~A Star At The Next Door~
by: PrinceStraw
main cast: Wu Yi Fan (Kris), Huang Zi Tao
genre: AU, Sinetron -?-, Gaje XD
chapter: 1
rate: M
warning: Aneh seperti biasa. Bahasa. Typo
disclaimer: Well, mereka semua milik saya *nunjuk ayam-ayam di rumah*
Enjoy...
Ini adalah malam pertamanya berada di apartemen sederhana yang terletak di pinggiran kota Seoul. Mengandalkan uang hasil kerja kerasnya ditambah menabung mati-matian serta selama tiga bulan bersabar menunggu respon dari pihak marketing, lantas pada akhirnya ia mampu menyewa apartemen tersebut lalu secepat kilat meninggalkan tempat tinggalnya yang terdahulu; yang nyaman dan tak benar-benar ingin ia tinggalkan sebab kantongnya terlanjur mencintai harga sewa tempat itu. Sudah kesekian kalinya seorang Huang Zi Tao—pemuda berdarah Cina yang kerap disapa Zi Tao—itu gonta-ganti apartemen. Dan harga apartemen barunya ini sedikit lebih mahal bila dibandingkan dengan apartemen-apartemennya yang dulu, tetapi Zi Tao tetap merasa beruntung; pasalnya mendapatkan satu apartemen untuk manusia notabene kalangan menengah seperti Zi Tao di kota metropolis itu sangatlah sulit, disamping karena pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat yaitu karena banyaknya saingan. Terutama kaum pelajar yang berbela hati datang dari jauh guna menempuh pendidikan di ibu kota negara Gingseng tersebut.
Zi Tao melihat sekelilingnya. Ada kardus-kardus yang diisolasi hitam pada bagian atas dan bawahnya masih tertumpuk rapih, koper berukuran sedang bersandar di dinding, satu gulungan kasur, lemari pakaian juga satu meja dan satu kursi. Semua barang-barang itu milik Zi Tao, mobil box yang mengangkutnya tadi pagi dan ia belum sempat membereskannya. Setibanya di apartemen barunya ia langsung melesatkan kaki ke sekolah, jadi jangan salahkan jikalau keadaan rumahnya saat ini tampak berantakan.
"Great! Bahkan sepulang bekerja masih ada pekerjaan yang menanti," keluh pemuda berpostur tinggi semampai itu. Memasang wajah lesu, Zi Tao mulai membuka kardus-kardusnya satu persatu, mengeluarkan isinya yang ternyata adalah buku-buku, sepatu, peralatan hariannya dan beberapa barang vintage. Tak sulit bagi Zi Tao untuk menata itu semua. Menggunakan tenaga yang tersisa lengan kurusnya mendorong lemari sampai ke dalam kamar, sesekali ia membuang napas dan berdecih. Dilanjutkan memindahkan meja dan satu tangannya mengangkat kursi yang biasa ia pakai untuk belajar. Setelah itu dengan segera meletakkan barang-barangnya (termasuk pakaian) di tempat yang semestinya, ia tak sabar untuk beristirahat.
Tiga puluh menit berlalu, ruangan 1 : 3 miliknya kini telah terorganisir, Zi Tao membuka gulungan kasur lantai kemudian langsung menelungkupkan diri seolah-olah kasur itu menariknya.
"Huwwah! Capek sekali," suaranya tertimbun bersama hembusan napasnya. Ia membuat posisi tubuhnya senyaman mungkin lalu memejamkan matanya yang memberat pelan-pelan. Namun tak sampai dua menit acara tidurnya yang belum pulas itu diusik oleh getaran singkat dari dalam saku celananya.
Zi Tao mencoba mengabaikan. Tetapi lagi-lagi ponselnya bergetar, kali ini lebih panjang.
Drrrrrrttttt
"Aissh!" Ia membalikkan badan dan mengeluarkan ponselnya dengan gusar. Lampu pada layarnya berkedap-kedip, menampilkan satu nama yang familiar bagi Zi Tao. "Tidak bisakah tidak menggangguku di jam segini!" Mengomel sendiri namun tetap menerima panggilan itu.
"Hallo!" Agak membentak.
"Ya! Zi Tao Panda! Bisakah nadamu sedikit lebih lembut?" protes seseorang dari line telepon.
Mendengus tak suka karena dikatai panda, meski tak bisa disangkal hal itu benar adanya berkat tampilan visualnya; dibuktikan oleh keberadaan lingkaran hitam yang unik di bawah sepasang manik kelam Zi Tao—persis menyerupai hewan pemakan bambu itu. Zi Tao melakukan apa yang diintrupsikan orang itu; berbicara lebih lembut. "Aku sedang lelah Luhan, kau tau 'kan hari ini aku pindahan."
"Aku khawatir karena kau tidak membalas pesanku. Apa itu salah?" suara kecewa pemuda yang dipanggilnya Luhan itu membuat Zi Tao yang mendengarnya jadi sedikit merasa berdosa.
"Maaf Lu, tapi aku baik-baik saja. Memang ada apa? Tumben sekali kau memperhatikanku," Zi Tao memutuskan bangkit dari tidurnya lalu berjalan keluar kamar sambil menunggu jawaban Luhan—sahabatnya.
"Tidak ada apa-apa sih. Jadi... tidak boleh memperhatikanmu?"
Zi Tao yang sekarang berada di dapur membuka lemari pendingin dan mengambil sekaleng cola yang dibelinya hari ini. "Jadi, apa kau sedang butuh tempat curhat karena pacarmu belum juga menghubungimu?" Paras manisnya yang menyerupai perempuan tampak lucu ketika minuman berkarbonat itu membasahi tenggorokannya. Zi Tao meneguknya sekali lagi, dan kosong.
"Jadi apa aku ketahuan?" Kekehan pelan kemudian terdengar.
Bibir Zi Tao mencibir, "Ciss! sudah kuduga." Kaleng cola dilemparkannya dan telak masuk ke tong sampah. Ponsel tetap setia ditelinga Zi Tao. Untuk berikutnya yang ia dengar hanyalah celotehan kisah-kasih sahabatnya itu dengan kekasihnya yang 3 tahun lebih muda, Zi Tao tak pernah tahu bagaimana rupa kekasih Luhan, rasa penasaran kadang mampir dalam otaknya sebab Luhan selalu meninggikan kekasih mudanya sampai ke awang-awang. Zi Tao sendiri cukup kenyang akan cerita hubungan asmara Luhan yang sering putus nyambung, Luhan kerap kali meminta saran kepadanya saat percintaannya mengalami masalah, sebagai sahabat yang baik tentu saja Zi Tao tak merasa terbebani dalam memberikan solusi namun tetap segala keputusan ada di tangan Luhan. Ngomong-ngomong soal romantika, janganlah terlalu berharap pada pemuda dengan surai kelamnya sebab pemuda itu bukanlah ahlinya.
Terkadang Zi Tao mengangguk atau menanggapi 'Hn' pelan ocehan Luhan diseberang sana. Seandainya Luhan mengetahui bahwa saat ini Zi Tao tak mengerti topik apa yang tengah diobrolkannya, barangkali Luhan sudah mendamprat pemuda itu karena dengan seenaknya mengabaikannya. Dilain sisi jujur saja Zi Tao terlanjur lelah dan mengantuk dan ingin sekali melanjutkan istirahatnya yang ketunda.
Ditemani suasana yang hening Zi Tao hendak kembali ke kamar, tetapi ketika akan beranjak langkahnya tiba-tiba saja menjadi tercekat. Ia mendengar suara-suara aneh yang entah darimana muasalnya.
Dan Zi Tao merasa dejavu.
"Lu? Apa kau sedang menyalakan TV?" tanya Zi Tao hati-hati dan pelan, matanya menyipit serius.
"Tidak. Kenapa?" Luhan menjawab singkat.
"Oh, tidak. Kumatikan teleponnya ya,"
"Eh? Tapi—"
Tanpa mendapat persetujuan sahabatnya Zi Tao pun mengakhiri sambungan dan menyimpan kembali benda keluaran Cina itu di saku celananya. Selintas Zi Tao berpikir pasti Luhan besok akan mengomel kepadanya, ia sudah memiliki rencana akan membelikan bubble tea untuk laki-laki itu berharap kemarahan yang akan dilimpahkan teredam.
Tumit-tumit Zi Tao memijak lantai kayu dengan pelan berusaha untuk tidak mengeluarkan secuilpun suara sambil mencari-cari asal suara aneh itu. Rasa-rasanya Zi Tao tidak asing bertingkah seperti ini, mengendap-ngendap teratur layaknya seorang pencuri.
"A—ah.. ah!"
"Ouh.. Lakukan lebih cepat.. yyeah.. seperti itu,"
Spontan Zi Tao membelalak seraya menutuppi mulutnya—reaksi yang cukup wajar ketika seseorang merasa terkejut akan suatu hal—kuping Zi Tao menempel ke dinding yang menjadi penyekat antara apartemennya dan pemilik apartemen sebelah. Rona wajahya sudah berubah sewarna tomat segar yang baru dipetik dari perkebunan, Zi Tao menggigit kecil 'kelopak' peach-nya, tak berani berpikir apa yang menyebabkan keluarnya kalimat yang didominasi oleh desahan itu. Atau barangkali Zi Tao tak berani mengakui sebab terlalu tabu bahkan sekedar untuk dibayangkan olehnya yang terbilang naif.
"Oh God! A—ah..ah.. Ini benar-benar nikmat sekali,"
Bulu kuduk Zi Tao bergidik saat lengkingan nyaring seseorang—yang ia tebak wanita—menyusul dan seolah menyetrum saraf otaknya. Akal sehatnya menyuruhnya untuk meninggalkan posisinya dan masuk ke kamar menggelungkan diri dibawah selimut kemudian melupakan apa yang baru saja diserap oleh telinganya. Tetapi memang tak tahu malu hatinya lebih menguasai kendali akalnya yang menyebabkan ia tetap bertahan sampai ia bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang bersarang dikepalanya saat ini.
Siapa?
"Ekh, disana! Sentuh aku lagi di.. sanah..."
"Ah.. ah.. yyeaah.."
Sahutan demi sahutan desahan dan erangan berganti, berselang-seling bagai menggilir tuts-tuts piano menciptakan bunyi tersendiri dalam intesitas tinggi-rendahnya yang berbeda . Tidak bagi Zi Tao yang menghakimi bahwa ia benar-benar mengenali salah satu dari pemilik suara dua insan yang semakin gencar memadu kasih.
"Aaah~" Geraman panjang yang berat. Milik seorang laki-laki.
Buku-buku jari Zi Tao mengepal kuat hingga kepalan tangannya tampak lebih putih, betapa beraninya ia bersumpah atas nama siapapun dibawah kepercayaan dirinya geraman laki-laki yang baru saja mengirimkan sinyal-sinyal hingga sampai ke telinganya adalah geraman yang sama yang selalu memberi mimpi buruk di setiap malamnya.
"Ah—ah, tolonglah.. aku.. menginginkannya lagi... Kris," rengekkan manja.
Kontan Zi Tao melotot.
"Ah.. teruskan Krisss..."
Nama Kris kembali disebut-sebut dari bibir wanita. Berarti Zi Tao tak salah dengar.
"Krisssssssss..."
"KRISSSSS!?"
"BRENGSEK!"
Rutukan Zi Tao menggelegar bak petir disiang bolong dan dengan kecepatan layaknya seorang atlet maraton ia berlari keluar rumah, kemudian menggedor tanpa rasa manusiawi pintu tetangganya—yang tak bisa dibilang tetangga baru—seraya mengumpat dan menggemakan sumpah serapah.
"Damn! Keluar kau Wu Kris! Sial! Aku tau kau ada di dalam," Zi Tao bertolak pinggang menunggu sang pemilik apartemen membukakan pintu. Beberapa menit terlewat tampaknya tetap tak ada tanda-tanda perintahnya direspon, Zi Tao pun lebih bernapsu mengetok kembali pintunya.
"Hey! Keluar! Apa perlu ku do—brak,"
Kepalan tangan Zi Tao tertahan di udara sekaligus menghentikan semburan kata-kata yang hendak meluncur dari bibirnya. Dihadapannya saat ini berdiri seorang pemuda yang beberapa sentimeter lebih tinggi darinya, dengan rambut pirangnya yang lepek—Zi Tao sudah memperkirakan itu—beserta gayanya yang amat sok cool—menurut pandangan Zi Tao—memperlihatkan ABS-nya dan setiap mili tubuhnya diselimuti oleh keringat. Zi Tao hampir menyatukan alis tipisnya ketika ia sadar di samping pemuda itu ada seorang wanita.
"Oh, hay tetangga baru~" Pemuda yang hanya mengenakan boxer tersenyum begitu lebar kepada Zi Tao hingga deretan gigi terawatnya terlihat.
"Apa maksudmu, Kris?" Zi Tao membalas ketus sapaannya.
Kris terkekeh geli seakan ada sesuatu yang menurutnya menggelitik. "Maksud apa? Aku tak ada maksud apa-apa," nadanya meremehkan. Kris sebenarnya mengetahui kemarahan seorang Huang Zi Tao telah berada sampai puncaknya.
"Jangan berlagak bego!" sergah Zi Tao cepat.
"Oh, kau cemburu."
Terselip kemenangan di hati wanita yang berdiri di sebelah Kris, wanita itu 'makin merapatkan tubuhnya ke pemuda berparas tampan itu dalam lekukkan yang intim.
Bola mata Zi Tao memutar malas; untuk sekedar melihat wajah laki-laki di hadapannya saja sudah membuatnya jengah apalagi cemburu? "Cih! Jangan bercanda. Aku tanya sekali lagi, apa maksudmu?"
"Menurutmu?" Kris melipat tangannya di depan dadanya, melemparkan tatapan menantang ke pemuda berhelai hitam.
Lagi-lagi Zi Tao berdecih, ia sebal di permainkan seperti ini. "Apa maksudmu berada di sini? Apa tujuanmu selama ini menjadi tetanggaku? Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku! Kenapa kau selama ini mengikutiku kemanapun, dalam waktu 10 bulan bahkan sudah ke lima kalinya aku pindah apartemen dan kau..." menunjuk Kris tepat mengenai hidungnya, ekspresi Zi Tao syarat akan kebencian dan amarah. "Kau.. Wu Kris, kau selalu berada di tempat yang sama dengan tempat yang ku tinggali!" Uneg-uneg Zi Tao membuncah, penuh penekanan pada setiap perkataanya. Ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi, sungguh.
Benar.
Seperti yang sudah di katakan, ini merupakan ke lima kalinya pemuda yang hidup seorang diri di Korea itu—Zi Tao—pindah apartemen, dan semua itu disebabkan oleh pemuda bernama Wu Kris. Untuk awalnya Zi Tao tak mencurigai kepindahan tiba-tiba pemuda itu—yang sekarang ia anggap sebagai seorang stalker. Zi Tao malah senang, bagaimanapun Wu Kris dimata Zi Tao adalah sosok rupawan dengan segala kesempurnaanya berpredikat model dan idola terkenal di Korea Selatan bisa berada sedekat itu dengannya. Meskipun tetap saja aneh bagi Zi Tao, untuk apa seseorang yang punya fans di seluruh penjuru negeri tinggal di tempat yang kecil nan kumuh.
Usut punya usut Wu Kris juga teman sekelas Zi Tao, di sekolah Wu Kris memiliki pamor positive baik di kalangan teman sebayanya maupun guru-guru, bahkan petugas kebersihan sampai penjaga sekolah. Intinya tidak ada yang tidak mengaguminya! Wu Kris yang dianugerahi otak yang 'encer', seluruh nilai akademiknya cemerlang termasuk di bidang olahraga dan kesenian. Berada di pihak yang lebih mengetahui keseharian Wu Kris, lambat laun Zi Tao pun menyadari kalau pemuda itu tidak se-'mewah' seperti yang selama ini orang-orang lihat. Zi Tao bisa membaca watak pemuda bersurai pirang itu tanpa harus membuka topengnya. Di sekolah Wu Kris bagai barang antik yang tak tersentuh atau bak pangeran yang sudah cukup puas dengan hanya memandangnya saja, tapi di rumah?
Oh, ia berubah menjadi hewan liar, tak tau tata krama dan tak beradab—berdasarkan perspektif Zi Tao.
Setiap malamnya Wu Kris membawa wanita atau pria atau apapun—Zi Tao tak peduli—untuk di tiduri, andai saja mereka melakukan seks dengan khidmat dan tenang tentu saja Zi Tao tak mempermasalahkannya, dan itu adalah hal yang sangat amat mustahil rupanya. Kegiatan malam Zi Tao; contohnya belajar dan tidur, menjadi terganggu, seratus persen gagal berkonsentrasi kalau saja ia tak menyumpal telinganya menggunakan kapas ketika belajar. Waktu tidurnya semakin mundur dari hari ke hari dan tak pernah tuntas.
Agak berlebihan memang, namun Zi Tao merasa hak hidupnya seolah dirusak semenjak tetanggaan dengan pemuda keturunan Cina-Kanada itu, pertahanan Zi Tao tandas hanya dalam waktu tiga bulan saja dan ia memutuskan untuk pindah setelahnya. Sialnya, nasib Zi Tao yang bagaikan 'kejatuhan cicak' kembali terulang, selang satu hari sejak kepindahan pertamanya. Pagi harinya Zi Tao tanpa sengaja melihat Wu Kris tengah melakukan warming-up di area jogging track apartemennya yang baru kala itu. Zi Tao hampir saja memuntahkan susu cokelat hangatnya ketika—sang-pemberi-kejutan-di-pagi-hari-itu melambaikan tangan ke arahnya begitu polos seolah tidak menyadari keterkejutannya. Zi Tao hanya mampu menelan ludah dan pada detik yang sama ia berpikir bahwa ini hanyalah suatu kebetulan. Yah, kebetulan.
Kebetulan yang sinting!
Begitu juga seterusnya. Seterusnya. Dan seterusnya. Sampai kepindahannya yang kelima ini ia dipertemukan lagi oleh pemuda 'berwajah dua' itu. Mulai saat ini tidak ada lagi kata kebetulan dalam kamus pemuda bermarga Huang; sudah jelas, Wu Kris adalah stalkernya!
"Benarkah itu Kris?" Teman wanita Kris—tidak dalam arti sebenarnya—spontan terperanjat dan melepaskan rangkulannya di bahu Kris. Sedangkan pemuda yang ditanya tak menjawab, ia lebih memilih menyingkirkan telunjuk Zi Tao dari pandangannya, raut wajahnya datar namun penuh aura sedingin es sekaligus mengerikan. Kris lalu membisikkan sesuatu ke telinga 'teman wanitanya'. Wanita itu mengangguk kemudian masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Euphoria aura Kris dan Zi Tao seolah berpadu dalam ketidaksepadanan; ketenangan tersembunyi milik Kris menciutkan kemarahan yang sedari tadi Zi Tao keluarkan. Nyali seorang Huang Zi Tao perlahan-lahan mengerut begitu Kris mendekat padanya, seakan ada binatang buas tubuh Zi Tao spontanitas bergerak ke belakang dan kedua tangannya menghalau dada bidang Kris agar pemuda itu tak berjalan lebih dekat.
"H—hhey.. berhenti." Di satu sisi Kris amat menikmati kegelisahan Zi Tao, ia abaikan perintahnya dan menganggapnya angin lalu. "Kubilang berhenti,"
Kris menarik sudut bibirnya membentuk setengah senyuman dan sisanya seringaian, kemudian dengan tidak lembutnya ia mendorong pundak Zi Tao hingga pemuda itu membentur dinding dan me-mekik kesakitan.
"Akh!" Zi Tao bersuara sebagai tanda bahwa ada bagian dari anggota tubuhnya yang terasa nyeri.
Kris menepuk pelan sebelah pipi Zi Tao sebelum ia memegang dagu Zi Tao dan memaksa bola mata mereka bersinggungan. "Kau sebegitu ingin tahunya ya untuk apa aku selama ini mengikutimu," bisiknya tajam.
"Tentu saja!"
Kris tertawa pelan melihat Zi Tao tampak bersemangat, oh, tepatnya bernapsu untuk memakinya—mungkin setelah ini. "Baik.. baiklah," manik kecoklatan Kris berubah kilatannya, lebih intens memandang sosok di depannya. "Sebenarnya ada yang ingin kurebut darimu. Benda yang sangat berharga, dan kupastikan aku akan memilikinya. Hingga pada saatnya aku memiliki benda berharga itu, aku akan terus mengikutimu... kemanapun, kapanpun, dan mengganggu hidupmu bahkan membuat hari-harimu menderita."
Kesabaran Zi Tao hilang atas penuturan Kris. Ia menampik kasar tangan yang memegangi dagunya, melepaskan diri dari kekangan Kris. "Bedebah. Apa yang kau inginkan dariku, hah? Uang? Emas? Apa, cepat katakan?!"
Kris tersenyum miring, "Aku sangat tau kau itu rakyat jelata Huang Zi Tao, lagipula apa masuk akal orang kaya dan terpandang sepertiku meminta uang atau emas kepadamu. Jangan bercanda, heh," olok Kris sembari sebisa mungkin menata air mukanya ketika mendapati ekspresi membunuh Zi Tao.
"Lalu benda apa yang sebenarnya kau inginkan! Kau sudah sadar aku tidak punya apa-apa yang berharga, kenapa kau tega mengusik ketenanganku seperti ini Wu Kris! Katakan! Apapun yang kau minta aku akan memberikannya asalkan setelah itu kau menjauh dari kehidupanku!"
Ada luka dikerlingan mata Kris yang tak bisa ditangkap oleh Zi Tao, helaan keras napasnya sampai terdengar ke telinga Zi Tao, pemuda yang lebih jangkung itu pun berbalik hendak memasuki apartemennya.
"Tunggu! Kita belum selesai, Wu Kris!"
Sosok yang meneriakkan namanya menghentikan langkahnya.
"Apa—apa kau menginginkan... ingin.." berpikir sejenak. "Ingin celana dalamku."
Bego! Zi Tao membodohi dirinya sendiri, kenapa kualitas caranya berpikir semakin rendah, tapi yang tadi itu tiba-tiba saja loncat dari bibirnya. Zi Tao menggigit sedikit lidahnya.
"Benda menjijikan seperti itu, kau kira aku maniak," balas Kris sinis tanpa membalikkan badan.
Mengangkat bahu, dan pemuda bersurai kelam itu menggumam lemah. "Mungkin,"
"Aku tak akan mengatakannya sampai kau menemukannya,"
"Menemukan?"
"Yah, kau yang akan menemukan benda yang kuinginkan Huang Zi Tao. Sampai kau menemukannya..." Kris menghentikan kata-katanya hanya untuk memutar beberapa derajat wajahnya ke belakang, dengan tatapan setajam sembilu kemudian tersenyum dan berkata,
"Kuharap kita bisa menjadi teman yang baik, ne?"
Tersenyum yang tak bisa Zi Tao anggap sebagai sebuah senyuman.
Menakutkan!
Wu Kris menakutkan!
Zi Tao membeku di tempat.
...
Kring-Kring-Kring-Kring-Kring!
Pemuda bermata panda itu terlonjak dari kasurnya, suara alarm jam weker yang berisik terus dibiarkan dan tak ada niat untuk dimatikan pemiliknya. Wajah Zi Tao tampak kuyu, ia menatap hambar selimut hangatnya yang bercorak zebra selama sepuluh menit atau lebih, sebelum jari-jari rampingnya menggapai-gapai ke sisi kanan kasurnya. Ia menekan kepala benda yang tak berhenti mengeluarkan suara kring itu, dan kamar tidurnya kini kembali hening.
"Sebenarnya ada yang ingin kurebut darimu. Benda yang sangat berharga, dan kupastikan aku akan memilikinya,"
...
"Hingga pada saatnya aku memiliki benda berharga itu, aku akan terus mengikutimu... kemanapun, kapanpun, dan mengganggu hidupmu bahkan membuat hari-harimu menderita."
Senyuman malaikat maut milik Kris terekam di memorinya berikut kata-kata pemuda itu yang nyaris menghantui tidur Zi Tao semalaman ini.
"Kuharap kita bisa menjadi teman yang baik, ne?"
GOD! OH NOOOOOOO!
Itu adalah sebagian teriakkan frustasi dari alam bawah sadar Zi Tao yang tengah meyakinkan diri peristiwa yang dialaminya semalam hanyalah mimpi, namun saat ia melihat sekelilingnya—kamar yang berantakan, baju-baju berserakkan—harapannya segera terhempas layaknya daun yang jatuh berkat sapuan angin. Jelas saja ini bukan mimpi atau sekedar delusi pahitnya, keadaan kamarnya saat inilah yang membuktikan kalau kejadian semalam benar-benar terjadi.
Setelah mendapatkan 'pengakuan' dari Kris, pemuda panda itu tanpa membuang waktu menggeledah satu persatu ruangan apartemennya, mencari-cari benda yang sekiranya bukan miliknya namun ada padanya—atau katakanlah faktor ketidaksengajaan. Dan nihil. Zi Tao tak menemukan apapun. Barang-barang milik Zi Tao sedikit, rumahnya pun sempit, ia yakin tak ada yang terlewat satupun dari penglihatannya.
Zi Tao memutuskan untuk mengobrak-ngabrik kembali rumahnya hingga jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, ia tak berhenti berkutat dengan pikirannya sementara tangannya sibuk bekerja. Benda apa? Dimana? Zi Tao meneliti setiap kemungkinan-kemungkinan yang mengacu pada benda yang diinginkan Kris.
Tapi selama itu pula Zi Tao tak menemukan clue yang akan mempermudah jalannya untuk keluar dari kesialan yang menimpanya. Oh, berlebihan.
"MAMAAAAH! APA YANG HARUS AKU LAKUKAN~! EH? AKU TEMUKAN~!"
Zi Tao ternyata galau.
...
Klek.
Untung Zi Tao sadar bahwa tujuannya tinggal di Korea adalah untuk belajar, bukan memecahkan teka-teki sialan itu! Menuntut ilmu sebaik mungkin seperti apa yang diidamkan orang tua Zi Tao yang hidup di Qingdao, Cina.
Pemuda manis yang telah rapih dengan seragam sekolahnya dibalut jaket abu-abu itu menutup pintu apartemennya, ia sudah siap menuju ke sekolah. Hawa di luar terasa dingin sekali, Zi Tao mengingat bahwa hari ini telah memasuki bulan Desember, sepertinya ia harus mulai mengumpulkan uang untuk membeli jaket yang lebih tebal jika tak sudi mati kedinginan. Zi Tao menggosok pelan hidungnya, dan membenamkan sebagian wajahnya ke dalam syal maroon-nya.
Sesekali ia menggesek-gesekkan kaki panjangnya selagi mengunci pintu.
"Jadi Kris, fansmu diluar sana pasti sangat penasaran. Sebenarnya apa yang membuat seorang bintang berbakat sepertimu seringkali pindah apartemen?"
Zi Tao menengok ke kanan, ternyata disana sedang ada siaran langsung wawancara untuk acara gossip(?) pagi dimana Wu Kris-lah bintangnya. Ia berpura-pura menyibukkan diri di depan pintu apartemennya, entahlah, ia penasaran apa yang akan keluar dari mulut idola para remaja itu.
"Ah, terimakasih," suara Kris lembut dan sopan sekali, Zi Tao mengutuknya.
"Cih!"
"Jadi alasanku sebenarnya simple, aku ingin dekat dengan penggemarku yang luar biasa di luar sana. Seperti yang kita semua lihat," Kris mengangkat wajahnya yang kelewat tampan dan menunjuk langit-langit gedung. "Bangunan ini begitu sederhana 'kan? Aku memutuskan tinggal di sini, nantinya berpindah satu tempat ke tempat lain hanya untuk merasakan kesederhanaan yang sama dengan yang mereka (para penggemar) rasakan,"
Huweeeek! Zi Tao mendadak mual. Demi apapun, ketika Zi Tao melirik para crew yang terlibat interview singkat ini, semuanya memasang senyum memuja dipersembahkan untuk Kris.
"Aiih, kau sangat rendah hati sekali Kris," puji sang wanita pembawa acara itu.
Kris mengulum senyum tipis. "Terima kasih. Ini semua kulakukan untuk para penggemarku. Aku mencintai kalian semua *bbuing-bbuing*"
Muak! Rasanya Zi Tao ingin teleportasi dari tempat ini sekarang juga dan tiba di suatu pulau tak berpenghuni. Pemuda manis itu pun menyudahi kegiatan mengupingnya, lebih baik ia berangkat saja ke sekolah.
"Hei! Huang Zi Tao!"
Ada kerutan pada dahi Zi Tao ketika mendengar suara berat dan familiar meneriakkan namanya. Ia menoleh, datang sosok Kris mendekat padanya diikuti oleh seluruh awak salah satu acara teve besar. Dahi Zi Tao semakin mengerut dalam, Kris dengan seenaknya menaruh tangannya di pundaknya.
"Hee?" kejut Zi Tao.
Pandangan mata Kris tertuju pada lampu kamera, ragu-ragu Zi Tao mengikuti arah manik kecokelatan itu. "Perkenalkan, namanya Huang Zi Tao. Pemuda panda ini satu-satunya teman sekolahku yang paling dekat denganku, yah.. bisa dibilang kami sahabatan. Lihat, bahkan kami tetanggaan." Senyum Kris kemudian, Zi Tao membeku.
Selanjutnya Zi Tao merasa tak terima. Yah, ia tak terima. Awalnya Zi Tao ingin memprotes karena Kris sudah seenak udelnya melibatkannya ke dalam acara konyol ini, ditambah mengaku-ngaku bahwa mereka sahabatan. Apa-apaan itu?! Tapi Zi Tao memiliki rencana yang lebih baik, juga agak kejam sih.
Pemuda bersurai hitam tersenyum sumringah. "Benar sekali. Aku dan Kris sahabatan. Kami cukup dekat loh~ sangking dekatnya bahkan aku tau kebiasaan-kebiasaan buruknya. Contohnya saja..." Zi Tao mendongakkan kepala memandang tepat kedalam mata Kris, tersenyum begitu licik di mata Kris seolah-olah mengatakan,"Mampus kau Kris! akan kubongkar seluruh kejahatanmu! Khekhekhe."
Zi Tao menarik napas panjang, berbicara dengan lantang, "CONTOHNYA SAJA YA SETIAP MALAM KRIS SELALU MEMB—Hmmpppf!" Tangan besar Kris lebih dulu menahan laju bibirnya, Kris menatap Zi Tao penuh kewaspadaan.
Wanita yang melakoni profesi MC itu terheran-heran menyaksikan pemandangan di depannya, dan ia berucap. "Ia selalu.." mengulang dua kata yang belum lama dilafalkan Zi Tao.
Kris mendekatkan wajahnya ke telinga Zi Tao, berbisik hati-hati namun pemuda yang berada dibawah 'kuasa'-nya itu dapat mendengarnya dengan baik. "Kalau sampai kau berkata-kata yang tidak-tidak kepada media dan berencana menghancurkan karirku, aku tidak akan segan-segan membuat hidupmu seperti di neraka, paham?"
Zi Tao mengangguk pelan dan Kris membebaskan mulutnya. Agak menunduk. "Contohnya saja setiap malam Kris datang ke tempatku, dan kita belajar bersama."
"Yah, seperti itulah kami hahahah.." sambung Kris seraya mengembalikan posisi kerennya(?)
Brengsek! kesal Tao dalam hati.
"Oh~ hahaha! wawancara yang menarik sekali. Terimakasih atas waktunya Kris, tolong jaga kesehatan anda karena saat ini cuaca sedang tidak bersahabat, penggemar anda pasti juga mengharapkan itu. Baiklah pemirsa di rumah.. blablablabla," cerocos sang MC dan tidak ada yang peduli -,-
Kris celingukkan. Setelah memastikan tak ada lagi satupun kamera yang mengarah padanya, ia mendekatkan diri ke telinga Zi Tao sekali lagi dan mengakibatkan pemuda panda itu berjengit—menjauh.
"Aku senang menjadi tetanggamu Tao," bisiknya.
"App—"
DASAR PENGUNTIT GILA!
.
.
.
.
.
.
~Bersambung~
A/n: Hai~ ini ff bercapter Taoris pertama aku. RnR dipersilahkan :* /ketjup
