Naruto © Kishimoto Masashi

Hinata Hyuuga & Uchiha Sasuke

OOC, Typos.

.

.

Lapis Lazuli

.


Chapter 1: Penolakan di Hari Ulangtahun

2015年6月12

Langkahnya menaiki tangga dengan agak tergesa. Wajahnya menampakkan tawa namun hatinya kecewa luar biasa. Dalam lorong yang agak gelap di lantai dua, seseorang menepuk bahunya pelan diantara keramaian orang-orang.

"Hinata-chan!"

Suara itu membuatnya menoleh pelan. "Hai, Matsuri-chan."

Hinata menengok kembali kedepan, lalu menatap Matsuri secara bergantian yang bertahan di posisi belakang. Karena mereka tidak akan bisa berjalan beriringan ketika lorong penuh sesak dengan orang-orang. "Kau akan pergi ke ruangan Komputer?"

"Hai."

"Aku juga."

"Benarkah?"

Ada binar di mutiaranya, walau kilatan kecewa masih kentara disana.

"Ya, aku harus menemui Tenten-chan disana. Kami berjanji bertemu setelah aku selesai dengan pertandinganmu."

Hinata menghentikan langkah kakinya. Kemudian, perasaan kecewa sepenuhnya memenuhi hatinya yang bercampur dengan rasa bersalah yang teramat besar. "Gomennasai."

Matsuri menarik tangannya, kuatir ajang henti mendadak ini akan menghalangi jalan yang agak sempit. "Daijoubu."

"A...aku sungguh menyesal,"

"Tidak usah di pikirkan."

Hinata mampu melihat ransel besar yang hampir menutupi sepenuhnya tubuh mungil Matsuri. Ia agak tidak mengerti, mengapa saat-saat bebas seperti ini Matsuri masih membawa setumpuk buku-buku yang tidak perlu?

"Aku m...mengecewakanmu, te...teman-teman juga. A...aku..." Hinata meracau, perjalanannya serasa bertambah lama.

"Tidak masalah kok. Kami tidak menyalahkanmu."

Hinata tahu, Matsuri mengatakan itu dengan tegas dipenuhi kepercayaan penuh terhadapnya. Hanya saja, kalah tipis lebih menyesakkan dibandingkan dengan kalah telak.

Matsuri melepas alas sepatunya, Hinata mengikuti dengan gerakan lamban. Ruangan itu kelihatannya agak penuh sesak, melihat jajaran sepatu yang hampir memenuhi rak yang di sediakan di luar, Hinata menarik nafas.

"Kalau begiu aku duluan."

Hinata mengangguk, tanpa balasan kata untuk kepergian Matsuri yang mendahuluinya masuk ke dalam. Sebelum itu, Hinata melihat ke arah lapangan. Puluhan anak perempuan membentuk barisan rapi. Mereka terlihat kecil. Hinata tersenyum separuh.

Lalu ia masuk. Tidak jauh dari pintu masuk, ada layar monitor yang menyala. Seingatnya selalu begitu. Biasanya, disana ada sensei cantik berkacamata berambut ungu tua. Tapi kini, ia tidak ada. Kursinya kosong, mejanya penuh dengan kertas-kertas yang berantakkan. Hinata berjalan melewatinya.

Ketika ia hendak memasuki ruangan kedua, dimana ratusan komputer tersedia disana, dari jarak beberapa meter saja, ia mampu mendengar lengkingan suara kawan baiknya. Akan mendapat teguran langsung jika saja mereka -termasuk Hinata- bukan anggota pengurus disana. Memanfaatkan hal baik itu, nampaknya Ino lebih bahagia dengan teriakan dan suaranya yang khas saat berbicara.

"Hinata-chan!"

Hinata tersenyum tulus, lantas berjalan mendekat ke tengah ruangan, dimana Ino dan segelintir orang yang ia kenal tengah berkumpul membentuk kerumunan. Disisi lain ia juga melihat Matsuri yang sekarang sedang asik dengan layar monitor yang menampilkan tampilan Manga favoritnya. Dengan Tenten di sebelahnya, entah tengah melakukan apa dengan komputernya.

"Bagaimana?" Dalam suaranya, ada harapan mendalam. Ia tahu, sahabatnya menginginkan kemenangan untuknya. Melalui pandangannya, Hinata meminta maaf. "Aku kalah."

Ino menekan enter pada keyboardnya ketika ada pemberitahuan yang tidak Hinata tahu secara jelas, "Tidak apa-apa."

Kata-kata itu lebih sering Hinata dengar di hari ini. Ia tahu, ini bukan masalah besar, hanya saja ia merasa telah mengecewakan banyak orang. "Kau sudah berpartisipasi. Aku bangga!"

Hinata setengah tertawa, "Arigatou." Tapi rasa kecewa belum sepenuhnya lepas dari benaknya. Ino, dengan mudah mampu membacanya.

"Jaa, sorekara bagaimana dengan taruhan kita?"

Hinata memiringkan kepalanya, belum mengerti sepenuhnya.

"Kau kalah, kau mentraktirku hari ini."

"Na...nani?!" Hinata memekik.

Ini keputusan sepihak yang merugikan. Setidaknya, ia beranggapan demikian.

Lengkingannya, menarik perhatian Kiba yang kini mendekat, "Apa yang kalian bicarakan?"

Ia Kiba, Inuzuka Kiba.

"Ah, kau pergi saja. Ini urusan perempuan." Ino mengibas-ngibaskan tangannya. Tanda pengusiran secara terang-terangan. Lalu Kiba menurut saja. Dan hal itu membuat Hinata tertawa. Ino sedikit bangga.

"Jaa, mari kita hitung." Ino bersiap dengan jari-jari lentiknya yang terawat. Ia akan menghitung perolehan poinnya. Hinata menyiapkan pulpen dan kertas dengan tergesa, baginya Hitungan tertulis lebih akurat dibandingkan dengan hitungan tersirat.

.

.

.


20154月23

Inuzuka Kiba. Teman seangkatannya, dan Hinata baru benar-benar mengenalnya setelah mereka sama-sama menjadi pengurus di ruangan yang di penuhi ratusan alat elektronik ini. Kiba mengikuti club basket, permainannya tidak terlalu bagus dan Hinata tidak tahu ia mendapat posisi apa dalam team basket di sekolahnya.

Kesan pertama saat menemuinya, Kiba adalah orang yang menyenangkan. Sayang, diantara banyak orang di organisasi kepengurusan ini, hanya Kiba yang mendapat keadaan yang buruk dalam urusan romansa. Ya, setidaknya begitu pandangan teman-temannya. Pada dasarnya, Hinata adalah gadis cantik berhati lembut. Ia penyayang dan sikap perhatiannya ia tunjukkan untuk semua teman-temannya. Mengenai hubungan asmara Kiba yang buruk, Hinata turut prihatin. Ia selalu mendukung dan memberikan arahan pada Kiba. Betapa baiknya ia dan betapa menyebalkannya kekasihnya. Hinata tahu bagaimana Kiba di perlakukan dengan tidak menyenangkan oleh kekasihnya, dan juga teman-teman kekasihya.

Inuzuka Kiba, selalu mengikuti kekasihnya kemanapun ia pergi. Kalau di telisik, ia lebih mirip maido daripada kekasih dari seorang gadis penggila belanja. Hal yang paling menggemparkan adalah ketika Kiba rela bekerja paruh waktu hanya untuk menyiapkan kado untuk kekasih tercintanya di hari ulangtahunnya. Ia bahkan menghemat uang jajannya mati-matian.

Sebagai teman, Hinata tidak memiliki hak untuk melarang, tetapi ia juga tidak terima temannya diberlakukan sedemikian keji oleh kekasihnya. Tidak salah rupanya, Kiba memberikan sebuah sepatu yang sangat mewah dengan harga yang teramat mahal untuk ukuran siswa sekolah menengah atas.

Kiba bersuka cita, tapi tidak dengan kami semua. Gadis itu benar-benar merepotkan, ia tidak suka dengan warna yang di pilihkan oleh Kiba. Jadi, Kiba harus menukarnya dan menggantinya dengan warna yang diinginkan perempuan itu, dan sekali lagi ia harus mengeluarkan uang karena harganya agak lebih mahal. Satu minggu berselang. Hubungan mereka berakhir.

Jika berani, betapa ia ingin menampar gadis yang merupakan Kouhainya itu. Tidak berakhir dengan pertengkaran, tapi gadis itu memiliki simpanan. Kiba? Hanya dimanfaatkan.

Setelahnya, Hinata sering menghabiskan waktu dengan Kiba untuk menghiburnya. Baginya, Kiba seperti seorang kakak. Ia akan senang ketika Kiba mengajaknya hanya untuk sekedar makan es krim di kedai murah pinggir jalan. Dan Hinata selalu memberikan semangat untuk Kiba, meyakinkannya bahwa kouhai yang tangguh dalam permainan basket itu bukanlah gadis yang baik untuknya. Hinata benar-benar menyayangi Kiba seperti saudara.

Namun tidak dengan Kiba, Kiba mengubah arah haluannya. Menyiapkan perasaannya untuk Hinata. Ia menyukai Hinata.

Hinata tidak suka dengan ini, ada saat dimana Kiba benar-benar membuat Hinata tidak suka diberlakukan secara istimewa. Setiap malam, selalu saja pesan dari Kiba bersarang di kotak e-mailnya. Di sekolah juga tidak jauh berbeda, hanya saja Kiba tidak menunjukkannya sejelas di dunia maya. Hinata merasa, disanalah ia sudah harus menjaga jarak dengan Kiba.

Pada akhirnya, ia akan menceritakan semua keluhannya itu pada Ino.

"Sudah kuduga!"

Hinata menatap Ino dengan lesu, "Aku harus bagaimana?"

"Akan kumarahi dia!"

"D...dame!"

"Douiu Imi?! Dia sudah keterlaluan, Hinata!"

"A...aku, a..aku tidak tega."

Ino menghela nafas, menghembuskannya lemah seperti wanita tua. Karena Hinata tahu, Ino hanya akan mencerca Kiba dengan kata-kata pedasnya. Hingga pilihan Hinata, jatuh pada...

.

.

.

2015427

"Begitulah."

Hinata menatap teman-temannya yang sedang memperebutkan bola basket, memainkannya tanpa teknik yang jelas. Terlihat asal, dan permainan mereka keroyokan. Buruk sekali.

"Bagaimana perasaanmu padanya?"

Pemuda dengan baju olahraga berwarna biru tua itu bertanya.

"Aku tidak tahu."

"Kau menyukainya?"

"Suka?" Hinata tidak mengerti rasa 'suka' seperti apa yang dipertanyakan temannya ini.

"Ya, seperti..." Ia terlihat tengah berpikir keras.

"Seperti?"

Setelah agak lama, Hinata tidak menemukan jawaban yang keluar, ia berusaha menerkanya sendirian. "Seperti...bagaimana kau menyukai Sakura-san?"

Sasuke tersenyum sebagai balasan.

"Ti...tidak! Tentu saja tidak." Pipinya bersemu merah. Sasuke tergelak dalam tawanya yang singkat.

Pelatih terlihat memasuki lapangan, ada dua pelatih dengan dua kelas berbeda yang bergerombol di bagian sisi lapangan. Kelasnya dengan kelas Sasuke benar-benar terpisah. Hanya saja, mereka kebetulan memiliki waktu olahraga yang sama.

"Baiklah." Sasuke berdiri. "Kita selesaikan ini di atap setelah sekolah selesai nanti."

Di ikuti Hinata yang kini ikut berdiri.

Ia membungkuk dalam "Terimakasih, Sasuke-kun."

.

.

.

"Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana perasaanmu padanya."

"Hanya sebatas teman."

Angin pembawa hujan menyapanya dalam diam. Hinata memeluk tas kainnya yang ia gunakan sebagai tempat penyimpanan baju olahraga uang tadi ia kenakan. Sedangkan ranselnya, masih aman di punggungnya. Mereka menatap kebawah dengan sorot mata berbeda.

"Aku akan memanggil Kiba kesini, biar kita selesaikan ini secara cepat."

Hinata agak ragu, tapi ia tahu jika ia terus menghindari ini, masalahnya akan berlarut semakin jauh. Tidak lama Kiba datang dengan tergesa, di belakangnya ada Sasuke dengan wajah garang. Seperti biasa.

"Ada apa?"

Hinata tidak menoleh, ia masih menatap orang-orang yang keluar dari gerbang sekolahnya yang lebar. Sasuke bilang jangan kuatir, biarkan ia yang menyelesaikan persoalan ini. Jadi artinya Hinata hanya perlu diam, dan berbicara bila memang sudah diperlukan.

"Ini mengenai Hinata."

"Hinata?" Kiba mengulangi, belum paham mengenai maksud ucapan Sasuke padanya.

"Kau menyukainya?"

"Apa?"

Hinata menoleh, ia melihat tatapan Sasuke di penuhi kemarahan. "Aku sudah tahu, kau memberikan perhatian lebih padanya."

Kiba diam, tampaknya ia ingin mendengar penuturan itu dari mulut Hinata sendiri. Sasuke mengerti itu.

"Hinata, katakan sesuatu."

Buku-bukunya memutih. Ia merasa kedinginan ketika hujan mulai turun membasahi ia yang tanpa pertahanan. "A..aku, aku tidak suka Kiba-kun bersikap seperti itu." Hinata berujar, ketiganya berdiri berjajar dengan fokus mata menatap segala hal menarik yang ada di bawah mereka. Disini, tidak ada yang saling mengisi kontak mata.

"Aku, tidak suka." Imbuhnya nyaris serupa cicitan.

"Kau dengar?" Sasuke menjadi penengah, ia tahu Sasuke menoleh pada Kiba, Hinata dapat menangkap itu dari ekor matanya. "Menurutmu apa yang telah kau lakukan?"

"BRAKK."

Pintu atap terbuka dengan paksa. Disana, berdiri dua orang gadis berambut coklat menatap mereka. Mereka mengenali gadis itu sebagai teman dari mantan kekasih Kiba. Salah satu gadis mengisyaratkan pada Kiba untuk mendekat. Lalu mereka menghilang dari pintu atap, mengundang kemarahan Sasuke yang meluap.

"Tu...tunggu," Hinata menarik lengan jaket pemuda itu, "Kita tunggu sebentar, ia akan kembali." Hinata berhasil menahannya. Itu artinya akan lebih lama baginya untuk diam disana. Ia benar-benar kedinginan.

Lima belas menit berlalu. Dan awan di atas mereka berubah menjadi kelabu. Sasuke bukan si penyabar yang baik hati. Ia hendak pergi.

"Sebentar lagi." Hinata menarik ranselnya, Sasuke tidak buntu pemikiran, ia melepaskan ranselnya dan bergegas menuju kebawah untuk menyusul temannya yang tengah di liputi kemarahan. Saat itulah Hinata tahu, ia harus benar-benar melerai mereka.

.

.

.

Dibalik pintu geser itu tengah terjadi percekcokan.

"Kau! Kau pikir apa yang kau lakukan? Aku belum selesai bicara!"

Hinata membuka pintu yang sedikit terbuka itu dengan cepat. Ditangannya ada ransel Sasuke, disisi yang lain ia membawa tas kain yang agak berat. Mereka berdua menatap Hinata, sebelum kembali fokus pada lawan bicara mereka.

"Mereka yang memintaku, aku kira ada urusan penting!" Kiba melayangkan pembelaan.

Hinata terpana, wajah Kiba benar-benar kotor oleh cream berwarna biru mint.

"Masalah kita belum selesai!"

Kiba mengelap wajahnya dengan tisu. "Apa?"

"Katakan padaku, bagaimana perasaanmu pada Hianata?"

"Aku menyukainya." Kiba menjawab dengan enteng.

Masih belum bersih sepenuhnya. Setidaknya itu lebih baik ketika cream tadi tidak mengotori matanya lagi.

"Hoo… kau boleh memiliki perasaan itu. Tapi kau harus tahu, bagaimana perasaannya padamu!"

Hinata ingin melerai, namun ia teringat pesan Sasuke tadi, bahwa ini urusan laki-laki, ia hanya perlu diam dan menunggu. Semua akan selesai lebih cepat. Hanya saja, Hinata takut ini akan berakhir dengan perkelahian.

"Kau membuatnya risih, kau membuatnya tidak suka, kau membuatnya takut." Cerca Sasuke.

"Seorang wanita, tidak perlu hal-hal merepotkan begitu. Cukup kata-kata sederhana yang mampu mayakinkan mereka!"

Hinata ingat ketika ia menceritakan pada Sasuke, betapa Kiba mengganggunya dengan pesan-pesan singkat yang merepotkan.

"Kau, jika benar kau menyukainya. Maaf saja, dia tidak menyukaimu." Sasuke mengepalkan tangannya.

"Jika kau bersikeras ingin memilikinya." Ia menahan ucapannya. Berjalan mendekati Kiba yang masih belepotan dengan kue warna birunya. "Bertarunglah denganku di lapangan sore ini, aku tidak akan menyerahkan Hinata padamu begitu saja."

Hinata terbelakak. Seharusnya, Sasuke tidak perlu melakukannya sampai sejauh itu.

"Su...sudahlah." Ia berkata tanpa pergerakan. Tangannya sibuk dengan dua tas yang agak merepotkan. Hinata, benar-benar ketakutan ketika Kiba berjalan seolah menjawab tantangan dari Sasuke.

"Aku tahu, " Masih dengan tatapan mata coklat beriris kecilnya yang khas, Kiba menatap Sasuke nyalang. "Kau akan melakukan apapun untuk Hinata."

"Ya, kau benar."

Kiba menatap Hinata sekilas sebelum menatap lantai. "Apalagi kau mendekatinya setelah selesai dengan hubunganmu yang tidak normal bersama wanita penggila fashion itu!"

Hinata merasa, Sasuke sudah terlalu banyak bicara.

"Pelampiasan eh?"

Dan ia yang tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jika itu yang kau pikirkan, kau salah besar."

"Salah?!" Sasuke tidak terima dikatai seperti itu.

Jendela lebar sedikit memberi celah bagi sang mentari yang bersembunyi di balik awan untuk membagi sinarnya yang kemerahan, pada tiga insan yang yang tengah dalam permasalahan.

"Warui, " Masih dengan tisu yang mulai lusuh, Kiba mengelap dahinya yang berkeringat. "Aku sudah membuatmu takut, Hinata." Kiba tersenyum.

Hinata tahu, Kiba menyembunyikan kecewa dalam senyumannya yang serupa dusta.

"Kau boleh menbenciku atas sikapku, tapi ketahuilah kau bukan pelampiasan bagiku."

Kini Kiba beralih menatap Sasuke, "Sasuke, mudah bagimu menuduhku tapi setidaknya kau harus tahu, aku menyukai Hinata sejak dulu."

Kue ulangtahun. Di hari bahagianya ia mendapat penolakan yang tidak seharusnya.

"Maaf," Hinata berkata dengan penuh rasa sesal. "Aku tidak bermaksud begitu."

Hinata tahu, ini urusannya. Sasuke terlalu ikut campur dan Hinata terlalu mengandalkannya. Jadi kesalahan, ada di pihak siapa?

"Hinata, " Sasuke menghampirinya, mengambil tas dari genggaman tangan Hinata, "Kurasa ini sudah selesai."

Hinata menatap Kiba yang tengah sibuk dengan wajahnya. Mungkin ini ulangtahun yang buruk bagi Kiba, Hinata sesalkan masalah ini. Kehendaknya untuk selesai secara cepat, berimbas pada Inuzuka Kiba.

"Ayo kuantar pulang." Setidaknya ia ingin menucapkan satu kata selamat sebelum benar-benar pulang.

"Tanjoubi omedetou." Suara lemah, tapi Hinata menunjukkan binar ketulusan, Kiba agak tersipu karena itu.

"Ayo kita pulang."

Sasuke mengambil tasnya yang sedari tadi di pegang Hinata. Agak paksa, hingga membuat Hinata sedikit limbung. Sasuke melangkah duluan menuju pintu keluar,sebelum Hinata menyusulnya, ia sempatkan untuk membungkuk hormat pada rekannya seraya berujar, "Gomennasai."

.

.

.


Pemuda itu beranjak dari ranjangnya. Meninggalkan layar monitor yang masih menyala. Menampilkan sebuah game yang sering kali menemaninya kala sepi. Ia menyibak gordeng dan membuka pintu kaca berdaun dua, tangannya memainkan alat komunikasi lantas mendekatkannya pada telinga. Nada sambung membosankan mampu di dengarnya, tapi tak lama berselang suara lembut menyapanya.

"Moshi-moshi?" Terdengar agak parau.

"Hinata?" Ia bertanya, meyakinkan bahwa perempuan pemilik nama itulah yang tengah menerima telepon darinya.

"Ya?"

"Kau baik-baik saja?" Ia menatap langit malam yang menaunginya. Tidak ada kilauan bintang, ia merasa bosan. "K...kurasa begitu."

Hinata meninggalkan kursi dan meja belajarnya, buku Matematika masih terbuka disana, ia memutuskan untuk menyapa ranjangnya saja, lalu duduk bersila.

"Jangan berbohong. Kau habis menangis?" Ia menatap replika dirinya dalam sebuah cermin berbentuk lingkaran, ujung hidungnya merah. Matanya sembab. Tebakan pemuda itu tepat. "Ya..." Dan ia tidak ingin membohonginya. "Ada apa?"

"Kenapa?" Sisi ingin tahu dari pemuda itu membuat Hinata menarik nafas halus. "Aku tidak apa-apa."

"Kenapa kau menangis?" Suara berat yang mengintrogasi.

"K...kiba-kun…"

Bayang-bayang pemuda itu yang dipenuhi cream di wajah bertato segitiganya. Pemuda itu yang tergopoh menuju atap. Pemuda baik yang terus saja menunjukan senyuman padanya meskipun Hinata mengadukan masalahnya pada Sasuke, dan Sasuke yang terlalu menekannya.

"A...aku merasa kasihan padanya." Hinata merasakan panas, kemudian pandangannya buram.

Seseorang di seberang sana menarik nafas lelah, "Sudahlah, itu salahnya yang-"

"Kenapa Sasuke-kun selalu menyalahkannya?!" Hinata agak meninggikan nada suaranya.

"Kenapa kau membelanya?" Nada suara tidak suka kental sekali dalam logat bicaranya yang khas.

Hinata terisak. Sasuke merasa bersalah.

"Hinata, lihatlah keluar." Permintaan tak masuk akal yang enggan Hinata turuti. "Tidak mau."

Masih ada isakan kecil. Hinata kekanak-kanakan sekali.

Sasuke mengulum senyuman sebelum melanyangkan panggilan bernada lembut dari suaranya yang berat, "Sayang..."

Hinata tertegun, ia mematung dalam posisinya.

"Lihatlah keluar." Sasuke mengulangi permintaannya. Kali ini lebih halus.

Dengan gerakan pelan Hinata menuruni ranjang. Mengambil laptop yang terongok di meja samping lampu duduk. Ia menggunakannya dua jam yang lalu, lantas beralih menatap buku teori yang susah di pelajari. Berjalan menuju balkon yang pintunya ia biarkan terbuka, "S...sudah."

"Kau melihat bulan?"

"Ya."

"Kau tahu?" Hinata mengelap pipinya yang basah dengan ibu jarinya, membiarkan tanya Sasuke tidak terjawab olehnya. "Aku menatapnya sedari tadi. Aku merasa seolah menatap ke dalam matamu." Hinata tersenyum simpul, ia menutup jendela tugas yang sedari tadi ia kerjakan, lalu lekas membuka akun media sosialnya.

"Dari sini aku tahu, " Suara rendahnya yang berat, Hinata teramat menyukainya.

"Awan kelabu sedikit menutupi cahayanya. Namun ia masih terlihat cantik."

Buffering.

Hinata menunggu dengan sabar seraya menatap langit, sedikit terlena akan ucapan Sasuke yang membuat ia terpana. "Dengannya, aku bisa merasakan tangisanmu." Hinata menyandarkan punggungnya, tangannya yang memegang handphone agak sedikit basah.

"Mendengar tangisanmu, kau pikir aku baik-baik saja?"

Tidak ada jawaban, Sasuke memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya, "Terlebih kau menangis untuk laki-laki lain."

"Jangan menangis," Itu rayuan.

Sambil tersipu malu, ia menegakkan kembali punggungnya, halaman yang di minta sudah tersedia. Ia dengan cekatan melihat postingan teman-temannya. Terus kebawah sampai akhirnya ia tercekat ketika menemukan sesuatu yang memang sudah selazimnya ada di situ.

"Kau membuat hatiku sakit."

Air matanya menetes lagi. "Maaf, "

"Hapuslah air matamu, Hinata." Kini, kedua tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan pipinya. Ia melakukan apa yang Sasuke perintahkan. Lalu tersenyum kecut setelahnya.

"Kau tahu ini jam berapa?" Manik mutiaranya menatap lekat beberapa foto yang di posting beberapa menit yang lalu. "Sebelas."

Hinata tidak tidak tahu kalau lawan bicaranya tengah bengerutkan alis. "Tidurlah."

Sasuke memutuskan untuk kembali, menutup rapat pintu kaca itu sebelum menguncinya.

"Ya."

Ini bukan hal baru, tetapi ia belum terlatih untuk bisa terus tegar. "Kau berjanji akan tidur sekarang?"

"Sebentar lagi."

"Pakailah selimutmu, semakin larut malam akan semakin dingin."

"Ya."

"Hinata..."

"Ya?"

"Aku menyayangimu."

Sasuke yang memutuskan sambungannya. Hinata menatap handphonenya sekilas, matanya beradu dengan jarum jam di dalamnya yang menunjukkan pukul sembilan. Jawaban Hinata yang asal, terlalu meleset jauh. Ia meletakan handphone hitam itu di samping laptopnya yang masih menyala.

"Gomennasai."

Hinata terisak lagi. Bukan hanya Kiba, baginya hari ini terasa buruk juga. Hukum karma? Entahlah.

"Gomen, " Hinata menangis sambil menunduk, air matanya membasahi sepasang tangan yang saling meremas yang di simpan di pangkuannya. Gaun tidur selutut, sandal rumahan beludru yang terasa lembut, ia menyapa malam tanpa kehangatan mantel. Hingga ia sedikit menggigil. Sasuke benar, malam terasa dingin ketika beranjak larut.

Di sebuah layar selebar empat belas inci itu menampilkan beberapa foto yang tidak di tampilkan secara penuh. Hinata sengaja.

Foto dengan berbagai pose, seorang gadis cantik berambut musim semi dan seorang pemuda dengan mata yang mengingatkan Hinata pada langit malam. "Gomennasai," Hinata masih bertahan dalam tangisan, "Sakura-san." Lirih yang mengisi malam, mungkin ini akan menjadi malam buruk yang panjang.

Jika aku menangis karenamu, apakah hatimu akan terasa sakit. Nee, Sasuke-kun?

.

.

.

.

.

.

.

.

to be continued

.

Silahkan berkomentar mengenai tulisan ini. Saya harap kalian menyukainya ^6^

.

Someiyoshino Amari, 23 Juni 2015