"Selamatkan dia, kumohon,"
Panik.
Suaranya bergetar, menyesuaikan dengan ekspresi ketakutan, mengiringi ranjang yang diseret menuju Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit. "Sembuhkan dia..."
Satu perawat membuatnya berhenti melangkah "Maaf, Tuan, Anda tidak boleh masuk kedalam UGD."
Keduanya saling tatap, kemudian kerah seragam perawat itu dicengkeram erat. "Aku akan membunuh kalian jika dia mati."

Pip...

Pip pip...

Pasien:
Park Jimin

Pip pip, pip-

Keluhan:
Kecelakaan sepeda motor

Piiiii-


First Project
A YoonMin fanfiction

"SLEEP WELL"
Bagian I

[ Mengantuk ]

"Yoongi-hyung!"
Jimin, dengan sweater kebesaran yang ia kenakan, menjuntaikan tubuhnya sedikit ke belakang ketika ibu jari Yoongi menekan tombol shoot di kamera. Mereka sedang liburan, jalan-jalan ke taman kompleks perumahan dekat sebuah conbini. Yoongi tersenyum hingga deret geliginya terpampang, menyorot wajah Jimin.
"Jimin-ah, hai hai, katakan hai kearah sini."
"Haiii," Tingkah kekanakannya muncul. Jimin mendekat, bahkan melekatkan wajahnya pada lensa. "Ini lubang hidungku."
"Ugh, hidungmu berlumut."
"Yaa," Tangannya menggapai keatas, memukul Yoongi sambil tertawa geli. Tangan itu nampak menghilang dari frame, begitu pula dengan sebagian wajah Jimin yang terlihat koyak karena ia banyak bergerak. Lucu sekali dan Yoongi menyukai momen seperti ini.

Jimin, Park Jimin, adalah siswa kelas dua SMA yang menjalin hubungan dengan seorang mahasiswa kaya, Min Yoongi. Mereka berpacaran sejak Jimin baru saja masuk SMA. Dua tahun yang lalu.
Umumnya, mereka nampak seperti remaja biasa. Seperti kakak-adik. Seperti mencintai diam-diam. Romansa yang manis. Akan ada saat dimana mereka saling melempar senyum, melirik, mendekap, dan tertawa. Atau saat dimana mereka saling cemburu, merajuk, atau lainnya. Memang begitulah remaja.
Yoongi jatuh cinta pada Jimin ketika anak itu berlarian dengan seragam SMP, mengangkat hadiah kelulusannya tinggi-tinggi, bernyanyi, kegirangan. Ia diberi cukup uang untuk merayakan kelulusannya, untuk bersenang-senang dengan kawannya diluar rumah. Tapi, seorang Ibu, mengemis padanya, dengan gaun katun dekil ia membungkuk, pelan-pelan mencoba menarik perhatian Jimin.
Jimin tentu saja melihatnya. Ia menghentikan segala gerak, berdiri menghadap si Ibu sambil melirik pada tangan kumal yang menengadah. Setelah dua kali kedipan mata, ia langsung merogoh saku, mengeluarkan semua uang yang ia miliki hingga ke koin terakhir. "Belilah makan yang banyak. Rayakan kelulusanku dan doakan aku lulus lagi di SMA nanti." Tersenyum, mengepalkan jemari si Ibu agar menggenggam uang itu baik-baik.
Bagi Yoongi, yang kala itu baru pulang selepas kuliah dan hanya numpang lewat, seorang anak laki-laki SMP yang bersedia memberikan seluruh uang jajannya untuk pengemis adalah hal menakjubkan. Ia segera berlari menghampiri Jimin, "Kau keren juga. Biasanya anak-anak memilih untuk pura-pura buta." juga memberi beberapa receh untuk si Ibu yang kemudian pergi.
"Oh ya?" Wajah Jimin terlihat kaget. "Tapi, Bibi itu pasti lapar 'kan?"
"Ya, jelas." Yoongi menyimak aspal, lalu melirik Jimin lagi. Dan dari sinilah mereka saling kenal, hingga saling jatuh cinta. Kisah mereka bukan sesuatu yang rumit.

Jimin yang dikenal oleh Yoongi adalah anak lugu, polos, kekanakan. Kadang Yoongi berpikir dirinya bisa saja mempengaruhi Jimin; Yoongi tipe yang kasar, mulutnya tidak manis dan ia khawatir kalau Jimin sedih saat bersamanya. Tapi Jimin, justru ia menyukai sifat Yoongi. Seperti ketika orang itu marah, beberapa barang mungkin akan rusak tapi Yoongi tidak akan mendaratkan apapun pada tubuh Jimin.
Meski lidahnya akan jadi amat sangat tajam. Seperti 'ulangi sekali lagi, sialan' atau 'kau dungu? Tidakkah kau pikirkan perasaan keparat ini?' dan lain-lain. Atau yang paling lucu adalah seperti 'aku tidak suka kau didekat jalang itu, kau tahu kau milik siapa, idiot?'
Memang, beberapa kali Jimin menangis karena ucapan Yoongi yang keterlaluan, tapi melihat Yoongi yang menjadi gusar, Jimin tahu kalau sebenarnya orang itu tidak bermaksud jahat. Kekasihnya hanya marah.

"Hyung," Jimin melamun, tangannya mendekap lengan kiri Yoongi dan kepalanya disandarkan disana. "Hyung, aku mengantuk."
"Tidurlah." Yoongi yang sedang mengerjakan tugas kuliah, mengusap kepala Jimin. Lalu, ia merasa lengannya didekap makin erat, seolah menyampaikan 'lihat aku, lihat aku'. Maka Yoongi menoleh, ia melihat Jimin mendongak, menatapnya. Bibir tebal itu bergerak, membisikkan sesuatu. Yoongi tidak mendengarnya tapi ia tahu apa yang Jimin katakan ketika menyimak bibir itu.
'Tidurlah denganku'.
Malam dimana keduanya bercinta untuk pertama kali adalah seminggu menjelang kenaikan Jimin ke kelas dua SMA, dimana Jimin masih ilegal, tapi bagaimana Yoongi mampu menolak? Bahkan desahan dari suara anak-anak itu masih terngiang sampai keesokan paginya. Jimin yang merengek dan berusaha meredam erangan, Jimin yang memejamkan mata erat, mencengkeram seprai, atau meliukan tubuh dengan kepolosan yang sensual. Kelemahan Yoongi.
Satu diantara sekian banyak hal favoritnya: membiarkan Jimin telanjang dan merebah dibalik selimut. Dia tidak bilang kalau menyukai hal itu, dia mengaguminya diam-diam. Karena Jimin masih 'kecil', anak itu berpikir baik-baik saja untuk telanjang didekat kekasihnya. Sementara bagi Yoongi, itu adalah sebuah keuntungan; ketika ia dengan sengaja meraba-raba Jimin tanpa dicurigai. Toh, Jimin tidak akan menolak apapun yang dilakukan Yoongi padanya.

"Aku mengantuk," Bersandar di kursi mobil, Jimin mengusap matanya pelan, menguap. Yoongi, dengan pintu kemudi yang dibuka lebar-lebar, merokok.
"Tidurlah." Tangannya bergerak, mengusap kepala Jimin. Samar, aroma tembakau dan asap menyeruak, yang kadang Jimin anggap sebagai aroma lelaki dewasa atau kadang ia anggap sebagai gangguan. "Kau tidak mungkin mengajakku tidur bersama —di mobil, ya 'kan?" Yoongi bergurau, Jimin menggeleng.
"Hyung, apa ada masalah?"
"Huh?"
"Kau lebih sering merokok akhir-akhir ini."
"Oh," Yoongi melirik batangan berasap yang terselip diantara jemarinya lalu membuang benda itu. Diinjak. "Tidak ada apa-apa. Sudah kubuang."
Diam sebentar, lalu Yoongi menutup pintu ketika Jimin merangkak dari kursinya menuju kursi kemudi; tempat Yoongi. Dengan tatap bingung Yoongi menyorot anak itu, yang mendudukan diri keatas pangkuannya dan menatap lamat-lamat.
'Ada apa?' Seperti itu cara Yoongi menatap Jimin sekarang. Dan Jimin memberi ciuman.
Jujur saja, Yoongi juga menyukai adegan ciuman dengan Jimin. Kepolosan Jimin membuat peraduan mereka terasa manis. "Hyung, aku mengantuk."

Yoongi berlarian begitu kasur dikeluarkan dari dalam mobil ambulan. Bersama beberapa perawat, ia mengiringi Jimin yang pucat, yang dibeberapa bagian tubuhnya terbasuh merah darah, menuju UGD.
Jimin menggenggam jemari Yoongi erat-erat. Biasanya genggaman itu terasa hangat, tapi kali ini berbeda. Dingin sekali.
"Jimin-ah, kau dengar aku?" Yoongi hampir menangis ketika telinganya menangkap suara Jimin merintih, dan kepalanya memberi angguk lemah.
"Hyung, aku mengantuk..."
"Tidak," Untuk pertama kalinya, Yoongi tidak berkata 'tidurlah'. Ia lebih memilih mode marahnya: "Aku akan menendangmu kalau kau sampai tertidur. Paham?"
Jimin merasa sedang menertawai wajah Yoongi, tapi ia sendiri bahkan tidak mendengar suara-suara, atau tawa susulan, atau guncangan tubuh yang kegelian. Ia cuma merasa sakit dan perlu untuk tidur.

Hyung, aku mengantuk.

Pip, pip. Pip, pip.
Selang oksigen terpasang pada hidung Jimin seolah rohnya ada didalan tabung. Yoongi duduk memandangi dalam diam. Beberapa saat yang lalu keluarga Jimin datang, tapi tiga puluh menit sebelum jam besuk usai, mereka pergi.
Bermacam andai-andai berlarian dalam benaknya, tentu soal Jimin. Ia berusaha menghadirkan prasangka positif tapi yang hadir selalu kemungkinan terburuk.
Untuk apa Jimin kebut-kebutan? Sepeda motor siapa yang ia kendarai? Selama dua tahun, ia bahkan tidak tahu kalau Jimin bisa mengendarai sepeda motor. Untuk sekedar membayangkan Jimin mengebut pun terasa sulit. Dalam kiraannya, Jimin adalah si anak mama, si baby-boo-bee—begitulah Yoongi mengejek.

"Ah, selamat siang." Satu suara dari pintu membuat Yoongi terkesiap. Meraup kesadaran, ia menoleh dan menemukan dua pelajar berseragam di muka pintu. Keduanya membungkuk menyalami.
"Siang," Yoongi tahu, itu pasti teman Jimin. Seragam mereka sama. "Menjenguk Jiminnie?"
"Iya, kami teman sekelasnya. Aku Taehyung dan ini Jungkook." Satu orang yang berponi tersenyum lebar, melangkah lebih kedalam. Awalnya Yoongi tidak berencana menanyakan apa-apa sampai Taehyung sendiri yang menyampaikan kalau motor yang dikendarai Jimin adalah motornya. Motor milik Taehyung. "Jimin bilang padaku kalau dia mau berkeliling sebentar, kami sedang berkumpul di karaoke dengan tiga teman yang lain."
"Kalian mabuk?"
"Tidak, tentu saja tidak!" Jungkook ikut berseru mengiringi Taehyung. Oh, mereka jujur. Memang polos seperti Jimin. Yoongi mengangguk, baru saja akan memutar arah duduknya menghadap Jimin lagi, tiba-tiba Taehyung menambahkan, "Bukankah Jimin memang begitu? Dia sering ikut balapan liar dan memasang taruhan, ya 'kan?" Ia meminta persetujuan Jungkook, yang dengan ragu memberi anggukan.
Mengerut, Yoongi merasa ia salah dengar. "Balapan liar?"
"Ya, tiap hari Jumat, dimulai pukul sebelas, berkumpul di dekat Seven Eleven jalan XX."
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena Jimin sering meminjam motorku untuk itu."
Hening.
Yoongi menolehkan kepala dengan berat kearah Jimin. Anak ini? Si pemilik suara idaman Yoongi? Si kecil yang gemar duduk dipangkuannya? Jimin yang kekanakan itu... Sering balapan?
Alis Yoongi bertautan, jemarinya menggenggam tangan Jimin erat lalu menggumam pelan, "Jimin-ah, berapa banyak yang kau sembunyikan dariku?"

Jimin selalu beralasan agar Yoongi tidak menemuinya tiap Jumat. Katanya, itu adalah waktu untuk bersama keluarga, karena hari Sabtu ia pasti menginap di apartemen Yoongi sampai Minggu malam. Yoongi tidak banyak tanya, ia mengiyakan karena alasan itu masuk akal dan karena ia yakin Jimin takkan membohonginya. Maka hari Jumat, tiap minggu, tiap bulan, Yoongi hanya menghabiskan waktu bersama Play Station.
Tapi sekarang, Yoongi tahu kalau Jimin tidak dirumah bersama keluarganya ketika hari Jumat tiba, melainkan ikut balapan liar.
Dan ini membuat Yoongi ingin tahu lebih banyak. Kenapa selama dua tahun, ia tidak tahu dan tidak diberitahu apa-apa? Jika alasannya karena Jimin tidak mau dilarang, apa alasan yang mengharuskan Jimin ikut balapan? Itu pasti lebih kuat dari sebuah larangan keselamatan.
Tentu saja Yoongi akan melarang. Apa Jimin tidak tahu seberapa kalut Yoongi untuk membayangkan kehilangan kekasihnya? Apa Jimin masih tidak merasakan sebesar apa perasaan Yoongi padanya?

"Jangan khawatir, lukanya tidak parah. Tapi, nampaknya Jimin-ssi belum mau dibangunkan." Jelas salah seorang dokter yang—menurut Yoongi—memiliki wajah tidak ramah, Kim Namjoon. Dengan gaya penuh penyesalan ia menatap Jimin di kasur. "Untuk sementara, keadaannya masih baik."
"Masih baik? Itu artinya, bisa memburuk?" Ibu Jimin mencengkeram ujung pakaiannya, alisnya merendah, kekhawatiran khas seorang Ibu nampak jelas disana.
"Bisa dibilang, Jimin-ssi sedang koma; entah akan sadar atau tidak, baik atau tidak. Kami hanya berjaga-jaga kalau tubuhnya bereaksi."
"Astaga, Jimin-ku," Ibu hampir menangis. Sementara Yoongi hanya diam didekat wanita penuh duka itu. Tidak jauh beda dengan Ibu Jimin, Yoongi juga ketakutan. Setelah berbincang dan menyepakati beberapa hal, akhirnya malam ini Yoongi yang menemani Jimin di RS.

Masih bersama kedipan dari mesin jantung dan desis tabung oksigen, Jimin terlelap dalam kamar temaram—Yoongi memadamkan lampu dan hanya menyalakan lampu meja. Suasanya begitu tenang, membuai, tapi Yoongi sama sekali tidak mengantuk.
Mengingat perkataan Dokter Namjoon siang tadi, Yoongi agak terpukul. Jimin koma dan tidak diketahui kapan akan terbangun. Sementara rasa rindunya pada tawa itu, pada sentuhan itu, seakan membuatnya gila detik ini. Lagipula ada banyak hal yang perlu ia bicarakan dengan Jimin. Banyak sekali.

Mengusap punggung tangan Jimin dengan ibu jari, Yoongi menatap wajah kekasihnya diam-diam, lalu tertekan. Ia tidak bisa membayangkan jika Jimin pergi dari hidupnya, Jimin sudah menjadi bagian dirinya, segala bahagianya ada disana.
"Ayo tidur, harus tidur! Jangan beri aku alasan, hyung, aku memintamu untuk pergi tidur, sekarang. Aku tidak keberatan jika harus menemanimu. Tidurlah!" Pasti itu yang akan Jimin katakan jika saja ia membuka matanya sekarang. Membuat Yoongi tertawa getir. Ah, Jimin begitu berharga, dia tidak boleh pergi. "Aku akan tidur bersamamu disini." Katanya, merogoh tas dan meraih sebotol pil. Restoril* (*jenis obat tidur).

Ah, Jiminnie... Aku sangat mengantuk...

"Bangun."
Yoongi membuka mata perlahan ketika ia mendengar ada yang menyuruhnya untuk bangun. Alih-alih cahaya, nampak langit-langit berwarna merah jambu. Merah jambu? Yoongi segera mendudukan diri, menganalisa sekitar lalu menemukan sosok laki-laki dengan kaus lengan panjang dan celana panjang putih polos, telanjang kaki, duduk di hampa udara.
Yoongi mengerjap, mencoba mencari pegangan dan meyakinkan diri kalau ia tidak sedang mengigau ketika ada seseorang yang melayang didepannya. "Kamu terbang? Maksudku, aku dimana?"
Orang didepannya tersenyum. "Selamat datang di Kamar Jimin, namaku Seokjin. Dan, aku memang melayang."

"SLEEP WELL"
Bagian I, selesai

[ Mengantuk ]

Bersambung ke Bagian II