-nya bukan orang jenis seperti itu.

Dan Rukia semakin yakin kalau polisi salah menjaring orang. Mata Ichigo selalu berbinar dan bersemangat manakala menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana bisa dia disamakan dengan para junkies itu?

"Kamu datang juga," suara berat Ichigo membuyarkan lamunan Rukia.

"Ka-kamu... ke-kenapa?"

Ichigo menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis yang belakangan ini diakrabinya melebihi apa pun juga.

"Kamu pikir aku sama dengan mereka..."

"Tidak. Aku yakin kamu tidak bersalah..."

Ichigo mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. "Malam itu, Renji dan Tetsuzaemon ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong ramai-ramai. Aku ingat pesanmu untuk segera pulang, Ru. Tapi terlambat. Polisi ternyata sudah mengepung kami. Semua terjaring. Malah, Renji dan Tetsuzaemon ditahan di penjara," ceritanya dengan suara serak.

"Tapi kamu ti-tidak..."

"Demi Tuhan, Ru. Demi Tuhan aku tidak..."

"Aku percaya..."

"Terima kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku."

Rukia memaksakan bibirnya tersenyum. "Berapa lama kamu di sini?"

"Entahlah, Ru. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun..."

"Se-setahun?" Rukia terbelalak.

"Kamu malu aku masuk panti rehabilitasi?"

Rukia menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang mesti kulalui tanpa kamu."

Ichigo mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak. Laki-laki pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di hadapan Rukia. Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat disayanginya itu.

"Memang lama. Tapi..."

"Ak-aku akan tabah, Go. Aku akan menunggu..."

"Ja-jangan..."

Rukia tersedu. "Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!"

Ichigo merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. "Terima kasih untuk ketulusanmu."

Waktu berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat ketika bel tanda besuk berakhir berdenting memekakkan.

"Pulanglah..."

"Go...!" Rukia kembali memeluk Ichigo setelah sesaat tadi siap melangkah keluar. "Jangan lupa berdoa, ya?"

"Pasti." Ichigo mengangguk lalu melambai setelah Rukia berdiri di bawah bingkai pintu keluar ruang tamu. Ditatapnya tubuh Rukia yang menirus dan menghilang di balik tembok. Dua petugas satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan berkumpul dengan penghuni panti rehabilitasi lainnya.

Di luar, betapa inginnya Rukia berteriak lantang. Bahwa AIchigo sama sekali tidak bersalah. AIchigo bukan junkies . Tapi, siapa yang peduli? Bahkan,Ichigo pun tampak pasrah dan tabah menerima kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.

Rukia menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor panti rehabilitasi 'Soukyoku. Dia ingin ke gereja. Berdoa di sana. Melaburkan dirinya di dalam damai dan teduhnya sinar Tuhan.

Rain feel down
You where there
I cried for you when I
hurt my hand
Storm a-rushing in
Wind was howling
I called for you, you where there...

Suara B*Witched dari Radio Kon masih memenuhi ruang kamar Rukia. Di atas bantal, Rukia merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi hari-hari bersama Ichigo. Tidak ada lagi acara jalan-jalan yang mengesankan. Tidak ada acara shopping bersama ke Shinjuku. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba.

Hari-harinya kini terasa terpenggal. Padahal baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Rukia bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Ichigo? Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran sana-sini yang akan membuat kupingnya memerah. Rukia pacaran dengan junkies! Pacar Rukia ada di panti rehabilitasi 'Soukyoku'. Ah!

Tok-tok-tok.

"Masuk," ujar Rukia tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.

"Sedang apa, Ru?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.

Syanda menggeleng.

"Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai. "Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan itu."

"Nanti Rukia rapikan."

"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama dulu?" ujar Mama dengan perasaan bangga.

"Apanya yang terbukti?" Rukia tersinggung.

"Lho? Kurang bukti apa lagi? Ichigo sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Ru?" pekik Mama tertahan.

Rukia menggeleng.

"Bukannya Rukia membela Ichigo, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring orang. Ichigo hanya ber..."

"Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk pada anak itu."

"Memang Mama tidak senang sama Ichigo, kok! Kenapa sih, Ma? Apa Ichigo pernah bikin salah sama Mama?" tanya Rukia serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.

"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini? Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja..."

Rukia menghela napas keras. "Tapi Ichigo tidak seperti sangka Mama!"

"Kamu terus saja membelanya, Ru. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."

"Dipelet? Dipelet pakai apa? Apa Mama tidak tahu kalau Ichigo rajin ke gereja?" bantah Rukia jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.

"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."

"Tidak! Ichigo tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Rukia gusar.

Mama tersenyum melecehkan.

"Kamu mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"

Rukia terdiam.

"Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Ichigo ikut terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti."

Rukia makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah. Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Ichigo yang begitu pandai mengelabuinya? Atau... ah!

"Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Rukia.

Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Rukia membelit benaknya sendiri. Hanya beberapa hari berlalu tanpa Ichigo, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang...

Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong
Beside the sea
When the waves broke
I drew a heart for you in the sand
in fields where streams
Turn to rivers
I ran to you, you where there...

.

Ichigo tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur. Rambutnya tidak lagi gondrong. Rukia menatap iba. Ichigo yang dulu senantiasa bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.

"Apa kabar, Go?" sapa Rukia canggung.

"Aku baik-baik saja. Kamu?" Ichigo mencoba tersenyum. Tapi di mata Rukia senyumnya kelihatan hambar. Jujur, Ichigo tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya untuk membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri Rukia.

"Ak-aku baik." Rukia tertunduk.

"Mamamu dan Yachiru?"

"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."

"Mamamu juga?"

"Ya, Mama juga..."

Ichigo menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku sendiri mulai bosan menjengukku."

"Go, kamu mau berjanji kepadaku?"

"Apa?"

"Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini," pinta Rukia.

"Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Ru. Dan di sini, aku lebih suka tidur ketimbang begadang."

"Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"

"Tentu. Kebetulan di sini ada gereja. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Kristen. Malah aku mulai akrab dengan salah satu pastornya," cerita Ichigo agak bersemangat.

Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik SRukia pedih. Masih adakah semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?

"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Rukia. Menggenggam jemari Ichigo.

"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."

"Mamaku juga?"

"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal terjadi..."

"Sudahlah, Go!" Rukia menyentuh lembut bahu kekasihnya.

"Aku kangen kamu, Ru..."

"Kamu pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku dengan membaca atau menonton TV," ujar Rukia.

"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku tidak ada?" tanya Ichigo hati-hati.

Rukia menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."

"Apakah kamu akan setia, Ru?" Ichigo menatapnya dengan tajam.

Rukia makin rikuh. Dia takut Ichigo membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Go! Mempengaruhiku untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan badai yang datang? Sementara hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu seperti rencana kita, Go? Rukia membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang untuk membingkiskan airmata untukku, kan?" goda Ichigo, mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.

Rukia tersenyum. Menyusut sisa ai mata yang menggantung di sudut matanya yang tak tersentuh tangan Ichigo tadi.

"Ma-maafkan aku,Go. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri di sini," kilahnya.

"Aku akan baik-baik saja."

Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar. Bagi Ichigo, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Rukia.

Rukia menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Soukyoku' dengan hati galau. Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti Ichigo. Duh!

To Be Continued

Panjang ya? Maaf, kalau cerita awal terlalu ribet! Apalgi Hitsugaya juga belom muncul! Di cerita asli, Rukia sebagai Syanda, Ichigo sebagai Aditya dan Hitsugaya sebagai Ivan. Hehehehe. Sekedar info aja sih, giliran keluar Hitsugaya adalah di chapter kedua! Maaf! Aku juga bingung mau dijadiin HitsuRuki atau IchiRuki nih! Bodo deh! Mind to Rnr?