Chapter 1

"Kau tidak harus jadi orang yang terkenal kalau kau ingin disayangi," anak lelaki berambut biru tersenyum sambil membersihkan tempat duduk yang akan ia duduki.

"Kenapa?" sang rambut merah bertanya pelan.

"Aku yakin masih ada orang yang menyayangimu walau kau tidak terkenal."

"Hmph. Menarik. Manusia bersosialisasi hanya berdasarkan karir dan kekayaan."

"Tidak selalu! Kau hanya membutakan matamu untuk melihat dunia yang sebenarnya!"

"Oh ya?"

"Terserahmu saja. Aku harus pergi sekarang."

"Secepat itu? Kita belum memberikan salam perpisahan yang nyata."

Dia hanya tersenyum, dan memperbaiki posisi sialnya.

"Selamat tinggal, Karma-Kun..."

"..." Sang rambut merah tak menjawab. Si rambut biru menghela napas. Dia melepas syal birunya dan melipatnya rapi tepat di pangkuan si rambut merah, lalu berlari pergi.

"Selamat tinggal, Nagisa..." Sang rambut merah baru berucap ketika teman bicaranya menghilang dari pandangan.


Karma menutup kembali kotak kecil berisi beberapa kenangan semasa kecilnya dan menyimpannya di laci. Sudah 9 tahun terlewat semenjak dia bertemu dengan anak laki-laki yang menjasi teman satu-satunya saat itu. Dan sudah 6 tahun terlewat semenjak Karma berpisah dengannya.

Menghela napas, Karma mengeratkan mantelnya, mengambil tas dan berjalan pelan ke luar rumah menuju sekolahnya.

"Karma! Selamat pagi!" seorang gadis berambut pirang menyapa Karma hangat. Berkebalikan dengan cuaca saat ini yang cukup dingin. Tentu saja, karena bulan ini sudah mulai memasuki musim salju.

"Pagi Rio. Ada apa dengan tasmu? Hari ini hanya 12 jam pelajaran. Tapi tampaknya kau seolah-olah membawa untuk 16 jam pelajaran." Karma bertanya pada teman dekat pirangnya. Karma bukan orang yang mudah bersosialisasi. Tapi mungkin dia termasuk beruntung. Dulu ketika kecil, dia memiliki seorang anak lelaki berambut biru yang menjadi teman terdekatnya. Dan ketika dia memasuki masa remaja, Karma memiliki teman perempuan berambut pirang yang ceria dan aktif sebagi satu-satunya teman dekat.

"Tebak sekarang hari apa?" Rio bertanya histeris. Karma memutar bola matanya.

"Hari Kamis. Besok hari terakhir sekolah untuk Minggu ini. Surga, aku datang," Karma hanya menjawab dengan nada cuek. Rio tersenyum, sudah hafal dengan sikap teman berambut merahnya.

"Hari ini hari ulang tahunku! Aku membawa beberapa kartu undangan pesta dan beberapa kue stroberi untuk teman-teman spesialku. Kau tahu siapa maksudku, dan kau tahu kau termasuk di dalamnya. Ini. Aku membuat kue ini dengan jari-jari lentikku sendiri!" Rio meletakkan sebuah kue spon stroberi di tangan Karma sekaligus sebuah kartu undangan. Karma tersenyum kecil.

"Terimakasih kalau begitu."

"Sama-sama. Aku tahu kau suka stroberi, karena itu aku membuatnya menjadi kue stroberi. Aku ingin berjalan ke sekolah bersamamu, tapi aku masih punya lima orang untuk kue stroberi spesialku. Jadi, maafkan aku. Tenang saja, kuenya tidak beracun! Sampai nanti!" Rio berteriak melambaikan tangannya. Karma tertawa sambil balas melambaikan tangannya.

Rio seorang gadis yang ramah dan baik. Walau bisa usil sesekali. Dia benar-benar teman yang baik yang mana Karma menganggapnya sebagai orang yang paling berharga dalam hidupnya. Setelah Nagisa, tentu saja.

Karma menghela napas berat sambil menyimpan kuenya di saku. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Nagisa dalam hidupnya. Tak ada dan tidak akan pernah ada. Sudah lewat 6 tahun, dan hingga sekarang Karma masih belum bertemu dengan teman birunya.

"Karma-Kun! Selamat pagi!"

Karma menoleh dan mendapati seorang lelaki yang tampak lebih pendek sekitar sekitar 3 cm darinya berdiri. Karma tersenyum.

"Pagi-pagi sudah melihat seorang ikemen berdiri dihadapanku. Lihat betapa beruntungnya aku hari ini. Selamat pagi juga. Kau berangkat agak siang hari ini. Ada apa?"

Yuuma tertawa kecil dan berjalan disebelah Karma.

"Yah, terjebak di rumah Hiroto. Dia sakit. Dan kau sendiri juga berangkat sedikit lebih pagi hari ini. Bermimpi sesuatu yang buruk atau apa?"

"Yah, kurang lebihnya begitu. Aku tidak tahu pasti haruskah itu disebut mimpi buruk. Tapi kalau kau bertanya tentang mimpi indah, itu sama sekali bukan mimpi indah. Mungkin lebih seperti, nostalgia dengan orang tersayang?"

"Woah! Kupikir itu mimpi buruk. Kau berpisah dengannya?" Yuuma bertanya sambil melipat tangannya. Karma mengangguk. "Kalau begitu, aku anggap itu sebagai mimpi buruk. Kau tidak apa?" Lagi, Karma hanya mengangguk.

Tak lama kemudian mereka sampai di kelas mereka yang berada di gunung. Suasana kelas masih sepi karena kelas baru dimulai pukul 08.00, sementara sekarang baru pukul 07.30. Biasanya kelas akan ramai pada pukul 07.45.

Sambil menatap salju yang mulai berjatuhan, Karma meminum susu stroberinya perlahan. Bosan dengan salju, Karma mengalihkan perhatiannya ke kelas. Rio tampak mengobrol riang bersama Kaede, Yukiko, Yuuma, Hinano, dan Yada. Biasanya Hiroto dan Sugino juga ikut dalam grup tersebut, tapi seperti yang sudah diketahui. Hiroto sakit, sementara Tomohito sedang bermain baseball di luar bersama beberapa anak lelaki lainnya. Yep. Salju-salju main baseball. Tidakkah mereka agak sedikit nekat? Tapi seperti itulah bagaimana kelas 3-E.

"Hei Karma, bagaimana dengan orang itu?" tanya Rio dengan nada usil yang tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. Karma memutar bola matanya sambil menghela napas. Jelas yang Rio maksud adalah Nagisa. Rio adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa Karma punya seorang teman yang sangat berharga bernama Nagisa Shiota.

"Masih belum bertemu. Kenapa?" tanya Karma kesal. Rio tertawa kecil.

"Ayolah, tunjukkan padaku fotonya..." paksa Rio. Karma menggeleng tegas. "Aku akan membantumu mencarinya kalau kau mau menunjukkan fotonya padaku. Aku berjanji!" Dan Rio bukanlah seorang pelanggar janji.

"Aku tidak mau."

"Kumohon..."

Karma menyerah. Sulit bagi Karma untuk berkata TIDAK pada Rio. Mengingat, Karma juga sering memaksa Rio hingga akhirnya Rio setuju dan mengabulkan keinginannya. Jadi ini seperti hubungan SALING memaksa dan dipaksa. Sekali lagi, ini SALING. Dan mereka merasa cukup diuntungkan dengan itu. Tapi bukan berarti hubungan mereka hanya sebatas memaksa-dipaksa. Mereka benar-benar bersahabat dekat, bahkan meski mereka tidak pernah mengatakannya. Yah, hanya Karma yang tidak pernah mengatakannya. Bagaimanapun, Karma bukan orang yang bersahabat dengan kata-kata.

"Baik-baik. Datang ke rumahku nanti pulang sekolah... Lupakan. Maksudku, datang saja ke taman pulang sekolah. Tunggu aku di sana."

"Kau tidak pernah mengizinkan siapapun datang ke rumahmu. Kenapa?"

"Aku tidak suka diganggu. Itu saja."

"Tapi dia pernah datang ke rumahmu kan?!"

"Maksudmu Nagisa? Tebaklah sendiri."

"Geez. Kau menyebalkan."

Karma hanya mengeluarkan lidahnya, mengejek Rio secara terang-terangan.

Karma menendang sebuah botol kaleng di depannya keras.

'Brengsek! Dia yang memaksa dia yang telat?! Siap-siap saja Gadis Inggris itu besok!' Karma beguman kesal.

"Good evening! I am here!" Rio berteriak.

"Oh? Kau datang? Luar biasa! Aku menyuruhmu datang setelah pulang sekolah, yang artinya jam 4! Bukan jam 6! Aku baru saja mau pergi! Kau berhutang penjelasan padaku!"

"Keretanya datang terlambat. Cek jadwal kalau kau tidak percaya." Rio menjawab santai tanpa rasa bersalah. Menurutnya itu bukan salahnya. Walau memang bukan. Karma mengecek jadwal kereta. Memang keretanya telat. Tapi telat 3 jam. Dan Rio sudah disini?

"Kalau begitu seharusnya kau datang jam setengah delapan karena keretanya telat 3 jam. Kenapa kau sudah disini?"

"Pengorbanan, kawan. Pengorbanan. Aku lari sprint tadi."

"ITU 8 KM!" Rio hanya tertawa. Dan sprint Rio adalah bukti kalau mereka benar-benar tulus dalam bersahabat. Dan itu menjelaskan kenapa Rio tidak banyak menjelaskan. Dia harus mengatur napasnya. Karma menghela napas, lalu membeli minuman untuk Rio.

"Thank you. I need this right now." Rio menghabiskannya dalam satu tegukan begitu Karma memberikan minuman tersebut. Karma kemudian mengambil sebuah kotak yang berisi barang-barang kenangannya ketika kecil.

"Ini. Semua yang ada di kotak ini adalah darinya."

Rio membuka kotak tersebut. Isinya cukup banyak. Surat-surat lama, pulpen bekas, beberapa uang koin kuno, berbagai macam jenis perangko, sebuah buku berisi bermacam-macam hal seperti tanda tangan, gambar, kata mutiara, tempelan stiker, dan hal random lainnya. Ada juga sebuah syal yang terlipat rapi dan dua buah album foto. Ketika Rio mengambil syal tersebut, sebuah foto dengan pigura yang manis terlihat.

"Oh? Apa dia Nagisa?" Rio bertanya, menunjuk seorang anak perempuan berambut biru yang ada di foto tersebut. Gadis itu tidak sendiri. Karma juga ada di situ. Karma tertawa dan menggelengkan kepalanya.

"Bukan. Dia Hotaru, saudara kembar Nagisa. Kalau gambar Nagisa... kau balik saja pigura itu."

"NAGISA PUNYA SAUDARA KEMBAR?!" Rio berteriak histeris. Karma tertawa dan mengangguk. Rio menjadi membalik pigura tersebut. Foto lain tampak. Pose dan tempatnya sama persis seperti foto pertama. Perbedaannya, rambut si gadis menjadi sedada, sementara yang tadi sepinggang. "Wow. Dia cantik walaupun laki-laki." Karma menggindikkan bahunya.

-FLASHBACK:ON-

"Kau tidak ingin bicara dengan Nagisa? Ini terakhir kalinya kalian bisa bicara."

"Tidak Hotaru. Bicara dengan Nagisa hanya akan membuatku sulit melepasnya. Hal yang sama berlaku padamu. Jadi menjauhlah dariku."

"Kau kejam. Ini bukan cara terbaik untuk berpisah."

"Ya untukku."

"Tidak bagi kami."

"Kalau begitu diam."

"..."

"Sesukamu Karma. Selamat tinggal." Karma tak membalas. Hotaru hanya tersenyum kelam, mengambil kalungnya dan menaruhnya tepat di tangan Karma.

"Nagisa memberimu syal bukan? Bisa kau sematkan kalung ini bersama syal itu? Kalau begitu, semoga kita bisa bertemu lagi. Di liontin itu ada surat dariku dan Nagisa. Jangan berani kau baca, kecuali kau sedang dalam keadaan gawat. Mungkin seperti stres, depresi, dan semacam itu. Selamat tinggal!"

Karma diam. Begitu Hotaru sudah tak tampak, barulah kalimat itu keluar.

"Selamat tinggal..."

-FLASHBACK:OFF-

Karma tersentak. Dia mengambil syal yang ada di tangan Rio dan membukanya. Dia tersenyum sambil menghela napas lega ketika kalung Hotaru masih tersemat rapi di syal Nagisa.

"Ada apa?" Rio bertanya. Karma tersenyum, lalu menggeleng sambil memeluk syal tersebut erat. Dia selalu melakukannya ketika merasa lega, takut, atau apapun itu. Syal itu selalu membuatnya tenang. Tapi Karma tak pernah memakainya. Syal itu terlalu berharga untuk dikotori dengan debu dan keringat sehingga dia selalu menyimpannya. Rio hanya tersenyum. Dia tak mengerti apa yang terjadi, tapi setidaknya Rio tahu syal itu dan seluruh benda dalam kotak tadi adalah sesuatu yang luar biasa bagi Karma.

-TO BE CONTINUED-