Fear to Get Close, Brave to Keep The Distance
Pairing : 1827
Genre : Romance, Drama (mungkin)
Warning : BoyXBoy, Typo(s), bahasa campur aduk + melenceng dari EYD, alur tak menentu, OOC to the extreme, humor gagal, first attempt, dll
Disclaimer : Katekyo Hitman Reborn! punya Akira Amano. Andai saja punya saya, Hibari dan Tsuna sudah punya tiga orang anak :3 #berkhayal
A/N : Selamat pagi, siang, sore, malam, perkenalkan saya author baru plus reader baru kali ya. Maklum di fandom ini juga nggak lama jadi kemungkinan OOC-nya sangat tinggi c: Umm... karena ini produk baru harap dimaklumi kalau ceritanya susah dicerna ya :v
DLDR!
Selamat Menikmati!
.
.
.
Semua orang tahu, Hibari Kyoya bukan seorang penakut. Dari pada penakut, dia justru lebih tepat dijuluki sebagai penebar ketakutan. Tapi, belakangan ini ia mengalami hal ini juga, takut.
Yah, itu juga kalau orangnya mau mengakui hal itu sebagai takut. Hibari tak pernah gentar menghadapi apapun, dan fakta itu tak akan berubah. Sedemikian rupanya ia menolak perasaannya sendiri, lantas ia menamai perasaan yang orang lain sebut sebagai rasa takut itu dengan sebutan terganggu.
Ya, menurutnya ia sedang terganggu oleh 'sesuatu'. 'Sesuatu' itu sebenarnya membuatnya sedikit... was-was, khawatir, resah, cemas, gelisah, galau dan kawan-kawannya. Yang terpenting kesampingkan kata takut. Lalu, apa yang membuat pemuda berambut hitam ini terganggu? Jawaban dari pertanyaan itu selalu muncul ketika ia tertidur.
Mimpi.
Sejak kepulangannya dari masa depan, banyak hal yang ia mimpikan. Salah satunya adalah mimpi yang tak menyenangkan; yang entah kenapa selalu bersinggungan dengan 'orang itu'. Awalnya ia tak mau menggubrisnya. Tapi, lama kelamaan mimpi itu seolah berubah menjadi nyata. Terus berulang pada adegan yang sama, seperti memperingatkannya akan kejadian yang akan datang.
Mimpi yang persisten itu selalu berisi tentang Sawada Tsunayoshi. Entah dengan cara apa dan bagaimana, akhir dari mimpi itu selalu sama. Kematian.
Dari hari ke hari. Perlahan demi perlahan. Adegan terbunuhnya sang decimo itu semakin mengganggu ketentraman batinnya. Terlebih mengetahui bahwa dia 'pernah' mati di masa depan yang mereka kunjungi beberapa waktu yang lalu, membuatnya mau tak mau akhirnya memikirkannya juga.
'Bagaimana jika sebentar lagi ia benar-benar akan mati?'
Pemikiran yang bersifat keherbivoreran itu sempat ada, mengusiknya, dan sangat mengganggu bak sebongkah benalu. Ingin ia singkirkan perasaan tak berguna itu segera. Seandainya bisa semudah berkata, hama itu pastilah sudah sirna bahkan sebelum tulisan tentangnya ada.
Yang terakhir. Mengacu pada saran 'Jika anda tak bisa berhenti bermimpi buruk tentangnya, maka buatlah mimpi itu berakhir dengan indah' dari Kusakabe, Hibari hanya memincingkan satu alisnya kala itu, tak mengerti maksud dari wakilnya.
Setelah mengerti pun hasilnya tak jauh berbeda ...
Seminggu lamanya ia mencoba ini dan itu demi membuat mimpinya happy ending. Mulai dari mendisiplinkan para pelanggar hukum sampai menghajar mereka sebagai hukuman. Astaga Hibari... , itu sama sekali bukan usaha 'ini dan itu', itu cuma usaha pelepasan stres. Akhirnya sama saja kan?
Sebagai buah dari waktu yang terus berjalan, perasaan terganggu itu tak mampu dielakkan; semakin matang dan siap untuk dipanen, sebelum membusuk dan berubah menjadi parasit yang menyerap kewarasannya.
Yang terakhir. Ia bersumpah ini adalah yang terakhir kali baginya melakukan hal yang tingkat keOOCan nya diluar batas kewajaran. Setelah bermeditasi bersama tonfa kesayangannya, ia memilih cara ini sebagai langkah frontal. Menguntit eh bukan mengawasi. Demi memastikan bahwa lain kali mimpinya akan berakhir dengan indah, ia -secara diam-diam- mengawasi si brunet dari jarak jauh, memastikan keadaannya dan bergerak ketika ia terdesak.
Kalau sudah begini ia tidak takut little animal itu kenapa-kenapa, bukan? Ia cuma merasa terganggu kok. Dan satu-satunya cara membuatnya lega adalah dengan menguntit- err mengawasinya. Dan hanya dalam tiga hari, Hibari menghentikan kekhilafannya(?).
Bukan karena ketahuan menguntit anak orang dan reputasinya hancur karena berita itu, lantaran karena alasan sepele yang sering ia jadikan sebagai motivasi untuk menghukum tukang gosip yang sering bergerombol. Apalagi kalau bukan karena terlalu banyak manusia berada pada satu titik yang sama.
Demi warna rambut Alaude yang katanya pirang, Sawada Tsunayoshi selalu dikerumuni oleh lautan herbivore pembawa masalah. Tidak di sekolah, tidak di rumah, tidak di Game Center, tidak di Take-Sushi, tidak di pusat kota, semuanya penuh dengan keramaian. Pelipis Hibari tidak sanggup menampung perempatan otot yang sudah antri untuk menampakkan diri. Terlalu ramai. Terlalu berisik. Hibari tidak menyukai itu. Tidak, Hibari benci itu.
Dan apa yang dapat ia petik dari pengalaman luar bisa yang baru saja ia alami beberapa hari ini? Bukannya berakhir dengan indah, mimpinya malah berkesan makin menyesakkan dada. Perasaan terusik itu justru tumbuh kian meliar dan menuai cabang-cabang perasaan baru lainnya. Berat rasanya jika harus mengemban perasaan asing yang muncul sekaligus. Dari segala ketidakpastian itu ada satu hal yang terasa jelas bagi Hibari. Pada dasarnya lintasan awan memang berada di langit. Dia memang telah terpikat.
Dengan apa? Bagaimana bisa? Sejak kapan?
Mungkin ia tertarik akan aksi kocak Tsunayoshi yang sama sekali tak lucu dan malah terkesan menderita. Entah dengan berjuta ekspresi yang mampu ditunjukkan oleh wajah manis serupa permen kapas. Lembut untuk di makan. Manis untuk dijilat... -ah, lupakan-, atau karena perkembangannya yang melonjak drastis?
Si pemilik armband bertuliskan Fuuki Iinchou itu sama sekali tak tahu dan tak mau tahu. Hibari sudah muak. Pikirannya kacau. Ia butuh jeda.
Hibari menikmati waktu senggangnya di atap sekolah. Setelah selama tiga hari berjibaku melawan alergi publik, boleh kan ia menikmati imbalannya dengan bermala-santai-ria, sekalian meredakan efek gatal-gatal yang katanya akan muncul jika terlalu lama bergerombol.
Hibari menatap langit dengan warna matanya yang ambigu yang bersinar karena cahaya matahari. Hari ini ia melarang dirinya untuk tidur siang, sedang tak ingin melihat hal yang sama berulang kali. Namun, kejadian melelahkan akhir-akhir ini menguras tenaganya, sebelum sempat mencegahnya ia sudah terlelap.
Hibari berdiri di ujung koridor. Lorong yang luas, gelap dan dingin, cocok sebagai tempat persembunyian mafia. Di sana sunyi, di sini sunyi, tak ada bunyi-bunyian berarti selain suara langkah kaki yang dihasilkan oleh sepatu bermerk milik Hibari, cocok seperti tempat persembunyian mafia. Tiba di depan sebuah ruangan berpintu megah; terdiri dari dua sisi pintu, seperti mengikuti skenario, Hibari membuka pintu itu tanpa ragu. Tak ada satu hal pun yang tak wajar di ruangan itu. Baik pistol yang terarah tepat di kening seorang pemuda dan si penodong yang berwujud siluet gelap tanpa paras, semua pemandangan itu tampak wajar; setidaknya di dunia mafia. Hibari bak tersihir melihat adegan itu, jika bukan karena sosok berambut coklat yang begitu familiar, ekspresi datarnya pasti masih setia melekat di wajah tampannya. Sialnya, sebelum Hibari meraih kesadarannya suara tembakan peluru lebih dulu membangunkannya. Bersamaan dengan kalimat laknat yang keluar entah dari mulut siapa dan dari mana; ibarat seorang narator, "Kau terlambat. Selamanya, dia tak akan pernah menjadi milikmu.". Tubuh kecil yang Hibari analisa sebagai Sawada Tsunayoshi itu jatuh di lantai dengan berjuta sel darah merah mengalir dari kepalanya. Menjalari tubuh yang telah menjadi mayat. Tanpa menunggu adegan selanjutnya, ruang TKP itu kini terbungkus oleh kegelapan, meninggalkan beberapa titik cahaya yang semula menghiasi berbagai sudut ruangan. Dan ...
...
...
Iris karamel beradu dengan kobalt.
"Hiiiiiieeeee!"
Suara teriakan khas seseorang meyakinkan Hibari bahwa ia telah kembali ke realita.
"Sawada Tsunayoshi.. ", sapa Hibari sedikit geram.
Belum juga nyawanya utuh kembali ke wadahnya, ia sudah disuguhi oleh teriakan yang memekakkan telinga. Sungguh kepalanya terasa pusing sekarang.
Hibari memijat keningnya seraya mendudukan diri, kepalanya ia torehkan ke arah pemuda yang jatuh terduduk ketakutan disampingnya. Tsunayoshi bergidik ngeri dengan tatapan tak menyenangkan yang baru saja ia terima. Ia menelan ludah gugup, dalam hati ia berdoa bukan dia yang membangunkan sang Skylark dari tidur siangnya.
"G-g-g-g-gomen-gomennasai, H-Hibari-san!", Tsunayoshi bersujud meminta maaf dengan extreme.
"A-aku t-tidak be-bermaksud mem-membangunkanmu! Se-sewaktu k-kami k-kemari.. u-u-untuk m-makan si-siang.. (glup) A-aku m-melihat H-Hibari-san ti-tidur.. t-tapi, k-kau ti-tidak b-b-bangun ka-karena k-keributan ka-kami.. ku-kupikir i-itu.. (glup) a-a-aneh.. l-lalu, a-aku me-mengecek a-a-apakah H-Hibari-san m-m-masih hi-hidu- eh bu-bukan m-ma-maksudku a-aku.. a-aku... (glup) a-aku.. ugh.. a-a-a-a-ku...", disini Tsunayoshi menghentikan kalimatnya yang berantakan -karena kombinasi rasa takut dan panik-. Lantaran ia menyadari adanya perubahan pada bayangan hitam yang menimpanya. Tsunayoshi mendongakkan kepalanya.
Di depannya Hibari sudah menyamankan dirinya dengan sepenuhnya menghadap Tsunayoshi. Dengan alis saling mengait, bibir yang melengkung ke atas, tak ketinggalan tatapan maut yang seolah siap menerkam mangsanya. Siapa pun akan salah sangka dalam menerjemahkan ekspresinya, bagi Hibari sendiri ia hanya mengalami sedikit masalah dalam memahami perasaannya.
"Kau mau mengecek apakah aku sudah mati atau belum?", ekspresinya masih sama.
"I-iya... eh.. bu-bukan.. A-aku-H-Hibari-san-i-i-i-itu-a-aku-mmmmpphh"
Tsunayoshi mengerjapkan matanya berkali-kali, meminta kejelasan dari kelakuan Cloud Guardian-nya. "Hentikan cara bicaramu yang tak enak didengar itu, herbivore.", Hibari membekap mulut Tsunayoshi.
Tsunayoshi menganggukkan kepalanya ketika mendengar perintah Hibari. Tidak ada pilihan lain selain menurut, selepas Hibari menarik tangannya, ia hanya terdiam; tak ingin kepergok melakukan kesalahan yang sama.
...
...
Hening..
Keringat dingin yang mulai bercucuran -khusus untuk Tsunayoshi-, terik sinar matahari dan bunyi bel yang berkumandang di saentero sekolah diabaikan oleh keduanya. Baiklah, mungkin hanya Hibari. Tsunayoshi tak tahu harus bertingkah bagaimana, bukannya salah tingkah... ya, mungkin sedikit salah tingkah mengingat dirinya saat ini terjebak dalam situasi yang menggetarkan dada.
Bukan. Bukan yang itu, bukan karena getar cinta sang Skylark, melainkan getir ujian hidup yang harus diterimanya lewat tatapan panas pemuda di depannya. Terlalu panasnya sampai peluhnya berhamburan keluar dari pori-pori di kulitnya. Tsunayoshi yakin jika ia menatap mata itu langsung, bukan hanya keringat yang keluar, namun cairan lain juga akan ikut mengalir keluar. Seperti darah misalnya. Bulu kuduk Tsunayoshi meremang, ia tak ingin menatap balik sang carnivore yang bisa saja diinterpretasikan sebagai tindakan menantang balik.
'A-apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa dia hanya diam menatapku? Ba-bagaimana ini?! Jangan-jangan aku akan dikulitinya hidup-hidup dan dijadikan makanan Hibird?! Hiiiiiiiieeee?! Tidaak! Aku masih ingin hidup... Seseorang tolong aku...', ratap Tsunayoshi dalam hati, melupakan fakta bahwa Hibird bukan pemakan daging manusia.
Antara lantai beton dan Hibari adalah kombinasi terburuk yang saat ini mengapit Tsunayoshi. Sebenarnya jika Tsunayoshi mau berpikir sedikit positif, ia tidak seperti terperangkap di keduanya. Hanya saja sorot mata tajam itu terus mengintai, mengubur semua celah dan mengurungkan niatnya untuk kabur. Lagipula, dengan keadaan sekujur tubuhnya yang masih gemetar ketakutan, sekali pun berhasil melarikan diri tak butuh waktu lama ia pasti tertangkap. Tsunayoshi mulai menyerah.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merindukan kelas serta guru dan teman-teman yang gemar sekali menjahilinya. Ingin sekali saja, ia merasakan menjadi murid teladan yang disiplin waktu dan tak terlambat masuk ke kelas. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Ayolah Tsunayoshi berhentilah berpikir bahwa ini adalah akhir dari hidupmu...
Kesadaran diri yang temporer ini tak lepas dari usaha sang ketua komite kedislipinan yang sebelas dua belas dengan teror itu. Dan Tsunayoshi masih berharap bahwa teror -emm usaha Hibari masih berlaku saat ini, di mana normalnya ia akan menyuruh Tsunayoshi segera masuk ke kelasnya untuk menghadiri pelajaran selanjutnya, yang otomatis akan membebaskannya dari cengkraman carnivore. Tapi, dinding harapannya runtuh ketika kyojin menyerang...
Ralat; Tapi, dinding harapannya runtuh ketika melihat Hibari menutup rapat mulutnya.
Bel tanda selesainya jam istirahat makan siang kini seakan menjadi mitos. Rasa lega karena mendengar bunyi bel tinggallah kenangan.
'Ini semua salahku... Seharusnya aku tak mengikuti kata hatiku... Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Gokudera-kun untuk mengabaikannya... Semua salahku.. sampai aku harus terjebak dalam situasi berbahaya ini... Aku ingin segera pergi dari sini... Kenapa juga dia tidak menyuruhku pergi padahal sudah bel sejak tadi?', ratapnya semakin menjadi-jadi.
Tsunayoshi heran, kenapa Hibari melewatkan bunyi sakral bagi setiap anggota disipliner, menyuruhnya diam, dan kini tak ada tanda-tanda dari Hibari untuk memulai percakapan sama sekali. Hening di antara keduanya, memunculkan berbagai pikiran negatif di pihak yang lebih muda.
'A-pa mungkin dia tidak mendengarnya ya?', untuk pertama kalinya Tsunayoshi berpikir positif, melengkapi tekadnya untuk mengingatkan sang Skylark.
Demi keluar dari penderitaan batin ini, Tsunayoshi memberanikan diri untuk merespon. Namun, lagi-lagi Tsunayoshi dipaksa menelan ludahnya sendiri, tak bisa mengelakkan perasaan yang menggedor-gedor dadanya. Pikiran positif itu kini hanyut terbawa arus kepanikan dan kegugupan. Semua orang pasti akan merasakan hal yang sama jika berada di posisinya.
Tsunayoshi baru saja menyadari sesuatu. Sejak tadi tanpa suara Hibari terus menatapnya lekat dengan pandangan tanpa ekspresi, sesekali matanya yang tajam menerawang gerak-gerik pemuda di depannya seolah sedang memeriksa kualitas barang yang akan dibelinya. Suasana seperti itu buruk bagi kesehatan jantung Tsunayoshi. Terlebih mata bulat karamelnya disuguhi oleh paras Hibari yang kau-tahu-bagaimana. Tsunayoshi memang sadar betul jika ia telah menjadi objek penglihatan Hibari, namun siapa sangka sorot mata yang ia pikir sedang menatapnya kesal justru jauh berbeda dari bayangannya. Meski raut itu tak memancarkan suatu perasaan apapun, itu sangat jauh lebih baik dari pada melihat Kyouya Hibari berwajah murka.
'Hiieee!', Tsunayoshi berteriak dalam batinnya saat pandangan mereka bertemu tanpa sengaja.
Ia mengalihkan sorot matanya ke lantai, menemukan wajahnya yang bersemu merah setelah menyimpulkan bahwa sosok di depannya tergolong dalam jajaran pria tampan idola sekolah.
Jika saja sang ketua komite kedisiplinan itu tak memiliki kebiasaan kasar mungkin ia akan populer di kalangan murid perempuan. Dan sekarang ia mengutuk pemikiran barusan. Sungguh sangat tidak manly sekali mengatai laki-laki yang notabene sejenis dengannya dengan sebutan tampan. Tapi, kenyataannya memang begitu kan? Batin Tsuna berselisih.
Selagi Tsunayoshi sibuk dengan lamunan kecilnya dan mulai acuh pada keadaan sekitar. Hibari mengambil kesempatan itu untuk mengobservasi lebih lanjut ekspresi pada wajah Tsunayoshi. Lebih cermat dari sebelumnya. Sumpah untuk yang terakhir kali ia bersikap seperti bukan dirinya terlupakan sudah.
Demi rambut pirang Giotto yang serupa dengan Na****ze Mi**to. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan oleh si brunet ini? Semua itu masih menjadi misteri di benak Hibari. Bagaimana ekspresi itu terus berubah setiap detiknya dari ketakutan, kaget, gugup, malu, lalu tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menutup matanya, menggigit bibirnya, serta menatapnya dengan pandangan memohon.
'Herbivore ini benar-benar ekspresif', Hibari berpikir.
Sebutir senyum hinggap di bibirnya. Tsunayoshi yang menyadari senyum itu tertegun sesaat. Hibari tersenyum? Itu berarti ada sesuatu menarik yang menangkap perhatiannya dan sesuatu menarik yang menangkap perhatiannya dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan dan mengandung kekerasan. Jadi, bisa diartikan senyum itu semacam seringai bagi orang yang menjadi korbannya. Semenjak Hibari bukan orang ramah yang suka menebar senyum.
"Hn. Aku mengerti sekarang", katanya setengah berbisik.
Hibari mendekatkan jarak di antara mereka, berkat gerakan kedua tangan serta kakinya yang kini bertugas untuk menumpu berat badan menyebabkan tubuhnya terdorong ke depan, jurang batasan pun semakin lenyap.
Tsunayoshi terlonjak kaget, ia nyaris jatuh ke belakang jika sikunya tak berhasil menopang hentakan dadakan itu. Hibari memang pemuda yang jalan pikirannya susah ditebak. Dan semua tindakkannya selalu ia lakukan tanpa aba-aba terlebih dahulu. Andai kecepatan Tsunayoshi dalam gerak refleks seburuk nilai ujiannya, maka mereka berdua akan mendapatkan first kiss hari ini juga.
Karena pemikiran seperti itulah wajah Tsunayoshi kembali memerah seperti warna buah apel milik salah satu dewa kematian. Dan warna itu menyebar hampir menutupi daerah wajah ketika menyadari posisinya dengan Hibari. Sungguh ia tidak sedang berpikiran yang aneh-aneh, tetapi posisi mereka juga tidak wajar. Benar-benar melampaui batas privasi. Tsunayoshi yakin, seseorang seperti Hibari tak menyukai hal-hal berbau intim selayaknya membenci sekumpulan orang yang berkerumun.
Mereka bilang ini posisi yang menjanjikan. Memang menjanjikan... menjanjikan patah tulang di sekujur tubuh, iya...
Meski begitu bukan kah Hibari duluan yang tiba-tiba merangkak ke arahnya dan hampir mengeliminasi jarak di antara mereka. Jadi, sepenuhnya ini bukan salahnya, kan? Tsunayoshi bertanya-tanya.
"Kenapa menjauh?"
"Huh?"
Sebuah kalimat tanya memecah konsentrasi Tsunayoshi dalam pencariannya mencari alasan dari tindakan Hibari yang tak biasa.
"Apa aku harus mengulang kalimatku setiap kali bicara denganmu, Sawada Tsunayoshi?"
"Ti-tidak.. Ma-maaf, H-Hibari-san..." Tak ada kepuasan dalam jawaban berbelit itu. Pada akhirnya Hibari mengulang kalimatnya, "Kubilang 'kenapa menjauh?'"
"A-apakah Reborn melakukan se-sesuatu padamu, H-Hibari-san?". Wajahnya kini terlihat khawatir.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku dan sekarang kau balik bertanya? Kau sungguh berani rupanya", Hibari terlihat tidak senang.
"B-bukan begitu... maksudku aku hanya tidak mengerti apa yang Hibari-san bilang mengerti. Dan sikap Hibari-san yang sekarang seperti bukan Hibari-san yang biasanya. J-jadi kupikir Reborn melakukan sesuatu padamu..", Tsunayoshi menjelaskan, berusaha menghilangkan kegagapannya. Tak ingin benda sekeras besi menghantam bagian tubuh manapun.
Hibari semakin tidak senang dengan pernyataan Tsunayoshi. 'Bukan aku?', Hibari bertanya dalam pikirannya.
Remaja bersurai hitam itu menarik diri, menegakkan tubuhnya hingga berdiri tegap di depan remaja satunya. "Aku pikir juga begitu..", ia terlihat berpikir, menerawang ke arah angkasa. "Dan ini semua karena kau", lanjutnya ketika iris tajam itu kembali pada sosok yang masih terduduk di hadapannya.
Nyalinya semakin menciut saat Hibari menatapnya intens. Namun, pandangannya berubah ketika cahaya matahari dengan usil menerobos sela-sela rambut Hibari, memberikan efek bayangan yang mengagumkan. Dan sekali lagi Tsunayoshi terpana pada pemandangan di depannya.
Sedikit hembusan angin menerpa keduanya, membangunkan Tsunayoshi yang sedetik kemudian menundukkan kepalanya menggumamkan kata, "Maaf".
Kedua alis Hibari bertaut, "Kau tahu jika kau telah membuatku marah, Sawada Tsunayoshi?"
Yang masih menunduk itu menganggukkan kepalanya lemah. "Kau tahu kenapa aku marah?"
Tsunayoshi terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. "Itu karena kau bodoh"
Tsunayoshi sedikit tersentak, walaupun Hibari hobi sekali meng-kamikorosu-nya, tapi ia tak pernah mengatainya 'bodoh'. Baru kali ini Hibari mengklasifikasikan seseorang berdasarkan kepandaian otaknya dan bukan berdasarkan kekuatan.
'B-bodoh?!', Tsunayoshi ingin menyanggah kata itu, namun beberapa faktor menghalanginya.
"Kau tak tahu apa yang kumengerti dan kau juga tak tahu kenapa aku melakukan... hal semacam itu?", mata Hibari menyipit.
Sementara dalam hati, Tsunayoshi ingin sekali membalas penuturan Hibari yang seolah mengejeknya itu. 'B-bagaimana aku bisa mengerti?! Yang kau lakukan cuma diam dan menatapku!', ia heran dengan tingkah laku Cloud Guardian-nya yang antik itu.
Hibari menghela nafas sejenak. Seakan bisa membaca pikiran Tsunayoshi, ia kemudian berkata, "Aku tak akan mengulanginya, jadi camkan baik-baik dalam otak kecilmu itu, herbivore"
Tsunayoshi hanya mengangguk sebagai balasan.
"..."
"..."
Tsunayoshi melirik ke arah Hibari ketika mendapati Hibari yang tak kunjung bicara juga. Dengan sabar Tsunayoshi menanti sampai akhirnya Hibari membuka mulut, "Apa aku harus menjabarkan setiap tindakanku dalam bahasa yang bisa kau mengerti? Merepotkan", gerutunya dengan kesal.
"A-ano... Ji-jika Hibari-san keberatan tak perlu dijelaskan juga tidak apa-apa a-akan kucoba mengerti..", ucap Tsunayoshi takut-takut.
Hibari memandang balik Tsunayoshi yang kini tengah mencoba berdiri tegak, menyamainya. "Dengan tingkat kecerdasanmu itu, selamanya kau tak akan pernah tahu jika tak kuberitahu", Hibari melipat kedua tangannya didepan dada.
'Jahatnya!', pikir Tsunayoshi kesal.
Seketika mimik Hibari berubah serius, pandangannya lurus ke arah pemuda penakut di depannya. Tangannya ia biarkan bergelantung di kedua sisi tubuh tegap itu. 'Aku tidak tahu perasaan menyebalkan apa ini, tapi...', pikirnya sebelum jeda ia berikan.
"H-Hibari-san?", Tsunayoshi bingung dengan perubahan suasana yang berubah serius.
.
.
.
.
"Kau. Herbivore. Jadilah milikku."
"Haa?", si brunet berasa linglung sejenak. Ia menundukkan kepalanya untuk berpikir. 'Apa maksudnya jadilah milikku? Memangnya aku ini barang?', kemarahannya hendak memuncak -karena disamakan dengan barang-, namun terhenti oleh sekelebat ingatan tentang sebuah drama percintaan yang ditonton Bianchi dan ibunya kemarin. Sungguh kata-katanya mirip sekali, tanpa 'herbivore' tentunya.
Sebuah asumsi dadakan menghantam pikirannya. Ia ingat moment itu, dimana kedua protagonis saling menyatakan cinta dan membuat kedua insan yang sedang menonton menangis terharu. Awalnya ia hanya mengira Bianchi dan ibunya bersikap berlebihan, sebuah penyataan cinta tak mungkin sedramatis itu. Well, ia pernah merasakan bagaimana rasanya menyatakan cinta pada gadis yang disukainya (Kyoko) dan tentu saja berakhir... ironis. Sejak saat itu ia yakin ia adalah tipe pria yang susah mendapatkan jodoh.
Tetapi, hari ini. Dari sekian hari penuh kesialan dan siksaan Reborn, Hibari memilih hari ini untuk...
'J-j-j-j-j-jangan ini... p-p-p-p-pe-pe-per-pernyataan cinta?!', memikirkannya saja membuat bulu kuduk Tsunayoshi berpesta dansa diatas kulitnya yang lembut. Detak jantung Tsunayoshi meningkat drastis, wajahnya hampir saja dihiasi warna merah dengan sempurna.
"Herbivore", sapaan yang mengandung unsur ketidaknyamanan dan ketidaksabaran itu membangunkan Tsunayoshi dari lamunannya.
Lantas dengan ekspresi yang dengan jelas menyuarakan 'yang benar saja?! Ini tidak mungkin?! Kau bohong kan?! Kau pasti bercanda kan?!' beserta ungkapan-ungkapan lain yang memiliki makna yang sama. Tsunayoshi memandang Hibari dengan gerakan seperti robot usang yang membutuhkan minyak pelumas.
'T-tunggu?!', Tsunayoshi mengerem kepalanya sebelum pandangannya jatuh pada sosok si prefek. 'Bercanda? Y-ya dia pasti sedang bercanda! Pasti begitu! B-bagaimana ini padahal candaanya sama sekali tidak lucu, masak aku harus tertawa juga sih... Ah, biarlah tertawa saja! Yang penting nyawaku selamat!'
"Ha..ha..", mata Hibari mendelik.
"Haha..ha"
Sebelah alis Hibari memincing, entah heran entah curiga dengan gelagat Tsunayoshi yang aneh.
Sedetik kemudian suara tawa mengisi ruang kosong di antara mereka, merusak suasana yang sudah susah-namun-tidak-payah Hibari buat. Tak tahukah Tsunayoshi bahwa Hibari SELALU SERIUS. Lupakah ia bahwa Hibari ANTI TERTAWA. Atau ia mulai pikun tentang kepribadian Hibari yang TAK SUKA BERCANDA. Mungkin rasa takut telah mengusai otaknya.
"Hahahaha! Lucu sekali Hibari-san, aku tidak tahu apa yang Reborn lakukan padamu. Tapi, aku tak menyangka jika Hibari-san bisa bercanda seperti itu! Hahaha", kata Tsunayoshi di tengah tawanya. Berani menertawakan Hibari, tentu keberanian Tsunayoshi sudah kembali dari tempat peraduannya. Apa boleh buat ia masih sayang nyawa, meski apa yang ia lakukan justru bertolak belakang dengan tujuannya.
"Aku tidak bercanda"
Oops. Wajah Tsunayoshi memucat. Tawanya berhenti dalam sekejap. 'Matilah aku', ratapnya dalam hati.
"Dan ini tak ada hubungannya dengan bayi itu", tambahnya.
Tsunayoshi mulai kehilangan daya. Tak tahu harus berbuat apa. Jika semua yang ia katakan bukanlah lelucon itu artinya ia menertawakan sesuatu yang tak patut ditertawakan. "Ehh.. Umm.. J-jadi.. Ugh.. M-maaf.. K-kupikir Hi-"
"Kau menganggap perasaanku sebagai lelucon?", sela Hibari. Matanya sudah menyipit tajam, setajam silet(?). Jelas ada rasa amarah bertengger dalam iris itu. 'Kau benar-benar sesuatu, Sawada Tsunayoshi. Kau membuatku kepayahan menghadapi mimpi semacam itu. Lewat mimpi menjengkelkan itu juga kau memaksaku mengakui keinginanku untuk memilikimu. Dan sekarang kau membuang pengakuanku begitu saja?', suasana hati Hibari kian memburuk dengan pemikirannya itu.
"A-aku tak bermaksud seperti itu... T-tapi, Hibari-san aku ini laki-laki dan kau pun juga begitu. Mana mungkin kau dan aku...", wajah Tsunayoshi memerah, tak mampu menyelesaikan kalimatnya setelah bayang-bayang bagaimana seharusnya dua sejoli berpacaran hinggap di otaknya.
"Cukup."
Suara baritone Hibari mengagetkan Tsunayoshi, meski nadanya yang terkesan kasar lebih mengagetkannya. Rasa bersalah sekarang menghantui pemilik mata sebesar biji cemara itu.
"I'll bite you to death."
"Hiiiiiiiiiieeee?!"
Nyatanya ia tak pernah selamat dari tonfa milik Hibari.
Sawada Tsunayoshi has failed.
*Sensor*
"Lupakan saja", kata Hibari singkat setelah puas menghajar Tsunayoshi
"Eh?", pandang Tsunayoshi penuh tanya di balik sebelah matanya yang lebam.
Hibari terdiam sejenak, kemudian berpaling memunggungngi Tsunayoshi. "Lupakan apa yang kukatakan tadi."
"Eh, t-tapi-"
Sebuah tatapan penuh kengerian menghujani bola matanya. "Hiiiieee! B-baik!", kata Tsunayoshi kemudian, menurut.
"Hn. Sekarang pergi sini. Atau I'll bite you to death."
Melihat tonfa itu teracung kembali padanya. Tak ada hal lain yang bisa Tsunayoshi lakukan selain berteriak dengan teriakkan khasnya sembari berlari terbirit-birit menyelamatkan diri. Suara tertutupnya pintu yang menyambungkan lantai bawah dan atap sekolah terdengar setelahnya.
Tsunayoshi masih berdiri mematung dibalik pintu, "Bagaimana... aku bisa melupakannya..", gumam pemuda Sawada itu seraya menutup sebagian wajahnya dengan lengan kanannya.
Dalam sudut hatinya yang paling dalam ada rasa keyakinan bahwa suatu saat nanti apa yang terjadi hari ini merupakan akar dari masalah yang akan menimpanya esok hari. Meskipun demikian, untuk sementara ia tak bisa melakukan sesuatu dengan gegabah, tidak tanpa kemantapan hati yang mendasari. Seperti apa yang telah Reborn ajarkan padanya.
Sementara di atap sekolah...
'Apa yang sudah kulakukan', pikirnya sedikit meradang. Hibari mencoba merebahkan badannya. Ia masih kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Meski mimpi itu mengganggu, tak ada jaminan ia akan berhenti mengganggu jika Vongola Decimo menjawab 'Iya'. Lalu, kenapa ia menginginkan jawaban itu dari si brunet?
Lagu mars Nami-chuu tiba-tiba terdengar, menandakan kedatangan sesosok burung kecil bewarna kuning. Tak lama, burung itu hinggap diatas kepala Hibari seolah menyarankan majikannya untuk mengistirahatkan dirinya sejenak. Hibari memejamkan matanya, tak peduli lagi pada apapun yang datang mengganggunya setelah ia terlelap nanti. Masa bodoh dengan itu.
Sebegitunya kah ia takut kehilangan sampai ingin memiliki. Tak logis. Benar-benar tak mengandung logika sama sekali. Jika ia takut kehilangan sudah sewajarnya kan bila sejak awal ia tak perlu memiliki apapun?
.
.
TBC?
Review?
