Disclaimer : Nuramago milik Shiibasi Hiroshi
Rating : T
Genre : Hurt/Comfort, Angst, Romance, Fantasy, General, etc...
Pairing: Y!Rikuo/H!Rikuo
Warning : Misstypo(s), semi-canon, BL, and many more?
Beta by Lunaryu
Summary: Satu malam yang membuat seluruh hidupnya berubah, suatu hal yang bahkan tak sanggup ia pahami dengan nalarnya. Hanya dipermainkahkah dia dalam kisah ini? Menjadi boneka yang setelah bosan akan diabaikan, bahkan… dibuang?
~Prolog~
Entah apa yang membawanya ketempat ini, di malam gelap dengan cahaya redup rembulan. Ditemani kelopak bunga sakura yang berjatuhan dari pohonnya yang selalu mekar. Suatu pemandangan yang entah harus dikatakan sendu atau… indah?
Lalu alasannya ke tempat ini?
Dia tidak tahu…
Ya... dia tidak tahu, dia tidak mengerti sama sekali….
Kenapa?
Kenapa tiba-tiba ia terbangun dan langsung berlari ketempat ini? Bahkan, ia sampai lupa untuk mengenakan kacamatanya… membuat pandangannya sedikit buram. Apalagi dengan penerangan yang sangat minim, membuatnya merasa hampir seperti kelelawar…. Kali ini, tangannya bergerak, kelopak-kelopak berwarna merah muda pudar tampak bercahaya; terbang… menari bersama angin malam.
"Memikirkan sesuatu?"
Entah apalagi hal aneh yang akan terjadi padanya malam ini. Pertama, ia bangun dan langsung berlari ke tempat ini tanpa alasan jelas.
Kedua, dia melihat entah visualisasi apa yang membuat para kelopak pudar itu bercahaya.
Dan sekarang, dia mendengar suara seseorang —yang mirip dengannya— begitu dalam dan tenang.
Setelah ini apalagi yang akan terjadi padanya?
Memfokuskan pandangannya di tengah cahaya remang-remang dari kelopak berwarna pudar yang ada di sekitarnya, ia melihat seseorang berdiri persis di samping pohon kokoh tempat para sakura tumbuh —penuh kharisma, dengan pandangan tenang dan tajam. Ini sudah kedua kalinya —setidaknya, kalau dia tidak salah ingat— mereka bertemu, sosok maskulin dengan bentuk rambut yang unik serta warna yang juga tak kalah unik. Gaya rambutnya, yang entah kenapa seakan bisa melawan gravitas, memiliki paduan warna setengah, atau mungin hanya sepertiganya, putih dan sisanya hitam. Pakaian yang ia kenalan pun sama dengan yang Rikuo kenakan.
"… tidak."
Rikuo berjalan beberapa langkah maju. Setidaknya, ia tahu bahwa saat ini ia tidak sendirian. Ada seseorang yang menemaninya 'kan?
Matanya terasa sakit saat ia berusaha memfokuskan pandangannya di tengah cahaya yang begitu temaram, membuat penglihatannya semakin buruk.
"Tak usah memaksakan dirimu."
Kalimat pendek yang terdengar seakan menjadi perintah untuknya berhenti dan…, ya…, tak bisa dia pungkiri kalau dia memang mebutuhkan itu. Matanya butuh istirahat….
Kemudian, kali ini pemuda berkulit pucat dengan gaya rambut uniknyalah yang berjalan mendekat. Langkahnya teratur, tidak terkesan terburu-buru atau dipelan-pelankan, hanya langkah yang tenang.
Sekarang jarak mereka hanya sekitar… kurang dari satu meter. Sepasang iris abu-abu kecoklatannya bertemu langsung dengan sepang iris merah darah yang begitu unik. Warna mata yang bagi kebanyakan orang mengantarkan ketakutan yang tak terhingga.
Namun, iris sewarna darah itu membuatnya begitu nyaman. Sungguh suatu rasa yang muncul tanpa alasan.
"Nurarihyon."
Lalu, sebuah telunjuk mendarat di bibirnya, membuat sepasang bibirnya yang kemerahan tertutup rapat.
"Aku adalah Nura Rikuo, Nurarihyon selanjutnya."
Sebuah tatapan penuh ambisi menjadi tambahannya. Membuat sepasang bola matanya berubah sendu, lagi-lagi topik itu dibahas. Apa tidak cukup kata penolakan yang keluar dari mulutnya selama ini?
"Kau, bukan aku. Aku tidak mau ikut campur dalam urusan penerus ketiga. Aku hanya mau hidu-"
"Kau dan aku satu, kita akan jadi penerus ketiga bersama."
Kali ini, sebuah tatapan datar dan mematikan. Kalau saja tatapannya disamakan dengan sebuah pedang, pasti akan jadi pedang tertajam di dunia.
"Tapi, aku manusia… dan para yokai (siluman) seharusnya di pimpin oleh seorang yokai juga. Itu berarti kau! Bukan aku."
Argumentasi yang sudah pasti ia yakini ditentang oleh pemuda di depannya, tapi kenyataannya memang seperti itu 'kan?
Dia hanya manusia, atau mungkin ¼ yokai?
Tapi sosok ¼ yokai-nya itu kini sudah berada di depannya.
"Berhentilah mengatakan hal bodoh itu bocah."
Beberapa langkah kemudian, dengan gaya khasnya dan tatapan yang semakin datar… dia semakin mendekat, hampir meniadakan jarak di antara mereka berdua.
Menerawang jauh ke dalam, menembus batas yang ada…
Indahnya tarian kelopak sakura dan nyanyian malam menemani mereka…
Matanya terbuka perlahan, dan rasa sakit terasa begitu nyata mengerayangi seluruh tubuhnya. Hawa panas juga terasa menguar dari tubuhnya. Yang pasti, seluruh tubuhnya terasa sakit, dan perih, apalagi dibagian bawah. Oh… tak lupa dengan rasa pusing yang melengkapi penderitaannya. Bagus sekali.
Perlahan, mengumpulkan tenaga yang ia punya… atau mungkin yang tersisa, ia mencoba bangun, memperhatikan keadaan sekitarnya.
Ruangan dengan tembok putih, pintu geser putih dengan gambar sakura, lemari pakaian… serta perangkat lainnya...
Ini kamarnya.
Yah, suatu pemandangan yang setiap hari dia temui. Namun, kenapa dia ada di sini? Bukannya semalam dia ada di taman belakang, berdebat dengan dirinya yang seorang lagi?
Tapi…? Sudahlah.
Mungkin itu hanya bunga tidur karena terlalu kelelahan akhir-akhir ini…
Menyingkirkan selimut yang menutupi setengah tubuhnya, memakai kaca matanya yang tergeletak persis di sebelah futonnya, lalu mencoba berdiri walau dia sendiri tidak yakin sanggup. Setidaknya, mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Dengan susah payah, akhirnya ia berdiri, dan dia sadar, seluruh tubuhnya memang benar-benar sakit. Pusing yang dia rasakan juga semakin menjadi-jadi. Sepasang kakinya yang tertutup yukata juga gemetar.
"A-apa yang terjadi padaku…?"
Pertanyaan yang ganjil.
Tangannya bergerak meraih media terdekat yang bisa dijadikan penyanggah tubuhnya. Sepertinya, absensinya yang tidak pernah ternodai tulisan A, I, ataupun S, untuk hari ini harus harus sedikit ternoda dengan munculnya huruf S.
Dengan tubuh yang 'berdiri-saja-susah' seperti ini, mustahil untuknya pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran. Yang ada, belum sampai pelajaran dimulai, dia sudah dibawa ke ruang kesehatan dan akhir-akhirnya akan dipulangkan ke rumah.
Bersandar ditembok, sekali lagi… ia sadar kalau punggungnya benar-benar terasa sakit saat tersentuh sesuatu. Seperti ada luka sayatan atau mungkin cakaran atau apapun. Yang pasti, terasa perih saat punggungnya bergesekan dengan dalaman yukata tidurnya.
"Akh- sakit…!"
Langkah pertama, dia jadi merasa seperti seorang yang kakinya retak. Padahal baru langkah kecil, tapi rasanya seperti dipukul dengan besi.
Langkah kedua, ketiga dan seterusnya, sensasi yang ia rasakan tidak jauh dari langkah pertamanya. Menyakitkan….
Apa sebenarnya yang ia lakukan sampai tubuhnya –seluruh tubuhnya sakit? Seakan-kan semuanya terasa remuk….
Setelah usaha keras, kini dia sudah sampai di luar wilayah pribadinya, dan tak ada satupun makhluk yang ia temui. Masih terlalu pagi, sepertinya….
Tertatih, dia tetap berusaha berjalan untuk mencari mahluk hidup atau roh atau setengah-setengah. Yang pasti, sesorang yang bisa menolongnya.
Sampai di depan pintu yang lumayan jauh dari kamarnya, dia mendengar sesuatu yang agak aneh.
"Aduh~ sakit…"
Suara yang terdengar kesakitan?
"Aku sudah pelan-pelan Yuki Onna."
Sekarang disusul oleh suara maskulin yang dalam, apa sebenarnya yang terjadi di dalam?
Setelah itu, sesuatu yang samar melintas di kepalanya.
"Aaaa~ ARKHH… sa-sakit!"
"Tenanglah, akan lebih baik setelah ini…."
Sesuatu, yang membuat kepalanya seakan mau meledak. Seperti ditusuk ribuan jarum….
Keringat dingin mulai tampak mengalir dari keningnya, kulitnya memucat dan kali ini….
Dia benar-benar sudah tidak sanggup menahan tubuhnya.
BRUKKK
Dua orang sosok dengan ukuran tubuh yang berbeda keluar dari ruang itu, dan….
"RIKUO-SAMAAA?"
Susana tenang dini hari langsung berubah ramai dengan pekikan beberapa orang, atau siluman yang tinggal di dalamnya.
"Jadi begini, Wakana-sama, waktu Zen-sama mengobati saya –karena tidak sengaja kaki saya terkilir— tiba-tiba terdengar suara sesuatu jatuh. Lalu ketika kami berdua keluar… Rikuo-sama sudah tidak sadarkan diri dengan wajah yang sangat pucat dan badannya panas."
Suaranya terdengar begitu khawatir, melaporkan secara kronologis apa yang baru saja terjadi beberapa menit lalu pada dua orang dihadapnnya.
Sang Nurarihyon dan ibu sang calon Nurarihyon selanjutnya.
"Aku belum pernah melihat keadaan Rikuo-kun seburuk ini."
Dengan teratur, tangan sang ibu bergerak mengganti kompres yang ada di dahi puteranya. Warna kulit putranya kali ini hampir bisa disamakan dengan pucatnya kulit mahluk yang sudah tak bernyawa. Yang membedakan hanya suhu tubuh Rikuo yang sangat panas.
"Apa mungkin karena kelelahan?"
Kali ini sang kakek yang berasumsi, komandan tertinggi para yokai itu tampak berpikir.
Lama, hening, semuanya tampak khawatir perihal keadaan tuan muda mereka. Setidaknya, sampai akhirnya yang menjadi pusat perhatian mulai membuka sepasang matanya. Begitu lemah….
"Merah…."
Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, tapi dengan sukses telah membuat semua orang dalam kamarnya bingung. Merah?
Suaranya begitu lirih dan lemah.
"Kau baik-baik saja, Rikuo-kun?"
Perlahan, kepalanya menoleh ke asal suara itu, suara ibunya….
"Unghh…."
Desahan ringan…, jawabannya begitu ambigu, tapi….
Yah... tanpa diberitahu pasti sudah terlihat dengan mata telanjang kalau keadaannya sangat buruk. Dengan wajah pucat dan suhu tubuhnya yang melampaui angka 39, bukan sesuatu yang terlihat sehat 'kan?
"Okaa-san, sudah menelpon ke sekolah dan memberitahu kalau kau tidak bisa masuk hari ini. ada yang kau inginkan?"
Rikuo menatap ibunya sendu, menggelengkan kepalanya pelan. Saat semuanya kembali menjadi gelap tadi...
Dia ingat….
…sesuatu yang… menyebabkan seluruh tubuhnya sakit….
…dan hal yang membuat dadanya seakan teriris-iris….
"Bisa... tinggalkan aku sendiri?"
Salah satu tangannya bergerak, menutupi wajahnya yang entah kenapa semakin pucat.
"Ta-tapi… Tuan Muda,An-…,"
"Baiklah, kalau itu maumu Rikuo. Kami akan meninggalkanmu sendiri."
Perintah seorang Nurarihyon adalah mutlak. Itu benar 'kan?
.
Sekarang… sendirian, entah apa hal itu yang membuatnya lega… atau ketakutan.
Ada rasa ketakutan besar yang kini melingkupi hatinya. Memori itu… hal yang membuat fisiknya seakan terhantam palu besi.
Menakutkan….
Tetasan bening mulai keluar dari matanya… mengalir begitu pelan melewati pipinya.
Itu cuma mimpi…kan?
Dia hanya bisa berharap.
Namun, kenyataan berkata lain padanya….
Di seberang sana, dalam rimbunnya kelopak pudar yang bercahaya… sebuah kilat menyambar penuh penyesalan, di dalam sepasang mata merah.
-TBC
A/N
Domo arigatou Kak Luna ^o^
Saya dapat banyak sekali pelajaran! Ne, berusaha sebaik mungkin untuk seterusnya!
Mohon bantuannya untuk semua. Saran, kritik, dan masukan selalu saya terima dengan senang hati.
.
Akhir kata,
Thanks for read and review please?
